Visualisasi kekayaan yang hancur di hadapan ketetapan Illahi, merujuk pada pesan sentral Surah Al Lahab.
Surah Al Lahab, atau yang dikenal juga dengan Surah Al-Masad, adalah salah satu surah Makkiyah terpendek yang mengandung pesan mendalam dan langsung terkait dengan nasib seorang tokoh sentral yang menentang keras dakwah Nabi Muhammad ﷺ. Surah ini memiliki keunikan karena secara eksplisit menyebutkan hukuman duniawi dan akhirat bagi Abu Lahab, paman Nabi, dan istrinya, Ummu Jamil. Ayat kedua dari surah ini, yang menjadi fokus utama kajian ini, adalah inti dari penolakan terhadap nilai-nilai materialistik sebagai penyelamat dari ketetapan Ilahi.
Ayat kedua berbunyi: "Mā aghnā ‘anhu māluhu wa mā kasab." (Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang ia usahakan/peroleh.) Kalimat ini bukan sekadar pernyataan; ia adalah penegasan teologis yang menghancurkan pondasi kekuasaan dan kebanggaan duniawi yang dipegang teguh oleh Abu Lahab dan para pembangkang Makkah lainnya pada saat itu. Untuk memahami kedalaman ayat ini, kita perlu membedah setiap diksi, meninjau ulang latar belakang historis yang melingkupinya, serta menarik implikasi moral dan spiritual yang relevan hingga hari ini.
Untuk mencapai kedalaman pemahaman yang memadai, diperlukan pembongkaran kata per kata (tahlil lughawi) dari ayat ini, karena setiap partikel dan kata kerja di dalamnya membawa bobot makna yang sangat spesifik dalam bahasa Arab Al-Qur'an.
Kata Mā aghnā dapat diterjemahkan sebagai "Tidaklah mencukupi," "Tidaklah memberikan manfaat," atau bahkan sebagai kalimat interogatif retoris yang bermakna penolakan, yaitu "Apa gunanya...?" Akar katanya adalah ghina (غنى), yang secara harfiah berarti kaya, mandiri, atau berkecukupan. Ketika digunakan dalam konteks ini, ia menunjukkan kemandirian dan kekuatan yang dihasilkan oleh kekayaan, tetapi dipadukan dengan partikel negasi (Mā) atau interogasi penolakan.
Dalam konteks teologis, penggunaan Mā aghnā sangat kuat. Allah subhanahu wa ta'ala menegaskan bahwa kekayaan yang selama ini menjadi sumber kesombongan Abu Lahab, yang memberinya rasa aman, kekuasaan, dan status sosial di tengah masyarakat Quraisy, sama sekali tidak mampu berfungsi sebagai perisai atau penebus di hadapan hukuman-Nya. Nilai ghina yang dimiliki manusia—kekayaan yang membuatnya merasa tidak membutuhkan orang lain atau bahkan Tuhan—adalah nihil ketika dihadapkan pada kekuasaan Absolut.
Pernyataan ini bukan hanya sekadar hukuman, tetapi juga pelajaran universal bahwa semua sumber daya duniawi adalah fana. Jika Abu Lahab, yang memiliki status sosial dan harta melimpah di Quraish, tidak dapat menggunakan hartanya untuk menyelamatkan dirinya, maka siapapun yang meniru kesombongannya juga akan menghadapi nasib serupa. Ini menekankan sifat transien dari kekuasaan materiil.
Māluhu berarti “hartanya” atau “kekayaannya.” Kata māl (مال) mencakup segala bentuk aset berharga, seperti emas, perak, unta, budak, dan tanah. Abu Lahab dikenal sebagai individu yang kaya raya dan memiliki pengaruh besar di Makkah. Kekayaannya adalah simbol prestise klan Hasyim, meskipun ia menggunakannya untuk menentang keponakannya sendiri.
Penggunaan kata māluhu secara spesifik menunjukkan bahwa fokus penghinaan ini ditujukan kepada kebanggaan materiil. Orang-orang Makkah sangat menghargai kekayaan sebagai indikator keberuntungan dan restu dewa-dewa (sebagaimana anggapan mereka). Dengan meniadakan manfaat dari māluhu, Al-Qur'an secara radikal menolak premis dasar masyarakat jahiliyah yang mengukur nilai seseorang dari jumlah hartanya. Harta, meskipun dapat membeli kenyamanan dunia, tidak memiliki nilai tukar di hari perhitungan atau sebagai penangkal azab.
