Qada dan Qadar: Fondasi Keimanan, Ikhtiar, dan Misteri Ilahi
I. Pendahuluan: Pilar Keenam Keimanan
Konsep Qada dan Qadar merupakan salah satu fondasi utama dalam akidah Islam, menduduki posisi sebagai Rukun Iman yang keenam. Keimanan terhadap Qada dan Qadar berarti mengimani bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini, baik yang telah berlalu, yang sedang terjadi, maupun yang akan datang, telah ditetapkan dan diketahui secara mutlak oleh Allah SWT. Konsep ini mencakup dimensi takdir Ilahi, kehendak mutlak-Nya, serta misteri abadi antara kedaulatan Tuhan (ketentuan) dan tanggung jawab moral (ikhtiar) manusia.
Meskipun fundamental, topik ini seringkali menjadi area perdebatan dan kesalahpahaman. Sebagian orang cenderung ekstrem ke arah determinisme mutlak, menghilangkan peran usaha manusia, sementara sebagian yang lain terlalu menekankan kebebasan kehendak hingga mengabaikan kekuasaan Ilahi. Pemahaman yang benar terhadap Qada dan Qadar menuntut keseimbangan, memposisikan manusia sebagai hamba yang bertanggung jawab atas tindakannya, namun pada saat yang sama mengakui bahwa seluruh peristiwa berada dalam genggaman pengaturan Tuhan yang Maha Bijaksana.
Keyakinan ini adalah inti dari tawakal sejati. Ia tidak mendorong kepasifan, melainkan memberikan ketenangan jiwa di tengah badai kehidupan, karena seorang mukmin yakin bahwa tidak ada musibah yang menimpanya melainkan telah dicatat dan memiliki hikmah yang tersembunyi, sebagaimana pula tidak ada keberhasilan yang diraih melainkan atas izin dan kemudahan dari-Nya. Untuk memahami kedalaman akidah ini, kita perlu membedah definisi linguistik dan terminologis dari kedua istilah tersebut, serta menelusuri pilar-pilar keimanan yang menyokongnya.
II. Definisi Mendalam: Qada dan Qadar
Dalam literatur teologi Islam (Usuluddin), meskipun Qada dan Qadar sering disebut bersamaan (sebagai satu kesatuan konsep takdir), para ulama membedakan nuansa makna dari keduanya. Perbedaan ini penting untuk memahami tahapan proses ketetapan Ilahi.
1. Qadar (Penentuan atau Pengukuran)
Secara bahasa (lughawi), Qadar berarti ukuran, takaran, batasan, atau penentuan. Dalam konteks syariat (istilahi), Qadar merujuk pada penetapan ukuran (taqdir) yang dilakukan oleh Allah SWT terhadap segala sesuatu sejak zaman azali (masa sebelum penciptaan). Ini adalah penetapan sifat, kuantitas, masa, dan cara segala sesuatu akan terjadi. Qadar adalah rancangan detail yang ada di sisi Allah, sebelum rancangan itu dieksekusi atau diwujudkan di alam nyata.
- Dimensi Waktu: Qadar berkaitan dengan pengetahuan dan penetapan Allah yang abadi (azali).
- Sifat: Lebih kepada potensi, rencana, dan pengukuran yang menyeluruh.
2. Qada (Pelaksanaan atau Penetapan Akhir)
Secara bahasa, Qada berarti memutuskan, menyelesaikan, atau menghukumi. Dalam terminologi syariat, Qada adalah realisasi atau eksekusi dari Qadar yang telah ditetapkan. Qada adalah penetapan final dan pelaksanaan hukum Allah di alam nyata (fenomena alam, sejarah manusia, dan kejadian individual). Qada adalah saat rancangan (Qadar) menjadi kenyataan.
- Dimensi Waktu: Qada berkaitan dengan waktu terjadinya peristiwa di dunia nyata.
- Sifat: Lebih kepada aktualisasi, pengungkapan, dan ketetapan hukum yang tidak bisa diubah ketika sudah terjadi.
Kesimpulan Sederhana: Qadar adalah rencana detail yang telah diukur sejak azali; Qada adalah eksekusi atau penampakan dari rencana tersebut pada waktu yang telah ditentukan.
Gambar 1: Representasi Pena (Qalam) dan Lauhul Mahfuzh (Kitab Pencatatan Takdir)
III. Pilar-Pilar Keimanan Terhadap Qadar (Maratib Al-Qadar)
Keimanan terhadap Qada dan Qadar tidak sempurna kecuali dengan mengimani empat tingkatan (pilar) yang secara kolektif menjelaskan bagaimana takdir Ilahi berfungsi. Empat pilar ini harus diterima secara utuh, tanpa mengurangi atau menolak salah satunya, karena merupakan manifestasi dari sifat-sifat Allah yang Maha Sempurna.
