Surah ke-92 | Golongan Makkiyah | 21 Ayat
Surah Al-Lail, yang berarti Malam, adalah salah satu surah pendek dalam Al-Qur'an yang diturunkan di Makkah (Makkiyah). Surah ini berada pada juz ke-30, atau Juz 'Amma. Meskipun pendek, Surah Al-Lail memuat ajaran tauhid, etika sosial, dan filosofi hidup yang sangat mendasar. Fokus utama surah ini adalah perbandingan tajam antara dua jenis manusia, dua jenis amal, dan dua jenis balasan di akhirat: kemudahan bagi yang bertakwa dan kesulitan bagi yang kikir dan mendustakan.
Dengan menggunakan sumpah-sumpah kosmik yang kuat—malam, siang, laki-laki, dan perempuan—Allah SWT menarik perhatian manusia kepada prinsip dualitas dalam penciptaan, yang kemudian diselaraskan dengan dualitas dalam pilihan moral. Kajian ini akan menggali makna setiap ayat, menelusuri tafsir linguistik, konteks wahyu, serta pelajaran spiritual yang terkandung dalam setiap lafal suci Surah Al-Lail.
Sebagai surah Makkiyah, Surah Al-Lail diturunkan pada periode awal Islam ketika dakwah Nabi Muhammad SAW masih berfokus pada penanaman akidah (keimanan) dan akhlak (moralitas). Surah-surah pada periode ini seringkali menggunakan bahasa yang kuat, sumpah-sumpah alam, dan peringatan keras mengenai Hari Kiamat.
Meskipun konteksnya umum mengenai keimanan, beberapa ulama tafsir, seperti yang diriwayatkan oleh Ibn Abi Hatim, mengaitkan ayat-ayat ini dengan dua tokoh yang kontras. Bagian yang memuji kedermawanan seringkali dikaitkan dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq RA, yang dikenal sangat dermawan dalam membebaskan budak-budak Muslim yang lemah. Sementara bagian yang mencela kekikiran sering dikaitkan dengan seorang tokoh Quraisy yang kikir, yang menolak berinfak dan merasa dirinya sudah cukup tanpa bantuan Allah.
Terlepas dari konteks individu tersebut, pesan surah ini bersifat universal: Balasan di akhirat (surga atau neraka) adalah konsekuensi logis dari pilihan moral dan etika seseorang dalam kehidupan dunia.
Sumpah Allah dengan malam dan siang menunjukkan dualitas mendasar dalam kehidupan.
Tafsir Ayat 1: Ayat pertama dibuka dengan sumpah Allah SWT menggunakan salah satu fenomena kosmik yang paling menakjubkan: Malam. Kata يَغْشَىٰ (yaghsya) berarti menutupi atau menyelimuti. Ini merujuk pada momen ketika kegelapan malam mulai menyelimuti dan menutupi cahaya siang. Sumpah ini mengisyaratkan kekuasaan Allah dalam menciptakan kontras dan juga menekankan pentingnya malam sebagai waktu istirahat, kontemplasi, dan penyingkapan misteri.
Tafsir Ayat 2: Ayat ini merupakan pasangan dari ayat sebelumnya. Sumpah ini menggunakan siang وَٱلنَّهَارِ (wan-nahār) ketika ia تَجَلَّىٰ (tajallā), yang berarti menampakkan atau terang benderang. Siang adalah simbol aktivitas, pekerjaan, dan kejelasan, kontras total dengan malam yang simbol istirahat dan ketidakjelasan. Dengan bersumpah pada dua waktu ini, Allah menegaskan bahwa segala sesuatu dalam semesta memiliki pasangan dan menunjukkan kekuasaan-Nya atas siklus waktu yang abadi.
