Malam dan Siang: Pilihan Jalan Hidup
Surah Al-Lail, yang berarti "Malam", adalah salah satu surah Makkiyah, diturunkan pada periode awal kenabian ketika kaum Muslimin menghadapi tekanan besar. Surah ke-92 dalam mushaf Al-Qur'an ini terdiri dari 21 ayat yang pendek namun padat, membawa pesan fundamental mengenai dualitas eksistensi, pilihan moral manusia, dan konsekuensi abadi dari pilihan tersebut.
Inti dari Surah Al-Lail terletak pada sumpah (qasam) Allah SWT dengan tiga ciptaan agung—malam, siang, dan penciptaan laki-laki dan perempuan—untuk menegaskan satu kebenaran mutlak: bahwa usaha dan perjuangan manusia di dunia ini pasti berbeda-beda dan terbagi menjadi dua jalur yang jelas.
Alt Text: Ilustrasi Malam (Al-Lail)
Surah ini berfungsi sebagai kompas moral bagi setiap Mukmin. Ia secara tegas membagi manusia menjadi dua kelompok berdasarkan niat, tindakan, dan respons mereka terhadap petunjuk ilahi. Kelompok pertama adalah mereka yang memberi (berinfaq), bertakwa, dan membenarkan kebaikan (Al-Husna), sementara kelompok kedua adalah mereka yang kikir, merasa cukup diri, dan mendustakan kebaikan.
Allah SWT memulai surah ini dengan tiga sumpah kosmik dan eksistensial, menunjukkan betapa pentingnya pesan yang akan disampaikan. Sumpah-sumpah ini menegaskan prinsip dualitas yang mengatur alam semesta dan kehidupan manusia.
1. Malam (الَّيْلِ اِذَا يَغْشٰى): Malam disumpahkan ketika ia "menutupi" atau menyelimuti alam. Malam adalah simbol ketenangan, misteri, dan masa di mana perbuatan-perbuatan rahasia, baik atau buruk, dilakukan. Malam juga sering dikaitkan dengan perjuangan spiritual (Qiyamul Lail).
2. Siang (وَالنَّهَارِ اِذَا تَجَلّٰى): Siang disumpahkan ketika ia "terang benderang" dan menampakkan segala sesuatu. Siang adalah simbol aktivitas, kejujuran, dan masa untuk mencari penghidupan. Kontras antara malam dan siang menunjukkan pertentangan yang jelas dan tak terhindarkan dalam kehidupan.
3. Laki-laki dan Perempuan (وَمَا خَلَقَ الذَّكَرَ وَالْاُنْثٰى): Sumpah ini membawa dualitas dari alam kosmik ke ranah biologis dan sosial manusia. Segala sesuatu diciptakan berpasangan. Ini menegaskan bahwa keragaman dan oposisi adalah hukum alam yang mutlak, yang puncaknya termanifestasi dalam pilihan moral manusia.
(اِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتّٰىۗ): Inilah inti dari sumpah tersebut. Segala usaha (sa'yakum) manusia benar-benar berbeda (lasyattā). Jika alam diatur oleh dualitas Malam-Siang dan Laki-laki-Perempuan, maka hidup manusia juga terbagi menjadi dua jalur yang sangat berbeda: jalan kebaikan dan jalan keburukan. Tujuan, niat, dan hasil dari setiap usaha manusia tidaklah sama.
Pernyataan ini adalah peringatan awal bahwa energi dan waktu yang dihabiskan di dunia ini akan diukur dan diklasifikasikan, menentukan nasib abadi di akhirat.
Ayat 5 hingga 7 menjelaskan ciri-ciri kelompok pertama, yang memilih jalan yang benar. Ada tiga prasyarat utama:
1. Memberi (اَعْطٰى): Yaitu mengeluarkan harta, waktu, atau tenaga di jalan kebaikan, bukan karena riya' (pamer) atau pamrih, melainkan murni karena mencari wajah Allah. Tindakan memberi ini merupakan wujud nyata pengakuan bahwa harta hanyalah pinjaman.
2. Bertakwa (وَاتَّقٰى): Menjaga diri dari perbuatan buruk, melaksanakan perintah Allah, dan menjauhi larangan-Nya. Ketakwaan adalah pondasi spiritual yang mendasari tindakan memberi tersebut.
3. Membenarkan Kebaikan (وَصَدَّقَ بِالْحُسْنٰى): Para mufassir memiliki dua pandangan utama mengenai makna Al-Husna (yang terbaik):
Bagi mereka yang memenuhi tiga syarat di atas, Allah menjanjikan akan mempermudah (fasanyuyassiruhu) jalan menuju kemudahan (lil-yusrā). Kemudahan ini mencakup:
Ini adalah prinsip kausalitas spiritual: barang siapa yang mempermudah urusan orang lain dan mendekatkan diri kepada Allah dengan memberi, maka Allah akan mempermudah urusannya.