Para mufasir menekankan bahwa ini adalah peringatan terhadap hubb al-māl (kecintaan berlebihan terhadap harta), yang seringkali menumpulkan hati nurani dan menghalangi seseorang untuk menerima kebenaran. Abu Lahab mungkin merasa bahwa dengan hartanya, ia bisa lolos dari konsekuensi tindakannya, atau setidaknya membeli perlindungan. Ayat ini membantah ilusi tersebut secara total.
Frasa ini diterjemahkan sebagai “dan apa yang ia usahakan” atau “dan apa yang ia peroleh.” Kata kasaba (كسب) berarti meraih, mendapatkan, atau bekerja keras untuk mendapatkan sesuatu. Frasa ini memiliki dua interpretasi utama yang memperkaya makna ayat:
Dalam pandangan ini, wa mā kasab merujuk pada kekayaan yang diperoleh melalui usaha dan kerja keras, yang melengkapi makna māluhu (kekayaan yang sudah ada atau warisan). Ini mencakup keuntungan bisnis, hasil panen, atau aset yang dihasilkan. Jika māluhu adalah modal, maka mā kasab adalah profit dan hasil kerja. Ayat ini menegaskan bahwa baik modal yang diwarisi maupun keuntungan yang dihasilkan dari jerih payah sendiri, keduanya tidak akan mampu menolong.
Sebagian besar mufasir klasik, termasuk Ibn Abbas dan Mujahid, menafsirkan mā kasab sebagai anak-anak Abu Lahab, atau para pengikut yang ia rekrut. Dalam tradisi Arab, anak laki-laki dianggap sebagai "usaha" atau "perolehan" terbesar seorang pria, simbol kekuatan klan, dan aset yang diharapkan akan mempertahankan kehormatan keluarga dan membalas dendam. Penafsiran ini didukung oleh fakta bahwa Abu Lahab pernah menyombongkan diri bahwa ia akan menyelamatkan dirinya (atau mencegah azab) dengan jumlah anaknya.
Penafsiran ini memberikan dimensi sosial yang krusial pada ayat tersebut. Bukan hanya harta benda yang sia-sia, tetapi juga dukungan sosial, koneksi, dan bahkan keturunan yang dibanggakan. Azab Illahi melampaui kemampuan anak untuk melindungi ayahnya, menghapus harapan terakhir para elit Makkah yang mengandalkan klannya untuk keselamatan.
Surah Al Lahab diturunkan pada fase awal dakwah di Makkah, ketika Nabi Muhammad ﷺ mulai berdakwah secara terbuka. Pemahaman mendalam terhadap Ayat 2 tidak mungkin tanpa meninjau siapa sosok Abu Lahab dan mengapa Al-Qur'an memberikan hukuman yang sedemikian spesifik.
Nama asli Abu Lahab adalah Abdul Uzza bin Abdul Muththalib. Ia adalah paman kandung Nabi Muhammad ﷺ dan tinggal di lingkungan yang dekat dengan Nabi. Gelar ‘Abu Lahab’ (Bapak Api/Lidah Api) diberikan kepadanya, merujuk pada rona wajahnya yang kemerahan, tetapi dalam konteks Surah ini, gelar tersebut menjadi ramalan azab yang menantinya—ia akan menjadi penghuni api neraka.
Kebenciannya terhadap Islam adalah konsisten dan agresif. Ketika Nabi pertama kali berdakwah secara terbuka di Bukit Safa, Abu Lahab adalah orang pertama yang mencela dan berkata, "Celakalah kamu! Apakah hanya untuk ini kamu mengumpulkan kami?" Penghinaan ini memicu turunnya bagian awal Surah Al Lahab: Tabbat yadā Abī Lahab...
Kekayaan Abu Lahab bukan hanya aset pribadi, tetapi juga sumber kekuasaan politik dan sosial di Makkah. Ia menggunakan status dan hartanya untuk memboikot, mengintimidasi, dan menyebarkan fitnah terhadap umat Islam awal. Ketika ia menindas, kekayaannya memberikan legitimasi dan perlindungan dari klan lain. Kekayaan memberinya jaminan bahwa ia tidak perlu takut pada konsekuensi, karena ia bisa membeli pengaruh dan dukungan.