Tafsir Ayat 3: Sumpah ketiga berfokus pada dualitas kehidupan sosial manusia, yaitu ٱلذَّكَرَ وَٱٱلْأُنثَىٰٓ (laki-laki dan perempuan). Pilihan sumpah ini sangat dalam; jika ayat 1 dan 2 menggunakan dualitas alam (kosmik), ayat ini menggunakan dualitas biologis dan sosial. Ini menekankan bahwa semua makhluk hidup diciptakan dalam pasangan, menunjukkan kesempurnaan dan keseimbangan sistem penciptaan. Para mufasir berpendapat bahwa ketiga sumpah ini (malam/siang, laki-laki/perempuan) adalah landasan untuk memahami dualitas moral yang akan dijelaskan pada ayat-ayat berikutnya: Jalan kebaikan dan jalan keburukan.
Tafsir Ayat 4: Ini adalah jawaban dari sumpah-sumpah kosmik tersebut. Kata سَعْيَكُمْ (sa'yakum) berarti usaha atau amal perbuatanmu, dan لَشَتَّىٰ (lasyattā) berarti benar-benar berlainan, berbeda, atau bercerai-berai. Setelah menunjukkan bahwa alam semesta terstruktur dalam dualitas yang seimbang (malam-siang, pria-wanita), Allah menyatakan bahwa usaha manusia—pilihan hidup, motivasi, dan perbuatan—akan terbagi menjadi dua kelompok besar yang berbeda arah dan tujuan.
Ayat ini adalah inti pembuka, mempersiapkan pikiran pembaca untuk menerima penjelasan rinci mengenai dua jalan yang berbeda itu, yaitu jalan menuju kemudahan (surga) dan jalan menuju kesulitan (neraka).
Tafsir Ayat 5: Ini adalah deskripsi kelompok pertama, yang memilih jalan kemudahan. Kata أَعْطَىٰ (a’ṭā) berarti memberi atau berinfak, menunjukkan kedermawanan dalam bentuk materi. Kata وَٱتَّقَىٰ (wattaqā) berarti bertakwa, yaitu takut kepada Allah dan menjauhi larangan-Nya. Ayat ini menyandingkan amal perbuatan (memberi) dengan kondisi hati (takwa). Kedermawanan yang dimaksud bukanlah sekadar sedekah, melainkan infak yang didasari keimanan yang mendalam dan kesadaran akan pengawasan Ilahi.
Tafsir Ayat 6: Kata وَصَدَّقَ (wa ṣaddaqa) berarti membenarkan atau mempercayai. بِٱلْحُسْنَىٰ (bil-ḥusnā) secara harfiah berarti "yang terbaik," yang dalam konteks ini diartikan sebagai balasan yang dijanjikan Allah bagi orang-orang beriman, yaitu Surga atau kebahagiaan hakiki. Ayat 5 dan 6 menetapkan tiga pilar bagi kelompok yang beruntung: 1) Kedermawanan, 2) Ketakwaan, dan 3) Keyakinan kuat akan hari akhir dan janji Allah. Ini menunjukkan bahwa amal (tindakan) harus disertai dengan akidah (keyakinan).
Tafsir Ayat 7: Ini adalah balasan langsung bagi kelompok yang telah memenuhi tiga pilar di atas. Kata فَسَنُيَسِّرُهُۥ (fa sanuyassiruhū) berarti Kami akan memudahkan baginya. لِلْيُسْرَىٰ (lil-yusrā) berarti menuju kemudahan. Kemudahan ini mencakup segala aspek: kemudahan dalam melakukan kebaikan, kemudahan dalam menghadapi kesulitan hidup, dan yang terpenting, kemudahan saat sakaratul maut dan hisab, yang mengarahkannya ke Surga. Ini adalah janji bahwa siapa pun yang memilih jalan kebaikan, Allah akan mempermudah jalannya, baik secara spiritual maupun praktis di dunia.
Tafsir Ayat 8: Ayat ini beralih ke deskripsi kelompok kedua, yang memilih jalan kesulitan. Kata بَخِلَ (bakhila) berarti kikir, menahan diri untuk tidak memberi yang seharusnya diberikan, kontras dengan ‘a’ṭā (memberi). وَٱسْتَغْنَىٰ (wastaghnā) berarti merasa dirinya cukup, tidak membutuhkan Allah atau pertolongan-Nya. Keangkuhan ini merupakan bentuk kekafiran yang lebih berbahaya, karena ia menolak untuk mengakui ketergantungan dirinya pada Sang Pencipta. Kekikiran di sini bukan hanya menahan harta, tetapi juga menahan ketaatan dan kebaikan.
