Surah Al-Ikhlas, sebuah permata dalam al-Quran, meskipun ringkas dalam jumlah kata dan ayat, membawa makna teologis yang paling fundamental dan mendalam dalam akidah Islam. Surah ini, yang merupakan surah ke-112 dalam susunan mushaf, berisikan jawaban yang tegas dan lugas atas pertanyaan paling mendasar tentang hakikat Sang Pencipta. Sering kali disebut sebagai ‘pemurnian’, surah ini berfungsi sebagai barometer keimanan, memisahkan tauhid yang murni dari segala bentuk syirik, perumpamaan, atau penyerupaan.
Untuk memahami mengapa Surah Al-Ikhlas dianggap setara dengan sepertiga al-Quran, kita harus mengurai setiap kata, menelusuri konteks pewahyuannya (Asbabun Nuzul), dan mendalami implikasi filosofis serta teologis dari setiap pilar yang membentuknya. Struktur surah ini secara sempurna terdiri atas empat ayat suci, yang masing-masing ayatnya memiliki peran krusial dalam mendefinisikan Keesaan (Tauhid) Allah SWT.
Surah ini dikenal dengan beberapa nama, yang semuanya menyoroti peran sentralnya dalam akidah:
Menurut riwayat yang kuat, Surah Al-Ikhlas diturunkan sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh kaum musyrikin Quraisy kepada Rasulullah SAW. Mereka, yang terbiasa dengan konsep tuhan yang beranak pinak, berasal dari materi tertentu, dan memiliki garis keturunan, menanyakan tentang hakikat ilah yang disembah oleh Nabi Muhammad. Mereka berkata, "Wahai Muhammad, gambarkanlah kepada kami Tuhanmu. Apakah Dia terbuat dari emas atau perak? Siapakah keturunan-Nya?"
Pertanyaan ini tidak hanya berasal dari kaum musyrikin; riwayat lain menyebutkan bahwa kaum Yahudi dan Nasrani di Madinah juga menanyakan perihal silsilah Tuhan. Surah Al-Ikhlas datang sebagai penutup total atas segala spekulasi antropomorfik (penyerupaan Tuhan dengan makhluk). Jawaban yang diberikan Al-Ikhlas tidak mendeskripsikan wujud, melainkan mendefinisikan Keesaan dan ketidakbergantungan-Nya, sebuah konsep yang sepenuhnya melampaui pemahaman material manusia.
Setiap ayat dalam Surah Al-Ikhlas berdiri sebagai pilar independen namun saling melengkapi, membentuk perisai akidah yang sempurna. Pembahasan ini akan membedah setiap ayat, mengupas maknanya dari sudut pandang linguistik dan tafsir klasik, untuk memenuhi kedalaman yang diminta dalam memahami kandungan surah ini.
Ayat pertama ini adalah inti pernyataan. Kata 'Qul' (Katakanlah) merupakan perintah langsung dari Allah kepada Rasul-Nya, menunjukkan bahwa ini adalah pernyataan yang harus diumumkan secara publik, tanpa keraguan, dan merupakan kebenaran mutlak. Perintah ini menekankan bahwa Nabi Muhammad hanyalah penyampai, sementara substansi pesan berasal dari Yang Maha Kuasa.
Kata kunci dalam ayat ini adalah 'Ahad'. Meskipun dalam bahasa Arab terdapat kata 'Wahid' (Satu), penggunaan kata 'Ahad' di sini memiliki kekuatan dan makna teologis yang jauh lebih dalam. 'Wahid' sering kali digunakan untuk menghitung, menunjukkan satuan dalam deret. Seseorang bisa berkata "satu, dua, tiga..." (Wahid, Itsnain, Tsalatsah...).
Namun, 'Ahad' secara spesifik bermakna:
Para mufasir menjelaskan bahwa 'Ahad' merangkum Tauhid dalam zat. Ini adalah penolakan terhadap konsep trinitas, penolakan terhadap dewa-dewa berpasangan, dan penolakan terhadap gagasan bahwa Tuhan dapat dibagi menjadi beberapa entitas.
Kedalaman Tauhid yang disampaikan oleh 'Ahad' memerlukan pemahaman yang menyeluruh. Ia bukan hanya Keesaan dalam jumlah, melainkan Keesaan dalam esensi. Tidak ada entitas lain yang berbagi esensi ketuhanan dengan-Nya. Semua yang ada selain Dia adalah ciptaan yang bergantung.