Ayat 2 secara langsung menyerang keyakinan fundamental ini. Al-Qur'an secara profetik menyatakan bahwa alat utama penindasannya—kekayaan dan statusnya—justru akan gagal menyelamatkannya. Ini adalah penegasan bahwa kekuasaan manusia, betapapun besarnya, berada di bawah kendali mutlak Allah subhanahu wa ta'ala.
Ayat ini memiliki makna profetik yang luar biasa. Surah Al Lahab turun ketika Abu Lahab masih hidup, meramalkan bahwa ia akan mati dalam keadaan kufur dan pasti masuk neraka. Ramalan ini begitu pasti sehingga Abu Lahab, meskipun memiliki kesempatan untuk membatalkan ramalan tersebut dengan berpura-pura masuk Islam, tidak pernah melakukannya. Hal ini memperkuat kebenaran Al-Qur'an, dan secara spesifik, mengukuhkan bahwa sumber daya Abu Lahab tidak akan memungkinkannya mengubah takdir yang telah digariskan karena penentangannya terhadap kebenaran.
Pesan yang terkandung dalam Surah Al Lahab Ayat 2 jauh melampaui konteks Abu Lahab. Ia berfungsi sebagai prinsip universal dalam akidah Islam mengenai hubungan antara manusia, harta benda, dan keadilan Ilahi.
Ayat ini mengajarkan konsep al-fana’ (kefanaan). Harta, kekuasaan, dan perolehan duniawi bersifat sementara. Manusia seringkali terperangkap dalam ilusi bahwa harta adalah sumber kebahagiaan abadi atau pelindung dari bencana. Ayat 2 meruntuhkan ilusi ini dengan menyatakan bahwa pada saat yang paling genting—ketika seseorang membutuhkan penebusan dan penyelamat dari azab—harta yang dikumpulkan dengan susah payah akan menjadi tidak berharga.
Dalam sudut pandang eskatologi Islam, yang menjadi penentu adalah amal saleh dan keimanan, bukan akumulasi kekayaan. Harta hanya bernilai jika digunakan di jalan Allah (infāq fī sabīlillāh). Kekayaan yang dikumpulkan melalui cara yang zalim atau digunakan untuk menentang kebenaran justru menjadi beban dan saksi memberatkan bagi pemiliknya.
Kontras utama dalam ayat ini adalah antara ghina (kekayaan/kemandirian) manusia dan Al-Ghaniyy (Yang Maha Kaya/Maha Mandiri), salah satu Asmaul Husna. Manusia mungkin merasa kaya raya, tetapi kekayaan tersebut hanyalah pinjaman dan sangat rentan. Allah adalah satu-satunya entitas yang memiliki kekayaan mutlak dan abadi. Ketika kekuasaan manusia berhadapan dengan kekuasaan Tuhan, kekayaan manusia tidak memiliki daya tawar sama sekali.
Kekuatan retoris Mā aghnā menantang kesombongan manusia. Ia memaksa refleksi bahwa semua upaya dan perolehan kita pada akhirnya bergantung pada izin dan kehendak Ilahi. Ini adalah inti dari tauhid dalam konteks ekonomi dan sosial.
Meskipun ditujukan kepada Abu Lahab, ayat ini merupakan teguran keras terhadap filosofi materialisme yang menempatkan harta di atas nilai-nilai spiritual dan etika. Abu Lahab menggunakan māluhu dan mā kasab (termasuk pengaruhnya) untuk mempertahankan struktur kekuasaan yang zalim. Oleh karena itu, bagi setiap orang yang menggunakan kekayaannya untuk menindas, menyebarkan kebohongan, atau menghalangi jalan dakwah, nasibnya tidak akan jauh berbeda.
Pelajaran kontemporer dari ayat ini sangat jelas: pada era modern, di mana kesuksesan sering kali diukur murni oleh kekayaan dan akumulasi aset, Al-Qur'an mengingatkan bahwa semua metrik tersebut akan gagal di hadapan keadilan absolut. Konglomerasi bisnis, kekayaan warisan, dan bahkan jaringan kekuasaan yang dibangun melalui koneksi pribadi (interpretasi modern dari mā kasab) tidak akan menawarkan perlindungan abadi.
