Penafsiran Mendalam Surah Al-Lail Ayat 8: Jalan Menuju Kebaikan

Surah Al-Lail (Malam) adalah salah satu surah pendek Makkiyah yang memiliki pesan inti mengenai dikotomi fundamental dalam kehidupan manusia: antara jalan kebaikan yang mengarah pada kemudahan, dan jalan keburukan yang berujung pada kesulitan. Surah ini menggunakan sumpah-sumpah kosmik yang agung — demi malam, siang, dan penciptaan laki-laki dan perempuan — untuk menggarisbawahi kebenaran bahwa tindakan moral manusia terbagi menjadi dua kelompok yang jelas, masing-masing dengan takdirnya sendiri.

Di antara ayat-ayat yang paling penting dalam surah ini, yang berfungsi sebagai peringatan keras sekaligus deskripsi karakter, adalah ayat kedelapan. Ayat ini menggambarkan jenis manusia kedua yang tindakannya berlawanan dengan fitrah kemanusiaan yang luhur dan mengindikasikan kecenderungan spiritual yang berbahaya.

Teks dan Terjemahan Surah Al-Lail Ayat 8

وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَىٰ

Dan adapun orang-orang yang kikir dan merasa dirinya serba cukup (tidak memerlukan pertolongan Allah).

(QS. Al-Lail: 8)

Ayat ini berdiri sebagai antitesis langsung terhadap kelompok pertama (yang dibahas pada Ayat 5-7), yaitu mereka yang memberi (berinfak), bertakwa, dan membenarkan kebaikan. Ayat 8 memperkenalkan subjek yang menjadi fokus pembahasan selanjutnya, menjabarkan dua sifat utama yang saling terkait dan merusak: sifat kikir (bakhil) dan anggapan diri serba cukup (istaghna).

Ilustrasi Kontras Jalan Kebaikan dan Kesulitan Dua jalan yang kontras. Jalan terang menuju gerbang kemudahan, dan jalan gelap menuju penghalang. Mewakili kontras antara bakhil/istighna (Ayat 8) dan infak/takwa (Ayat 5). Istighna Kebaikan Pilihan Manusia Bakhil (Kikir) Memberi (Infak)

I. Analisis Linguistik dan Spiritual Kata Kunci

Untuk memahami kedalaman ayat ini, kita harus membedah dua kata kerja utama yang menjadi penentu karakter manusia yang celaka, yaitu bakhil dan istaghna. Kedua sifat ini, menurut para mufasir, bukanlah sekadar tindakan tunggal, melainkan merupakan kondisi hati yang kronis.

A. Pengertian Mendalam dari 'Bakhil' (بَخِلَ) - Kikir

Kata bakhil berasal dari akar kata ba-kha-la (ب خ ل) yang secara harfiah berarti menahan atau mencegah harta dari penggunaannya yang sah. Dalam konteks syariat dan moralitas Islam, bakhil jauh lebih luas daripada sekadar tidak mau bersedekah. Ia mencakup penahanan hak-hak yang seharusnya diberikan, baik kepada diri sendiri, keluarga, atau masyarakat, terutama hak Allah, yaitu zakat.

Namun, dalam pandangan spiritual, bakhil adalah penyakit jiwa yang mengikat manusia pada dunia material. Orang yang kikir tidak hanya takut kehilangan harta, tetapi juga menolak konsep bahwa harta adalah titipan dan bahwa pemberian adalah jalan untuk menyucikan jiwa dan melipatgandakan rezeki.

Terdapat beberapa tingkatan kekikiran yang dijelaskan oleh ulama:

  1. Bakhil Terhadap Kewajiban (Haqqullah): Kekikiran yang paling berbahaya, yaitu menahan zakat fitrah, zakat mal, atau kewajiban finansial lainnya yang telah ditetapkan oleh syariat. Ini adalah kekikiran yang secara eksplisit melanggar rukun Islam dan membawa konsekuensi berat di akhirat.
  2. Bakhil Terhadap Sunnah (Sadaqah): Menahan diri dari infak yang dianjurkan (sunnah) meskipun memiliki kemampuan berlebih. Kekikiran ini menghalangi peluang pertumbuhan spiritual dan sosial.
  3. Bakhil Terhadap Non-Materi: Kekikiran dalam hal waktu, tenaga, ilmu, atau nasihat. Orang yang enggan berbagi pengalaman atau pengetahuan demi kemaslahatan umum juga tergolong dalam makna luas bakhil, karena mereka menahan karunia yang seharusnya disalurkan.