Tafsir Ayat 9: Kelompok ini وَكَذَّبَ (wa każżaba), yaitu mendustakan, balasan yang terbaik (بِٱلْحُسْنَىٰ). Sama seperti kelompok pertama, tiga pilar ini menjadi penentu, namun dalam bentuk negatif: 1) Kekikiran, 2) Merasa diri tidak butuh, dan 3) Mendustakan adanya hari pembalasan. Karena tidak percaya pada janji atau ancaman akhirat, mereka merasa bebas untuk berbuat sesuka hati dan menimbun harta, tanpa rasa tanggung jawab ilahi.
Tafsir Ayat 10: Ini adalah balasan bagi kelompok kikir dan pendusta. Kata فَسَنُيَسِّرُهُۥ (fa sanuyassiruhū) digunakan lagi, tetapi kali ini menuju لِلْعُسْرَىٰ (lil-‘usrā), yaitu kesulitan atau kesukaran. Ini adalah ironi ilahi: Allah memudahkan jalannya, tetapi menuju kebinasaan. Kesulitan ini termanifestasi dalam hati yang keras, sulit menerima hidayah, sulit melakukan amal baik, dan akhirnya kesulitan yang amat sangat saat menghadapi hari hisab dan memasuki Neraka. Pilihan buruk mereka sendiri yang membuat Allah mempermudah mereka menuju jalan yang paling sulit.
Tafsir Ayat 11: Ayat ini menutup perbandingan dua kelompok dengan peringatan keras. Harta yang mereka timbun dan jadikan alasan untuk merasa kaya dan tidak butuh (seperti yang disinggung di ayat 8) tidak akan berguna sedikit pun ketika mereka تَرَدَّىٰ (taraddā), yaitu jatuh, binasa, atau terjerumus ke dalam api Neraka. Ayat ini menegaskan bahwa nilai sejati harta terletak pada fungsinya sebagai sarana ketaatan di dunia, bukan pada jumlahnya yang menumpuk.
Kontras antara لِلْيُسْرَىٰ (kemudahan) dan لِلْعُسْرَىٰ (kesulitan) adalah jantung dari Surah Al-Lail. Ini bukan hanya janji balasan di Akhirat, tetapi juga sebuah prinsip kausalitas spiritual yang berlaku di dunia.
Kemudahan yang dijanjikan Allah bagi orang bertakwa dan dermawan (Ayat 7) mencakup dimensi psikologis dan praktis. Dalam tafsir para ulama, lilyl-yusrā memiliki makna yang berlapis:
Tokoh seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq RA menjadi prototipe dari orang yang dimudahkan jalannya. Kedermawanan ekstremnya, yang tulus dan didasari takwa, membuat Allah memuji perbuatannya dalam konteks surah ini, menjaminnya dengan kemudahan yang abadi.
Sebaliknya, jalan yang sulit (lil-usrā) bagi orang yang kikir dan mendustakan (Ayat 10) adalah manifestasi hukuman yang dipercepat di dunia. Kesulitan ini tidak berarti kemiskinan materi, tetapi kegelisahan dan kekacauan batin:
Surah ini mengajarkan bahwa pilihan moral adalah penentu utama bagi kemudahan atau kesulitan takdir seseorang. Barang siapa memilih untuk memberi dan bertakwa, ia sedang berinvestasi pada kemudahan abadi.
Manusia memiliki dua pilihan: jalan kedermawanan dan takwa (Yusra) atau jalan kekikiran dan pendustaan (Usra).