Ayat kedua ini adalah jantung Surah Al-Ikhlas, memberikan definisi operasional tentang Keesaan yang baru saja ditegaskan. Nama 'As-Samad' adalah salah satu nama Allah yang paling kaya makna dan paling sulit diterjemahkan secara tunggal ke dalam bahasa lain, karena ia mengandung berbagai dimensi sifat kesempurnaan dan kemandirian Ilahi.
Para ulama tafsir klasik (seperti At-Tabari, Al-Qurtubi, dan Ibn Kathir) mencatat setidaknya lima makna utama dari As-Samad, yang semuanya harus dipahami secara kolektif:
Makna paling umum adalah bahwa Allah adalah satu-satunya tujuan (tempat bergantung) bagi seluruh makhluk dalam memenuhi kebutuhan mereka, baik kebutuhan fisik maupun spiritual. Seluruh alam semesta dan isinya membutuhkan Allah dalam segala hal, mulai dari keberadaan, rezeki, perlindungan, hingga hidayah. Jika segala sesuatu memerlukan dan mencari-Nya, maka jelas Dia tidak memerlukan atau mencari apapun dari ciptaan-Nya. Ini adalah Tauhid Uluhiyyah yang murni.
As-Samad juga diartikan sebagai "Tuan yang sempurna dalam kemuliaan-Nya" (Sayyid al-Kamil). Kesempurnaan-Nya meliputi ilmu, hikmah, kekuasaan, keagungan, dan kebaikan. Dia adalah Yang Abadi, yang tidak akan hancur atau sirna, berbeda dengan makhluk yang fana. Dia adalah yang tertinggi dan kekal.
Beberapa tafsir linguistik, terutama dari kalangan sahabat seperti Ibnu Abbas, mengaitkan As-Samad dengan entitas yang utuh dan padat, yang tidak memiliki rongga atau lubang. Dalam konteks teologis, ini berarti Allah tidak membutuhkan makan, minum, atau ruang fisik. Konsep ini secara tegas menolak sifat-sifat jasmani yang dimiliki makhluk hidup.
Pilar As-Samad ini melengkapi Ahad. Jika Ahad menolak multiplisitas, As-Samad menolak defisiensi (kekurangan) dan ketergantungan. Allah adalah Swasembada (Self-Sufficient). Kebutuhan segala sesuatu kepada-Nya dan ketidakbutuhan-Nya kepada apa pun adalah definisi esensial dari Ketuhanan.
Ayat ketiga adalah penolakan eksplisit terhadap dua konsep sentral dalam banyak kepercayaan kuno dan modern: konsep Tuhan memiliki anak dan konsep Tuhan memiliki orang tua atau asal usul. Ayat ini berfungsi sebagai bantahan langsung terhadap kepercayaan polytheistik yang lazim di Arabia (seperti dewi-dewi yang dianggap anak Allah), serta konsep agama-agama samawi lainnya yang mengklaim ketuhanan atau keilahian pada sosok selain Pencipta.
Penolakan bahwa Allah beranak (memiliki putra atau putri) adalah penolakan terhadap kebutuhan. Jika Allah memiliki anak, itu menyiratkan beberapa hal yang tidak sesuai dengan As-Samad dan Ahad:
Penolakan bahwa Allah diperanakkan (memiliki orang tua atau asal usul) adalah penolakan terhadap permulaan dan keterbatasan. Ini menegaskan bahwa Allah adalah Al-Awwal (Yang Maha Pertama), yang keberadaan-Nya tidak didahului oleh apapun. Dia tidak diciptakan, tidak berasal dari materi, dan tidak memiliki awal. Jika Dia diperanakkan, Dia akan menjadi ciptaan yang bergantung pada Pencipta sebelumnya, yang secara logis menghancurkan definisi-Nya sebagai Tuhan.
Pilar ketiga ini menegaskan keunikan Tauhid Rububiyyah: Allah adalah Pencipta yang tidak diciptakan, dan Penguasa yang tidak memerlukan mitra untuk melanjutkan kekuasaan-Nya.
Ayat penutup ini berfungsi sebagai kesimpulan universal dan penolakan terhadap semua kemungkinan perbandingan. Kata 'Kufuwan' berarti 'setara,' 'sebanding,' 'sepadan,' atau 'serupa.' Ayat ini memastikan bahwa tidak ada entitas, konsep, atau makhluk yang dapat dibandingkan atau disamakan dalam aspek apa pun dengan Allah SWT.