Ibn Qayyim Al-Jauziyyah menekankan bahwa bakhil adalah penyakit hati yang menyebabkan jiwanya terasa sempit, berlawanan dengan jiwa orang dermawan yang lapang dan damai. Kekikiran bukan hanya berdampak pada orang lain, tetapi pertama-tama meracuni pemiliknya.

B. Pengertian Mendalam dari 'Istaghna' (وَاسْتَغْنَىٰ) - Merasa Cukup

Kata istaghna berasal dari akar kata gh-n-y (غ ن ي), yang berarti kaya, berkecukupan, atau tidak membutuhkan. Ketika digunakan dalam bentuk istaf'ala (membuat diri menjadi), istaghna memiliki arti "merasa dirinya kaya," "merasa mandiri," atau "menganggap diri tidak membutuhkan pihak lain, termasuk Allah SWT."

Ini adalah poin yang sangat kritis. Istaghna yang dimaksud di sini bukanlah sekadar memiliki harta, tetapi memiliki sikap mental dan spiritual bahwa kesuksesan yang ia raih semata-mata berasal dari usahanya sendiri, sehingga ia tidak merasa perlu untuk berterima kasih atau meminta bantuan kepada Yang Maha Pemberi Rezeki. Sikap ini memunculkan arogansi spiritual.

Dalam konteks Ayat 8, istaghna adalah pondasi filosofis yang melahirkan bakhil. Seseorang menjadi kikir karena dia berpikir: "Harta ini milikku sepenuhnya, aku yang bekerja keras mendapatkannya, dan aku tidak berutang kepada siapa pun, apalagi kepada Tuhan yang tidak aku butuhkan."

Sikap Istaghna adalah manifestasi dari penolakan terhadap konsep tawakkal (ketergantungan pada Allah) dan syukur (bersyukur). Ini adalah puncak dari ego yang menganggap dirinya sebagai sumber kekuatannya sendiri, padahal segala kekayaan dan kemampuan adalah pinjaman sementara.

Mufasir modern seperti Sayyid Qutb menyoroti bahwa istaghna bukan hanya berarti kaya secara finansial, tetapi kaya secara ruhani—dalam arti yang negatif. Ia merasa tidak membutuhkan rahmat, ampunan, atau bahkan petunjuk Allah. Ia menutup dirinya dari kebenaran dan nasehat, karena menganggap dirinya sudah mencapai kebijaksanaan tertinggi di dunia.

II. Keterkaitan Psikologis Antara Bakhil dan Istighna

Ayat 8 menggabungkan kedua sifat ini karena keduanya adalah dua sisi dari mata uang spiritual yang sama. Kikir adalah manifestasi eksternal (tindakan), sedangkan perasaan cukup diri adalah motivasi internal (keyakinan). Tidak mungkin seseorang secara konsisten kikir jika hatinya mengakui ketergantungan mutlak pada Allah (iftiqar ilallah).

A. Siklus Negatif Kekikiran

Ketika seseorang mulai merasa cukup (istaghna), ia berhenti melihat dirinya sebagai penerima rahmat. Akibatnya, ia berhenti memberi. Lingkaran setan ini bekerja sebagai berikut:

Oleh karena itu, ayat ini tidak hanya mencela kemiskinan moral akibat kikir, tetapi juga penyakit spiritual yang lebih berbahaya, yaitu lupa diri dan sombong di hadapan Tuhan. Kikir hanyalah buah pahit dari kesombongan hati.

B. Perbandingan dengan Kelompok Pertama (Ayat 5-7)

Kontras yang ditawarkan oleh Surah Al-Lail sangat tajam. Kelompok pertama:

  1. Memberi (A'tha): Mengakui bahwa harta itu berasal dari Allah dan harus disalurkan.
  2. Bertakwa (Wattaqa): Takut kepada Allah, yang merupakan lawan dari merasa cukup diri.
  3. Membenarkan Kebaikan (Shaddaqa bil-Husna): Percaya pada janji pahala dan kemudahan dari Allah.