Kajian tafsir (eksegesis) terhadap Ayat 2 memberikan variasi detail yang signifikan mengenai mengapa harta dan usaha tidak berguna. Para ulama fokus pada penekanan bahwa kegunaan harta hanya ada jika disalurkan untuk kebajikan (sadaqah) yang membawa pahala, yang mana Abu Lahab gagal melakukannya.
Al-Tabari, dalam Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy al-Qur’ān, menekankan bahwa frasa Mā aghnā ‘anhu māluhu adalah penolakan terhadap keyakinan Abu Lahab bahwa posisinya sebagai bangsawan dan kekayaannya akan menjauhkannya dari hukuman. Al-Tabari cenderung menguatkan penafsiran bahwa mā kasab merujuk pada anak-anak. Ia mengutip riwayat yang menyatakan bahwa Abu Lahab pernah berkata, “Jika apa yang dikatakan Muhammad itu benar, aku akan menebus diriku pada hari kiamat dengan harta dan anak-anakku.” Ayat ini adalah jawaban langsung terhadap klaim sombong tersebut.
Ibn Kathir memperkuat sudut pandang ini dengan menekankan bahwa ayat tersebut adalah realitas yang akan dihadapi di Hari Kiamat. Harta, yang selama hidup Abu Lahab memberinya kehormatan dan kekuatan untuk menyakiti Nabi, akan menjadi sia-sia. Ibn Kathir meninjau bahwa tidak ada jumlah kekayaan atau jasa yang dapat ditukarkan dengan ampunan Ilahi jika dasar keimanan telah hilang. Keberuntungan materiil di dunia ini tidak mencerminkan status seseorang di sisi Tuhan.
Dalam Fī Ẓilāl al-Qur’ān, Sayyid Qutb memberikan interpretasi yang lebih berfokus pada dinamika ideologi. Ia melihat Surah Al Lahab sebagai representasi konflik antara nilai-nilai kemanusiaan yang dibawa Islam melawan keangkuhan aristokratis Jahiliyah. Ayat 2 menunjukkan bahwa di hadapan kebenaran, kasta, kekuasaan, dan akumulasi modal tidak memiliki daya tawar sama sekali. Kekayaan Abu Lahab hanyalah kotoran yang tidak mampu memadamkan api neraka yang telah menantinya.
Qutb menekankan bahwa surat ini adalah jaminan bagi umat Islam yang tertindas, yang saat itu miskin dan dilecehkan, bahwa penindas mereka, meskipun kaya, akan hancur total. Ini adalah penguatan moral yang vital di tengah penderitaan awal dakwah.
Untuk mencapai bobot kata yang maksimal, perluasan kajian makna mā kasab harus dilakukan, karena frasa ini seringkali dipahami dalam konteks yang lebih luas daripada sekadar aset fisik atau anak.
Dalam terminologi Islam, kasab juga merujuk pada "apa yang diusahakan" dalam bentuk amal perbuatan, baik baik maupun buruk. Meskipun mā kasab dalam Ayat 2 umumnya merujuk pada harta atau anak, resonansi maknanya juga menyentuh amal. Abu Lahab telah mengumpulkan "usaha" dalam bentuk permusuhan, penindasan, dan cemoohan. Usaha jahat ini, yang merupakan perolehan negatifnya, tentu tidak akan menyelamatkannya; sebaliknya, itu akan menjadi bahan bakar azabnya.
Oleh karena itu, ayat ini memberikan dualitas makna: usaha yang baik (amal saleh) dapat menyelamatkan, tetapi usaha materiil atau bahkan usaha negatif (dosa) tidak akan memberikan manfaat. Karena Abu Lahab tidak memiliki amal saleh yang bisa menebus dosa-dosanya, seluruh usahanya di dunia, baik materiil maupun spiritual, sia-sia.
Dalam struktur sosial Arab pra-Islam, kekerabatan (qarābah) adalah bentuk kasab yang sangat berharga. Seseorang akan dilindungi oleh paman, sepupu, dan klan besarnya. Abu Lahab mungkin merasa bahwa kedudukannya sebagai paman Nabi memberinya kekebalan tertentu. Ayat 2 menghancurkan keyakinan bahwa hubungan darah dapat mengalahkan ketetapan Tuhan berdasarkan iman dan amal.
