Ilustrasi: Keadilan dan Pertanggungjawaban
Dalam lautan ayat-ayat suci Al-Qur'an, terdapat permata-permata hikmah yang memandu umat manusia menuju kehidupan yang lebih baik, baik di dunia maupun di akhirat. Di antara ayat-ayat tersebut, rangkaian Surat Al-Baqarah ayat 281 hingga 286 menawarkan renungan mendalam tentang esensi kehidupan, pertanggungjawaban, dan konsekuensi dari setiap tindakan yang kita lakukan. Ayat-ayat ini bukan sekadar bacaan, melainkan sebuah peta jalan yang mengingatkan kita akan keagungan Allah, ketidakabadian dunia, dan pentingnya mempersiapkan diri menghadapi hari perhitungan.
وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ Wa'tattaqū yawman turja'ūna fīhi ilallāhi thumma tuwaffā kullu nafsin mā kasabat wahum lā yuẓlamūn. Dan takutlah kamu pada hari (ketika) kamu dikembalikan kepada Allah, lalu setiap jiwa diberi balasan penuh terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya.
Ayat terakhir dari Surat Al-Baqarah ini merupakan penutup yang sangat kuat. Ia mengingatkan kita akan hari kembali kepada Allah, hari di mana setiap perbuatan akan dihisab dengan adil. Frasa "tuwaffā kullu nafsin mā kasabat" menegaskan prinsip keadilan ilahi yang mutlak. Tidak ada satu pun kebaikan atau keburukan yang terlewat, dan setiap individu akan menerima balasan sesuai dengan usahanya. Ketakutan di sini bukanlah ketakutan yang melumpuhkan, melainkan ketakutan yang mendorong pada kewaspadaan, introspeksi, dan upaya untuk memperbaiki diri. Ini adalah pengingat terkuat tentang akuntabilitas kita sebagai hamba Allah.
Ayat 282 adalah ayat terpanjang dalam Al-Qur'an dan memberikan panduan terperinci mengenai hukum utang-piutang. Ini mencerminkan pentingnya keadilan dan kejujuran dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam urusan muamalah (interaksi antar manusia).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَن يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ ۚ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا ۚ فَإِن كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَن يُمْلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ ۚ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِن رِّجَالِكُمْ ۖ فَإِن لَّمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّن تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَن تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَىٰ ۚ وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا ۚ وَلَا تَسْأَمُوا أَن تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَىٰ أَجَلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ أَقْسَطُ عِندَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَىٰ أَلَّا تَرْتَابُوا ۚ إِلَّا أَن تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا ۗ وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ ۚ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ ۚ وَإِن تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ Yā ayyuhalladhīna āmanū idhā tadāyantum bidaynin ilā ajalin musammān faktubūh. Wal-yaktub baynakum kātibun bil-'adli. Wa lā ya'ba kātibun an yaktuba kamā 'allamahullāh. Falyaktub walyumlil-ladhī 'alayhi al-ḥaqqu walyattaqi Allāha rabbahu walā yabkhas minhu shai'ā. Fa-in kāna-lladhī 'alayhi al-ḥaqqu safīhan aw ḍa'īfan aw lā yastaṭī'u an yuml-la huwa falyumil walyuhu bil-'adli. Wastashhidū shahīdayni min rijālikum. Fa-in lam yakūnā rajulayni fa-rajulun wamra'atāni mimman tarḍawna minash-shuhadā'i an taḍilla iḥdāhumā fa-tudzakira iḥdāhumā al-ukhrā. Wa lā ya'ba sh-shuhadā'u idhā mā du'ū. Wa lā tas'amū an taktubūhu ṣaghīran aw kabīran ilā ajalihi. Dhālikum aqsaṭu 'inda Allāhi wa aqwamu lish-shahādati wa adnā allā tartābū. Illā an takūna tijāratan ḥāḍiratan tudīrūnahā baynakum falaysa 'alaykum junāḥun allā taktubūhā. Wa ashhidū idhā tabāya'tum. Wa lā yuḍārra kātibun wa lā shahīd. Wa in taf'alū fa-innahu fusūqun bikum. Wattqū Allāh. Wa yu'allimukumullāh. Wallāhu bikulli shai'in 'alīm. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu melakukan utang-piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berpiutang itu mendiktekan dan bertakwa kepada Tuhannya dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari utangnya. Jika orang yang berpiutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah fisiknya, atau tidak mampu mendiktekan sendiri, maka hendaklah walinya mendiktekan dengan adil. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang laki-laki di antaramu. Jika tidak ada dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika perempuan itu lupa salah satunya, maka yang seorang mengingatkan yang lainnya. Janganlah saksi-saksi menolak apabila mereka dipanggil. Dan janganlah kamu jemu menulis utang-piutang itu, baik kecil maupun besar, sampai batas waktunya. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menghidupkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu kepada tidak merasa ragu. Kecuali jika pertukaran itu adalah perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagimu jika kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi dirugikan. Jika kamu melakukan yang demikian, maka itu adalah suatu kefasikan dari kamu. Dan bertakwalah kepada Allah, niscaya Allah mengajarmu. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Ayat ini menggarisbawahi pentingnya dokumentasi tertulis untuk menghindari perselisihan di masa depan. Ada instruksi yang sangat spesifik: penulisan harus dilakukan dengan adil, sesuai ajaran Allah. Orang yang berpiutang memiliki kewajiban untuk jujur dan tidak mengurangi hak orang yang berutang. Jika ada keterbatasan pada pihak yang berutang, walinya harus bertindak adil. Penunjukan saksi, termasuk sistem kesaksian dua perempuan untuk menggantikan satu laki-laki jika diperlukan, menunjukkan upaya untuk memastikan keadilan dan akurasi. Prinsip ini berlaku universal untuk menghindari keraguan dan perselisihan. Namun, dikecualikan untuk transaksi tunai yang umum dilakukan. Pentingnya tidak merugikan penulis maupun saksi menunjukkan perhatian Islam terhadap hak semua pihak yang terlibat.
وَإِن كُنتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ ۗ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ ۗ وَلَا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ ۚ وَمَن يَكْتُمُهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ Wa in kuntum 'alā safarin wa lam tajidū kātiban fa-rihānun maqbūḍah. Fa-in amina ba'ḍukum ba'ḍan falyu'add-i-lladhī-utumina amānatuhu wal-yattaqi Allāha rabbahu. Wa lā taktumū sh-shahādah. Wa man yaktumhā fa-innahu āthimun qalbuhu. Wallāhu bimā ta'malūna 'alīm. Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang memberi utang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan bertakwalah kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian. Dan barangsiapa menyembunyikannya, maka sesungguhnya hatinya adalah dosa. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Dalam situasi perjalanan ketika penulis sulit ditemukan, ayat ini menawarkan solusi alternatif: barang tanggungan (rahn). Ini menunjukkan fleksibilitas syariat dan upaya untuk tetap menjaga hak dan keadilan. Namun, jika kepercayaan antar individu sudah kuat, maka amanah harus ditunaikan tanpa syarat. Pengingat untuk tidak menyembunyikan kesaksian kembali ditekankan, karena hati yang melakukannya adalah berdosa. Ini adalah pengingat bahwa kejujuran bukan hanya soal tindakan lahiriah, tetapi juga kejernihan hati.
لِّلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۗ وَإِن تُبْدُوا مَا فِي أَنفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُم بِهِ اللَّهُ ۖ فَيَغْفِرُ لِمَن يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَن يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ Lillāhi mā fis-samāwāti wa mā fil-arḍ. Wa in tubdū mā fī anfusikum aw tukhfūhu yuḥāsibkum bihi Allāh. Fa-yaghfiru liman yashā'u wa yu'adhdhibu man yashā'u. Wallāhu 'alā kulli shai'in Qadīr. Hanya milik Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan memperhitungkannya (menuntutnya) terhadap kamu. Allah mengampuni siapa yang Dia kehendaki dan menyiksa siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Ayat ini menegaskan kemahakuasaan dan kepemilikan mutlak Allah atas seluruh alam semesta. Tidak ada yang luput dari pengetahuan-Nya, bahkan apa yang tersembunyi di dalam hati. Pengingat ini sangat penting untuk menumbuhkan rasa rendah hati dan kesadaran bahwa setiap pikiran dan niat kita diketahui oleh-Nya. Allah memiliki kehendak mutlak untuk mengampuni atau menghukum, berdasarkan kebijaksanaan-Nya yang tak terbatas. Ini adalah pengingat akan keagungan dan kekuasaan Allah yang harus kita taati.
آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ ۚ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّن رُّسُلِهِ ۚ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۖ غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ Āmanar-rasūlu bimā unzila ilayhi min rabbihī wal-mu'minūn. Kullun āmana billāhi wa malā'ikatihī wa kutubihī wa rusulihī. Lā nufarriqu bayna aḥadin min rusulihī. Wa qālū sami'nā wa aṭa'nā. Ghufraanaka rabbanā wa ilaykal-maṣīr. Rasul telah beriman kepada Al-Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, dan demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. (Mereka berkata): "Kami tidak membedakan antara seorang pun (dengan rasul) dari rasul-rasul-Nya". Dan mereka berkata: "Kami dengar dan kami taat". (Hanya) kepada Allah kami memohon ampunan(-Mu) wahai Tuhan kami, dan kepada Engkaulah tempat kembali.
Ayat ini merupakan pujian dan pengakuan terhadap keimanan Rasulullah Muhammad SAW dan seluruh umat mukmin. Keimanan mereka mencakup seluruh rukun iman: Allah, malaikat, kitab-kitab suci, dan para rasul. Penolakan untuk membedakan antara rasul-rasul-Nya menunjukkan kesatuan risalah kenabian. Ucapan "Kami dengar dan kami taat" adalah bentuk kepatuhan tertinggi terhadap perintah Allah. Permohonan ampunan dan pengakuan bahwa hanya kepada Allah tempat kembali menunjukkan kerendahan hati dan kesadaran akan keterbatasan manusia.
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ ۖ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا ۚ أَنتَ مَوْلَانَا فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ Lā yukallifullāhu nafsan illā wus'ahā. Lahā mā kasabat wa 'alayhā mā-ktasabat. Rabbanā lā tu'ākhidhnā in nasīnā aw akhta'nā. Rabbanā wa lā taḥmil 'alaynā iṣran kamā ḥamaltahu 'alā-lladhīna min qablinā. Rabbanā wa lā tuḥammilnā mā lā ṭāqata lanā bihī. Wa'fu 'annā waghfir lanā warḥamnā. Anta mawlānā fanṣurnā 'alā l-qawmi l-kāfirīn. Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau menghukum kami jika kami lupa atau kami berbuat kesalahan. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau membebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami pikul. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami, maka tolonglah kami dalam menghadapi orang-orang kafir."
Ayat terakhir dari rangkaian ini adalah seruan doa yang penuh harapan dan penyerahan diri. Prinsip utama yang diajarkan di sini adalah bahwa Allah tidak membebani hamba-Nya melebihi kemampuannya. Setiap orang bertanggung jawab atas amal perbuatannya sendiri. Doa-doa yang dipanjatkan mencerminkan kerendahan hati: memohon agar tidak dihukum karena lupa atau salah, agar tidak dibebani tugas berat yang tidak mampu dipikul, serta memohon ampun, rahmat, dan pertolongan dari Allah. Ini adalah puncak dari penyerahan diri kepada Allah, mengakui kelemahan manusia namun tetap berjuang di jalan-Nya.
Surat Al-Baqarah ayat 281-286 memberikan pandangan komprehensif tentang bagaimana menjalani kehidupan dengan penuh kesadaran, keadilan, dan pertanggungjawaban. Mulai dari kewaspadaan akan hari akhir, pentingnya kejujuran dalam muamalah, menjaga amanah, hingga kesadaran akan kemahakuasaan Allah dan penyerahan diri total. Ayat-ayat ini adalah pengingat abadi bagi umat Islam untuk senantiasa berusaha hidup sesuai ajaran Allah, mempersiapkan diri untuk kembali kepada-Nya dengan hati yang bersih dan amal yang saleh.