Alt text: Representasi kehancuran total 'seperti daun-daun yang dimakan ulat' dalam Surat Al-Fil Ayat 5.
Surat Al-Fil, yang berarti “Gajah,” adalah salah satu surat Makkiyah yang sangat ringkas namun sarat makna. Ia terdiri dari hanya lima ayat, yang seluruhnya menceritakan sebuah peristiwa sejarah luar biasa yang terjadi tepat di tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW, dikenal sebagai ‘Amul Fil’ (Tahun Gajah). Peristiwa ini bukan sekadar anekdot sejarah; ia adalah manifestasi nyata dari perlindungan Ilahi terhadap Baitullah (Ka'bah) dan sekaligus berfungsi sebagai mukjizat yang disaksikan langsung oleh penduduk Mekah, yang akan menjadi audiens pertama dari dakwah Rasulullah.
Inti dari surat ini adalah kisah Abrahah al-Ashram, penguasa Yaman yang ambisius, yang bertekad menghancurkan Ka'bah di Mekah karena iri hati melihat popularitasnya. Ia memimpin pasukan besar, yang dilengkapi dengan gajah-gajah perkasa—senjata militer paling mutakhir pada masanya—sebuah demonstrasi kekuatan yang tak tertandingi oleh suku-suku Arab saat itu. Namun, di hadapan keangkuhan militer dan ambisi manusia, surat ini menunjukkan bahwa kekuatan yang hakiki dan mutlak hanyalah milik Allah SWT. Kehancuran pasukan ini adalah pelajaran universal tentang kesombongan yang berakhir sia-sia.
Keempat ayat pertama dari surat ini membangun narasi mengenai tentara yang pongah dan intervensi supernatural berupa burung Ababil yang membawa batu Sijjil. Namun, puncak dari narasi ini, kesimpulan yang menggambarkan dampak dan hasil akhir dari hukuman tersebut, ditemukan pada ayat kelima, yang menjadi fokus utama kajian mendalam ini: “Fa ja’alahum ka’asfim ma’kul.” Ayat ini bukan hanya sebuah kalimat penutup, melainkan deskripsi puitis dan definitif mengenai kehancuran total yang ditimpakan. Pemahaman mendalam terhadap frasa ini memerlukan analisis linguistik, tafsir komparatif, serta penggalian konteks teologisnya, menunjukkan betapa Dahsyatnya kuasa yang mampu mengubah kekuatan militer menjadi sesuatu yang amat remeh dan hancur lebur.
"Lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat/hewan)."
Ayat kelima Surat Al-Fil adalah penutup yang dramatis bagi kisah Pasukan Gajah. Kata kuncinya adalah ‘Fa ja’alahum’ (Maka Dia menjadikan mereka), ‘ka’asfim’ (seperti daun/jerami), dan ‘ma’kul’ (yang dimakan). Kombinasi kata-kata ini menciptakan gambaran yang sangat spesifik dan kuat mengenai sifat hukuman dan kehancuran yang mereka alami.
Kata ‘asf’ (عَصْف) dalam bahasa Arab klasik memiliki beberapa konotasi yang semuanya merujuk pada sisa-sisa hasil panen atau tumbuhan kering. Secara umum, ini diartikan sebagai:
Pilihan kata ‘asf’ sangatlah retoris (balaghah). Ia merujuk pada sesuatu yang sebelumnya adalah bagian dari tanaman yang gagah (Pasukan Abrahah), namun kini telah kehilangan esensinya, kekuatan, dan nilai. Mereka, yang datang sebagai kekuatan besar, direduksi menjadi sampah pertanian. Ini menekankan penghinaan (humiliation) dan bukan sekadar kematian fisik. Keberadaan mereka sebagai ancaman telah sepenuhnya dihilangkan, menjadi sisa-sisa yang tidak berarti dan mudah disebarkan angin.
Kata ‘ma’kul’ adalah ism maf'ul (objek penderita) yang berarti ‘yang dimakan’ atau ‘yang telah dikonsumsi’. Dalam konteks sisa-sisa tumbuhan (asf), tafsiran ulama berpusat pada dua makna utama:
Ketika ‘asf’ dan ‘ma’kul’ digabungkan, ia menciptakan gambaran yang sangat visual: sesuatu yang telah dikunyah, dihancurkan, dan dicampakkan. Mereka tidak hanya mati; mereka dihancurkan sedemikian rupa sehingga tubuh mereka menjadi layu, berlubang, dan tercabik-cabik, menyerupai daun yang telah luruh dan dimakan ulat hingga tinggal serat-seratnya yang tak berguna. Para tentara, beserta gajah-gajah mereka yang gagah, mengalami kehancuran fisik yang total, seragam, dan menjijikkan.
