Kaligrafi Surah Al-Lahab
Studi tentang Al-Qur’an memerlukan pemahaman yang komprehensif mengenai konteks turunnya setiap wahyu. Salah satu aspek fundamental dalam Ulumul Qur’an (ilmu-ilmu Al-Qur’an) adalah klasifikasi surah berdasarkan tempat dan waktu pewahyuannya, yang dikenal sebagai pembagian antara Makkiyah (Makkah) dan Madaniyah (Madinah).
Pertanyaan kunci yang sering diajukan oleh para penstudi Al-Qur’an adalah: Surah Al-Lahab termasuk golongan surah apa? Jawaban yang disepakati secara mutlak oleh mayoritas ulama tafsir dan Ulumul Qur’an adalah bahwa Surah Al-Lahab (juga dikenal sebagai Surah Al-Masad) termasuk dalam golongan Surah Makkiyah.
Pengukuhan status Makkiyah ini didasarkan pada serangkaian bukti kuat yang mencakup konteks historis spesifik, karakteristik tematik internal, dan gaya bahasa retorika yang khas. Klasifikasi ini bukan sekadar label, melainkan kunci untuk memahami pesan, urgensi, dan latar belakang pertentangan ideologis yang dihadapi Rasulullah ﷺ pada fase awal dakwah beliau.
Dalam analisis ini, kita akan menjelajahi secara rinci kriteria-kriteria yang digunakan untuk mengklasifikasikan Surah Al-Lahab sebagai Makkiyah, membongkar setiap lapisan argumen untuk memberikan pemahaman yang utuh dan menyeluruh, melebihi sekadar pengakuan superfisial. Surah ini, meskipun pendek, menyimpan intensitas polemik yang sangat tinggi, yang hanya mungkin terjadi pada tahun-tahun pertama kenabian di Makkah.
Untuk memahami mengapa Al-Lahab diklasifikasikan sebagai Makkiyah, kita harus terlebih dahulu menetapkan definisi dan kriteria yang digunakan oleh para ulama. Terdapat tiga pendekatan utama dalam definisi Makkiyah:
Definisi yang paling diterima adalah bahwa Surah Makkiyah adalah semua surah yang diturunkan sebelum peristiwa Hijrah Nabi Muhammad ﷺ dari Makkah ke Madinah, terlepas dari lokasi geografis spesifik pewahyuannya (bisa jadi di padang pasir dalam perjalanan, asalkan sebelum Hijrah). Surah Madaniyah adalah yang diturunkan setelah Hijrah.
Al-Lahab secara definitif memenuhi kriteria waktu ini karena peristiwa yang melatarbelakangi pewahyuannya terjadi sangat awal, pada saat Nabi ﷺ baru memulai dakwah secara terbuka kepada kaumnya di Makkah. Ini adalah fase ketika struktur masyarakat Islam belum terbentuk, dan konflik bersifat personal serta ideologis murni.
Definisi ini menyatakan Makkiyah adalah surah yang diturunkan di Makkah dan sekitarnya (Arafah, Mina, Hudaibiyah), sedangkan Madaniyah diturunkan di Madinah dan sekitarnya. Meskipun Surah Al-Lahab diturunkan di Makkah, ulama lebih memilih kriteria waktu karena ada beberapa surah yang diturunkan di Makkah (misalnya, selama Fathu Makkah, Penaklukan Makkah) tetapi dikategorikan sebagai Madaniyah karena terjadi setelah Hijrah.
Definisi ini melihat kepada audiens utama. Makkiyah seringkali ditujukan kepada penduduk Makkah dan kaum musyrikin Quraisy. Sementara Madaniyah seringkali ditujukan kepada Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) atau mengatur urusan internal komunitas Muslim (hukum, syariat). Surah Al-Lahab jelas ditujukan kepada musyrikin Quraisy yang menentang, khususnya Abu Lahab.
Kombinasi dari kriteria waktu dan tematik ini memberikan landasan kuat bagi penetapan Surah Al-Lahab sebagai salah satu naskah paling awal dari periode Makkah.
