Representasi turunnya Al-Quran dalam malam yang diberkahi.
Surah Al-Qadr, surah ke-97 dalam urutan mushaf Al-Quran, adalah sebuah mahakarya ringkas yang terdiri dari hanya lima ayat. Meskipun pendek, ia membawa beban makna teologis, historis, dan spiritual yang luar biasa, berpusat pada satu peristiwa fundamental: turunnya Al-Quran pada malam yang dikenal sebagai Lailatul Qadar (Malam Kemuliaan).
Surah ini diklasifikasikan sebagai surah Makkiyyah oleh mayoritas ulama, diwahyukan di Mekah, meskipun beberapa tafsir menyebutkannya Madaniyyah karena konteks perdebatan tentang keutamaan malam tersebut yang mungkin terjadi di Madinah. Namun, pandangan yang kuat menempatkannya di antara surah-surah awal yang berfokus pada keagungan wahyu dan sumbernya.
Nama Surah ini diambil dari kata kunci yang menjadi inti pembahasan, “Al-Qadr,” yang berarti 'ketetapan,' 'kekuatan,' atau 'kemuliaan.' Mengenai sebab turunnya, terdapat beberapa riwayat. Salah satu yang paling terkenal diriwayatkan oleh Mujahid, bahwa Rasulullah ﷺ pernah menceritakan tentang seorang laki-laki dari Bani Israil yang berjuang di jalan Allah (berjihad) selama seribu bulan tanpa henti. Para sahabat terkesan dan merasa ibadah mereka tidak akan mencapai tingkat tersebut. Maka, Allah menurunkan Surah Al-Qadr sebagai hiburan dan kemuliaan bagi umat Nabi Muhammad ﷺ, menegaskan bahwa satu malam ibadah, Lailatul Qadar, setara atau bahkan lebih baik dari seribu bulan (sekitar 83 tahun 4 bulan) ibadah yang dilakukan oleh umat terdahulu.
Hal ini menunjukkan kasih sayang Allah yang melimpah, memberikan kesempatan emas bagi umat Islam yang memiliki usia rata-rata lebih pendek, untuk menyamai, bahkan melampaui pahala yang dikumpulkan oleh umat-umat sebelum mereka melalui kerja keras yang sangat panjang.
اِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ (Sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada Malam Kemuliaan.)
Penggunaan kata ganti ‘Kami’ (إِنَّا) menunjukkan keagungan dan kekuasaan Allah (sigheh ta’zim). Kata ganti ‘nya’ (هُ) secara jelas merujuk pada Al-Quran, meskipun tidak disebutkan eksplisit, karena konteks wahyu dan kemuliaan hanya bisa merujuk pada Kitab Suci ini.
Poin krusial dalam ayat ini adalah proses 'menurunkan' (أَنْزَلْنَا - anzalna). Para ulama tafsir membedakan antara dua jenis penurunan Al-Quran:
Maka, ayat pertama ini adalah penanda hari kelahiran Al-Quran sebagai sebuah entitas yang lengkap di alam semesta, sebuah pengumuman ilahi tentang dimulainya fase terakhir bimbingan bagi umat manusia.
وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِۗ (Dan tahukah kamu apakah Malam Kemuliaan itu?)
Gaya bahasa ini (istifham ta’zhim — pertanyaan yang mengagungkan) adalah teknik retorika dalam Al-Quran yang digunakan untuk menekankan betapa besarnya dan misteriusnya sesuatu yang akan dibahas. Pertanyaan ini bukanlah sekadar meminta jawaban faktual, melainkan untuk membangkitkan kekaguman dan kesadaran bahwa akal manusia tidak akan pernah bisa sepenuhnya memahami kedalaman hakikat malam ini. Dengan kata lain, Allah sedang mempersiapkan hati Nabi dan umatnya untuk menerima deskripsi kemuliaan yang melampaui batas imajinasi biasa.
لَيْلَةُ الْقَدْرِ ەۙ خَيْرٌ مِّنْ اَلْفِ شَهْرٍۗ (Malam Kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan.)