Imam Ibn Katsir dan Al-Qurtubi fokus pada bagaimana batu-batu kecil (Sijjil) dari burung Ababil menyebabkan kehancuran internal yang mengerikan. Batu-batu tersebut, meskipun kecil, memiliki daya hancur luar biasa. Dikatakan bahwa batu itu menembus helm, kepala, dan tubuh tentara, menghancurkan organ dalam mereka. Deskripsi ‘ka’asfim ma’kul’ merujuk pada bagaimana tubuh mereka menjadi rapuh dan terurai setelah terkena batu tersebut. Mereka layu seperti daun yang telah dimakan ulat, yang hanya menyisakan kerangka yang rapuh, menunjukkan bahwa kehancuran itu tidak berasal dari kekuatan alam biasa, tetapi dari ketetapan Ilahi yang spesifik dan mematikan.
Al-Tabari mencatat interpretasi bahwa kehancuran mereka menyerupai sisa-sisa jerami yang dimakan oleh hewan. Setelah hewan memakan jerami, sisa yang dikeluarkan seringkali bercampur dengan kotoran dan sangat terfragmentasi. Perbandingan ini menekankan tingkat kehinaan dan ketiadaan harga diri dari sisa-sisa pasukan Abrahah. Kekuatan dan kemuliaan mereka lenyap sepenuhnya, digantikan oleh gambaran yang memalukan.
Tafsir modern, seperti Sayyid Qutb dalam Fi Zilalil Qur’an, menyoroti aspek psikologis dan moral dari ayat ini. Simile ini melayani tujuan retoris untuk menunjukkan kontras yang absolut: kekuatan materi yang sombong dihancurkan oleh entitas yang paling lemah (burung dan batu kecil) dan hasil akhirnya direduksi menjadi sampah yang tak berdaya. Hal ini memberikan pesan mendalam bahwa segala bentuk kekuasaan yang berani menantang kehendak Allah akan mengalami nasib yang sama, menjadi tidak lebih dari sisa-sisa yang dimakan habis dan dibuang. Ayat ini menguatkan konsep Tauhid, di mana hanya kekuasaan Allah yang abadi dan tak tertandingi.
Peristiwa ‘Amul Fil adalah kisah tentang kesombongan yang melampaui batas. Abrahah, seorang penguasa Kristen di Yaman yang berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Aksum (Ethiopia), melihat bahwa Ka'bah di Mekah menarik perhatian dan kekayaan yang besar dari seluruh Jazirah Arab. Ia membangun sebuah katedral besar di Sana’a (Al-Qullais) dengan harapan mengalihkan haji dan perdagangan ke Yaman. Ketika upayanya gagal dan bahkan katedralnya dinodai oleh seorang Arab yang marah, Abrahah bersumpah untuk menghancurkan Ka'bah, fondasi spiritual dan ekonomi masyarakat Hijaz.
Pengerahan gajah perang, yang dipimpin oleh gajah perkasa bernama Mahmud, merupakan simbol invasi teknologi tinggi pada masa itu. Arab belum pernah melihat kekuatan seperti itu. Penduduk Mekah, termasuk kakek Nabi, Abdul Muttalib, merasa tidak berdaya dan hanya bisa menyerahkan perlindungan rumah suci mereka kepada Tuhannya. Keputusan Abdul Muttalib untuk meninggalkan Mekah dan berdoa menunjukkan kesadaran bahwa tantangan ini melampaui kekuatan manusia.
Kehadiran gajah-gajah ini dan kehebatan pasukan Abrahahlah yang membuat kehancuran mereka menjadi lebih signifikan dan keajaiban yang terjadi menjadi lebih dramatis. Bayangkan sebuah kekuatan militer yang tak terkalahkan, yang datang dengan penuh keyakinan untuk menghancurkan lambang spiritual, tiba-tiba dihentikan bukan oleh pasukan penunggang kuda atau panah, melainkan oleh makhluk kecil yang tak terduga.
Ayat 3 dan 4 menjelaskan bahwa Allah mengirimkan ‘thairan ababil’ (burung Ababil) yang membawa ‘hijaratan min sijjil’ (batu dari tanah liat yang dibakar). Meskipun Qur’an tidak secara detail menjelaskan jenis burung atau komposisi batu tersebut, hasilnya sangat jelas, sebagaimana disimpulkan dalam Ayat 5: kehancuran total. Para ulama banyak mendiskusikan sifat batu Sijjil:
Apapun mekanisme pastinya, efeknya adalah mengubah tubuh yang kuat dan sehat menjadi ka’asfim ma’kul. Prosesnya cepat, memalukan, dan universal bagi seluruh anggota pasukan. Para sejarawan mencatat bahwa beberapa tentara yang berhasil melarikan diri kembali ke Yaman menceritakan kengerian yang mereka saksikan sebelum mereka sendiri mati dalam perjalanan, memberikan kesaksian publik yang tak terbantahkan mengenai intervensi Ilahi.