Bukti paling meyakinkan bahwa Al-Lahab adalah Makkiyah berasal dari riwayat otentik yang menjelaskan momen penurunan surah ini. Kisah ini terkait erat dengan fase awal Nabi ﷺ memulai dakwah publik, yang merupakan penanda khas periode Makkah.
Menurut riwayat yang shahih, khususnya yang dicatat oleh Imam Bukhari dan Muslim, Surah Al-Lahab diwahyukan setelah Nabi Muhammad ﷺ menerima perintah untuk memperingatkan kerabat terdekatnya. Beliau naik ke Bukit Safa, bukit tertinggi di Makkah, dan memanggil kabilah-kabilah Quraisy. Ini adalah momen formal pertama dakwah terbuka setelah bertahun-tahun dakwah rahasia.
Ketika semua kabilah berkumpul, Nabi ﷺ bertanya, "Bagaimana jika aku memberitahu kalian bahwa di lembah sana ada pasukan berkuda yang siap menyerang kalian, apakah kalian akan percaya padaku?" Mereka menjawab serempak, "Ya, kami belum pernah mendengar kebohongan darimu." Kemudian Nabi ﷺ berseru, "Aku adalah pemberi peringatan bagi kalian akan siksa yang pedih."
Reaksi seketika datang dari pamannya sendiri, Abdul Uzza bin Abdul Muttalib, yang dikenal dengan julukan Abu Lahab (Bapak Api yang Menyala). Dengan penuh amarah, Abu Lahab berseru:
تَبًّا لَكَ أَلِهَذَا جَمَعْتَنَا
“Celakalah engkau! Apakah hanya untuk ini engkau mengumpulkan kami?”
Seketika itu juga, sebagai respons langsung dan penghinaan yang dilakukan oleh kerabat terdekat Nabi ﷺ di hadapan umum, wahyu Surah Al-Lahab turun.
تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa.” (QS. Al-Lahab: 1)
Implikasi Kronologis: Peristiwa Bukit Safa terjadi jauh sebelum Hijrah. Ini menandai permulaan konfrontasi langsung, sebuah ciri khas fase Makkah. Jika Surah ini diturunkan di Madinah, konflik semacam itu akan berpusat pada Ahli Kitab atau hipokrit (munafikin), bukan pada penentangan terang-terangan dari paman Nabi sendiri.
Meskipun susunan mushaf (tertib tilawah) tidak sama dengan urutan pewahyuan (tertib nuzuli), penempatan Al-Lahab di akhir juz 'Amma (Juz 30) adalah tipikal surah-surah pendek Makkiyah yang diturunkan pada periode awal. Surah-surah yang lebih panjang dan mengatur hukum biasanya diletakkan di bagian depan Al-Qur'an, yang umumnya adalah surah Madaniyah.
Karakteristik internal Surah Al-Lahab, baik dari segi tema maupun gaya bahasa, sepenuhnya sejalan dengan ciri-ciri umum yang dimiliki oleh surah-surah Makkiyah lainnya.
Surah Makkiyah dominan membahas tiga hal: keesaan Allah (Tauhid), kenabian, dan Hari Akhir (Azab dan Pahala). Hukum-hukum sosial dan sipil (seperti warisan, utang-piutang, zina) yang menjadi ciri Madaniyah, hampir tidak pernah ditemukan di surah Makkiyah pendek.
Surah Makkiyah cenderung memiliki ayat-ayat yang pendek, padat, dan ritmis, yang bertujuan untuk memukau dan menyentuh hati audiens yang resisten. Gaya bahasa ini sangat kontras dengan surah Madaniyah yang cenderung panjang, terperinci, dan prosais (penjelasan hukum).
Ayat-ayat Al-Lahab, yang hanya terdiri dari lima baris pendek, memiliki ritme yang kuat dan repetitif (seperti wama kasab, wa tab, fil masad). Ritme ini sesuai untuk dibacakan di tengah pertentangan dan untuk memberikan dampak segera.
Banyak surah Makkiyah awal menggunakan sumpah (qasam) atau pernyataan tegas yang langsung menghantam lawan. Meskipun Al-Lahab tidak menggunakan sumpah kosmik (seperti dalam Ad-Dhuha atau At-Tin), ia menggunakan bentuk kutukan dan kepastian azab yang sangat langsung: "Tabbat yada Abi Lahab" (Binasalah kedua tangan Abu Lahab).
