Surat Al Baqarah, sebagai salah satu surat terpanjang dalam Al-Qur'an, sarat dengan ajaran dan pedoman hidup bagi umat manusia. Di antara ayat-ayatnya yang mendalam, ayat 148 dan 149 memiliki posisi strategis yang sangat penting. Ayat-ayat ini tidak hanya berbicara tentang keragaman cara manusia beribadah dan menjalani hidup, tetapi juga menegaskan prinsip fundamental dalam Islam, yaitu orientasi tunggal menuju Allah sebagai tujuan akhir. Memahami kedua ayat ini secara mendalam dapat memberikan pencerahan bagi setiap individu Muslim dalam memaknai perjalanan hidupnya di dunia.
Ayat 148 dari Surat Al Baqarah, seperti yang tercantum dalam firman Allah SWT, berbunyi:
Ayat ini memulai dengan pengakuan terhadap adanya keragaman orientasi di antara umat manusia. Frasa "wa likullin wijhatun huwa muwalliihaa" secara harfiah berarti "dan bagi setiap (umat) ada arah (kiblat) yang Dia (Allah) mengarahkannya padanya." Dalam konteks historis, ayat ini seringkali ditafsirkan merujuk pada perbedaan arah kiblat antara umat Islam (yang menghadap Ka'bah di Mekah) dengan umat-umat sebelumnya atau agama lain yang memiliki arah ibadah yang berbeda. Namun, makna ayat ini jauh lebih luas dari sekadar arah fisik.
"Wijhah" di sini bisa diartikan sebagai arah, tujuan, fokus, atau cara pandang. Setiap individu, setiap kelompok, setiap umat, memiliki fokus dan cara tersendiri dalam menjalani kehidupannya, termasuk dalam beribadah dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Ada yang beribadah dengan ritual tertentu, ada yang dengan cara yang lain, dan ini adalah kenyataan yang diakui oleh Al-Qur'an.
Meskipun mengakui keragaman ini, ayat tersebut tidak berhenti di situ. Ia segera memberikan perintah yang sangat penting: "fastabiqul khairaat" (maka berlomba-lombalah kamu dalam berbuat kebaikan). Ini adalah inti pesan yang menghubungkan keragaman dengan tujuan utama. Allah tidak menuntut kesamaan dalam bentuk luar atau cara ibadah yang identik, tetapi Allah menuntut kesamaan dalam semangat berlomba-lomba untuk berbuat kebaikan. Ini berarti, terlepas dari perbedaan latar belakang atau cara, setiap insan ditantang untuk menjadi yang terbaik dalam beramal saleh.
Poin krusial berikutnya adalah penegasan bahwa pada akhirnya, "ilaallahi marji'ukum jamii'an" (hanya kepada Allah tempat kembalimu semua). Ini adalah pengingat akan hari perhitungan di mana semua perbedaan duniawi akan sirna, dan setiap individu akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya. Allah yang Maha Mengetahui akan "yunabbi'ukum bimaa kuntum fiihi takhtalifuun" (akan memberitahukan kepadamu apa yang kamu perselisihkan).
Menyambung makna ayat sebelumnya, ayat 149 dari Surat Al Baqarah semakin memperjelas pentingnya orientasi menuju satu sumber kebenaran dan tujuan akhir.
Ayat ini turun dalam konteks perintah shalat yang menghadap ke Ka'bah. Namun, ia juga bisa dipahami sebagai penegasan kembali prinsip tauhid. Perintah untuk memalingkan wajah ke arah Masjidil Haram, baik saat berada di Mekah maupun saat bepergian dari mana pun, adalah simbol penyatuan umat Islam di bawah satu kiblat. Ini bukan berarti bahwa kiblat fisik adalah satu-satunya jalan menuju Allah, melainkan sebagai sarana untuk menyatukan hati dan niat umat.
Frasa "wa innahu lalhaqqu mir rabbik" menekankan bahwa ketetapan ini berasal dari Tuhan dan merupakan kebenaran yang mutlak. Hal ini menegaskan otoritas Allah dalam menetapkan syariat-Nya. Meskipun ada keragaman dalam praktik ibadah di antara umat manusia, bagi umat Islam, kiblat yang telah ditetapkan adalah bagian dari kebenaran ilahi yang harus diikuti.
Penutup ayat ini, "wa Allahu bighaafilin 'amma ta'maluun" (dan Allah sekali-kali tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan), adalah peringatan yang sangat kuat. Allah mengawasi setiap tindakan, setiap niat, dan setiap usaha yang kita lakukan. Tidak ada satu pun amal kebaikan atau keburukan yang luput dari pandangan dan pengetahuan-Nya. Ini mendorong kaum Muslimin untuk selalu menjaga kualitas ibadah dan amal perbuatannya, karena segala sesuatu akan dimintai pertanggungjawaban.
Kedua ayat ini memberikan pelajaran berharga. Pertama, pentingnya mengakui dan menghargai keragaman, baik dalam pemikiran, budaya, maupun cara beribadah, selama itu tidak menyimpang dari prinsip dasar ajaran agama. Kedua, di tengah keragaman itu, ada satu tujuan yang menyatukan kita, yaitu mengejar kebaikan dan berlomba-lomba dalam beramal saleh.
Selanjutnya, ayat-ayat ini mengingatkan kita untuk senantiasa menjaga orientasi hati kita. Kiblat fisik hanyalah simbol. Yang terpenting adalah kiblat batin, yaitu kecenderungan hati untuk selalu tunduk dan patuh kepada Allah, serta menjadikan-Nya sebagai tujuan utama dalam setiap aktivitas. Keberadaan Allah yang selalu mengawasi setiap gerak-gerik kita seharusnya menjadi motivasi terbesar untuk senantiasa berbuat baik dan menjauhi larangan-Nya.
Dengan memahami dan merenungkan Surat Al Baqarah ayat 148 dan 149, kita diharapkan dapat menyelaraskan pandangan kita tentang keragaman umat manusia dengan kewajiban kita untuk terus berlomba dalam kebaikan, serta memperkokoh keyakinan bahwa hanya kepada Allah kita akan kembali. Ini adalah panduan agar perjalanan hidup kita senantiasa terarah, bermakna, dan mendatangkan keridhaan-Nya.