1. Ilmu (Pengetahuan Allah yang Azali)
Pilar pertama adalah mengimani bahwa Allah SWT mengetahui segala sesuatu sebelum terjadi, secara keseluruhan (global) maupun rinci (parsial). Ilmu Allah bersifat azali (abadi, tanpa permulaan dan akhir) dan meliputi segala hal di langit dan di bumi. Ini berarti bahwa Allah mengetahui siapa yang akan beriman dan siapa yang akan kafir, siapa yang akan masuk surga dan siapa yang akan masuk neraka, serta setiap detil gerakan, niat, dan konsekuensi dari setiap makhluk.
Pengetahuan ini tidak berarti Allah memaksa hamba-Nya untuk bertindak. Pengetahuan-Nya adalah manifestasi dari kesempurnaan-Nya; Dia mengetahui apa yang akan dipilih oleh hamba-Nya *atas dasar* kehendak bebas yang telah Dia anugerahkan. Ilmu Allah mendahului segala eksistensi. Jika kita mengimani bahwa Allah tidak mengetahui sesuatu kecuali setelah terjadi, berarti kita menafikan kesempurnaan sifat Ilm (Pengetahuan) Allah, dan ini bertentangan dengan tauhid.
Tingkatan Ilmu ini memberikan jaminan bahwa tidak ada satu pun peristiwa di alam semesta yang di luar kendali atau pengetahuan-Nya. Ilmu-Nya adalah landasan bagi pilar-pilar berikutnya.
2. Kitabah (Pencatatan atau Penulisan)
Pilar kedua adalah mengimani bahwa Allah telah mencatat segala sesuatu yang akan terjadi hingga Hari Kiamat di dalam sebuah kitab yang disebut Al-Lauhul Mahfuzh (Lembaran yang Terpelihara). Setelah Allah menciptakan Pena (Al-Qalam), Dia memerintahkannya untuk menuliskan semua takdir, takaran, dan ketentuan.
Pencatatan ini adalah konsekuensi logis dari Ilmu Allah. Jika Allah telah mengetahui segalanya, maka ketetapan itu wajib dicatat sebagai saksi dan bukti. Catatan di Lauhul Mahfuzh bersifat mutlak dan tidak berubah. Dalam konteks takdir, Lauhul Mahfuzh berfungsi sebagai Master Plan kosmik. Tidak ada daun yang gugur, tidak ada tetes hujan yang jatuh, dan tidak ada detak jantung makhluk hidup kecuali telah tertulis di dalamnya. Pencatatan ini memastikan keteraturan dan kepastian dalam perjalanan alam semesta.
Beberapa ulama membedakan antara catatan mutlak di Lauhul Mahfuzh (yang tidak berubah) dan catatan yang bersifat terperinci di lembaran malaikat (yang dapat dihapus atau diteguhkan—yakhllahu ma yashaa'u wa yutsbitu). Namun, secara esensi, semua perubahan yang terjadi pada catatan malaikat itu sendiri telah tercatat dalam ketetapan azali di Lauhul Mahfuzh.
3. Masyi'ah (Kehendak Mutlak dan Keinginan Allah)
Pilar ketiga adalah mengimani bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta, baik perbuatan Allah maupun perbuatan hamba-Nya, hanya terjadi atas Kehendak (Masyi'ah) Allah semata. Apa yang dikehendaki oleh Allah pasti terjadi, dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan pernah terjadi, meskipun seluruh makhluk bersatu untuk mewujudkannya.
Konsep Masyi'ah sering disamakan dengan Iradah (Keinginan). Namun, dalam kajian teologis, ulama membagi Iradah menjadi dua jenis yang penting untuk membedakan antara apa yang dikehendaki-Nya secara penciptaan (kauniyah) dan apa yang dikehendaki-Nya secara syariat (syar'iyah):
- Iradah Kauniyah Qadariyah (Kehendak Penciptaan): Ini adalah kehendak yang pasti terjadi dan meliputi segala sesuatu, baik yang dicintai Allah (iman, ketaatan) maupun yang dibenci Allah (kekafiran, maksiat). Terjadinya maksiat adalah atas kehendak-Nya dari sisi penciptaan (karena Dia mengizinkan peristiwa itu terjadi di alam semesta), meskipun Dia tidak meridhainya.