Kekuatan prediksi dalam surah ini—yaitu keniscayaan nasib buruk Abu Lahab—juga merupakan bentuk mukjizat yang berfungsi untuk menguatkan Nabi ﷺ dan meruntuhkan moral musuh di fase Makkah.
Secara umum, surah Makkiyah sering menggunakan seruan universal, seperti 'Ya Ayyuhannas' (Wahai Manusia) atau seruan kepada kaum musyrikin. Sebaliknya, surah Madaniyah sering menggunakan 'Ya Ayyuhalladzina Amanu' (Wahai Orang-orang yang Beriman) karena telah terbentuk komunitas Muslim yang terstruktur. Meskipun Surah Al-Lahab sangat spesifik menarget Abu Lahab, tujuannya adalah menyampaikan pesan universal tentang konsekuensi penolakan kenabian.
Tidak ada perbedaan pendapat yang substansial di kalangan ulama tafsir mengenai status Surah Al-Lahab. Konsensus ini adalah salah satu yang paling stabil dalam Ulumul Qur’an.
Ulama besar dalam Ulumul Qur'an, seperti Imam Jalaluddin As-Suyuti dalam kitabnya Al-Itqan fi Ulumil Qur’an, dan Imam Az-Zarkasyi dalam Al-Burhan fi Ulumil Qur’an, menyusun daftar surah Makkiyah dan Madaniyah. Dalam semua daftar tersebut, Surah Al-Lahab selalu dicantumkan dalam kategori Makkiyah.
As-Suyuti menekankan bahwa surah yang diturunkan sebagai respons langsung terhadap penentangan terbuka Quraisy pada masa-masa awal, seperti Al-Lahab dan Al-Kafirun, adalah indikator paling jelas dari periode Makkiyah. Pertentangan antara Nabi dan pamannya merupakan simbol perpecahan ideologis paling dini di tubuh masyarakat Quraisy.
Mufassir modern, seperti Sayyid Qutb dalam Fi Zilalil Qur’an, juga menempatkan Surah Al-Lahab dalam konteks Makkah. Qutb menyoroti bahwa intensitas dan kegarangan bahasa surah ini mencerminkan suasana ketegangan emosional dan spiritual yang tinggi, tipikal bagi periode di mana Nabi ﷺ dan segelintir pengikutnya berjuang tanpa perlindungan sosial yang kuat.
Ini adalah periode di mana kekuasaan dan kekayaan (yang dimiliki oleh Abu Lahab dan istrinya) menjadi senjata utama melawan dakwah, dan surah ini datang untuk menafikan kegunaan kekayaan tersebut (Maa aghnaa ‘anhu maaluhuu wa maa kasab – Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang ia usahakan).
Klasifikasi Makkiyah Surah Al-Lahab juga menegaskan salah satu fungsi kenabian, yaitu prediksi masa depan (ghaib). Surah ini meramalkan nasib buruk Abu Lahab di dunia dan akhirat, dan Abu Lahab hidup selama beberapa tahun setelah surah ini diwahyukan, tetapi tidak pernah mengucapkan syahadat, membenarkan ramalan Al-Qur'an. Kemampuan untuk meramalkan nasib individual musuh utama adalah ciri khas yang bertujuan untuk mengokohkan kebenaran wahyu di mata para pengikut pada periode pengujian yang berat di Makkah.
Untuk lebih menggarisbawahi mengapa Surah Al-Lahab adalah Makkiyah, sangat berguna untuk membandingkannya dengan karakteristik utama Surah Madaniyah.
Surah Madaniyah sangat sarat dengan penetapan hukum, seperti hukum riba (Al-Baqarah), aturan puasa (Al-Baqarah), hukum pernikahan dan perceraian (An-Nisa, At-Talaq), dan hukum jihad (Al-Anfal, At-Taubah). Surah-surah ini bertujuan untuk mengatur komunitas yang sudah mapan (ummah).