Setelah menegaskan Keesaan (Ahad), Kemandirian (As-Samad), dan Ketidakberawalan/Ketidakberakhiran (Lam Yalid wa Lam Yulad), ayat ini menutup semua celah. Tidak hanya Dzat-Nya yang unik, tetapi juga sifat-sifat dan perbuatan-Nya tidak dapat disamakan dengan siapa pun. Ini adalah penegasan tertinggi dari Tauhid Asma wa Sifat.
Penolakan terhadap *kufu* mencakup:
Pernyataan "Wa Lam Yakun Lahu Kufuwan Ahad" adalah deklarasi kemahatinggian. Ia menghilangkan segala godaan untuk menganalogikan Tuhan dengan pengalaman manusia atau makhluk lainnya, mewujudkan makna firman-Nya di surah lain: "Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai Dia." (QS. Asy-Syura: 11).
Salah satu fadhilah (keutamaan) paling terkenal dari Surah Al-Ikhlas adalah pernyataan Nabi Muhammad SAW bahwa surah ini setara dengan membaca sepertiga Al-Quran. Hadis ini, yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, memicu pertanyaan mendalam di kalangan ulama: Bagaimana mungkin empat ayat ringkas memiliki bobot yang sama dengan sepertiga dari Kitab Suci?
Para ulama tafsir dan hadis memberikan beberapa penjelasan komprehensif mengenai perbandingan ini:
Banyak ulama, termasuk Imam Ahmad, berpendapat bahwa secara umum, konten Al-Quran dapat dibagi menjadi tiga kategori utama:
Surah Al-Ikhlas secara eksklusif dan sempurna membahas kategori ketiga, yaitu Tauhid. Karena Tauhid merupakan pondasi dari seluruh ajaran, Surah Al-Ikhlas dianggap mewakili sepertiga inti teologis Al-Quran. Membaca surah ini dengan pemahaman yang benar adalah menyerap intisari dari ajaran akidah Islam.
Perbandingan ini menekankan bobot kualitatif, bukan kuantitatif. Artinya, keutamaan yang didapatkan dari pemurnian akidah melalui Al-Ikhlas setara dengan pahala membaca sepertiga Al-Quran yang berisi hukum dan kisah. Ini adalah penghargaan khusus bagi surah yang membersihkan hati dari keraguan dan syirik, yang merupakan dosa terbesar.
Surah Al-Ikhlas merupakan ringkasan teologis paling padat di antara semua surah. Tidak ada surah lain yang mendedikasikan dirinya sepenuhnya untuk mendefinisikan Keesaan Allah dengan penolakan dan penegasan yang begitu komprehensif.
Keindahan Surah Al-Ikhlas terletak pada arsitektur teologisnya yang logis dan runtut. Empat ayat ini tidak hanya berdiri sendiri, tetapi saling menguatkan, menciptakan sebuah benteng Tauhid yang tak tertembus.
Pernyataan Qul Huwallahu Ahad adalah pernyataan eksistensial. Karena Dia Ahad (Esa, tak terbagi), maka logis dan niscaya Dia harus As-Samad (Maha Mandiri dan tempat bergantung). Jika Dia tidak Esa, Dia pasti membutuhkan yang lain untuk melengkapi-Nya, yang berarti Dia tidak Samad. Sebaliknya, jika Dia Samad, mustahil Dia tidak Ahad, sebab kemandirian total hanya dimiliki oleh Dzat yang unik dan tak tertandingi.
Sifat As-Samad (tidak membutuhkan apapun, tidak memiliki rongga) secara langsung menjelaskan mengapa Allah Lam Yalid wa Lam Yulad. Proses beranak atau diperanakkan adalah indikasi kebutuhan, perubahan, dan keterbatasan fisik. Karena Allah adalah As-Samad, Dia berada di atas segala bentuk proses biologis atau materi. Ayat ketiga adalah bukti konkret dari sifat As-Samad.
Ayat penutup Wa Lam Yakun Lahu Kufuwan Ahad adalah pernyataan yang merangkum keseluruhan surah. Setelah mendefinisikan Allah melalui Keesaan, Kemandirian, dan Ketidakberawalan/Ketidakberakhiran, ayat ini menyimpulkan bahwa semua sifat tersebut secara kolektif menghasilkan entitas yang sama sekali tidak dapat dibandingkan. Ia adalah penutup teologis yang memastikan bahwa definisi Tauhid yang diberikan tidak menyisakan ruang sedikit pun bagi keraguan atau keserupaan.
