Surat Al-Baqarah, surat kedua dalam Al-Qur'an, merupakan kompilasi ajaran Islam yang mendalam, mencakup berbagai aspek kehidupan, mulai dari aqidah, syariah, hingga akhlak. Di antara ayat-ayatnya yang kaya makna, rentang ayat 100 hingga 120 memiliki kedalaman tersendiri. Ayat-ayat ini banyak berbicara tentang perilaku Bani Israil, perjanjian Allah dengan mereka, dan bagaimana mereka seringkali mengingkarinya. Memahami ayat-ayat ini memberikan pelajaran berharga bagi umat Islam mengenai pentingnya menjaga amanah, keteguhan iman, dan konsekuensi dari penolakan terhadap kebenaran.
Ayat-ayat ini mengawali penjelasannya dengan mengisahkan bagaimana sebagian besar Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) seringkali mengingkari ajaran Allah, bahkan setelah mereka menerima kitab-kitab suci. Mereka terkadang beriman pada sebagian kitab namun menolak sebagian lainnya, sebuah sikap yang mencerminkan keraguan dan penolakan terhadap kesempurnaan wahyu ilahi. Allah SWT berfirman dalam ayat 101:
"Wa lammā jā'ahum rasūlum min ‘indi Allāhi muṣaddiqul limā ma‘ahum, lafadhdhabu fariqulum minallażīna ūtūl-kitāb, alqaw kitāballāhi warā'a ẓuhūrihim ka'annahum lā ya‘lamūn."
"Dan ketika datang kepada mereka seorang rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa (Kitab) yang ada pada mereka, sebagian dari orang yang diberi Kitab itu melemparkan Kitab Allah ke belakang punggung mereka, seolah-olah mereka tidak mengetahui."
Perilaku ini menunjukkan kurangnya ketulusan dalam mencari kebenaran. Alih-alih menerima ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, yang sejatinya membenarkan kitab-kitab sebelumnya, mereka justru menutup diri dan bahkan membuang ajaran ilahi tersebut. Ini adalah peringatan keras bagi siapa saja yang memiliki kecenderungan serupa untuk menolak kebenaran hanya karena berasal dari sumber yang tidak disukai atau karena ego pribadi.
Selanjutnya, ayat-ayat ini berbicara tentang kekayaan dan kekuasaan yang diberikan Allah kepada Nabi Daud dan Sulaiman AS. Mereka diberi karunia berupa ilmu pengetahuan, kebijaksanaan, dan kemampuan untuk mengendalikan jin dan angin. Namun, yang terpenting adalah bagaimana keduanya senantiasa mensyukuri nikmat tersebut dan menggunakannya untuk menegakkan kebenaran serta melayani umat. Ayat 102 mengingatkan kita:
"Wa ittaba‘ū mā tatlūsy-syayāṭīnu ‘alā mulki Sulaimān, wa mā kafara Sulaimān wa lākinasy-syayāṭīna kafarū yu‘allimūnan-nāsa-s-siḥra wal-mā unzila ‘alā malakain bi Bābil Hārūta wa Mārūt, wa mā yu‘allimāni min aḥadin ḥattā yaqūlā innamā naḥnu fitnatun falā takfur, fa yata‘allamu na minhumā mā yufarriquna bihi bainal-mar'i wa zaujih, wa mā hum bi ḍārrīna bihi min aḥadin illā bi iẓnillāh, wa yata‘allamu mā yaḍurruhum wa lā yanfa‘uhum, wa laqad ‘alimū lamani-syterāhu mā lahū fil-ākhirati min khalāq, wa labi'sa mā sharaw bih, saulan yalamuun."