Al-Lahab, di sisi lain, murni merupakan deklarasi teologis dan konfrontasi personal-ideologis, tanpa elemen legislasi sosial sama sekali. Ini menunjukkan bahwa ia berasal dari periode pra-institusional Islam.
Di Madinah, tantangan utama Nabi ﷺ bukan lagi musyrikin yang menyembah berhala secara terbuka, tetapi kaum munafik yang menyembunyikan kekafiran (yang mendominasi paruh kedua Surah Al-Baqarah dan Surah At-Taubah), serta polemik teologis dengan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani). Di Makkah, konflik adalah perang terbuka melawan politeisme klan Quraisy.
Al-Lahab adalah cerminan sempurna dari konflik Makkah: ia langsung menyerang seorang tokoh penting musyrik Quraisy yang menentang Nabi secara publik dan terbuka.
Surah Madaniyah, seperti Al-Baqarah dan Ali Imran, memiliki ayat-ayat yang sangat panjang, kadang-kadang memerlukan setengah halaman untuk menjelaskan satu hukum, seperti Ayat Utang (Ayat 282 Al-Baqarah). Surah Makkiyah, termasuk Al-Lahab, sangat ringkas, padat, dan puitis, menjadikannya mudah dihafal dan diucapkan di tengah situasi genting.
Untuk mencapai kedalaman pemahaman yang dibutuhkan, kita harus menganalisis bagaimana setiap ayat (total lima ayat) Surah Al-Lahab secara intrinsik mencerminkan ciri Makkiyah.
(Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sungguh dia akan binasa.)
Ayat pembuka ini adalah bentuk kutukan yang sangat tajam. Penggunaan nama pribadi musuh (Abu Lahab) secara langsung adalah karakteristik Makkiyah yang sangat jarang terjadi. Dalam surah Madaniyah, ketika Al-Qur'an menyerang individu, biasanya menggunakan kiasan atau status (misalnya, "orang-orang munafik" atau "orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit"). Penamaan langsung ini menunjukkan betapa personalnya konflik di Makkah. Frase ini menetapkan tema utama Makkiyah: kebenaran akan menang atas tiran individu, tidak peduli ikatan kekeluargaan.
(Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan.)
Ayat ini menyerang fondasi kepercayaan masyarakat Quraisy Makkah: Materialisme dan kebanggaan klan. Masyarakat Makkah sangat mengandalkan kekayaan dan pengaruh klan untuk keselamatan dan martabat. Dengan tegas menyatakan bahwa harta dan usaha Abu Lahab (kekuatan ekonominya dan keturunannya) tidak akan menyelamatkannya dari azab, Al-Qur'an menghancurkan ilusi kekuatan duniawi. Penolakan terhadap kekuasaan materiil dan penekanan pada kekuatan spiritual adalah esensi dakwah Makkah.
(Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak.)
Ini adalah pernyataan tegas mengenai Hari Akhir, topik utama Makkiyah. Penggunaan kata kerja di masa depan (sayasla, kelak dia akan masuk) adalah prediksi yang memberikan kepastian eskatologis. Penggunaan kata 'Lahab' (nyala api) yang merujuk pada julukan Abu Lahab sendiri adalah ironi retorika yang kuat, sangat khas gaya puitis Makkiyah.
(Dan (begitu juga) istrinya, pembawa kayu bakar.)
Penyertaan istri Abu Lahab, Ummu Jamil (Arwa binti Harb), menunjukkan betapa sistematisnya penentangan terhadap Nabi ﷺ. Ummu Jamil terkenal karena menaruh duri dan kotoran di jalan Nabi. Ayat ini mengaitkan hukuman akhirat dengan tindakan duniawi, di mana ia akan menjadi 'pembawa kayu bakar' neraka—sebuah hukuman yang sesuai dengan 'kejahatan' duniawinya. Tema pertanggungjawaban individu dan pasangan dalam kejahatan adalah sub-tema Makkiyah yang mendukung prinsip pertanggungjawaban universal.
(Di lehernya ada tali dari sabut.)
Ayat penutup ini memberikan gambaran visual yang mengerikan tentang hukuman bagi Ummu Jamil. Tali sabut (masad) melambangkan kehinaan dan kesengsaraan. Gambaran yang dramatis dan visual ini adalah alat retorika Makkah untuk menciptakan dampak emosional yang mendalam dan memperkuat keyakinan akan keadilan ilahi di hadapan kekejaman Quraisy.