Surah Al-Ikhlas adalah teks paling penting yang mendefinisikan tiga kategori utama Tauhid dalam Islam secara ringkas dan eksplisit:
Ini adalah pengakuan bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta, Pengatur, dan Pemelihara alam semesta. Surah Al-Ikhlas mendukung pilar ini melalui:
Ini adalah pengakuan bahwa hanya Allah satu-satunya yang berhak disembah dan ditaati. Surah Al-Ikhlas memperkuatnya melalui:
Ini adalah pengakuan bahwa Allah adalah unik dalam Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya, dan sifat-sifat-Nya tidak dapat dibandingkan dengan sifat makhluk. Inilah fokus utama yang ditegaskan oleh Surah Al-Ikhlas:
Dengan demikian, Al-Ikhlas adalah deklarasi teologis paling padat yang mencakup ketiga dimensi Tauhid, menjadikannya kunci untuk memahami seluruh akidah Islam.
Selain keutamaan yang setara dengan sepertiga Al-Quran, Surah Al-Ikhlas memiliki peran penting dalam kehidupan sehari-hari Muslim:
Al-Ikhlas, bersama dengan Al-Falaq dan An-Nas (dikenal sebagai Al-Mu'awwidzatain), sering dibaca untuk perlindungan dari kejahatan, sihir, dan hasad. Nabi Muhammad SAW biasa membacanya tiga kali di pagi dan sore hari, serta meniupkan pada telapak tangan dan mengusapkannya ke seluruh tubuh sebelum tidur. Kekuatan perlindungannya berasal dari kandungan Tauhid yang menolak kekuatan lain selain Allah.
Dalam sejarah Islam, seorang Muslim yang menghadapi maut sering diajarkan untuk merenungkan makna Al-Ikhlas, memastikan bahwa dia meninggalkan dunia ini dengan pemahaman Tauhid yang murni. Ini adalah ujian terakhir keikhlasan akidah.
Karena kemudahannya dan signifikansi maknanya, Surah Al-Ikhlas sangat sering diulang dalam salat, baik salat fardhu maupun sunnah. Pengulangan ini berfungsi untuk terus menyegarkan pemahaman dan pengakuan seorang hamba terhadap Keesaan Tuhannya berkali-kali dalam sehari.
Karena konsep As-Samad adalah yang paling rumit, penting untuk mengupas lebih jauh bagaimana para mufasir besar menafsirkannya, mengingat signifikansi sentralnya dalam mendefinisikan Allah yang mandiri:
Ibnu Katsir menekankan riwayat dari Ibnu Abbas dan lainnya bahwa As-Samad adalah 'Sang Tuan yang mencapai puncak keagungan dalam ketuanan-Nya, tempat semua makhluk butuh untuk meminta segala sesuatu dan bergantung kepada-Nya.' Fokusnya adalah pada kebutuhan makhluk. Semua makhluk, baik malaikat, jin, maupun manusia, berkumpul di pintu-Nya untuk meminta rezeki, pertolongan, dan keberlangsungan hidup. Ini menetapkan hierarki mutlak: Allah adalah Pemberi, yang lain adalah penerima.
Al-Qurtubi, dalam tafsirnya, banyak mencantumkan 'penolakan' yang implisit dalam As-Samad. Dia adalah yang tidak makan, tidak minum, tidak tidur, dan tidak memiliki awal maupun akhir. Penolakan ini adalah cara untuk menetapkan sifat-sifat positif Allah. Hanya Dzat yang tidak memiliki kekurangan dan tidak tunduk pada batasan waktu atau fisik yang layak disebut As-Samad.
Ar-Razi mencoba menggabungkan semua makna menjadi definisi yang menyeluruh: As-Samad adalah yang Sempurna dalam semua sifat, tempat yang dituju (berlindung) oleh setiap yang kurang (makhluk), dan dia yang tidak memiliki rongga dan tidak membutuhkan yang lain. Ar-Razi melihat As-Samad sebagai puncak kesempurnaan yang tidak mungkin dicapai oleh entitas mana pun selain Allah.
Diskusi tentang As-Samad ini menegaskan bahwa Surah Al-Ikhlas bukan hanya pernyataan; ia adalah sebuah tesis teologis yang menantang dan membatalkan semua konsepsi ketuhanan yang mengandung kelemahan atau keterbatasan.