Ini adalah inti dari Surah dan hadiah ilahi terbesar bagi umat Nabi Muhammad ﷺ. Seribu bulan setara dengan 83 tahun 4 bulan. Nilai ini sangat signifikan karena mendekati atau bahkan melebihi rata-rata umur manusia. Ayat ini secara eksplisit tidak mengatakan ‘sama dengan’ melainkan ‘lebih baik daripada’ (خَيْرٌ مِّنْ - khairun min). Keutamaan ini tidak hanya terbatas pada durasi waktu, tetapi juga pada kualitas berkah, pengampunan, dan pahala yang diberikan Allah.
Mengapa Allah menggunakan angka 1.000? Ada dua pandangan utama di kalangan ulama:
Intinya, satu malam ini berfungsi sebagai kesempatan untuk 'mengejar ketertinggalan' spiritual yang mungkin diabaikan seumur hidup. Ia adalah malam yang membersihkan dosa, mengubah takdir buruk menjadi baik, dan menaikkan derajat seorang hamba secara eksponensial.
تَنَزَّلُ الْمَلٰۤىِٕكَةُ وَالرُّوْحُ فِيْهَا بِاِذْنِ رَبِّهِمْۚ مِنْ كُلِّ اَمْرٍۛ (Pada malam itu turunlah para malaikat dan Rūḥ (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur semua urusan.)
Ayat ini menggambarkan suasana kosmik pada malam tersebut. Terjadi ‘penurunan’ (تَنَزَّلُ - tanazzalu) yang berarti turun secara bertahap dan berulang-ulang, menandakan kepadatan dan jumlah malaikat yang sangat besar, memenuhi bumi dari langit.
Kepadatan malaikat dan Ruh (Jibril) turun ke bumi untuk membawa ketetapan ilahi.
Para mufasir memiliki tiga pandangan utama mengenai identitas ‘Ar-Ruh’ yang disebutkan terpisah dari ‘Al-Malaikah’:
Ar-Ruh membawa bersama para malaikat untuk ‘mengatur semua urusan’ (مِنْ كُلِّ أَمْرٍ - min kulli amrin). Ini merujuk pada penetapan dan perincian takdir (qadar) yang akan terjadi selama setahun ke depan, mulai dari ajal, rezeki, hujan, hingga peristiwa-peristiwa besar, semua diungkapkan kepada para malaikat untuk dilaksanakan, sesuai dengan ketetapan Allah yang ada di Lauhul Mahfuzh.
سَلٰمٌۛ هِيَ حَتّٰى مَطْلَعِ الْفَجْرِ (Sejahteralah (malam itu) sampai terbit fajar.)
Ayat penutup ini merangkum esensi spiritual dari Lailatul Qadar. Kata ‘Salam’ (سلام) memiliki makna yang sangat luas: damai, sejahtera, aman, dan bebas dari keburukan atau hukuman.
Ibnu Katsir menafsirkan bahwa malam itu penuh kedamaian karena:
Kedamaian ini berlangsung 'sampai terbit fajar' (حَتّٰى مَطْلَعِ الْفَجْرِ), menandakan bahwa berkah malam tersebut tidak terputus; ia dimulai dari terbenamnya matahari dan berakhir tepat saat waktu Subuh masuk. Ini menekankan pentingnya memaksimalkan seluruh durasi malam tersebut dengan ibadah.
Kata Al-Qadr (القَدْر) sendiri memiliki tiga konotasi utama yang semuanya relevan dengan Lailatul Qadar:
Dalam surah yang hanya lima ayat, frasa ‘Lailatul Qadr’ diulang sebanyak tiga kali. Pengulangan ini, dikenal sebagai ‘Takrar’ dalam ilmu Balaghah, berfungsi untuk:
“Keagungan Surah Al-Qadr terletak pada kohesi antara tiga elemen utama: Wahyu (Al-Quran), Waktu (Lailatul Qadar), dan Utusan (Jibril dan Malaikat), yang semuanya bersatu dalam sebuah deklarasi kedamaian kosmik yang berlanjut hingga fajar menyingsing.”
Penggunaan kata kerja ‘Tanazzalul’ (تنزل) dalam bentuk fi’il mudhari’ (present tense) juga penting. Meskipun merujuk pada peristiwa yang terjadi pada malam yang spesifik, penggunaan bentuk ini menunjukkan bahwa turunnya malaikat adalah suatu proses yang berlanjut dan berulang setiap Lailatul Qadar, memastikan bahwa setiap tahun umat Islam memiliki kesempatan untuk merasakan berkah dan ketenangan yang sama.