Ayat 8 hingga 10 menampilkan kontras sempurna dengan kelompok pertama, menjabarkan ciri-ciri orang yang memilih jalan kesukaran:
1. Kikir (بَخِلَ): Menahan harta yang seharusnya diinfaqkan. Kekikiran bukan hanya menahan kewajiban zakat, tetapi juga menahan kebaikan secara umum, termasuk waktu dan ilmu. Ini adalah penyakit hati yang menutup saluran rahmat ilahi.
2. Merasa Cukup (وَاسْتَغْنٰى): Merasa diri tidak butuh pertolongan atau petunjuk Allah. Mereka sombong dengan kekayaan dan kemampuan diri sendiri. Perasaan ini adalah awal dari kekufuran, sebab ia menafikan kebergantungan total (tawakkal) kepada Sang Pencipta.
3. Mendustakan Kebaikan (وَكَذَّبَ بِالْحُسْنٰى): Mereka tidak membenarkan janji pahala atau Tauhid. Mereka melihat infaq sebagai kerugian material semata, menolak kebenaran akhirat, dan hanya fokus pada keuntungan duniawi yang fana.
Akibat dari kekikiran dan kesombongan adalah bahwa Allah akan memudahkannya (secara ironis) menuju kesukaran (lil-‘usra). Jalan kesukaran ini berarti:
(وَمَا يُغْنِيْ عَنْهُ مَالُهٗٓ اِذَا تَرَدّٰىۗ): Ayat ini memberikan penutup yang menohok. Kekayaan yang mereka kumpulkan dengan bakhil, dan yang membuat mereka sombong, tidak akan berguna sedikit pun saat mereka binasa (jatuh ke dalam neraka, taraddā) atau saat ajal menjemput. Harta yang dicintai mati-matian akan ditinggalkan, dan hanya amal perbuatanlah yang menemani.
Ayat ini berfungsi sebagai penekanan otoritas ilahi. Allah menegaskan bahwa Dia telah menurunkan petunjuk (Al-Qur'an dan Sunnah) sebagai jalan yang jelas. Tugas manusia hanyalah memilih jalur mana yang akan diikuti.
Pernyataan bahwa milik Allah adalah dunia dan akhirat (الْاٰخِرَةَ وَالْاُوْلٰى) menegaskan bahwa janji dan ancaman-Nya pasti ditepati. Manusia tidak dapat lari dari kekuasaan-Nya di mana pun ia berada.
Allah memperingatkan manusia tentang api neraka (nāran talaẓẓā) yang menyala-nyala. Neraka ini secara spesifik disiapkan bagi Al-Asyqā (orang yang paling celaka).
Siapakah Al-Asyqā? Mereka adalah orang yang mendustakan petunjuk Allah dan berpaling (tawallā) dari keimanan. Ini adalah orang-orang yang, meski diberi peringatan, tetap memilih jalan kesombongan dan kekikiran.
Ayat-ayat penutup ini kembali kepada golongan pertama, yang disebut Al-Atqā (orang yang paling bertakwa). Kelompok ini dijamin akan dijauhkan dari api neraka.
Ciri utama Al-Atqā:
Ayat 21 memberikan janji tertinggi: (وَلَسَوْفَ يَرْضٰى) – Dan kelak dia akan mendapat keridaan(-Nya). Keridhaan Allah (Ar-Ridhwan) adalah nikmat surga yang melebihi segala nikmat, karena di dalamnya terdapat kepuasan abadi dan pertemuan dengan Sang Pencipta.
Meskipun pesan Surah Al-Lail bersifat universal, banyak mufassir berpendapat bahwa ayat-ayat tentang orang yang memberi dan bertakwa (Ayat 5-7) ditujukan kepada seorang Sahabat mulia, sementara ayat-ayat tentang kekikiran (Ayat 8-10) ditujukan kepada musuh Islam atau orang kikir di masa itu.
Menurut beberapa riwayat, terutama yang dicatat oleh Ibnu Jarir At-Tabari dan Ibnu Katsir, ayat-ayat 17 hingga 21 turun berkaitan dengan Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq RA. Abu Bakar terkenal dengan sifat dermawannya yang ekstrem, memerdekakan banyak budak Muslim yang disiksa tanpa mengharapkan balasan apa pun dari mereka.