"Dan mereka (Bani Israil) mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman. Sebenarnya Sulaiman tidak kafir, tetapi setan-setanlah yang kafir, mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di Babilon, yaitu Harut dan Marut. Padahal keduanya tidak mengajarkan seorang pun, kecuali berkata (peringatan): 'Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah engkau kafir.' Maka mereka mempelajari dari keduanya (malaikat) apa yang dapat menceraiberaikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka tidak dapat membinasakan seorang pun kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang mencelakakan mereka dan tidak memberi manfaat kepada mereka. Dan sungguh, mereka (bani Israil) telah meyakini, bahwa siapa yang menukarnya (dengan kitab Allah), ia tidak akan mendapatkan bagian (yang baik) di akhirat, dan amat buruklah perbuatan yang mereka jual (dirinya) itu, sekiranya mereka mengetahui."
Ayat ini juga menyinggung tentang praktik sihir yang mereka pelajari, yang justru membawa mudharat dan menjauhkan dari kebaikan. Hal ini menunjukkan bahaya dari mendalami ilmu-ilmu yang dilarang dan bagaimana ia bisa merusak tatanan kehidupan.
Pelajaran penting lainnya datang dari ayat 111-113, yang menjelaskan klaim sebagian Yahudi dan Nasrani bahwa hanya mereka yang akan masuk surga. Allah SWT menolak klaim tersebut dan menyatakan bahwa surga diperuntukkan bagi siapa saja yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah dan berbuat kebaikan.
"Wa qālū lan yadkhulal-jannata illā man kāna hūdan aw naṣārā, tilka amāniyyuhum, qul hātū burhānakum in kuntum ṣādiqīn."
"Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, 'Tidak akan masuk surga kecuali orang yang beragama Yahudi atau Nasrani.' Itu (hanya) khayalan mereka. Katakanlah (Muhammad), 'Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu orang yang benar.'"
"Balā man aslama wajhahu lillāhi wa huwa muḥsinun fa lahū ajruhu ‘inda Rabbih, wa lā khawfun ‘alaihim wa lā hum yaḥzanūn."
"Tidak! Siapa yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah sedang dia berbuat baik, maka pahalanya di sisi Tuhannya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati."
"Wa qālatil-Yahūdu laisatin-naṣārā ‘alā syai'in, wa qālatin-naṣārā laisatil-Yahūdu ‘alā syai'in, wa hum yatlūnal-kitāb, kadhālika qālal-lażīna lā ya‘lamūn mitsla qaulihim, fallāhu yaḥkumu bainahum yaumal-qiyāmati fīmā kānū fīhi yakhtalifūn."
"Orang Yahudi berkata, 'Orang Nasrani tidak punya pendirian,' dan orang Nasrani berkata, 'Orang Yahudi tidak punya pendirian,' padahal mereka membaca kitab. Demikian pula orang-orang yang tidak mengetahui (nasib) berkata serupalah dengan perkataan mereka. Maka Allah akan menghakimi (sengketa) di antara mereka pada hari Kiamat, mengenai apa yang selalu mereka perselisihkan."
Ayat-ayat ini menekankan pentingnya kemurnian tauhid (menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah) dan amal saleh sebagai kunci keselamatan. Perbedaan dan perselisihan antar golongan agama, yang seringkali didasari oleh klaim kebenaran mutlak tanpa bukti, pada akhirnya akan diselesaikan oleh Allah SWT.
Secara keseluruhan, Surat Al-Baqarah ayat 100-120 adalah seruan untuk merenungkan kembali hubungan kita dengan Allah SWT dan kitab-Nya. Ia mengingatkan kita agar tidak menjadi seperti Ahli Kitab yang seringkali mengingkari janji, menolak kebenaran, dan terperangkap dalam perselisihan yang tidak bermanfaat. Sebaliknya, kita diajak untuk senantiasa berpegang teguh pada ajaran-Nya, mensyukuri nikmat, dan beramal saleh demi meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Pemahaman mendalam terhadap ayat-ayat ini membantu kita memperkuat iman dan memperbaiki diri dalam perjalanan spiritual.
Ilustrasi sederhana: Pelita sebagai simbol pencerahan dan ilmu.