Kelompok kedua (Ayat 8-10):

  1. Kikir (Bakhil): Menahan harta karena ketakutan dan klaim kepemilikan.
  2. Merasa Cukup (Istaghna): Menganggap dirinya independen dari rahmat Ilahi (lawan dari takwa).
  3. Mendustakan Kebaikan (Kaddzaba bil-Husna): Menolak janji pahala dan ancaman hukuman. (Disinggung dalam Ayat 9).

Al-Qurtubi menjelaskan bahwa 'Al-Husna' (Kebaikan) yang disebutkan dalam surah ini dapat diartikan sebagai kalimat tauhid (Laa Ilaaha Illallah), surga, atau pahala. Kelompok kikir dan sombong (Ayat 8) secara implisit mendustakan janji Kebaikan tersebut, karena jika mereka benar-benar percaya pada ganjaran yang kekal, mereka tidak akan pernah kikir terhadap harta yang fana.

III. Konsekuensi dan Balasan Ilahi

Setelah menjabarkan karakteristik orang-orang yang kikir dan sombong, Surah Al-Lail melanjutkan dengan menguraikan konsekuensi yang pasti mereka hadapi (Ayat 9 dan 10), yaitu menyiapkan mereka untuk jalan yang sulit (al-usra) dan memasukkan mereka ke dalam api yang bergejolak (neraka).

A. Konsekuensi Duniawi: Persiapan Jalan yang Sukar

Allah berfirman (di ayat selanjutnya): فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَىٰ (Maka Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar/sulit). Ini adalah balasan yang setara (jaza'an wifaqan). Karena kelompok ini memilih jalan kesulitan dan kesempitan dalam hati mereka (dengan kikir dan sombong), Allah membiarkan mereka dalam kesulitan tersebut, baik di dunia maupun di akhirat.

Jalan yang sukar ini dapat diinterpretasikan dalam berbagai dimensi:

Para mufasir menekankan bahwa ini adalah hukum kausalitas spiritual. Ketika seorang hamba memilih untuk menggunakan karunia Allah hanya untuk dirinya sendiri (Istaghna) dan menahan hak orang lain (Bakhil), ia sedang membangun jeruji penjara di sekeliling hatinya sendiri. Allah hanya membiarkan ia berjalan di jalan yang telah ia pilih dengan kehendak bebasnya.

B. Api Neraka sebagai Puncak Kesulitan

Puncak dari kesulitan (al-usra) adalah hukuman di akhirat. Ayat 10 menegaskan bahwa ia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (neraka). Neraka adalah balasan final bagi mereka yang mengabaikan panggilan kedermawanan dan memilih kesombongan spiritual.

Hal ini mengajarkan bahwa kekikiran, yang mungkin dianggap sebagai dosa kecil di mata dunia, memiliki akar yang dalam dalam penolakan terhadap Tauhid dan kebenaran. Orang yang kikir, pada dasarnya, gagal dalam ujian kepemilikan. Ia gagal melihat Allah sebagai Pemilik mutlak, dan kegagalan ini berujung pada penderitaan kekal.

IV. Bakhil dan Istighna dalam Perspektif Fiqh dan Etika Sosial

Ajaran mengenai kikir dan sikap merasa cukup memiliki implikasi praktis yang mendalam dalam tata kelola sosial dan ekonomi Islam.

A. Menahan Zakat: Kikir yang Paling Berbahaya

Dalam fiqh, kekikiran yang paling fatal adalah menahan zakat yang wajib. Zakat adalah hak fakir miskin yang dititipkan melalui tangan orang kaya. Ketika seseorang *bakhil* terhadap zakat, ia tidak hanya melakukan dosa moral, tetapi juga melakukan ketidakadilan struktural.

Mufasir kontemporer sering menghubungkan *istaghna* dengan fenomena akumulasi kekayaan yang eksesif tanpa mempedulikan tanggung jawab sosial. Orang yang *istaghna* merasa bahwa pajak, zakat, atau sedekah adalah perampasan harta pribadinya, padahal dalam pandangan Islam, sebagian harta itu sejak awal sudah bukan miliknya.

Allah SWT memperingatkan dalam Surah At-Taubah tentang orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, bahwa mereka akan disiksa dengan harta itu sendiri pada hari kiamat. Ini adalah visualisasi dari balasan bagi kekikiran (bakhil).