Meskipun ia memiliki kedudukan tinggi dalam klan Bani Hasyim, dan meskipun kekerabatan adalah perolehan sosial yang krusial, ketika keimanan tidak ada, hubungan tersebut tidak berguna. Ini memberikan preseden penting dalam Islam bahwa solidaritas klan tidak dapat menggantikan tanggung jawab individu di hadapan Allah.
Pesan tentang ketidakbergunaan harta di hari kiamat bukanlah hal yang eksklusif bagi Surah Al Lahab. Al-Qur'an mengulang tema ini untuk memperkuat akidah. Ayat 2 Al Lahab dapat dipahami lebih jelas melalui perbandingannya dengan ayat-ayat lain yang membahas isu serupa.
Surah Al-Syu'arā’ Ayat 88-89: Ketika menceritakan doa Nabi Ibrahim: "Yaitu pada hari (Kiamat) harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih." Ayat ini memberikan konteks positif terhadap penolakan Ayat 2 Al Lahab. Sementara Abu Lahab (yang tidak berguna hartanya dan anaknya/usahanya) akan celaka, orang yang datang dengan qalb salīm (hati yang bersih) akan selamat. Ini menguatkan bahwa yang dicari oleh Allah adalah kualitas internal (keimanan dan ketulusan), bukan aset eksternal.
Surah Al-Haqqah Ayat 28-29: Menceritakan tentang kondisi penghuni neraka yang berkata: "Hartaku sekali-kali tidak berguna bagiku. Telah hilang kekuasaanku dariku." Pernyataan ini adalah penyesalan universal bagi semua orang yang mengikuti jalan Abu Lahab. Ini adalah pengakuan pahit bahwa apa yang mereka anggap sebagai sumber kekuatan dan keselamatan di dunia telah lenyap sepenuhnya di akhirat. Surah Al Lahab Ayat 2 adalah prediksi yang diwujudkan dalam penyesalan penghuni neraka ini.
Ayat "Mā aghnā ‘anhu māluhu wa mā kasab" adalah contoh luar biasa dari penggunaan retorika Al-Qur'an yang tajam dan padat. Fungsi retorisnya dapat dipecah menjadi beberapa poin:
Surah ini penuh dengan ironi. Abu Lahab, 'Bapak Api' (nama yang ia banggakan karena penampilannya), justru diramalkan akan masuk ke dalam api neraka. Kekayaan yang ia gunakan untuk melancarkan agresi terhadap Islam justru dinyatakan sia-sia dalam menyelamatkannya dari api tersebut. Retorika ironis ini bertujuan untuk merendahkan otoritas Abu Lahab di mata para pengikutnya dan umat Islam yang tertindas.
Frasa ini disampaikan dalam bentuk deklarasi kepastian. Tidak ada ruang untuk negosiasi atau pengampunan, karena ini adalah hasil langsung dari sikap permusuhan yang ekstrem. Penegasan ini memiliki efek yang menenangkan bagi kaum mukmin, yang menyaksikan keangkuhan Abu Lahab setiap hari, dan menjadi peringatan keras bagi para penentang.
Ayat ini menciptakan kontras kekuatan yang absolut: kekayaan dan usaha manusia (terbatas dan fana) melawan janji dan ketetapan Allah (tak terbatas dan abadi). Dengan hanya lima kata Arab, ayat ini meruntuhkan seluruh sistem nilai yang dianut oleh masyarakat Makkah yang mengutamakan harta dan silsilah.
Lebih jauh lagi, pemaknaan yang meluas dari mā kasab (termasuk pengikut, pengaruh, dan anak-anak) menunjukkan bahwa pertimbangan Ilahi bersifat holistik. Tidak hanya aset yang dihitung, tetapi juga seluruh jejaring dukungan sosial dan kekuasaan yang dibangun oleh Abu Lahab.
Meskipun kisah Abu Lahab terjadi lebih dari empat belas abad yang lalu, pesan Ayat 2 Surah Al Lahab tetap relevan di zaman modern, terutama dalam masyarakat yang terobsesi dengan kekayaan dan pencapaian material.