Kaum musyrikin, termasuk Abu Jahal dan Umayyah bin Khalaf, menuduh Abu Bakar memerdekakan budak hanya karena budak-budak itu pernah berbuat baik kepadanya di masa lalu. Ayat 19-20 membantah tuduhan ini secara langsung:
"Dan tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, melainkan (dia memberikan itu) semata-mata karena mencari keridaan Tuhannya Yang Mahatinggi."
Kisah ini menekankan bahwa puncak dari infak dan ketakwaan adalah keikhlasan yang murni, di mana tindakan memberi dilakukan bukan sebagai barter sosial, tetapi sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah semata. Abu Bakar adalah contoh ideal dari Al-Atqā, orang yang paling bertakwa.
Di sisi lain, kisah mengenai kekikiran sering dikaitkan dengan Umayyah bin Khalaf atau orang-orang kaya Quraisy yang menolak berinfak dan justru menggunakan kekayaan mereka untuk menekan kaum Muslimin. Mereka merasa harta mereka adalah hasil jerih payah sendiri dan tidak melihat perlunya berbuat baik atau bertakwa kepada Tuhan.
Surah Al-Lail secara historis memberikan dorongan besar kepada kaum Muslimin yang miskin atau tertindas, meyakinkan mereka bahwa nilai seseorang di sisi Allah diukur bukan dari kekayaan yang dimiliki, melainkan dari pilihan moral dan keikhlasan dalam berkorban.
Alt Text: Diagram Dua Jalan Pilihan Hidup: Kemudahan (Yusrā) dan Kesukaran (‘Usrā)
Surah Al-Lail, meskipun pendek, menyimpan pelajaran teologis dan etis yang sangat kaya. Pesan utamanya berkisar pada tiga tema sentral: Dualisme Kosmik, Prinsip Kausalitas Moral, dan Makna Sejati Tazkiyah (Penyucian Diri).
Ayat-ayat awal menetapkan dualitas sebagai hukum alam: Malam dan Siang, Laki-laki dan Perempuan. Hukum ini kemudian diterapkan pada tingkat moralitas manusia, yang menghasilkan dualitas perilaku:
Pilihan utama yang ditekankan surah ini adalah bagaimana manusia memperlakukan harta. Memberi (infaq) adalah tindakan melepas keterikatan duniawi, yang menghasilkan pembersihan jiwa. Sebaliknya, kekikiran (bakhil) adalah manifestasi dari penyakit hati, yakni cinta dunia yang berlebihan (hubb ad-dunya). Ini bukan sekadar masalah ekonomi; ini adalah indikator spiritual.
Orang yang kikir dan merasa cukup (istaghnā) adalah orang yang telah memutus hubungannya dengan Tuhan. Mereka merasa bahwa kekayaan mereka adalah jaminan abadi, padahal Al-Qur'an menjelaskan bahwa harta tidak akan menyelamatkan mereka "apabila dia telah binasa." Ini adalah kritik keras terhadap materialisme yang menuhankan kekayaan.
Tindakan memberi atau menahan selalu berakar pada keyakinan. Orang yang memberi yakin pada Al-Husna (janji Allah, surga, dan pahala). Keyakinan inilah yang membuat pengorbanan material terasa ringan.
Sebaliknya, orang yang kikir mendustakan Al-Husna. Bagi mereka, tidak ada surga yang layak dibeli dengan harta, sehingga menahan harta dianggap sebagai tindakan rasional. Surah ini mengajarkan bahwa infak adalah bukti keyakinan (iman) yang paling nyata.
Kausalitas adalah hukum sebab-akibat. Surah Al-Lail mengajarkan Kausalitas Moral: setiap tindakan manusia akan diarahkan oleh Allah menuju hasil yang sesuai dengan niatnya. Inilah makna dari "Kami akan melapangkan baginya jalan kemudahan (Yusrā)" dan "Kami akan menyiapkan baginya jalan kesukaran (‘Usrā)".
Allah tidak memaksa manusia, tetapi Dia mempermudah jalan yang telah dipilih manusia itu sendiri:
Jalan kemudahan (Yusrā) bukan berarti hidup tanpa masalah, melainkan kemampuan untuk melihat setiap masalah sebagai peluang amal, serta memiliki ketenangan batin dalam menghadapinya.
Puncak pesan surah ini adalah tentang tazkiyah, penyucian jiwa, yang diwujudkan melalui infak yang ikhlas (Ayat 18-20). Surah ini mengajarkan bahwa infak bukan hanya transfer kekayaan, tetapi sebuah proses internal.