B. Etika Bisnis dan Istighna Modern

Dalam konteks modern, *istaghna* dapat dilihat dalam beberapa bentuk etika bisnis yang cacat:

  1. Kapitalisme Egois: Keyakinan bahwa satu-satunya tujuan bisnis adalah memaksimalkan keuntungan pemegang saham, tanpa tanggung jawab etis terhadap komunitas, lingkungan, atau pekerja yang membutuhkan. Ini adalah *istaghna* secara korporat.
  2. Penolakan Kontribusi Sosial: Pengusaha yang menolak program CSR (Corporate Social Responsibility) atau sumbangan filantropis, dengan dalih bahwa tugas mereka hanya mencari untung.
  3. Argoansi Kekayaan Digital: Merasa bahwa kekayaan yang dihasilkan dari teknologi atau inovasi sepenuhnya adalah kecerdasan pribadi, mengabaikan karunia akal dan kesempatan yang diberikan Ilahi.

Dengan demikian, Surah Al-Lail Ayat 8 memberikan prinsip panduan bagi etika ekonomi: kemakmuran harus selalu diiringi dengan kesadaran akan tanggung jawab dan ketergantungan mutlak pada Tuhan.

V. Interpretasi Tafsir Klasik Terhadap 'Al-Husna' dan 'Istaghna'

Kata kunci yang sangat penting dalam Surah Al-Lail, yang menghubungkan Ayat 8 dengan Ayat 9, adalah 'Al-Husna' (Kebaikan). Kelompok pertama (Ayat 5-7) membenarkan Al-Husna, sementara kelompok kedua (Ayat 8) secara implisit mendustakan Al-Husna. Memahami Al-Husna membantu kita memahami apa yang sebenarnya ditolak oleh orang yang kikir dan sombong.

A. Pandangan Ibn Kathir dan At-Tabari

Para mufasir klasik memiliki beberapa pandangan mengenai makna 'Al-Husna' dalam konteks ini, meskipun semuanya merujuk pada kebenaran tertinggi:

B. Istighna sebagai Bentuk Kemusyrikan (Syirik) Tersembunyi

Imam Al-Ghazali, dalam kajiannya tentang penyakit hati, menggolongkan *istighna* sebagai salah satu bentuk kesombongan tertinggi yang berbatasan dengan syirik tersembunyi (*syirik khafi*). Ketika seseorang merasa bahwa rezekinya, kekuatannya, dan kesuksesannya berasal sepenuhnya dari dirinya, ia telah mengambil peran ilahi bagi dirinya sendiri. Ia menempatkan dirinya sebagai sumber independen kekuatan.

Kondisi ini adalah inti dari ayat 8. Seseorang yang kikir tidak hanya enggan memberi, tetapi ia enggan mengakui bahwa Pemberi sejati (Al-Wahhab) adalah Allah. Inilah bahaya spiritual yang jauh melampaui kerugian finansial semata.

Oleh karena itu, penafsiran mendalam terhadap Ayat 8 mengarahkan kita pada kesimpulan bahwa surah ini berbicara tentang integritas iman. Bukan sekadar tindakan memberi atau menahan, tetapi tentang orientasi hati yang fundamental terhadap Sang Pencipta. Kikir dan Istighna adalah tanda kegagalan dalam ujian keimanan dan keyakinan akan hari pembalasan.

VI. Membangun Kesadaran Anti-Bakhil dan Anti-Istighna

Jika Ayat 8 menggambarkan karakter yang harus dihindari, maka tugas setiap Muslim adalah mengidentifikasi dan memberantas benih-benih kekikiran dan kesombongan spiritual dalam diri.

A. Menggantikan Bakhil dengan Al-Atha' (Kedermawanan)

Kedermawanan harus dipandang bukan sebagai kerugian, tetapi sebagai investasi dan pembersihan diri. Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa sedekah tidak mengurangi harta, bahkan menambahkannya. Filosofi ini berlawanan langsung dengan logika kekikiran yang berakar pada ketakutan akan kemiskinan.

Langkah-langkah praktis untuk melawan kekikiran:

  1. Prioritaskan Zakat: Melunasi zakat wajib tepat waktu dengan niat suci.
  2. Sedekah Rutin: Mengalokasikan dana rutin, sekecil apa pun, untuk sedekah agar jiwa terbiasa memberi.
  3. Infak Ilmu dan Waktu: Berlatih kedermawanan non-finansial, seperti berbagi ilmu, membantu tetangga, atau mengajar dengan ikhlas.