Ayat ini memaksa umat Islam untuk mendefinisikan ulang apa itu kekayaan sejati. Kekayaan yang aghna (mencukupi/memberi manfaat) di akhirat adalah amal saleh, ilmu yang bermanfaat, dan keturunan yang mendoakan (merujuk pada hadis yang mendefinisikan kasab yang membawa manfaat). Harta duniawi hanya berfungsi sebagai alat, dan nilai sejati kekayaan terletak pada bagaimana ia dibelanjakan, bukan seberapa banyak ia diakumulasikan.
Jika kekayaan membuat seseorang lupa akan Tuhan, berlaku zalim, atau menindas sesama, maka ia persis berada di jalur Abu Lahab. Kekayaan menjadi laknat, bukan berkat. Ini adalah filter moral bagi setiap transaksi, investasi, dan perolehan.
Ayat ini juga menempatkan batas pada obsesi terhadap kasab (usaha/pencapaian). Islam mendorong kerja keras, tetapi ayat ini memperingatkan bahwa hasil dari kerja keras tersebut (baik itu gelar akademik, status karir, atau kekayaan yang dihasilkan) tidak dapat menyelamatkan jiwa dari pertanggungjawaban moral. Usaha harus diiringi dengan niat yang benar (ikhlas) dan kepatuhan terhadap perintah Tuhan.
Seseorang mungkin berhasil membangun sebuah kerajaan bisnis (mā kasab), tetapi jika kerajaan itu dibangun di atas fondasi riba, penipuan, atau eksploitasi, kekayaan tersebut tidak hanya sia-sia, tetapi juga menjadi penuntut bagi pemiliknya di Hari Kiamat. Kekuatan dan jaminan yang dirasakan dari pencapaian dunia adalah ilusi di hadapan keadilan absolut.
Kisah Abu Lahab adalah studi kasus tentang bahaya kesombongan yang didukung oleh kekayaan. Kekayaan seringkali menimbulkan rasa superioritas yang mencegah penerimaan kebenaran. Bagi Abu Lahab, menerima Islam berarti mengakui bahwa kekuasaannya tidak absolut dan ia harus tunduk pada keponakannya yang miskin secara materi. Ayat 2 menghancurkan kesombongan ini, menegaskan bahwa tidak ada status duniawi yang dapat membatalkan takdir azab yang telah ditentukan bagi penentang kebenaran.
Setiap Muslim diajak untuk merenungkan: apakah harta yang kita miliki saat ini membuat kita lebih dekat atau justru lebih jauh dari Allah? Apakah māluhu dan mā kasab kita digunakan untuk memuliakan agama, atau untuk memuaskan ego dan ambisi yang fana?
Surah Al Lahab Ayat 2, "Mā aghnā ‘anhu māluhu wa mā kasab," adalah salah satu pernyataan Al-Qur'an yang paling tajam mengenai fana'nya kuasa materiil dan kesia-siaan keangkuhan manusia. Ayat ini adalah fondasi teologis yang mengajarkan bahwa di hadapan kebenaran, status sosial dan akumulasi kekayaan tidak memiliki daya penyelamat.
Melalui analisis mendalam terhadap diksi aghna (manfaat/kecukupan), māluhu (kekayaan), dan mā kasab (usaha/perolehan, termasuk anak), kita memahami bahwa Allah subhanahu wa ta'ala menargetkan sumber utama kebanggaan dan kekuasaan Abu Lahab. Ayat ini bukan sekadar kutukan personal, melainkan peringatan universal yang berlaku lintas zaman dan budaya. Pesan utamanya adalah bahwa satu-satunya kekayaan yang kekal adalah amal saleh dan keimanan, yang mampu menyeberangkan jiwa dari api azab. Semua harta benda dan pencapaian duniawi, jika tidak disertai keimanan, akan ditinggalkan dan menjadi saksi bisu kegagalan di hari perhitungan.
Pelajaran dari Surah Al Lahab Ayat 2 ini memanggil setiap individu untuk introspeksi mendalam, menimbang kembali prioritas hidup. Apakah kita mengumpulkan harta untuk menjadi seperti Abu Lahab—kaya raya namun celaka—atau apakah kita menggunakan setiap perolehan dan usaha (kasab) kita sebagai sarana untuk mencapai rida Allah, sehingga kekayaan kita benar-benar menjadi aghna (bermanfaat) bagi keselamatan abadi kita.