Tafsir Ayat 12: Setelah menjelaskan dua jalan, Allah mengingatkan kembali tugas-Nya. Frasa إِنَّ عَلَيْنَا (Inna ‘alainā) mengandung penekanan kuat, artinya "Sesungguhnya adalah kewajiban Kami" (atas diri Kami sendiri, bukan paksaan). Tugas Allah adalah menyediakan لَلْهُدَىٰ (lal-hudā), yaitu petunjuk. Allah telah menyediakan akal, fitrah, Nabi, dan Al-Qur'an sebagai sarana petunjuk. Ayat ini menegaskan bahwa tidak ada alasan bagi manusia untuk tersesat, karena panduan telah jelas diberikan.
Tafsir Ayat 13: Ayat ini menegaskan kedaulatan (kekuasaan penuh) Allah atas segala sesuatu, baik di dunia (ٱلْأُولَىٰ) maupun di akhirat (لَلْءَاخِرَةَ). Jika Allah memiliki segalanya, maka hanya kepada-Nya lah seharusnya manusia meminta dan berinfak. Ancaman dan janji yang disebutkan sebelumnya (Surga dan Neraka) menjadi sangat valid, karena Dia lah Pemilik mutlak kedua alam tersebut.
Tafsir Ayat 14: Berdasarkan otoritas-Nya atas dua alam, Allah memberikan peringatan, فَأَنذَرْتُكُمْ (fa'anżartukum), yaitu Kami telah memperingatkanmu. Peringatan tersebut adalah Neraka yang تَلَظَّىٰ (talaẓẓā), yaitu menyala-nyala dengan hebat, berkobar-kobar. Penggunaan kata ini menggambarkan intensitas panas yang luar biasa, menekankan betapa seriusnya ancaman tersebut bagi mereka yang mengabaikan petunjuk.
Tafsir Ayat 15: Siapakah yang akan merasakan panasnya api itu? Hanya ٱلْأَشْقَى (al-asyqā), yaitu orang yang paling celaka, yang paling sengsara. Kata ini adalah bentuk *isim tafdil* (superlatif), menunjukkan bahwa Neraka disediakan untuk mereka yang berada di puncak keburukan dan kekafiran. Ini bukan untuk mereka yang sekadar berdosa kecil, melainkan untuk mereka yang secara fundamental menolak kebenaran dan memilih kekikiran serta kedustaan sebagai jalan hidup mereka.
Tafsir Ayat 16: Ayat ini mendefinisikan siapa al-asyqā itu. Dia adalah orang yang كَذَّبَ (każżaba) mendustakan (Nabi, wahyu, Hari Akhir) dan وَتَوَلَّىٰ (wa tawallā) berpaling, yaitu menolak untuk mengikuti petunjuk meskipun kebenaran sudah datang. Kombinasi mendustakan (perkataan hati) dan berpaling (perbuatan anggota badan) menunjukkan totalitas penolakan mereka terhadap keimanan.
Surah Al-Lail secara unik menghubungkan kekikiran (bakhila) dengan pendustaan (każżaba). Dalam banyak surah Makkiyah, dosa utama yang disorot adalah syirik atau mendustakan hari kebangkitan. Namun di sini, kekikiran disetarakan dengan kekafiran yang menyebabkan seseorang pantas disebut al-asyqā.
Menurut para mufasir, ini terjadi karena kekikiran adalah manifestasi praktis dari ketidakpercayaan total. Jika seseorang benar-benar percaya pada Surga (al-ḥusnā) dan balasan dari Allah, ia akan berinfak dengan lapang dada. Ketika seseorang menahan hartanya karena merasa dirinya cukup (wastaghnā) dan mendustakan janji Allah, ini menunjukkan bahwa ia menjadikan harta sebagai tuhan barunya, sebuah bentuk syirik tersembunyi. Kekikiran, dalam konteks ini, adalah penolakan terhadap kedaulatan Allah atas rezeki dan kepemilikan.
Tafsir Ayat 17: Ayat ini beralih ke kontras dengan al-asyqā. Yang akan dijauhkan dari api Neraka yang berkobar (وَسَيُجَنَّبُهَا) adalah ٱلْأَتْقَى (al-atqā), yaitu orang yang paling bertakwa. Ini juga bentuk superlatif, merujuk pada mereka yang telah mencapai derajat takwa tertinggi, kontras dengan yang paling celaka (al-asyqā).