Kedermawanan adalah latihan spiritual yang melatih jiwa untuk melepaskan keterikatan pada materi, sehingga membebaskan hati dari sempitnya ketamakan.

B. Menggantikan Istighna dengan Iftiqar (Kesadaran Kebutuhan Mutlak)

Melawan sikap merasa cukup (istaghna) memerlukan latihan introspeksi mendalam, yang disebut iftiqar ilallah—kesadaran akan kebutuhan mutlak kepada Allah. Ini adalah inti dari kerendahan hati sejati.

Bagaimana cara menumbuhkan iftiqar?

Ketika hati benar-benar menyadari bahwa ia tidak memiliki apa-apa selain apa yang dikaruniakan Allah, ia tidak mungkin menjadi kikir, karena ia mengerti bahwa menahan titipan sama saja dengan menolak Yang Memberi Titipan.

VII. Dampak Sosial dan Ekonomi Kekikiran Masif

Jika ajaran Surah Al-Lail hanya berlaku untuk individu, dampaknya tidak akan sebesar ini. Ayat 8 merupakan peringatan keras terhadap sistem sosial yang didominasi oleh sifat *bakhil* dan *istaghna*.

A. Kekikiran sebagai Penghambat Keseimbangan Sosial

Ketika kekikiran menjadi norma di kalangan masyarakat berkemampuan, rantai distribusi kekayaan terputus. Zakat dan sedekah berfungsi sebagai katup pengaman sosial untuk mencegah akumulasi kekayaan yang stagnan. Orang yang kikir, yang menimbun harta karena merasa cukup dan takut miskin, secara tidak langsung berkontribusi pada kesenjangan sosial yang parah.

Dalam sejarah Islam, salah satu faktor kehancuran moral suatu masyarakat adalah ketika kelompok elitnya menahan kekayaan dan menganggap dirinya kebal dari kebutuhan masyarakat bawah. Sikap ini, yang diakibatkan oleh *istaghna*, menghilangkan empati dan memicu kekacauan sosial.

B. Kekikiran dalam Hubungan Antar Sesama

Kekikiran juga merusak hubungan interpersonal. Kekikiran tidak hanya terbatas pada harta, tetapi meluas pada perasaan, waktu, dan perhatian. Seorang suami yang kikir pada istrinya, seorang pemimpin yang kikir pada rakyatnya, atau seorang teman yang kikir untuk memaafkan—semua ini adalah variasi dari penyakit *bakhil*.

Ketika seseorang merasa *istaghna* terhadap hubungan (merasa tidak butuh orang lain), ia akan dengan mudah menjadi *bakhil* dalam memberikan kasih sayang atau dukungan emosional. Surah Al-Lail, meskipun berbicara tentang harta, memberikan kerangka universal untuk semua jenis interaksi, menekankan bahwa memberi dan mengakui kebutuhan adalah kunci menuju kemudahan.

VIII. Penutup: Dua Jalan yang Berbeda

Surah Al-Lail, khususnya melalui kontras yang diciptakan oleh Ayat 8 dan ayat-ayat sebelumnya, mengajarkan bahwa kehidupan adalah serangkaian pilihan moral yang konsisten. Pilihan ini akan mengarahkan kita pada salah satu dari dua jalur yang telah disiapkan Allah:

  1. Jalan Kemudahan (Yusra): Diperuntukkan bagi mereka yang memberi (A'tha), bertakwa (Wattaqa), dan membenarkan kebaikan (Shaddaqa bil-Husna). Ini adalah jalan kedermawanan yang berakar pada kesadaran akan ketergantungan pada Allah (Iftiqar).
  2. Jalan Kesulitan (Usra): Diperuntukkan bagi mereka yang kikir (Bakhil), merasa cukup (Istaghna), dan mendustakan kebaikan (Kaddzaba bil-Husna). Ini adalah jalan yang didominasi oleh ketamakan, ketakutan, dan kesombongan spiritual.