- Iradah Syar’iyah Diniyah (Kehendak Syariat): Ini adalah kehendak yang berkaitan dengan apa yang diperintahkan, dicintai, dan diridhai Allah, seperti iman, ketaatan, dan amal saleh. Kehendak ini tidak selalu terjadi di dunia (karena banyak manusia yang durhaka), tetapi merupakan perintah yang wajib dipatuhi.
Dengan membedakan dua jenis kehendak ini, kita dapat memahami bahwa Allah menghendaki terjadinya kekafiran (secara kauniyah—sebagai bagian dari ujian dunia), tetapi Dia sama sekali tidak meridhainya (secara syar’iyah). Ini menegaskan kedaulatan mutlak-Nya tanpa mengurangi tanggung jawab moral manusia.
4. Khalq (Penciptaan dan Perwujudan)
Pilar keempat adalah mengimani bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu, termasuk perbuatan hamba-hamba-Nya. Allah menciptakan sebab dan akibat, menciptakan potensi dan gerakan, serta menciptakan niat dan realisasi dari setiap tindakan. Tidak ada satu pun kejadian yang luput dari kekuasaan Penciptaan-Nya.
Ketika seorang hamba shalat, Allah menciptakan gerakan ruku' dan sujud, serta kehendak (ikhtiar) hamba untuk melaksanakan shalat. Ketika seorang hamba mencuri, Allah menciptakan gerakan tangan untuk mengambil harta, meskipun perbuatan mencuri itu adalah usaha (kasb) dari hamba tersebut dan merupakan dosa yang dibenci Allah. Manusia adalah pelaku (fa'il) tindakannya, tetapi Allah adalah Pencipta (Khaliq) tindakan tersebut.
Konsep ini sangat penting untuk melawan pandangan yang mengatakan bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri (seperti yang diyakini oleh kaum Qadariyah ekstrem), yang dapat mengarah pada syirik dalam Rububiyah (Ketuhanan). Keimanan yang benar adalah bahwa segala daya dan upaya (laa hawla wa laa quwwata illaa billah) berasal dari Allah.
IV. Klasifikasi dan Jenis-Jenis Takdir
Untuk memahami lebih jauh bagaimana Qada dan Qadar bekerja dalam dimensi waktu dan ruang, ulama membagi takdir dalam beberapa kategori berdasarkan tingkatannya dalam proses pencatatan dan pelaksanaan:
1. Takdir Azali (Al-Qadar al-Azali)
Ini adalah takdir yang paling tinggi dan bersifat mutlak. Ia merujuk pada pencatatan dan penetapan seluruh kejadian di Lauhul Mahfuzh, yang telah ada sebelum penciptaan alam semesta. Takdir Azali mencakup segala sesuatu tanpa pengecualian dan tidak dapat diubah (kecuali jika Allah, Sang Pencatat itu sendiri, berkehendak merubahnya—namun pada dasarnya, perubahan apa pun telah tercatat sebagai bagian dari takdir azali).
2. Takdir Umuri (Takdir Sepanjang Hidup)
Takdir ini dicatat ketika ruh ditiupkan ke janin dalam kandungan. Hadits Nabi menyebutkan bahwa malaikat diperintahkan untuk mencatat empat hal: rezeki, ajal (umur), amal perbuatan, dan nasib (sengsara atau bahagia) calon bayi. Catatan ini bersifat personal, mengikat individu sejak lahir hingga akhir hayatnya.
3. Takdir Sanawi (Tahunan)
Ini adalah pengungkapan dan perincian takdir yang terjadi setiap tahun. Pelaksanaan takdir tahunan ini terjadi pada malam mulia Lailatul Qadar. Pada malam tersebut, sebagian takdir yang telah ditetapkan secara umum di Lauhul Mahfuzh diperinci dan diserahkan kepada para malaikat pelaksana untuk periode satu tahun ke depan, mencakup ketentuan rezeki, umur, kematian, dan peristiwa penting lainnya.
4. Takdir Yaumi (Harian)
Ini adalah eksekusi takdir yang terjadi setiap hari. Allah setiap hari berada dalam kesibukan (Kullu yawmin huwa fi sha’n). Ini mencakup realisasi dan pelaksanaan detail-detail takdir yang terjadi dalam kurun waktu 24 jam, seperti menghidupkan dan mematikan, memberikan rezeki, memberikan kemuliaan atau kehinaan, dan mengabulkan doa. Takdir harian adalah manifestasi langsung dari Qada di dunia nyata.