Tafsir Ayat 18: Ayat ini menjelaskan sifat utama al-atqā. Dia adalah orang yang يُؤْتِى مَالَهُۥ (yu`tī mālahū), memberikan hartanya, dengan tujuan يَتَزَكَّىٰ (yatazakkā), yaitu untuk membersihkan dirinya, baik dari dosa, dari kekikiran, maupun dari keterikatan duniawi. Tujuan infak mereka murni: penyucian jiwa. Infak jenis ini dikenal sebagai "Sedekah Sirr" (sedekah tersembunyi), yang hanya ditujukan untuk Allah.
Tafsir Ayat 19: Ayat ini menjelaskan motivasi murni di balik kedermawanan al-atqā. Infaknya tidak didasari oleh نِّعْمَةٍ تُجْزَىٰٓ (ni’matin tujzā), yaitu balasan budi atau jasa baik yang harus dibayar. Dengan kata lain, mereka tidak berinfak untuk mencari pujian, popularitas, atau pengembalian jasa dari penerima. Mereka memberi secara anonim dan tanpa pamrih.
Tafsir Ayat 20: Ini adalah klimaks motivasi infak. Satu-satunya tujuan mereka adalah ٱبْتِغَآءَ وَجْهِ رَبِّهِ ٱلْأَعْلَىٰ (ib-tighā`a wajhi rabbihil-a’lā), mencari Wajah (Keridaan) Tuhannya Yang Mahatinggi. Ayat ini menetapkan standar tertinggi dalam keikhlasan (ikhlas), di mana amal dilakukan semata-mata demi Allah, tanpa intervensi motivasi duniawi sedikit pun. Ini adalah kunci pembeda antara sedekah yang diterima dan sedekah yang ditolak.
Tafsir Ayat 21: Ayat penutup ini adalah janji agung dan pasti bagi al-atqā. Kata وَلَسَوْفَ (wa lasawfa) mengandung kepastian di masa depan yang tidak terelakkan. Mereka يَرْضَىٰ (yarḍā), akan merasa puas. Kepuasan ini tidak hanya berupa masuk Surga, tetapi yang lebih tinggi, yaitu mendapatkan keridaan Allah SWT. Sebagaimana mereka mencari keridaan-Nya (Ayat 20), Allah pun akan meridai mereka. Inilah puncak kebahagiaan seorang hamba.
Surah Al-Lail, dengan 21 ayatnya yang ringkas, memberikan cetak biru moral yang sangat jelas. Pelajaran yang dapat diambil meluas dari akidah (keimanan) hingga etika sosial (muamalah).
Ayat 19 dan 20 menunjukkan bahwa infak yang diterima adalah infak yang tidak mengharapkan balasan apa pun, baik dari manusia maupun dari dunia. Sedekah harus berfungsi sebagai sarana penyucian diri (yatazakkā). Infak yang dilakukan karena riya’ (pamer) atau mencari pamrih akan merusak niat, sehingga dikhawatirkan mengarah kepada jalan al-usrā (kesulitan), meskipun secara lahiriah terlihat seperti amal baik.
Surah ini menetapkan kedermawanan (a’ṭā) sebagai ciri khas orang bertakwa, dan kekikiran (bakhila) sebagai ciri khas orang yang mendustakan. Kekikiran bukanlah sekadar sifat buruk, tetapi akar dari ketidakpercayaan. Apabila seseorang benar-benar percaya pada rezeki dan jaminan dari Allah, ia tidak akan takut untuk memberi. Sebaliknya, orang kikir menunjukkan keraguan terhadap janji Allah.
Penegasan bahwa kepunyaan Kamilah akhirat dan dunia (Ayat 13) memberikan penenang bagi orang yang berinfak dan peringatan bagi orang yang kikir. Orang yang berinfak yakin bahwa harta yang ia keluarkan akan diganti berlipat ganda, karena pemilik harta sejati adalah Allah. Orang yang kikir harus sadar bahwa harta yang ia genggam di dunia tidak memiliki nilai sedikit pun di hadapan Pemilik Akhirat.