Penyucian diri dicapai ketika seseorang berani melepaskan hal yang paling dicintainya (harta). Sifat kikir adalah penghalang terbesar antara hamba dan Rabb-nya. Dengan memberi, seorang Mukmin mempraktikkan pengakuan bahwa Allah-lah Pemilik sejati dan dirinya hanyalah pengelola (khalifah).
Penggambaran Abu Bakar dalam ayat 19 dan 20 adalah definisi dari ikhlas sempurna. Infak sejati adalah infak yang tidak didasari oleh motivasi balasan, baik balasan materi, pujian, maupun balas budi. Motivasi tunggalnya adalah keridhaan Allah Yang Mahatinggi (ibtighā’a wajhi rabbihi al-a‘lā).
Jika infak didasarkan pada keinginan untuk dipuji, maka ia telah merusak niatnya dan gagal dalam proses tazkiyah. Surah Al-Lail mengangkat standar infak menjadi murni transaksional antara hamba dan Allah semata.
Mengapa Allah bersumpah dengan malam dan siang untuk menegaskan dualitas pilihan manusia? Surah ini mengaitkan struktur alam semesta dengan struktur moral manusia.
Malam adalah waktu di mana dunia beristirahat. Secara spiritual, malam adalah masa untuk menyepi, merenung, dan bertransaksi rahasia dengan Allah (seperti Qiyamul Lail atau infak tersembunyi). Malam menutupi, yang mengingatkan bahwa niat seseorang seringkali tersembunyi, seperti infak yang tersembunyi (seperti yang dilakukan Abu Bakar).
Keheningan malam memungkinkan jiwa untuk jujur kepada dirinya sendiri. Pilihan spiritual yang diambil di malam hari (apakah bangun untuk beribadah atau tidur dalam kelalaian) mencerminkan kondisi batin yang sebenarnya.
Siang adalah masa terang benderang (tajallā), di mana semua tindakan terlihat. Siang merepresentasikan hasil yang nyata dari usaha (sa'yakum) yang dilakukan. Infak yang dilakukan di siang hari, meskipun terbuka, harus tetap dijaga keikhlasannya agar tidak menjadi riya’.
Hubungan antara malam dan siang dalam surah ini menunjukkan siklus kehidupan: setiap perbuatan rahasia di malam hari akan menampakkan hasilnya di siang hari, dan setiap pilihan moral yang tersembunyi akan menentukan nasib yang tampak di akhirat. Seluruh dualitas ini pada akhirnya menegaskan adanya hari perhitungan, di mana kegelapan akan berhadapan dengan cahaya.
Surah Al-Lail memberikan peta jalan yang jelas bagi setiap Mukmin yang mencari keridhaan Allah. Penerapan surah ini berfokus pada introspeksi dan perbaikan kualitas infak dan ketakwaan.
Pelajaran terpenting adalah Niat (Niyyah). Sebelum memberi, tanyakan pada diri sendiri: Apakah saya memberi karena berharap dipuji atau karena takut dicela, atau murni karena mencari wajah Allah? Infak harus didasari oleh keyakinan pada janji Al-Husna, bukan pada balasan duniawi. Orang yang memberi karena ikhlas adalah orang yang memerdekakan jiwanya dari penghambaan kepada makhluk.
Sikap merasa cukup diri (istaghnā) adalah racun spiritual. Ini bukan berarti tidak mandiri secara finansial, tetapi merasa bahwa kesuksesan datang dari kemampuan diri sendiri, bukan dari karunia Allah. Seorang Mukmin sejati selalu merasa miskin di hadapan Allah (faqr ilallah), mengakui bahwa setiap rezeki, kesehatan, dan kemampuan adalah titipan yang sewaktu-waktu dapat diambil kembali.
Untuk melawan istaghnā, seorang Mukmin harus memperbanyak tawadhu' (rendah hati) dan bersyukur, serta senantiasa berdoa memohon petunjuk, karena petunjuk (Al-Hudā) datangnya dari Allah semata (Ayat 12).
Orang yang paling celaka (Al-Asyqā) adalah gabungan dari dua dosa besar: mendustakan (keyakinan yang salah) dan berpaling (tindakan yang salah). Untuk menjauhinya, kita harus memastikan bahwa:
Peringatan tentang Al-Asyqā dan neraka yang menyala (nāran talaẓẓā) adalah motivasi yang kuat untuk segera bertaubat dan memperbaiki amal, sebelum harta yang dikumpulkan dengan susah payah menjadi tidak bermanfaat saat kematian datang (Ayat 11).