Meskipun Surah Al-Ikhlas diturunkan di tengah masyarakat musyrikin Quraisy, relevansinya tetap abadi, bahkan dalam menghadapi tantangan filosofis dan spiritual di era modern.
Konsep Lam Yulad (tidak diperanakkan) secara efektif menolak klaim materialisme bahwa segala sesuatu adalah hasil dari proses kebetulan atau evolusi materi yang tak berawal. Al-Ikhlas menetapkan adanya Entitas yang Tidak Disebabkan (Uncaused Cause), yang menjadi sumber dan penyebab segala keberadaan, namun Dia sendiri tidak memiliki penyebab. Ini adalah fondasi logika kosmologis dalam teologi Islam.
Pantheisme, atau pandangan bahwa Tuhan dan alam semesta adalah satu dan sama, secara keras ditolak oleh Al-Ikhlas. Qul Huwallahu Ahad menegaskan Keesaan dan keunikan Dzat Allah, sementara Kufuwan Ahad menegaskan perbedaan absolut antara Pencipta dan ciptaan. Alam semesta adalah manifestasi kekuasaan-Nya, bukan Dzat-Nya.
Mengapa surah ini dinamakan Al-Ikhlas (Pemurnian)? Nama ini tidak hanya merujuk pada pemurnian konsep tentang Tuhan (Tauhid), tetapi juga pada pemurnian niat (Ikhlasul Amal) seorang hamba. Orang yang benar-benar memahami dan menghayati makna surah ini akan melaksanakan semua ibadahnya semata-mata karena Allah (Lillahi Ta’ala).
Jika seseorang mengakui bahwa Allah adalah As-Samad—tempat bergantung yang sempurna—maka tidak ada alasan logis untuk mencari pujian, kekuasaan, atau pertolongan dari makhluk lain yang pada hakikatnya juga bergantung. Keyakinan pada Wa Lam Yakun Lahu Kufuwan Ahad memaksa seorang hamba untuk menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan dalam setiap tindakan.
Ikhlas adalah kondisi hati yang menghasilkan ibadah yang diterima. Surah Al-Ikhlas menyediakan peta jalan menuju kondisi hati tersebut. Pembacaan dan penghayatan surah ini secara terus-menerus berfungsi sebagai pengingat konstan bahwa segala bentuk kemusyrikan, baik yang tampak (menyembah berhala) maupun yang tersembunyi (riya atau pamer), adalah penentangan terhadap ajaran yang terkandung dalam surah ini.
Ringkasnya, Surah Al-Ikhlas terdiri atas empat pilar teologis yang tak tergoyahkan, yang bersama-sama memberikan definisi yang paling komprehensif dan mutlak tentang Keesaan, Kemandirian, dan Ketidakserupaan Allah SWT, menjadikannya fondasi terpenting bagi akidah setiap Muslim.
Meskipun maknanya terlihat lugas, para ulama tafsir menghabiskan banyak waktu untuk mengupas tuntas struktur gramatikal ayat pertama. Struktur kalimat “قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ” (Qul Huwallahu Ahad) memiliki keunikan. Kata ganti ‘Huwa’ (Dia) merujuk pada Dzat Ilahi yang ditanyakan oleh kaum musyrikin. Penggunaan ‘Huwa’ menegaskan bahwa Dzat yang mereka tanyakan itu sudah ada dan dikenal secara universal, namun penjelasannya tentang hakikat-Nya yang memerlukan pernyataan tegas.
Imam Al-Ghazali, dalam analisis filosofisnya, menekankan bahwa 'Ahad' adalah satu yang melampaui konsep bilangan. Konsep bilangan ('Wahid') hanya berlaku dalam kerangka matematika dan ciptaan. Sedangkan 'Ahad' adalah satu yang menolak yang kedua, yang ketiga, dan seterusnya. Ini adalah penegasan eksklusivitas ketuhanan. Jika kita memikirkan tentang benda, kita selalu bisa membayangkan duplikatnya. Namun, Keesaan Allah adalah Keesaan yang tidak memiliki duplikat atau komplementer.
Penting untuk dipahami bahwa pernyataan ‘Qul Huwallahu Ahad’ bukan hanya informasi, tetapi deklarasi perlawanan terhadap pluralisme teistik. Ini adalah pembebasan akal dari kebutuhan untuk membagi-bagi kekuasaan Ilahi atau menempatkan mediator setara di antara makhluk dan Pencipta.