Kekuatan ayat ini terletak pada prediksinya yang definitif dan penolakannya yang mutlak terhadap premis bahwa manusia dapat membeli kebebasan dari konsekuensi moral. Ini adalah pengingat abadi bahwa kemuliaan sejati tidak diukur dengan apa yang dikumpulkan di bumi, tetapi dengan apa yang dikirimkan ke hadirat-Nya.
Pemisahan antara māluhu dan mā kasab dalam Ayat 2 Al Lahab membuka diskursus etika kekayaan dalam Islam. Secara hukum (fiqh), harta (mal) adalah segala sesuatu yang bernilai dan dapat dimiliki. Namun, Al-Qur'an selalu mengaitkan kepemilikan harta dengan tanggung jawab sosial dan spiritual. Kegagalan Abu Lahab bukanlah karena ia memiliki harta, melainkan karena ia gagal memahami fungsi teologis dari harta tersebut.
Dalam Islam, harta memiliki fungsi sirkulasi dan distribusi (zakat, sedekah, warisan). Kekayaan yang "tidak berguna" (seperti yang dialami Abu Lahab) adalah kekayaan yang diisolasi dari fungsi-fungsi sosialnya dan dimonopoli untuk kepentingan pribadi atau penindasan. Harta yang menolong seseorang di akhirat adalah harta yang telah disucikan melalui kewajiban zakat, infaq, dan wakaf. Karena Abu Lahab menolak Islam, ia secara otomatis menolak seluruh sistem etika kepemilikan yang ditawarkan Islam, sehingga menjadikan kekayaannya murni berdimensi duniawi dan karenanya sia-sia di akhirat.
Kajian mendalam terhadap tata kelola harta dalam Islam menunjukkan bahwa pemilik harta bukanlah pemilik mutlak, melainkan hanya pemegang amanah (khalifah) dari Allah. Ayat 2 Al Lahab secara radikal menegaskan konsep amanah ini. Ketika seorang pemegang amanah menyalahgunakan harta untuk menentang Dzat yang memberikan amanah (Allah), maka harta tersebut akan ditarik manfaatnya di hari perhitungan. Inilah yang terjadi pada Abu Lahab. Ia menggunakan kekayaan klannya, posisi sosialnya, dan sumber dayanya untuk menghina dan memboikot Nabi Muhammad ﷺ, mengubah aset menjadi liabilitas.
Lebih lanjut, dalam konteks perdagangan dan ekonomi Makkah saat itu, kekayaan seringkali terikat pada praktik eksploitasi dan riba. Meskipun Al-Qur'an belum secara formal mengharamkan riba secara total pada saat Surah Al Lahab diturunkan, nilai-nilai etis yang mendasarinya sudah mulai ditanamkan. Kekayaan yang dihasilkan dari praktik yang tidak adil (sebagian dari mā kasab-nya) secara inheren tidak memiliki berkah Ilahi, sehingga tidak mungkin memberikan manfaat di akhirat. Ayat ini menjadi fondasi awal bagi kritisisme Al-Qur'an terhadap akumulasi kekayaan yang tidak beretika.
Pemilihan diksi Mā aghnā (مَا أَغْنَىٰ) adalah mahakarya retorika Arab. Partikel mā di sini bisa diinterpretasikan sebagai negasi atau interogasi retoris, dan kedua makna tersebut sama-sama memperkuat pesan azab.
Jika Mā dipahami sebagai negasi ("Tidaklah/Tidak akan"), maka artinya adalah penolakan mutlak di masa depan: "Sama sekali tidak akan bermanfaat baginya hartanya..." Ini adalah pernyataan faktual tentang takdirnya, disampaikan dengan kepastian yang membuat Abu Lahab tidak memiliki jalan keluar. Negasi ini bersifat final, menunjukkan bahwa kekuasaan duniawinya telah habis masa berlakunya.
Jika Mā dipahami sebagai interogasi retoris ("Apa gunanya?"), maka artinya adalah celaan dan penghinaan: "Apa gunanya (sekarang) hartanya dan apa yang ia usahakan?" Ini berfungsi sebagai ejekan terhadap klaim kekuasaan Abu Lahab. Kalimat ini memaksa pendengar untuk mengakui jawaban yang jelas: tidak ada gunanya sama sekali. Gaya retoris ini lebih menyengat dan menghancurkan harga diri Abu Lahab di mata publik Makkah.