Pembedaan jenis takdir ini membantu kita memahami bahwa meskipun Takdir Azali mutlak, ada ruang bagi *perubahan* dalam catatan malaikat (Takdir Sanawi/Yaumi) melalui sebab-sebab seperti doa, sedekah, dan silaturahmi, namun perubahan tersebut sejatinya telah diketahui dan ditetapkan Allah dalam Takdir Azali. Inilah yang diistilahkan dalam teologi sebagai Takdir Mu’allaq (Takdir yang bergantung pada sebab) versus Takdir Mubram (Takdir yang pasti terjadi tanpa bergantung pada sebab).
V. Paradoks Agung: Hubungan Ikhtiar Manusia dan Kehendak Ilahi
Titik paling krusial dan kompleks dalam pembahasan Qada dan Qadar adalah bagaimana manusia dapat memiliki kehendak bebas (ikhtiar) dan bertanggung jawab atas perbuatannya, padahal segala sesuatu telah ditetapkan oleh Allah. Jika segala sesuatu telah tertulis, mengapa manusia dihukum atau diberi pahala?
1. Konsep Kasb (Pemerolehan atau Usaha)
Islam menengahi antara determinisme mutlak (Jabbariyah) dan libertarianisme mutlak (Qadariyah). Solusinya terletak pada konsep Kasb (usaha atau pemerolehan). Meskipun Allah adalah Pencipta perbuatan (Khalq), manusia adalah yang melakukan usaha (Kasb) dan memilih (Ikhtiar) untuk berbuat baik atau jahat.
Ketika seorang mukmin berbuat baik, perbuatan itu terjadi karena dua unsur:
- Khalq Ilahi: Allah menciptakan potensi, daya, waktu, dan segala sarana yang memungkinkan perbuatan itu terjadi.
- Kasb Insani: Hamba tersebut menggunakan kehendak bebasnya yang terbatas (yang juga diciptakan Allah) untuk memilih melakukan perbuatan tersebut, sehingga ia berhak mendapatkan pahala.
2. Dalil Tanggung Jawab Moral
Argumen terbesar tentang adanya ikhtiar adalah Syariat itu sendiri. Allah tidak akan memerintahkan dan melarang (memberi beban taklif) jika manusia tidak memiliki kemampuan memilih. Perintah untuk shalat, berpuasa, dan larangan mencuri atau berzina, semua itu tidak relevan jika manusia sepenuhnya dipaksa. Fakta bahwa manusia akan dihisab menunjukkan bahwa dalam lingkup tertentu, manusia adalah agen bebas yang bertanggung jawab.
Perbedaan antara manusia dan benda mati adalah bahwa manusia memiliki kehendak. Ketika kita lapar, kita memilih makanan apa yang akan dimakan; ketika kita melihat dua jalan, kita memilih jalan mana yang akan dilalui. Perasaan batiniah tentang kebebasan memilih ini adalah bukti eksistensi ikhtiar. Mengingkari ikhtiar berarti mengingkari keadilan Ilahi dalam hisab.
3. Takdir Sebagai Rahasia yang Tersembunyi
Kunci penting dalam rekonsiliasi ini adalah bahwa takdir Allah adalah rahasia yang tersembunyi (Sirrullah). Manusia tidak mengetahui takdirnya hingga peristiwa itu terjadi. Selama takdir masih tersembunyi, kewajiban manusia adalah berusaha (ikhtiar) seoptimal mungkin. Kita tidak diperintahkan untuk mencari tahu apa yang telah tertulis, melainkan untuk melaksanakan apa yang diperintahkan. Jika kita mengetahui apa yang telah tertulis, niscaya ujian dunia ini menjadi sia-sia.
Oleh karena itu, takdir tidak boleh dijadikan alasan (hujjah) untuk berbuat maksiat. Takdir hanya menjadi alasan untuk bersabar atas musibah yang telah terjadi di luar kendali kita. Misalnya, seseorang yang gagal ujian karena tidak belajar, tidak boleh menyalahkan takdir, karena pilihan untuk tidak belajar adalah ikhtiarnya sendiri.
Gambar 2: Keseimbangan antara dua pilihan, merepresentasikan Ikhtiar manusia dalam Takdir Ilahi
4. Rekapitulasi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
Ibnu Taimiyyah, dalam menjelaskan akidah Ahlussunnah wal Jama’ah, merangkum bahwa keimanan pada takdir mencakup dua aspek yang tidak terpisahkan:
- Aspek Ilahiyah (Ketuhanan): Mengimani Kehendak dan Penciptaan Allah yang universal atas segala sesuatu.
- Aspek Insaniyah (Kemanusiaan): Mengimani adanya perintah dan larangan syariat, serta kemampuan dan kehendak manusia untuk memilih (ikhtiar) dalam batas-batas yang telah ditentukan Allah.