Ayat 8 adalah cermin yang memantulkan kondisi hati yang tertutup. Hati yang kikir adalah hati yang buta terhadap janji-janji Allah. Hati yang merasa cukup adalah hati yang tuli terhadap bisikan kebenaran. Peringatan dalam Surah Al-Lail Ayat 8 harus mendorong setiap mukmin untuk secara kritis memeriksa motivasi di balik setiap penahanan dan penolakan untuk berbagi. Apakah kita menahan karena ketamakan, atau karena kita benar-benar lupa bahwa segala yang kita miliki adalah milik-Nya? Kesadaran inilah yang menentukan apakah jalan kita akan menjadi mudah atau sukar.

Hanya dengan menanggalkan kesombongan *istaghna* dan menggantinya dengan kerendahan hati *iftiqar*, serta melawan *bakhil* dengan kedermawanan tak terbatas, seorang Muslim dapat berharap untuk disiapkan jalannya menuju kemudahan, baik di dunia ini maupun di hari perhitungan kelak. Kekikiran adalah penolakan; kedermawanan adalah pengakuan. Surah Al-Lail mengajarkan kita untuk memilih pengakuan yang membawa berkah.

***

IX. Pendalaman Konsep Bakhil: Dimensi Moral dan Psikologis

Mengapa kekikiran dianggap sebagai dosa besar yang memiliki konsekuensi spiritual separah ini? Para ulama akhlak menjelaskan bahwa kekikiran bukan sekadar kegagalan memberi, melainkan sebuah deformasi moral yang merusak fitrah manusia. Sifat kikir adalah pengkhianatan terhadap prinsip ta'awun (tolong-menolong) dan takaful (saling menjamin) yang merupakan pilar masyarakat Islam.

A. Kekikiran dan Kerusakan Moral Pribadi

Al-Harits al-Muhasibi menjelaskan bahwa kikir melahirkan serangkaian penyakit hati lainnya, seperti hasad (iri hati), karena orang kikir tidak hanya enggan memberi hartanya, tetapi juga iri ketika melihat orang lain mendapatkan karunia yang serupa. Kekikiran juga memicu ghadhab (kemarahan) karena setiap kali diminta untuk mengeluarkan harta, ia merasa marah dan terancam. Ini adalah mata rantai keburukan yang berawal dari penolakan hati untuk berbagi.

Lebih jauh, kekikiran menghalangi manusia dari mencapai kesempurnaan ihsan (berbuat baik seolah melihat Allah). Ketika seseorang menahan rezeki yang seharusnya disalurkan, ia telah mereduksi nilai dirinya dari seorang khalifah yang bertanggung jawab menjadi sekadar penimbun yang egois.

B. Kekikiran dalam Hubungan Keluarga dan Komunitas

Kekikiran memiliki efek domino yang merusak unit terkecil masyarakat. Kekikiran terhadap keluarga (terutama istri dan anak) adalah salah satu jenis kekikiran yang sangat dicela dalam Islam, bahkan jika harta tersebut digunakan untuk sedekah sunnah di luar keluarga. Kewajiban memberi nafkah yang layak adalah bentuk kedermawanan wajib yang jika ditahan, termasuk dalam kategori bakhil yang diancam dalam Ayat 8.

Di tingkat komunitas, kekikiran melumpuhkan inisiatif sosial. Proyek-proyek amal, pembangunan infrastruktur, dan bantuan bencana akan terhenti jika setiap individu berada dalam sikap *bakhil* dan *istaghna* secara kolektif. Surah Al-Lail Ayat 8 karenanya dapat dibaca sebagai peringatan terhadap kemandekan sosial yang disebabkan oleh egoisme ekonomi yang merajalela.

X. Analisis Filosofis Istighna: Penolakan Kebutuhan Ilahi

Konsep istaghna di dalam ayat ini memerlukan pembedahan filosofis yang mendalam, karena ia mewakili sikap fundamental yang salah terhadap eksistensi.

A. Istighna Versus Fitrah Ibadah

Fitrah manusia diciptakan dalam keadaan iftiqar (membutuhkan). Seluruh konsep ibadah dalam Islam, mulai dari shalat hingga puasa, adalah manifestasi pengakuan akan kebutuhan mutlak ini. Shalat adalah pengakuan akan kelemahan dan permintaan bimbingan (Ihdinash Shiratal Mustaqim). Puasa adalah pengakuan bahwa kita hanya bisa menahan diri atas izin-Nya.