Walaupun Surah ini mendeklarasikan keagungan Lailatul Qadar, Allah dan Rasul-Nya sengaja tidak menyebutkan tanggal spesifik malam tersebut agar umat Islam bersungguh-sungguh mencari dan beribadah di seluruh malam-malam yang berpotensi.
Berdasarkan hadis-hadis sahih, para ulama sepakat bahwa Lailatul Qadar terjadi pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadan, dan kemungkinan terbesarnya adalah pada malam-malam ganjil (21, 23, 25, 27, 29).
Sebagian ulama, seperti Ubai bin Ka'ab, sangat meyakini bahwa malam itu adalah malam ke-27 Ramadan, berdasarkan analisis terhadap petunjuk-petunjuk dalam Al-Quran dan hadis. Namun, pendapat yang paling kuat dan dianut oleh mayoritas ulama adalah bahwa Lailatul Qadar berpindah-pindah (mutanaqqilah) di antara sepuluh malam terakhir Ramadan. Hikmah dari perpindahan ini adalah untuk menguji dan memotivasi tingkat kesungguhan hamba dalam beribadah; barang siapa yang sungguh-sungguh, dia akan meraihnya, tidak peduli kapan malam itu terjadi.
Indikator atau tanda-tanda alam yang sering disebutkan dalam hadis, seperti terbitnya matahari pada pagi harinya tanpa sinar yang menyengat (seolah-olah tertutup awan tipis), cuaca yang nyaman, dan ketenangan spiritual, berfungsi sebagai konfirmasi bagi orang-orang yang telah beribadah di malam tersebut, bukan sebagai petunjuk utama untuk beribadah.
Keutamaan Lailatul Qadar yang disimpulkan dari Surah Al-Qadr dan hadis-hadis Nabi ﷺ meliputi:
Mengapa Allah merahasiakan tanggal pasti Lailatul Qadar? Hikmahnya sangat mendalam, dirancang untuk meningkatkan kualitas spiritual umat Islam:
Untuk memaksimalkan janji kemuliaan yang ditawarkan oleh Surah Al-Qadr, praktik ibadah harus difokuskan pada tiga pilar utama:
I’tikaf adalah sunnah muakkadah (yang sangat ditekankan) yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ, khususnya pada sepuluh malam terakhir Ramadan. Tujuan utamanya adalah memutuskan segala urusan duniawi dan mendedikasikan waktu sepenuhnya untuk Allah, sehingga peluang untuk bertemu Lailatul Qadar menjadi maksimal.
Shalat malam, baik Tarawih, Witir, maupun shalat sunnah mutlak lainnya, merupakan inti dari menghidupkan malam. Fokus utama harus diletakkan pada kekhusyukan, memperlama berdiri, ruku’, dan sujud, serta merenungkan makna ayat-ayat yang dibaca.
Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ, doa apa yang harus diucapkan jika mengetahui Lailatul Qadar. Beliau mengajarkan doa spesifik:
“Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘anni.” (Ya Allah, Engkau Maha Pemaaf dan Engkau mencintai pemaafan, maka maafkanlah aku.)
Doa ini sangat penting karena berfokus pada inti dari Lailatul Qadar: pengampunan. Selain itu, memperbanyak istighfar (memohon ampun), tasbih, tahmid, dan tahlil juga sangat dianjurkan.
Mengingat bahwa Lailatul Qadar adalah malam turunnya Al-Quran, maka membaca, menghafal, dan merenungkan (tadabbur) makna Al-Quran menjadi ibadah yang sangat ditekankan, sebagai bentuk penghormatan terhadap wahyu yang diturunkan pada malam itu.
Analisis interkoneksi (munasabah) antara Surah Al-Qadr dengan Surah-Surah di sekitarnya menambah kedalaman pemahaman.