Prinsip kausalitas, Fa sanuyassiruhū lil-yusrā dan Fa sanuyassiruhū lil-‘usrā, adalah salah satu ajaran terpenting. Ini mengajarkan bahwa Allah memperlakukan manusia sesuai dengan pilihan yang mereka buat. Jika manusia memilih kemudahan dengan melakukan ketaatan, Allah akan mempermudah jalan tersebut. Jika manusia memilih kesulitan dengan menahan diri dan mendustakan, Allah akan mempermudah jalannya menuju kesulitan. Ini adalah keadilan Ilahi.
Surah Al-Lail membedakan antara orang bertakwa (al-muttaqin) dan orang yang paling bertakwa (al-atqā). Al-atqā adalah mereka yang mencapai tingkat tertinggi keimanan dan infak. Mereka tidak hanya menjalankan kewajiban, tetapi melampaui batas dalam kedermawanan, menjadikan keridaan Allah (wajhi rabbihil-a’lā) sebagai satu-satunya tujuan hidup. Inilah target tertinggi yang harus dicapai oleh seorang mukmin.
Surah Al-Lail berada dalam satu rangkaian tematik bersama Surah Asy-Syams (Matahari) dan Surah Adh-Dhuha (Waktu Dhuha). Ketiganya menggunakan sumpah-sumpah alamiah untuk menarik perhatian pada moralitas dan dualitas manusia:
Surah Asy-Syams: Bersumpah dengan matahari, bulan, siang, dan malam, kemudian berfokus pada dualitas jiwa manusia—jiwa yang difujurkan (diberi potensi jahat) dan jiwa yang ditaqwakan (diberi potensi baik). Kesimpulan: Barang siapa menyucikan jiwa, dia beruntung.
Surah Al-Lail: Bersumpah dengan malam, siang, laki-laki, dan perempuan. Berfokus pada dualitas amal—memberi dan bertakwa vs. kikir dan mendustakan. Kesimpulan: Amal menentukan kemudahan atau kesulitan takdir.
Surah Adh-Dhuha: Walaupun konteksnya pribadi kepada Nabi Muhammad SAW, surah ini berbicara tentang janji Allah bahwa akhir itu lebih baik daripada permulaan, memberikan kelegaan dari kesulitan (kemudahan setelah kesulitan). Ia ditutup dengan perintah sosial: Jangan menelantarkan anak yatim dan orang meminta-minta, yang merupakan perwujudan kedermawanan yang diperintahkan di Surah Al-Lail.
Dengan demikian, Al-Lail berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan konsep pembersihan jiwa (Asy-Syams) dengan kewajiban berbuat baik kepada sesama (Adh-Dhuha), menunjukkan bahwa kesucian jiwa harus terwujud dalam kedermawanan praktis.
Meskipun diturunkan 14 abad silam, pesan Surah Al-Lail relevan dalam menghadapi tantangan modern, terutama yang berkaitan dengan materialisme dan kekikiran:
Masyarakat kontemporer sering didominasi oleh semangat wastaghnā (merasa cukup dan tidak butuh), yang diwujudkan dalam konsumerisme berlebihan dan pemujaan terhadap kekayaan. Surah Al-Lail mengingatkan bahwa kekayaan materi tidak akan berguna ketika seseorang telah jatuh (iżā taraddā). Nilai sejati terletak pada apa yang dikeluarkan, bukan apa yang ditimbun.
Dualitas malam (istirahat, ibadah rahasia) dan siang (aktivitas, muamalah) dalam sumpah pembuka mengajarkan perlunya keseimbangan. Siang adalah waktu untuk berusaha mencari rezeki, tetapi malam adalah waktu untuk introspeksi dan kedermawanan tersembunyi. Kedermawanan harus dilakukan secara konsisten, bukan hanya sesekali.