Dengan melihat analisis ayat per ayat, terbukti bahwa keseluruhan Surah Al-Lahab, dari struktur hingga konten, adalah dokumen historis dan teologis yang berasal dari masa krisis dan konfrontasi Makkah yang paling awal.
Penentuan Surah Al-Lahab sebagai Makkiyah tidak hanya didasarkan pada peristiwa tunggal Bukit Safa, tetapi juga pada pemahaman komprehensif mengenai evolusi dakwah. Kronologi wahyu sangat vital dalam Ulumul Qur’an karena membantu kita memahami bagaimana ajaran Islam diungkapkan secara bertahap (tadrij).
Periode Makkah terbagi menjadi tiga fase: awal (dakwah rahasia), tengah (dakwah terbuka dengan eskalasi konflik), dan akhir (penyiksaan dan persiapan Hijrah). Surah Al-Lahab secara tegas berada di fase Makkah Tengah Awal, setelah Nabi ﷺ diperintahkan untuk berdakwah secara terbuka. Surah-surah pada fase ini memiliki tugas utama:
Al-Lahab menjalankan ketiga fungsi tersebut dengan sempurna. Ia menguatkan Nabi dengan menjamin kebinasaan musuh, menghancurkan status sosial Abu Lahab, dan memberikan peringatan keras tentang api neraka. Sifatnya yang defensif dan konfrontatif langsung menempatkannya jauh sebelum kebutuhan legislasi Madaniyah.
Perhatikan bahasa Makkiyah yang sangat berbeda dari Madaniyah. Bahasa Madaniyah cenderung legalistik dan bersifat instruktif, menggunakan istilah-istilah hukum yang presisi. Bahasa Makkiyah, seperti yang ditemukan di Al-Lahab, sangat persuasif, menggunakan perumpamaan (seperti tali sabut), rima yang kuat, dan ancaman yang metaforis namun lugas.
Seorang penafsir modern, Dr. Fadhil Shalih As-Samara’i, menjelaskan bahwa surah Makkiyah harus memiliki kekuatan retorika yang luar biasa untuk menembus hati masyarakat Arab yang sangat menghargai puisi dan kefasihan. Al-Lahab, dengan rima akhir -ab dan -ad yang kuat, mencapai kefasihan retorika ini, menegaskan kembali posisinya dalam warisan sastra Makkah.
Jika Surah Al-Lahab diturunkan di Madinah, gayanya kemungkinan besar akan lebih bersifat instruktif mengenai cara menghadapi musuh internal (munafikin) atau eksternal (kaum musyrikin yang tersisa), dan bukan hanya berupa deklarasi kehinaan yang bersifat pribadi dan eskatologis.
Pemilihan nama ‘Abu Lahab’ (Bapak Api) dalam surah ini sangat signifikan dalam konteks Makkah. Julukan ini mengacu pada wajahnya yang cerah dan berseri. Al-Qur'an mengambil julukan yang seharusnya positif dan membalikkannya menjadi kutukan, meramalkan bahwa ia akan menjadi bapak api neraka. Penggunaan permainan kata yang cerdik dan tajam seperti ini adalah alat polemik Makkiyah yang bertujuan untuk mempermalukan dan mengalahkan lawan secara intelektual dan verbal di mata publik Quraisy.
Penting untuk dipahami bahwa konfrontasi di Makkah seringkali adalah konfrontasi kehormatan (syaraf). Dengan menurunkan surah yang secara permanen menempelkan gelar 'celaka' kepada paman Nabi, Surah Al-Lahab adalah pukulan telak terhadap struktur kehormatan klan Quraisy, yang sangat tidak mungkin dilakukan dalam fase Madinah yang lebih berorientasi pada pembangunan negara.
Klasifikasi Surah Al-Lahab sebagai Makkiyah membawa implikasi teologis yang mendalam, terutama terkait dengan konsep wala’ (loyalitas) dan bara’ (berlepas diri) dalam Islam.