Ketika seseorang mencapai kondisi *istaghna*, ia secara efektif menolak fitrahnya sendiri. Ia mulai menyembah dirinya sendiri, kemampuan finansialnya, atau kecerdasannya, menggantikan Allah sebagai sumber kekuasaan. Ini adalah sebuah kekeliruan kosmologis. Jika Allah menarik satu saja nikmat (misalnya kesehatan atau akal), seluruh kekayaan yang dimiliki oleh orang yang *istaghna* akan menjadi tidak berarti.

Istighna adalah penyakit yang membutakan seseorang terhadap kebenaran bahwa ia hanyalah seorang hamba, bukan penguasa. Ia percaya bahwa ia telah 'lulus' dari ujian ketergantungan.

B. Istighna dan Ujian Kekayaan

Ayat 8 menunjukkan bahwa kekayaan bukanlah masalah; masalahnya adalah respons hati terhadap kekayaan. Kekayaan (ghina) bisa menjadi nikmat jika digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah (bersyukur dan memberi), menjadikannya alat untuk meraih kemudahan (yusra). Namun, jika kekayaan melahirkan sikap *istaghna*—perasaan bahwa harta itu menghilangkan kebutuhan akan Tuhan—maka kekayaan itu berubah menjadi bencana dan mengarah pada kesulitan (usra).

Kisah-kisah dalam Al-Qur'an, seperti kisah Qarun, adalah studi kasus sempurna mengenai *istaghna*. Qarun menolak untuk memberikan hak Allah dan berkata, "Sesungguhnya aku diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku." (QS. Al-Qashash: 78). Ini adalah definisi klasik dari *istaghna*, yang pada akhirnya menjerumuskannya ke dalam bumi—sebuah simbol kesulitan total di dunia.

XI. Mekanisme Ilahi: Mempersiapkan Jalan yang Sukar (Fasanuyassiruhu lil Usra)

Pemahaman mengenai bagaimana Allah "mempersiapkan jalan yang sukar" bagi orang yang *bakhil* dan *istaghna* sangat penting untuk menghindari kesalahpahaman tentang takdir dan kehendak bebas.

A. Hukum Kaidah Alam (Sunnatullah)

Penyaluran rezeki dan kebaikan (infak) adalah kaidah alam spiritual yang ditetapkan Allah. Ketika seseorang berinfak, Allah melapangkan rezekinya secara materi dan non-materi. Sebaliknya, ketika seseorang menahan (bakhil), ia secara metafisik menutup pintu-pintu rezeki baginya.

Mempersiapkan jalan yang sukar (lil usra) bukanlah hukuman fisik instan, melainkan pengaktifan sunnatullah yang menyebabkan kehidupan si kikir menjadi sulit dan penuh rintangan, bahkan jika ia kaya. Kesulitan ini muncul dari:

B. Penguatan Kehendak Negatif

Dalam ilmu tauhid, frasa "Kami akan menyiapkan baginya" juga diartikan sebagai Allah membiarkan dan menguatkan kecenderungan hati yang telah dipilih oleh hamba tersebut. Jika hamba memilih jalan kikir dan sombong (Ayat 8), Allah tidak akan memaksanya kembali ke jalan kebaikan (Ayat 5). Sebaliknya, Allah membiarkan pilihan itu berjalan konsisten, sehingga segala sesuatu yang ia lakukan selanjutnya mengarah pada konsekuensi negatif dari pilihan awalnya.

Ini adalah keadilan Ilahi yang sempurna: Kebebasan memilih diuji di dunia, dan hasil dari pilihan itu diwujudkan secara utuh, baik di dunia (kesulitan hati) maupun di akhirat (neraka).

XII. Pelajaran Abadi dari Surah Al-Lail Ayat 8

Surah Al-Lail Ayat 8 adalah inti dari ajaran Qur'ani tentang etika kekayaan dan integritas spiritual. Ayat ini mengingatkan kita bahwa definisi sesungguhnya dari kemiskinan bukanlah kurangnya harta, melainkan kekosongan jiwa akibat kekikiran dan kesombongan.

A. Kekayaan Sejati Adalah Kekayaan Hati

Kekayaan yang sesungguhnya (ghina) yang dicari oleh seorang mukmin adalah ghina nafs (kekayaan hati), yaitu merasa cukup dengan apa yang dimiliki dan tidak membutuhkan apa yang dimiliki orang lain, tetapi yang terpenting, selalu merasa membutuhkan Allah. Sikap *istaghna* (merasa cukup diri) yang dicela adalah antitesis dari kekayaan hati ini.