Surah Al-‘Alaq adalah surah pertama yang turun (secara bertahap), dimulai dengan perintah “Iqra!” (Bacalah!). Sementara Surah Al-Qadr menegaskan kapan (waktu) turunnya wahyu yang agung itu. Surah Al-‘Alaq berbicara tentang permulaan wahyu kepada Rasulullah ﷺ, sedangkan Surah Al-Qadr berbicara tentang permulaan diturunkannya wahyu secara keseluruhan ke langit dunia. Keduanya merupakan deklarasi agung tentang pentingnya ilmu dan wahyu ilahi.
Surah Al-Bayyinah dimulai dengan menggambarkan kondisi orang-orang kafir dan Ahli Kitab yang tidak akan meninggalkan kesesatan mereka hingga datang bukti yang nyata (al-bayyinah). Bukti nyata yang dimaksud adalah kedatangan Nabi Muhammad ﷺ dan turunnya Al-Quran. Surah Al-Qadr menyatakan bahwa Al-Quran turun dalam satu malam yang mulia, dan Surah Al-Bayyinah kemudian menjelaskan bahwa isi dari Al-Quran itu adalah petunjuk yang jelas, yang memisahkan antara kebenaran dan kebatilan.
Dengan demikian, Al-Qadr berperan sebagai jembatan yang menghubungkan permulaan wahyu (‘Alaq) dengan hasil dan konsekuensi diterimanya wahyu (Bayyinah), menempatkan Lailatul Qadar sebagai poros spiritual dari keseluruhan misi kenabian.
Kajian mendalam tentang Surah Al-Qadr tidak berhenti pada penentuan waktu atau sekadar pahala yang berlipat ganda, melainkan mengajak setiap individu Muslim untuk merefleksikan nilai dari sebuah waktu yang diangkat derajatnya oleh Allah. Ia mengingatkan bahwa kemuliaan (Qadr) adalah hasil dari usaha dan kesungguhan dalam menyambut petunjuk ilahi. Sebagaimana Al-Quran diturunkan dalam kemuliaan, maka jiwa yang berinteraksi dengan Al-Quran di malam tersebut akan turut dinaikkan derajat kemuliaannya.
Ayat terakhir, “Salamun hiya hatta matla’il fajr,” memiliki implikasi yang luar biasa dalam psikologi ibadah. Kedamaian ini bukan hanya bersifat pasif (tidak ada bahaya), tetapi juga aktif. Para malaikat terus beristighfar dan mendoakan keselamatan bagi hamba-hamba yang beribadah. Ketika seorang hamba berdiri dalam shalat atau duduk berdzikir, ia berada dalam selimut kedamaian dan perlindungan yang murni. Ini adalah jaminan Allah bahwa usaha hamba di malam itu akan diterima dan dilindungi dari segala bentuk godaan atau keburukan hingga fajar menyambut.
Oleh karena itu, Lailatul Qadar adalah malam puncak rekonsiliasi seorang hamba dengan Tuhannya, malam di mana takdir ditulis ulang, dan malam di mana jiwa menemukan ketenangan sejati melalui koneksi langsung dengan sumber wahyu.
Surah Al-Qadr, meskipun hanya terdiri dari lima ayat, adalah sebuah deklarasi yang abadi tentang nilai waktu, pentingnya wahyu, dan kemurahan Allah. Ia mengajarkan kepada umat Islam bahwa kualitas ibadah jauh melampaui kuantitas usia. Kita mungkin tidak hidup selama 1.000 bulan seperti umat terdahulu, tetapi melalui keutamaan Lailatul Qadar, kita diberikan jalan pintas menuju keridhaan dan pengampunan abadi.
Memahami Surah Lailatul Qadar secara mendalam adalah memahami cetak biru (blueprint) spiritual yang harus diikuti setiap Ramadan. Tujuan dari mencari malam ini bukan sekadar untuk mendapatkan pahala 1.000 bulan, melainkan untuk mengalami transformasi spiritual. Malam ini adalah momen ketika langit dan bumi bertemu, ketika malaikat bertebaran, dan ketika hati yang ikhlas merasakan kedamaian (Salam) yang dijanjikan, kedamaian yang menjadi bekal menuju kehidupan abadi di akhirat.
Semoga setiap Muslim yang membaca, merenungkan, dan menghidupkan malam yang agung ini, diberikan taufiq oleh Allah untuk meraih semua berkah, ampunan, dan ketetapan terbaik yang diturunkan pada Malam Kemuliaan.