Di era media sosial, banyak perbuatan baik yang dilakukan dengan motivasi mencari pujian (riya’). Surah Al-Lail menuntut keikhlasan murni (ib-tighā`a wajhi rabbihil-a’lā). Seorang Muslim harus memeriksa niatnya: apakah infak dilakukan agar disebut dermawan, atau semata-mata mencari keridaan Allah?
Pada akhirnya, Surah Al-Lail adalah panggilan untuk memilih jalan yang benar. Setiap pagi, ketika kita bangun, dan setiap malam, ketika kita beristirahat, kita dihadapkan pada dualitas. Pilihan kita dalam menafkahkan rezeki—baik itu harta, waktu, atau tenaga—adalah yang menentukan apakah kita sedang berjalan menuju lil-yusrā (kemudahan abadi) atau lil-usrā (kesulitan yang tidak berkesudahan).
Kandungan surah ini memberikan landasan filosofis bagi etos kerja dan etika sosial dalam Islam: Usaha manusia di dunia ini adalah beraneka ragam, dan balasan yang dijanjikan Allah sangat jelas. Hanya mereka yang mendasarkan amal pada takwa dan membebaskan diri dari belenggu kekikiran yang akan menemukan kedamaian dan keridaan di hadirat Tuhan Yang Mahatinggi.
Kajian mendalam ini, yang mencakup aspek linguistik, teologis, dan sosiologis dari setiap ayat Surah Al-Lail, menegaskan bahwa surah ini merupakan salah satu pilar akidah dalam Al-Qur'an Makkiyah yang mengajarkan bahwa kualitas amal, yang diukur dari keikhlasan dan takwa, jauh lebih penting daripada kuantitas harta yang dimiliki.
Pesan penutup surah ini adalah pesan harapan dan kepastian. Bagi orang yang paling bertakwa, kelak dia benar-benar akan merasa puas. Kepuasan ini, yang merupakan puncak dari segala balasan di surga, adalah tujuan tertinggi yang harus dikejar oleh setiap hamba Allah, sebagai hasil dari kedermawanan dan ketakwaan mereka yang tak pernah putus. Surah Al-Lail mengajak kita untuk merenungkan: Di antara dua jalan yang berlainan ini, jalan manakah yang kita tempuh setiap harinya?
Keagungan surah ini terletak pada kesederhanaan pesannya: Hidup adalah pilihan antara memberi dan menahan, antara percaya dan mendustakan. Pilihan ini akan secara otomatis menentukan apakah Allah memudahkan jalan kita menuju surga atau memudahkan jalan kita menuju kesulitan. Tidak ada area abu-abu; hanya ada dua hasil yang jelas, yang didasarkan pada tiga pilar amal: memberi, bertakwa, dan membenarkan janji Allah.
Kedermawanan yang dituntut dalam Surah Al-Lail harus dipahami secara holistik. Ia mencakup infak wajib (zakat), infak sunnah (sedekah), serta kedermawanan non-materi, seperti memberi waktu, ilmu, atau bahkan senyum. Selama perbuatan itu dilakukan dengan motif pembersihan diri (yatazakkā) dan pencarian keridaan Allah (wajhi rabbihil-a’lā), maka ia memenuhi kriteria al-atqā.
Sebaliknya, kekikiran yang dicela tidak hanya terbatas pada penahanan harta, tetapi juga kekikiran dalam berbagi kebaikan, ilmu, atau bantuan. Kekikiran adalah penyakit hati yang merampas keikhlasan dan mendominasi jiwa, menjadikannya sombong (wastaghnā) dan tidak percaya pada kekuatan Maha Pemberi Rezeki. Inilah yang menyebabkan seseorang terperosok ke dalam jalan lil-usrā.
Dengan demikian, Surah Al-Lail berfungsi sebagai manual moralitas yang abadi, mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati tidak ditemukan dalam akumulasi kekayaan, melainkan dalam kemurahan hati yang didasari keyakinan mutlak kepada Allah SWT dan janji-janji-Nya.