Kesempurnaan iman adalah menyadari bahwa segala kebaikan yang kita lakukan adalah berkat pertolongan Allah (aspek Ilahiyah), dan segala keburukan yang kita lakukan adalah karena pilihan kita sendiri (aspek Insaniyah), yang kemudian kita bertobat darinya.
VI. Hikmah dan Dampak Positif Keimanan pada Qada dan Qadar
Keimanan yang benar terhadap takdir bukanlah sekadar teori teologis, melainkan sumber energi spiritual dan stabilitas emosional bagi seorang mukmin. Hikmah keimanan ini sangat besar dan berdampak langsung pada kualitas hidup dan ibadah seseorang.
1. Keteguhan dalam Ketaatan dan Menghindari Futur
Seorang mukmin yang memahami takdir akan teguh dalam ketaatannya. Dia tahu bahwa hasil dari usahanya (misalnya, kesuksesan dakwah atau penerimaan amal) berada di tangan Allah. Kewajibannya hanyalah berusaha maksimal. Hal ini mencegahnya dari keputusasaan (futur) ketika hasil yang diharapkan tidak tercapai, dan mencegah kesombongan (ujub) ketika ia berhasil, karena ia sadar bahwa keberhasilan itu adalah anugerah dan takdir Allah semata.
2. Melatih Kesabaran (Ash-Shabr) Saat Musibah
Ini adalah manfaat yang paling sering disorot. Ketika musibah menimpa (kehilangan harta, kematian, kegagalan), keimanan pada takdir memungkinkan jiwa menerima kenyataan dengan lapang dada. Mukmin menyadari bahwa kejadian tersebut adalah ketetapan yang pasti terjadi, tertulis di Lauhul Mahfuzh, dan tidak ada daya manusia yang dapat menolaknya ketika ia telah menjadi Qada. Dengan demikian, ia tidak menyalahkan diri sendiri secara berlebihan, dan hatinya tenang di bawah naungan takdir Ilahi.
3. Meningkatkan Rasa Syukur (Asy-Syukr) Saat Nikmat
Di sisi lain, ketika mendapatkan nikmat (kesehatan, rezeki, kemudahan), mukmin sadar bahwa itu bukanlah semata-mata karena kecerdasan atau kekuatannya. Nikmat adalah bagian dari takdir baik yang telah ditetapkan Allah. Kesadaran ini menumbuhkan kerendahan hati dan syukur yang mendalam, menjauhkannya dari sifat sombong dan merasa berhak (entitlement).
4. Keberanian dan Tidak Takut Mati
Keimanan pada ajal yang telah ditetapkan (Qadar) memberikan keberanian luar biasa, terutama di medan jihad atau dalam menegakkan kebenaran. Seseorang yang yakin bahwa ajalnya telah dicatat tidak akan gentar menghadapi bahaya, karena ia tahu bahwa jika waktu kematiannya belum tiba, tidak ada kekuatan di bumi yang dapat mencabut nyawanya. Jika waktu itu telah tiba, ia akan mati dengan cara apa pun dan di mana pun. Ini menghasilkan pribadi yang tegar dan tidak kikir dalam berkorban.
5. Menjauhkan dari Kecemasan dan Kekhawatiran
Kebanyakan kecemasan manusia bersumber dari kekhawatiran terhadap masa depan: rezeki, jodoh, atau kesehatan yang belum terjadi. Mukmin yang teguh imannya percaya bahwa seluruh detail rezeki dan masa depannya telah diukur (Qadar) dan akan dilaksanakan (Qada) tepat pada waktunya. Hal ini memberikan ketenangan batin yang luar biasa. Ia bekerja keras karena itu adalah perintah Ilahi, tetapi ia menyerahkan hasil akhir sepenuhnya kepada-Nya.
VII. Isu-Isu Kontemporer dan Pemahaman Keliru Seputar Takdir
Meskipun konsep ini telah dijelaskan secara rinci oleh ulama salaf, masih banyak kesalahpahaman yang beredar, terutama dalam menghadapi dinamika kehidupan modern yang serba cepat dan menekankan hasil instan.
1. Batasan Antara Tawakal dan Tawaakul (Pasif)
Kesalahan paling umum adalah menyamakan tawakal (berserah diri setelah usaha maksimal) dengan tawaakul (berserah diri tanpa usaha, atau pasif). Dalam pandangan Islam, tawakal yang sejati adalah puncak dari ikhtiar. Seseorang harus mengikat untanya terlebih dahulu (usaha) sebelum bertawakal kepada Allah (penyerahan hasil).