B. Pemberian Sebagai Jembatan Menuju Allah

Ayat 8 dan kontrasnya menunjukkan bahwa infak dan kedermawanan adalah ibadah yang membuka pintu rezeki dan pintu kemudahan (yusra). Pemberian adalah cara konkret untuk membenarkan 'Al-Husna' (kebenaran janji Allah) dan membuktikan bahwa kita tidak berada dalam kondisi *istaghna*.

Setiap orang memiliki potensi untuk terperangkap dalam penyakit bakhil dan istaghna, tanpa memandang status sosial ekonominya. Orang miskin bisa kikir dalam hal tenaga atau waktu, dan orang kaya bisa sombong karena hartanya. Oleh karena itu, introspeksi terhadap Ayat 8 adalah kewajiban universal bagi setiap individu yang ingin memastikan jalannya disiapkan menuju kemudahan abadi.

Pesan penutup Surah Al-Lail adalah janji yang pasti. Bagi mereka yang memilih menahan karunia Allah dan menyombongkan diri, kesulitan sudah menanti. Bagi mereka yang memilih memberi dengan penuh kesadaran dan kerendahan hati, kemudahan adalah balasannya. Pilihan ada di tangan kita, dan konsekuensinya mutlak dan tidak terhindarkan.

Surah Al-Lail Ayat 8 memberikan landasan kuat bahwa nilai moral dan spiritual seseorang tidak diukur dari seberapa banyak yang ia kumpulkan, tetapi seberapa ikhlas ia berbagi, dan seberapa besar ia mengakui kebutuhannya akan rahmat Ilahi.

***

XIII. Integrasi Nilai Al-Lail Ayat 8 dalam Kehidupan Sehari-hari

Bagaimana kita mengaplikasikan pelajaran dari surah ini dalam hiruk pikuk kehidupan modern? Ayat 8 menuntut lebih dari sekadar sumbangan tahunan; ia menuntut restrukturisasi cara pandang terhadap rezeki dan kepemilikan.

A. Mengatasi Kekikiran Digital dan Waktu

Di era informasi, kekikiran meluas ke domain non-finansial. Bakhil hari ini bisa jadi adalah penolakan untuk berbagi pengetahuan yang bermanfaat (ilmu) karena takut tersaingi, atau menahan waktu (sedekah waktu) untuk membantu orang yang membutuhkan, karena menganggap waktu kita terlalu berharga.

Sikap istaghna muncul ketika seseorang merasa ilmu atau posisinya sudah sedemikian tinggi sehingga ia tidak perlu belajar dari siapa pun, apalagi dari orang-orang yang dianggapnya lebih rendah statusnya. Ini adalah bentuk kekikiran intelektual dan kesombongan sosial yang sama berbahayanya dengan kekikiran finansial. Solusinya adalah kedermawanan ilmu dan kerendahan hati dalam belajar (Iftiqar Ilallah dalam dimensi pengetahuan).

B. Pengelolaan Harta dengan Kesadaran Tawakkal

Ayat 8 menuntut kita untuk mengelola harta dengan prinsip tawakkal (berserah diri dan percaya). Orang yang *bakhil* dan *istaghna* sering kali adalah orang yang paling takut miskin, karena ia tidak mempercayai janji Allah untuk mengganti apa yang dinafkahkan. Ketakutan ini adalah manifestasi dari kurangnya tawakkal.

Manajemen finansial yang Islami harus didasarkan pada keyakinan bahwa mengeluarkan harta di jalan Allah adalah menabung di bank yang paling aman. Ketika kekikiran (rasa takut) digantikan oleh tawakkal (rasa percaya), hati menjadi lapang, dan jalan menuju kebaikan (yusra) menjadi mudah.

Pada akhirnya, Surah Al-Lail Ayat 8 adalah peta navigasi spiritual yang jelas. Ia memperingatkan kita tentang dua karang tersembunyi—kekikiran material dan kesombongan spiritual—yang jika ditabrak, akan membawa kapal kehidupan kita menuju lautan kesulitan yang tidak berujung. Menghindari kedua sifat ini adalah inti dari keberhasilan sejati dalam pandangan Islam.

🏠 Homepage