Surah ini diturunkan untuk memutus ikatan darah (paman-keponakan) demi ikatan akidah. Di Makkah, ikatan kekeluargaan dan klan adalah segalanya. Surah Al-Lahab mengajarkan kepada para sahabat awal bahwa loyalitas utama harus kepada Allah dan Rasul-Nya, bahkan jika itu berarti mengutuk anggota keluarga terdekat. Pelajaran ini adalah fundamental bagi pembentukan identitas Muslim yang mandiri, sebuah proses yang dimulai di Makkah.
Jika ini adalah surah Madaniyah, pesan ini akan kurang mendesak, karena di Madinah umat Islam sudah hidup dalam struktur sosial mereka sendiri. Di Makkah, kebutuhan untuk memisahkan diri dari jaringan klan yang menentang adalah prioritas utama untuk bertahan hidup secara spiritual dan ideologis.
Sebagai surah Makkiyah, ia berfungsi sebagai bukti kenabian (Nubuwwah). Ramalan pasti mengenai nasib Abu Lahab (bahwa dia tidak akan pernah beriman) adalah mukjizat yang terjadi secara harfiah. Selama bertahun-tahun setelah wahyu turun, Abu Lahab memiliki setiap kesempatan untuk membuktikan Al-Qur’an salah dengan cara bersyahadat, namun dia tidak pernah melakukannya.
Bukti profetik semacam ini sangat vital di Makkah, ketika Nabi ﷺ sedang membangun kredibilitasnya melawan cemoohan Quraisy. Di Madinah, mukjizat lebih sering datang dalam bentuk kemenangan militer atau jawaban atas pertanyaan hukum, bukan hanya prediksi personal yang tegas.
Penyertaan Ummu Jamil (istri Abu Lahab) dalam Surah Al-Lahab juga merupakan ciri yang kuat dari konfrontasi Makkah. Dalam periode ini, tokoh-tokoh kunci dari kedua sisi, baik pria maupun wanita (seperti Khadijah di pihak Muslim, dan Ummu Jamil di pihak musuh), memegang peran yang sangat vokal dalam pertarungan ideologi. Ummu Jamil, dengan perannya sebagai penyebar fitnah dan penyiksa praktis, menunjukkan bahwa penentangan terhadap dakwah tidak hanya dilakukan oleh tokoh laki-laki Quraisy. Gaya Makkiyah menangani seluruh struktur kekuasaan dan oposisi klan.
Oleh karena itu, Surah Al-Lahab adalah salah satu surah Makkiyah yang paling ikonik. Ia tidak hanya memenuhi kriteria teknis, tetapi juga secara sempurna menangkap semangat, ketegangan, dan kebutuhan teologis periode paling awal dan paling sulit dalam sejarah Islam.
Setiap detail, mulai dari kejelasan nama tokoh hingga kekejaman retorika ancamannya, berfungsi untuk mengukuhkan statusnya sebagai Makkiyah, sebuah dokumen perlawanan ideologis yang turun di tengah gejolak Makkah. Para ulama tidak pernah ragu dalam penetapan ini, karena bukti historis yang mengikatkannya pada peristiwa Bukit Safa sangatlah kuat dan tidak terbantahkan oleh riwayat manapun.
Keseluruhan analisis ini menegaskan kembali bahwa Surah Al-Lahab termasuk golongan Surah Makkiyah. Penetapan ini adalah hasil dari sinkronisasi sempurna antara konteks sejarah (peristiwa Bukit Safa sebelum Hijrah), tema utama (Tauhid, ancaman Hari Akhir, penolakan materialisme), dan gaya bahasa (pendek, ritmis, konfrontatif langsung). Surah ini berdiri sebagai pengingat abadi akan biaya yang harus dibayar untuk mempertahankan kebenaran di hadapan penentangan klan.
Pengulangan konsep kebinasaan (tabbat) di ayat pertama berfungsi sebagai penekanan yang dramatis. Dalam kajian linguistik Arab kuno, pengulangan semacam ini lazim digunakan dalam puisi dan pidato yang bertujuan untuk memberikan pukulan psikologis yang kuat. Hal ini berbeda dengan struktur Madaniyah yang lebih cenderung kepada klarifikasi hukum melalui pengulangan aturan. Di Makkah, tujuannya adalah memecah kekuasaan psikologis musuh, dan Al-Lahab adalah masterclass dalam strategi tersebut.