Sikap 'hanya takdir' yang dijadikan alasan untuk kemalasan, kemunduran teknologi, atau kegagalan profesional adalah bentuk penyimpangan dari ajaran. Jika takdir adalah rahasia, maka pintu ikhtiar harus senantiasa dibuka lebar. Allah tidak menjadikan takdir sebagai alasan untuk meninggalkan syariat dan kewajiban duniawi.
2. Takdir dan Doa (Dua)
Sering muncul pertanyaan: Jika takdir telah ditetapkan, apakah doa dapat mengubahnya? Jawaban dari Ahlussunnah wal Jama’ah adalah: Ya, doa adalah salah satu sebab syar’i yang paling kuat untuk mengubah takdir. Namun, perubahan takdir yang terjadi melalui doa itu sendiri telah menjadi bagian dari Takdir Azali.
Doa adalah ibadah yang diperintahkan Allah. Doa berfungsi sebagai senjata yang melawan Qada (ketetapan yang akan terjadi). Misalnya, Allah telah menetapkan musibah akan menimpa seseorang, tetapi Dia juga menetapkan bahwa jika orang tersebut berdoa dengan tulus, musibah itu akan diangkat. Kedua peristiwa (musibah dan pengangkatan musibah) telah tercatat secara simultan dalam Takdir Azali. Dengan demikian, doa tidak meniadakan takdir, melainkan menjadi sebab yang diizinkan untuk mewujudkan Takdir yang lebih baik.
3. Qada dan Musibah Kolektif (Bencana Alam)
Bencana alam, wabah, dan musibah besar seringkali menimbulkan pertanyaan mendalam tentang takdir. Dalam pandangan Islam, ini adalah Qada Kauniyah yang mutlak, yang mengandung hikmah universal. Musibah kolektif bisa berfungsi sebagai ujian keimanan bagi yang tertimpa, peringatan bagi yang melihat, dan cara Allah membersihkan dosa bagi hamba-Nya yang beriman.
Umat Islam diperintahkan untuk mengambil langkah pencegahan yang maksimal (ikhtiar) terhadap bahaya (misalnya, mengikuti protokol kesehatan, membangun struktur tahan gempa), tetapi jika musibah tetap terjadi, mereka menerimanya sebagai Qada Ilahi dan bersabar.
4. Takdir dan Ilmu Pengetahuan Modern
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi seringkali diasumsikan mengurangi peran takdir (misalnya, dalam menentukan usia melalui perpanjangan umur melalui medis). Namun, sains hanya menemukan *sebab-sebab* yang telah diciptakan dan ditetapkan oleh Allah. Ilmu kedokteran yang hebat hanya berfungsi atas izin Allah. Dokter tidak menciptakan kesembuhan; mereka hanyalah perantara yang menggunakan hukum-hukum alam (Qadar) yang telah ditetapkan Allah. Batasan akhir usia, rezeki, dan peristiwa besar tetap menjadi ranah mutlak Ilahi.
VIII. Kedalaman Tauhid dalam Keimanan Qada dan Qadar
Mengimani Qada dan Qadar adalah pengesaan (Tauhid) yang paling tinggi, karena ia melibatkan pengakuan terhadap seluruh aspek Rububiyah (Ketuhanan) dan sebagian dari Asma wa Sifat (Nama dan Sifat-Nya).
1. Tauhid Rububiyah (Ketuhanan)
Mengimani takdir secara sempurna adalah pengakuan bahwa hanya Allah yang Mutlak Penguasa, Pencipta, Pengatur, dan Pemilik Kehendak. Tidak ada satu atom pun yang bergerak di luar kekuasaan-Nya. Ini mengakhiri segala bentuk kepercayaan pada kekuatan lain (seperti nasib buruk, keberuntungan, atau ramalan bintang) yang dapat mempengaruhi peristiwa secara independen dari Kehendak Allah.
2. Tauhid Asma wa Sifat (Nama dan Sifat)
Keimanan pada takdir menguatkan pemahaman terhadap sifat-sifat Allah, terutama:
- Al-'Alim (Maha Mengetahui): Ditegaskan melalui Pilar Ilmu.
- Al-Qadir (Maha Kuasa): Ditegaskan melalui Pilar Khalq (Penciptaan).
- Al-Hakim (Maha Bijaksana): Ditegaskan melalui hikmah yang terkandung dalam setiap penetapan takdir.
3. Pengaruh Terhadap Sikap Hidup
Pemahaman yang matang terhadap takdir melahirkan pribadi yang ideal:
- Optimis Realistis: Berusaha keras seakan takdir bergantung pada usaha, tetapi berhati tenang seakan takdir telah ditetapkan.