Dalam kedua kasus, tujuannya adalah sama: untuk meniadakan seluruh nilai yang disandarkan Abu Lahab pada kekayaannya. Kekuatan naratif Al-Qur'an menggunakan struktur bahasa ini untuk menghantam titik lemah psikologis seorang tiran yang bangga pada materialisme. Ini menunjukkan bahwa meskipun Abu Lahab mungkin merasa kaya raya, di mata Tuhan, ia adalah orang yang termiskin karena ia kekurangan modal abadi: keimanan.
Keterkaitan Ayat 2 dengan Ayat 5 (yang menyebutkan istrinya, Ummu Jamil, akan menjadi pembawa kayu bakar) memberikan kedalaman tambahan pada makna mā kasab. Ummu Jamil adalah mitra aktif dalam permusuhan Abu Lahab terhadap Nabi Muhammad ﷺ; ia menyebarkan duri dan fitnah. Dalam konteks ini, usaha (kasab) Abu Lahab tidak hanya bersifat ekonomi dan keturunan, tetapi juga mencakup dukungan dan kolaborasi istrinya dalam melakukan kejahatan.
Ummu Jamil, sebagai bagian dari "perolehan" dan "dukungan" Abu Lahab, juga akan menjadi bagian dari azabnya. Keduanya adalah unit yang saling mendukung dalam dosa, dan karenanya, keduanya akan saling mendukung dalam hukuman. Ini mengajarkan bahwa kerja sama dalam kejahatan akan menghasilkan kerugian komunal di akhirat. Kekuatan yang mereka peroleh bersama untuk menentang kebenaran justru akan menjadi rantai yang mengikat mereka di Neraka.
Ini membalikkan persepsi jahiliyah tentang kekuatan keluarga. Alih-alih menjadi pelindung, ikatan keluarga yang didasarkan pada kekufuran dan permusuhan terhadap Islam justru menjadi faktor pendorong azab. Dengan demikian, penafsiran mā kasab sebagai 'pengikut' dan 'pendukung' menjadi sangat relevan, karena Ummu Jamil adalah pengikut terdekat dan paling setia dalam kejahatan Abu Lahab.
Ayat 2 Surah Al Lahab secara implisit mendorong konsep qana'ah (kepuasan diri dengan apa yang ada) yang merupakan lawan spiritual dari ambisi tak terbatas Abu Lahab terhadap harta dan kekuasaan. Abu Lahab menggunakan kekayaannya untuk mengejar kepuasan duniawi yang tak pernah usai dan untuk menindas.
Jika kekayaan yang melimpah tidak dapat menyelamatkan seseorang, maka kejayaan sejati terletak pada kekayaan batin dan ketenangan jiwa yang berasal dari kepuasan terhadap rezeki Allah, berapapun jumlahnya. Qana'ah memastikan bahwa seorang Muslim tidak akan pernah bergantung secara spiritual pada māluhu dan mā kasab-nya, melainkan hanya pada Allah, menjadikan harta sebagai alat bantu, bukan tujuan akhir. Ini adalah pertahanan spiritual terhadap penyakit materialisme yang menjadi kehancuran bagi Abu Lahab.
Kegagalan total kekayaan Abu Lahab untuk memberikan ghina (kecukupan) di hadapan Tuhan menjadi bukti terkuat bahwa sumber ghina sejati adalah iman. Orang-orang mukmin yang miskin di Makkah memiliki ghina spiritual yang absolut, sementara Abu Lahab yang kaya raya sesungguhnya adalah fakir secara spiritual, dan karenanya, hartanya tidak berguna baginya.
Keseluruhan analisis ini menegaskan kembali bahwa Surah Al Lahab Ayat 2 adalah pondasi penting dalam ajaran Islam tentang nilai-nilai abadi versus nilai-nilai sementara. Ini adalah penolakan terhadap pemujaan materi, penegasan kedaulatan Tuhan atas takdir manusia, dan janji keadilan bagi mereka yang ditindas oleh kekuasaan dan kekayaan yang zalim.