Juga, Surah ini tidak hanya mengancam Abu Lahab dengan neraka, tetapi menghubungkan hukuman fisik di neraka (diikat dengan tali sabut) dengan tindakan fisik di dunia (membawa kayu bakar/duri). Keterkaitan langsung antara kejahatan dan hukuman yang bersifat konkret ini adalah metode Makkiyah untuk membuat ancaman azab menjadi nyata dan dapat dibayangkan oleh masyarakat Badui yang pragmatis. Di Madinah, ancaman azab seringkali lebih berorientasi pada hukuman sosial atau spiritual bagi kaum munafikin.
Oleh karena itu, dari setiap sudut pandang—historis, retoris, dan teologis—Surah Al-Lahab adalah representasi sempurna dari fase Makkah yang penuh pergolakan dan konfrontasi ideologis yang tajam, jauh sebelum komunitas Islam memiliki kekuatan politik dan hukum di Madinah.
Penelitian oleh banyak ahli, termasuk Nöldeke dan Hirschfeld yang melakukan kajian kronologi Al-Qur'an (meskipun dari perspektif Orientalis), juga secara umum menempatkan Surah Al-Lahab pada periode paling awal pewahyuan karena gaya sastranya yang dianggap paling primitif dan langsung. Meskipun kita mengandalkan metodologi Islam (riwayat Asbabun Nuzul), konfirmasi gaya sastra dari analisis luar menambah bobot pada kesimpulan bahwa surah ini berada di antara yang pertama diturunkan.
Fakta bahwa tidak ada satu pun riwayat yang shahih atau setidaknya hasan yang menyiratkan bahwa Surah Al-Lahab diturunkan setelah Hijrah adalah bukti negatif yang sangat kuat. Tidak adanya keraguan di antara para sahabat dan tabi'in mengenai konteks penurunan Bukit Safa menjadikan Al-Lahab sebagai salah satu surah yang klasifikasi Makkiyahnya paling pasti dalam Al-Qur'an.
Kedalaman analisis ini membuktikan bahwa klasifikasi Makkiyah bagi Surah Al-Lahab bukanlah sekadar pengelompokan yang dangkal, melainkan kesimpulan yang tak terhindarkan berdasarkan data tekstual dan historis yang kaya. Memahami surah ini sebagai Makkiyah sangat krusial, sebab ia membentuk pemahaman kita tentang bagaimana Islam menangani ancaman internal (keluarga yang menentang) di masa-masa paling rentan.
Surah ini, pendek namun memiliki dampak seismik pada struktur sosial Makkah, menjadi pelajaran abadi bahwa kebenaran akidah lebih utama dari semua ikatan duniawi, sebuah pesan yang sangat diperlukan pada fase Makkah, saat kaum Muslimin berjuang menemukan identitas mereka di bawah tekanan yang luar biasa.
Pendekatan komprehensif ini, yang melibatkan penggabungan ilmu Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya ayat), ilmu Balaghah (retorika), dan ilmu Fiqh Al-Sirah (pemahaman sejarah Nabi), secara kolektif dan tanpa pengecualian menunjuk kepada satu kesimpulan: Surah Al-Lahab termasuk golongan Surah Makkiyah, diturunkan di tengah-tengah konflik terbuka di Makkah, sebagai deklarasi kehinaan ilahi bagi musuh paling dekat Nabi Muhammad ﷺ.
Penegasan ini bersifat final dalam kajian Ulumul Qur’an. Tidak ada interpretasi alternatif yang kredibel yang dapat memindahkan surah ini ke periode Madinah. Sifat tematiknya, singkatnya ayat-ayat, gaya retorika yang berapi-api dan berisi sumpah serta ancaman eskatologis, serta catatan sejarah yang jelas mengenai turunnya surah ini pasca deklarasi di bukit Safa, semuanya menyatu menjadi bukti monolitik yang tak terbantahkan. Surah Al-Lahab adalah Makkiyah sejati, sebuah pilar penting dalam memahami perjuangan awal Tauhid melawan kekuasaan dan materialisme Quraisy.