- Ikhlas Murni: Melakukan amal ibadah semata-mata karena perintah, bukan untuk mengejar hasil duniawi, karena hasil berada di tangan Allah.
- Kepatuhan Total: Menerima syariat (perintah dan larangan) sebagai satu-satunya pedoman hidup, karena hanya syariat yang menunjukkan Kehendak Syar’iyah (yang diridhai) Allah.
Oleh karena itu, semakin dalam seseorang memahami Qada dan Qadar, semakin kokoh tauhidnya, dan semakin stabil jiwanya menghadapi ketidakpastian dunia. Takdir adalah rahasia Allah, dan ketaatan adalah tugas manusia.
9. Mendalami Makna Keadilan Ilahi dan Takdir
Salah satu pertanyaan filosofis paling sering muncul adalah bagaimana takdir dapat sejalan dengan keadilan Ilahi, terutama dalam kasus takdir buruk. Apakah adil jika Allah menetapkan seseorang menjadi kafir, kemudian menghukumnya? Jawabannya terletak pada pembedaan antara Pengetahuan Azali dan Pemberian Kehendak Bebas (Ikhtiar).
Allah Maha Adil. Dia telah membekali manusia dengan akal, hati nurani, dan yang terpenting, mengutus para Nabi dan menurunkan Kitab suci sebagai petunjuk yang jelas. Allah tidak pernah menghukum seseorang kecuali setelah tegaknya hujjah (bukti) melalui risalah. Allah mengetahui sejak azali bahwa Fulan akan memilih jalan kekafiran, tetapi Allah tidak pernah mencabut kemampuan Fulan untuk memilih keimanan. Pilihan Fulan untuk menggunakan kehendaknya demi kekafiran adalah Kasb (usahanya) yang menjadi dasar penghukumannya.
Keadilan Ilahi ditegakkan melalui dua cara: Pertama, Dia menciptakan manusia dengan kehendak bebas terbatas. Kedua, Dia menyediakan jalan petunjuk yang sempurna (Syariat). Dengan demikian, siapa pun yang memilih jalan yang salah, ia melakukannya atas dasar ikhtiar pribadinya, dan Allah menghukumnya atas pilihan itu, bukan atas dasar paksaan takdir.
10. Takdir dalam Kehidupan Sosial dan Umat
Konsep takdir juga meluas dari dimensi individu ke dimensi kolektif (umat). Kebangkitan dan kejatuhan suatu peradaban, kemenangan atau kekalahan dalam perang, semuanya berada di bawah ketentuan Qada dan Qadar Allah. Namun, ketentuan ini dihubungkan dengan sebab-sebab sosial yang juga ditetapkan Allah.
Ketika Allah berfirman bahwa Dia tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri, ini menunjukkan bahwa takdir kolektif (seperti kehancuran atau kemakmuran) adalah takdir mu’allaq (bergantung) yang diikatkan pada ikhtiar kolektif (usaha, moralitas, dan ketaatan) umat tersebut. Jadi, takdir mendorong umat untuk aktif membangun peradaban yang berlandaskan syariat, karena hanya dengan ikhtiar ketaatanlah takdir baik (kemakmuran dan keamanan) akan diwujudkan.
Jika suatu umat mengalami kemunduran, itu adalah Qada Ilahi yang dieksekusi sebagai konsekuensi dari ikhtiar mereka sendiri dalam meninggalkan nilai-nilai moral dan syariat. Mereka tidak bisa menyalahkan takdir, melainkan harus memperbaiki diri dan berusaha lagi (ikhtiar) untuk mendapatkan takdir kolektif yang lebih baik.
11. Peran Niat dan Ibadah Hati dalam Takdir
Meskipun Qada dan Qadar sering dikaitkan dengan perbuatan fisik yang tampak, ibadah hati (seperti niat, tawakal, khauf, dan raja') memiliki peran fundamental dalam menghadapi takdir. Niat adalah inti dari ikhtiar. Seseorang yang berniat baik, meskipun ia gagal dalam pelaksanaannya karena Qada yang menghalangi, niat baiknya telah dicatat dan diberi pahala.
Tawakal, yang merupakan puncak dari keimanan takdir, adalah ibadah hati yang paling sulit. Tawakal sejati adalah kepastian hati bahwa hasil akhir, meskipun telah diupayakan dengan maksimal, sepenuhnya diserahkan kepada Allah. Hal ini mencegah penyakit hati seperti iri (hasad), karena ia yakin rezeki dan kedudukan orang lain telah ditetapkan, dan mencegah keputusasaan, karena ia yakin segala ketentuan Allah adalah yang terbaik baginya.