Gaya bahasa Al-Qur'an dalam Surah Al-Lail sangat efektif dalam menyampaikan kontras yang tajam. Pilihan kata yang digunakan memiliki makna ganda dan mendalam:
Kata Sa'yakum (usaha) mencakup semua bentuk kegiatan dan energi yang dihabiskan manusia—fisik, mental, finansial, dan spiritual. Kata Lasytā (beraneka macam/berbeda-beda) menunjukkan bukan hanya perbedaan jenis pekerjaan, tetapi perbedaan tujuan, niat, dan konsekuensi abadi dari pekerjaan tersebut. Usaha yang satu bertujuan surga, dan usaha yang lain bertujuan neraka.
Kedua kata ini berasal dari akar kata yang sama: Y-S-R (mudah) dan ‘-S-R (sulit/sukar). Penggunaan bentuk superlatif (Yusrā dan ‘Usrā) menunjukkan bahwa jalan yang dilepangkan bagi kedua golongan itu bukan sekadar kemudahan atau kesulitan biasa, melainkan kemudahan yang sempurna dan kesulitan yang ekstrem. Kemudahan di sini mencakup seluruh aspek kehidupan dan akhirat, yang merupakan hadiah terbesar dari Allah.
Kata A’tā (memberi) bersifat umum, tidak hanya merujuk pada uang, tetapi juga mencakup memberi waktu, memberi ilmu, memberi perhatian, dan memberi maaf. Ini menunjukkan bahwa jalan ketakwaan terbuka bagi semua orang, kaya maupun miskin, melalui berbagai bentuk pengorbanan yang ikhlas.
Meskipun diturunkan 14 abad yang lalu di Mekkah, pesan Surah Al-Lail sangat relevan di zaman modern, terutama dalam menghadapi tantangan materialisme global dan krisis identitas spiritual.
Di era di mana aset digital dan kekayaan yang tidak berwujud mendominasi, konsep bakhil (kikir) meluas. Kekikiran bukan hanya menahan uang tunai, tetapi:
Surah Al-Lail mengingatkan bahwa infak dalam bentuk apa pun—termasuk berjuang untuk keadilan, menyuarakan kebenaran, atau sekadar senyum—adalah bagian dari A’tā yang membawa pada Yusrā.
Budaya modern sering mendorong narsisisme dan kultus individu, di mana kesuksesan hanya diukur dari pencapaian pribadi tanpa mengakui peran Tuhan (istaghnā). Surah Al-Lail menghancurkan ilusi ini, mengingatkan bahwa semua pencapaian adalah anugerah ilahi. Tanpa petunjuk dan izin Allah, harta sebanyak apa pun tidak akan melindungi manusia saat ia binasa (idza taraddā).
Untuk menyimpulkan pelajaran fundamental surah ini, kita dapat merangkum lima pilar utama yang harus dipegang teguh oleh setiap Mukmin:
Dengan demikian, Surah Al-Lail adalah peringatan yang lembut sekaligus tegas, yang menggunakan gambaran kosmik malam dan siang untuk mengingatkan manusia bahwa setiap detik kehidupan adalah penentu dari dua jalan yang berbeda: jalan menuju kemudahan abadi, atau jalan menuju kesukaran yang menyala-nyala.
Perluasan makna tazkiyah (penyucian diri) yang diajarkan oleh surah ini adalah bahwa infak harus dilakukan tanpa berharap balasan dari penerima (Ayat 19). Hal ini menunjukkan tingkatan tertinggi dalam bersedekah, yaitu memberi kepada mereka yang tidak memiliki kemampuan atau kesempatan untuk membalas, memastikan bahwa transaksi tersebut sepenuhnya antara pemberi dan Allah SWT.
Kajian mendalam tentang Surah Al-Lail menegaskan bahwa kualitas hidup di dunia, dan nasib abadi di akhirat, ditentukan oleh sejauh mana kita mampu menanggalkan cinta pada harta dan menggantinya dengan cinta pada Sang Pencipta. Jalan kemudahan (yusrā) bukan diberikan secara acak, melainkan adalah hadiah Ilahi bagi mereka yang aktif memilih untuk memberi, bertakwa, dan membenarkan kebenaran, menjadikan mereka golongan Al-Atqā.
Ketika kita mengakhiri kajian surah ini, kita diajak merenungkan kembali tiga sumpah Allah: demi malam yang menutupi, demi siang yang menampakkan, dan demi penciptaan kita yang berpasangan. Semuanya menuju pada satu kesimpulan yang tak terhindarkan: usaha kita berbeda, dan hasilnya telah ditetapkan sesuai dengan pilihan hati dan tindakan kita. Surah Al-Lail adalah seruan abadi untuk memilih jalan yang mengarah kepada keridhaan Allah, yang merupakan puncak kebahagiaan sejati.