Ayat ketiga menggunakan negasi ganda: ‘Lam Yalid’ (tidak beranak) dan ‘wa Lam Yulad’ (dan tidak diperanakkan). Para ahli balaghah (retorika Arab) menyoroti penggunaan kata ‘Lam’ (negasi masa lalu) yang menyiratkan penolakan abadi terhadap kemungkinan terjadinya hal tersebut di masa lalu, yang secara otomatis mencakup masa kini dan masa depan.
Dalam konteks teologis, penolakan ganda ini sangat efisien:
Ayat ini adalah penyangkalan terhadap klaim Nasrani mengenai status Yesus AS (Isa Al-Masih) sebagai 'Putra Tuhan,' dan penyangkalan terhadap keyakinan Jahiliyah bahwa malaikat adalah 'putri-putri Allah.' Semua klaim tersebut, yang menempatkan hasil proses fisik atau temporal pada Dzat Ilahi, dihancurkan oleh ketegasan ayat ketiga ini.
Ayat terakhir, Wa Lam Yakun Lahu Kufuwan Ahad, tidak hanya memiliki implikasi teologis, tetapi juga implikasi hukum dan moral yang mendalam bagi Muslim.
Karena tidak ada yang setara dengan Allah, maka hanya hukum dan kehendak-Nya yang mutlak. Hukum syariah yang diturunkan oleh-Nya memiliki otoritas tertinggi. Tidak ada hukum buatan manusia, filsafat, atau sistem sosial yang dapat disamakan atau diutamakan di atas hukum Ilahi, sebab semua itu berasal dari sumber yang terbatas dan fana.
Pengakuan bahwa tidak ada yang setara dengan Allah mengajarkan kerendahan hati mutlak (tawadhu). Jika segala sesuatu di alam semesta ini, dari galaksi hingga partikel terkecil, tidak setara dengan Allah, maka seorang hamba, dalam keterbatasan dan ketergantungannya, tidak boleh merasa sombong atau menyamai keagungan-Nya. Akhlak yang baik (ihsan) adalah refleksi dari pengakuan ini.
Ayat ini juga menuntut konsistensi. Jika Allah tidak memiliki tandingan, maka mencari pertolongan, keselamatan, atau kekuatan dari entitas yang lemah dan terbatas lainnya adalah tindakan yang tidak konsisten dengan pengakuan ini. Itu adalah Syirik, yang merupakan kegagalan terbesar dalam memahami Surah Al-Ikhlas.
Dalam tradisi Tasawuf, Surah Al-Ikhlas dimaknai pada tingkat yang lebih dalam, berfokus pada pengalaman spiritual Tauhid:
Bagi para ahli tasawuf, Al-Ikhlas bukan hanya deklarasi verbal, melainkan sebuah kondisi batin yang harus dicapai: kondisi di mana hati telah dibersihkan sepenuhnya dari segala dualitas dan hanya mengakui Satu Realitas Mutlak.
Karena keagungan maknanya, Surah Al-Ikhlas menjadi salah satu teks yang paling sering diabadikan dalam kaligrafi dan arsitektur Islam. Kaligrafi surah ini sering ditemukan menghiasi mihrab, kubah masjid, dan karya seni. Pilihan untuk menampilkan Al-Ikhlas secara menonjol di tempat-tempat ibadah adalah pengingat visual dan spiritual bahwa inti dari fungsi masjid adalah penegasan Tauhid, yang tidak boleh dikompromikan oleh bentuk-bentuk peribadatan yang menyimpang.
Setiap huruf dan garis dalam kaligrafi Al-Ikhlas mengandung bobot teologis, memastikan bahwa visualisasi keindahan Islam selalu berakar pada doktrin Keesaan yang murni dan tanpa cela.
Kesimpulannya, Surah Al-Ikhlas terdiri atas empat pilar fundamental yang mendefinisikan Keesaan Allah (Tauhid) secara sempurna dan sistematis, merangkum sepertiga dari seluruh ajaran Al-Quran mengenai akidah:
Surah Al-Ikhlas adalah deklarasi identitas Ilahi yang paling murni dan paling ringkas yang pernah diturunkan. Menghayati surah ini adalah kunci menuju keikhlasan sejati dalam beribadah, dan pemahaman yang teguh atas surah ini adalah benteng terkuat seorang Muslim melawan segala bentuk keraguan dan kemusyrikan di sepanjang zaman.