12. Memahami Qada dan Qadar sebagai Ujian
Seluruh proses kehidupan, di mana manusia berinteraksi antara kehendak bebasnya dan ketetapan Ilahi yang tak terelakkan, adalah sebuah ujian. Dunia ini adalah ‘darul imtihan’ (negeri ujian). Takdir yang baik (nikmat) menguji apakah kita bersyukur, dan takdir yang buruk (musibah) menguji apakah kita bersabar.
Jika kita melihat kehidupan hanya dari perspektif hasil (Qada), kita mungkin akan jatuh ke dalam fatalisme. Tetapi jika kita melihatnya dari perspektif perintah (Syariat dan Ikhtiar), kita akan menyadari bahwa Allah ingin melihat bagaimana kita bertindak dalam batas-batas yang diberikan, bukan hasil yang kita peroleh. Nilai seorang hamba di sisi Allah dinilai berdasarkan kualitas ikhtiar, tawakal, dan penerimaannya terhadap Qada, bukan berdasarkan sukses materi yang diukur oleh manusia.
13. Konsekuensi Penolakan Terhadap Rukun Ini
Menolak atau menyimpang dari pemahaman yang benar terhadap Qada dan Qadar memiliki konsekuensi akidah yang serius. Sejarah Islam mencatat kemunculan dua kelompok ekstrem:
- Jabariyah (Determinisme Ekstrem): Mengatakan bahwa manusia dipaksa sepenuhnya, seperti daun yang diterbangkan angin, dan tidak memiliki ikhtiar sama sekali. Kelompok ini meniadakan tanggung jawab moral dan keadilan Ilahi.
- Qadariyah (Libertarianisme Ekstrem): Mengatakan bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri secara independen dari kehendak Allah. Kelompok ini meniadakan Tauhid Rububiyah dan mengklaim adanya pencipta lain selain Allah.
Akidah Ahlussunnah wal Jama’ah adalah jalan tengah: Allah adalah Pencipta segala sesuatu, tetapi manusia adalah pengusaha/pemilih (Kasib) yang bertanggung jawab. Menjauhi dua ekstrem ini adalah keharusan untuk menjaga kesucian tauhid.
14. Keutamaan Orang yang Ridha terhadap Takdir
Rida terhadap Qada Ilahi adalah maqam (tingkatan spiritual) yang tinggi. Ridha bukan berarti tidak merasa sakit atau sedih ketika musibah datang. Rasulullah SAW menangis ketika putranya wafat, menunjukkan bahwa rasa sedih adalah fitrah manusia. Ridha berarti tidak menentang, tidak mengeluh yang berlebihan, dan tidak menyalahkan Tuhan atas apa yang telah ditetapkan-Nya.
Orang yang ridha menerima bahwa keputusan Allah adalah yang terbaik, meskipun akal manusia mungkin tidak mampu memahami hikmah di baliknya. Ridha adalah bukti kematangan iman, karena ia mengutamakan ketaatan emosional (hati) di atas tuntutan logis duniawi. Inilah puncak tawakal: menerima Qada dengan hati yang lapang setelah menunaikan Ikhtiar dengan maksimal.
IX. Penutup: Pengakuan Keterbatasan dan Kedaulatan Ilahi
Keimanan terhadap Qada dan Qadar adalah pengakuan mendalam terhadap kedaulatan, ilmu, kehendak, dan kekuasaan mutlak Allah SWT. Ini adalah ranah yang tidak sepenuhnya dapat dijangkau oleh akal manusia, karena ia melibatkan dimensi Azali dan rahasia Ilahi.
Tugas kita sebagai hamba adalah menjalankan kehidupan ini dengan penuh ikhtiar, menggunakan kehendak bebas yang dianugerahkan untuk memilih jalan ketaatan. Kita harus berusaha sekuat tenaga, berencana dengan matang, dan berjuang melawan segala bentuk keburukan. Setelah semua usaha dilakukan, barulah hati kita bersandar penuh pada ketetapan Allah, baik itu berupa kesuksesan yang harus disyukuri atau kegagalan yang harus disabari.
Dengan memegang teguh rukun iman keenam ini, seorang mukmin akan meraih ketenangan abadi. Dia akan menjadi pribadi yang proaktif (dalam ikhtiar) tetapi sekaligus pasrah (dalam tawakal), jauh dari kesombongan saat berjaya dan jauh dari keputusasaan saat diuji. Qada dan Qadar adalah misteri yang menuntun menuju pengesaan Allah yang paripurna.