Setiap ayat Surah Al-Lahab dipenuhi dengan energi konfrontasi, energi yang hanya mungkin tercipta dalam atmosfer permusuhan personal dan teologis di Makkah. Kekuatan surah ini terletak pada kemampuannya untuk mengubah julukan kehormatan (Abu Lahab) menjadi label azab, mengikat nasib duniawi (harta yang tak berguna) dengan nasib akhirat (api yang menyala-nyala). Ini adalah ciri khas dakwah yang bertujuan untuk menghancurkan mitos kekebalan sosial yang dimiliki oleh elit Quraisy, terutama di tahun-tahun awal kenabian.
Analisis ini harus diperluas dengan mempertimbangkan kontribusi Surah Al-Lahab terhadap konsolidasi mental para sahabat. Di tengah penganiayaan, mereka membutuhkan janji yang konkrit tentang kemenangan Allah dan kehancuran musuh. Surah Al-Lahab memberikan janji tersebut, bukan dalam bentuk hukum (Madaniyah), tetapi dalam bentuk ramalan yang menguatkan iman, sebuah kebutuhan utama dalam periode Makkah.
Tidak mungkin membayangkan surah sepedas ini, yang menargetkan kerabat langsung Nabi, diturunkan di Madinah, di mana Nabi ﷺ telah menjadi kepala negara dan harus menjaga stabilitas politik yang lebih besar. Konteks Madinah menuntut pendekatan yang lebih diplomatis atau, jika berupa ancaman, diarahkan kepada kelompok yang terorganisir seperti munafikin atau musuh perang, bukan penghinaan pribadi dalam keluarga.
Oleh karena itu, kesimpulan bahwa Surah Al-Lahab adalah Makkiyah tidak hanya benar secara teknis, tetapi juga logis secara sosiologis dan teologis dalam kerangka sejarah pewahyuan Al-Qur'an.
Pentingnya Surah Al-Lahab dalam kronologi Makkah juga terletak pada statusnya sebagai 'surah balasan' yang cepat. Ini menunjukkan bahwa pertarungan antara kebenaran dan kepalsuan tidak akan ditunda, melainkan ditanggapi secara ilahi dengan kecepatan yang luar biasa. Respon cepat ini adalah ciri dari surah-surah awal yang diturunkan untuk mengatasi situasi krisis segera, memberikan dukungan moral instan kepada Nabi ﷺ dan pengikutnya yang sedang lemah.
Dalam ilmu Nasikh wa Mansukh (ayat yang menghapus dan dihapus), Surah Al-Lahab tidak pernah disinggung memiliki implikasi hukum yang dihapus atau menghapus, karena ia bersifat teologis-historis, bukan legislatif. Ini semakin memperkuat identitasnya sebagai Makkiyah, yang fungsinya adalah membangun fondasi keimanan dan bukan membangun kerangka hukum.
Secara ringkas, semua aspek studi Al-Qur'an, mulai dari riwayat Nuzul hingga analisis struktural dan tematik, memberikan dukungan yang tak terpecahkan bagi penetapan Surah Al-Lahab sebagai bagian integral dan fundamental dari periode wahyu Makkah.
Berdasarkan bukti-bukti historis, kronologis, tematik, dan linguistik yang telah diuraikan secara mendalam, Surah Al-Lahab (Surah Al-Masad) secara definitif dan mutlak termasuk golongan Surah Makkiyah.
Surah ini diwahyukan di Makkah, sebelum Hijrah, sebagai respons langsung terhadap penentangan terbuka yang dilakukan oleh paman Nabi, Abu Lahab, di Bukit Safa. Karakteristiknya—pendek, ritmis, fokus pada Tauhid dan Hari Akhir, serta menggarisbawahi kegagalan kekuatan material—sepenuhnya selaras dengan ciri-ciri Makkiyah. Surah Al-Lahab bukan hanya sebuah teks, tetapi sebuah dokumen sejarah yang mencatat salah satu momen paling dramatis dan menentukan dalam awal dakwah Islam.