Ayat 5 adalah proklamasi akhir bahwa Allah adalah pelindung sejati Ka'bah. Ketika penduduk Mekah menyerahkan urusan Ka'bah kepada Tuhan, Allah menunjukkan bahwa Dia tidak membutuhkan manusia untuk mempertahankan rumah-Nya. Ayat ini menegaskan bahwa tidak ada kekuatan di bumi, betapapun canggih atau besarnya, yang dapat menantang kehendak Ilahi.
Penggunaan simile daun yang dimakan ulat menghapuskan semua sisa-sisa keagungan yang dimiliki pasukan Abrahah. Tentara yang datang dengan gajah, yang seharusnya menakutkan, pada akhirnya menjadi sesuatu yang lebih rendah dari sampah di mata makhluk hidup, menjadi kotoran atau sisa-sisa yang bahkan tidak layak diinjak. Ini adalah puncak dari pembalasan Ilahi yang dirancang untuk mempermalukan kesombongan manusia secara menyeluruh.
Peristiwa ‘Amul Fil terjadi di tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, Nabi tumbuh di tengah masyarakat yang masih segar ingatannya akan mukjizat besar ini. Ketika Nabi mulai berdakwah di Mekah, Surat Al-Fil menjadi bukti otentik yang dapat dirujuk. Bukti ini jauh lebih kuat daripada sekadar janji-janji masa depan; ini adalah realitas yang disaksikan sendiri oleh para tetua Mekah.
Ayat 5 memberikan pesan yang menenangkan kepada kaum Muslimin awal yang lemah dan teraniaya: bahwa kekuatan Allah selalu lebih besar daripada kekuatan penindas (seperti Abu Jahal atau para pemimpin Quraisy yang sombong). Jika Allah mampu menghancurkan pasukan Gajah yang jauh lebih kuat, Dia pasti mampu melindungi sekelompok kecil Mukmin. Simbolisme ‘ka’asfim ma’kul’ menjadi harapan bahwa setiap kezaliman, betapapun megahnya, akan berakhir pada kehinaan dan kehancuran total.
Dalam ilmu balaghah (retorika Qur'an), simile di Ayat 5 termasuk dalam kategori perbandingan yang paling kuat karena menggabungkan kecepatan kehancuran dengan kehinaan yang ekstrem. Simile ini efektif karena beberapa alasan:
Untuk memahami sepenuhnya kedalaman makna ka’asfim ma’kul, penting untuk melihat bagaimana istilah-istilah serupa digunakan dalam Al-Qur'an. Meskipun frasa persis ini unik di Surat Al-Fil, akar katanya (asf dan akl) sering muncul dalam konteks penghancuran, peringatan, dan akhir zaman.
Kata ‘asf’ juga muncul dalam Surat Ar-Rahman (55:12) di mana ia digunakan untuk menggambarkan jerami atau sekam yang memiliki wangi-wangian, dalam konteks kenikmatan yang diberikan Allah. Namun, dalam Al-Fil, konteksnya terbalik total. Dari benda yang bisa menjadi sumber kenikmatan (bagi ternak atau sebagai bahan wangi), ia menjadi gambaran kehancuran. Perbedaan ini menunjukkan fleksibilitas bahasa Qur’an dalam menggunakan satu kata untuk menyampaikan dua kutub makna: kenikmatan ciptaan versus kehancuran akibat dosa. Dalam Al-Fil, asf kehilangan semua kenikmatan, hanya menyisakan bentuk fisik yang hancur, tidak lagi berguna bahkan sebagai makanan ternak yang layak.
Kata kerja yang berasal dari akar ‘akl’ (makan) seringkali digunakan dalam Qur’an dalam konteks peringatan atau penghancuran, tidak selalu fisik. Misalnya, memakan harta anak yatim secara zalim. Namun, dalam konteks ma’kul di Surat Al-Fil, ‘makan’ adalah proses fisik yang merujuk pada proses biologis yang merusak. Seolah-olah pasukan tersebut mengalami peluruhan yang dipercepat oleh batu Sijjil, menyebabkan tubuh mereka dicerna atau dikonsumsi oleh penyakit atau kekuatan batu itu sendiri, mengubah daging dan tulang menjadi tekstur yang rapuh seperti daun kering yang hancur lebur.
Meskipun kisah Abrahah adalah sejarah kuno, Ayat 5 Surat Al-Fil tetap sangat relevan di era modern. Saat ini, kekuatan militer diukur dengan rudal balistik, pesawat tanpa awak, dan teknologi nuklir, bukan gajah. Namun, keangkuhan yang ditunjukkan Abrahah terhadap Rumah Allah dapat disamakan dengan arogansi yang ditunjukkan oleh negara-negara adidaya atau rezim zalim yang menggunakan kekuatan brutal mereka untuk menindas kebenaran dan keadilan.
Pesan dari “Fa ja’alahum ka’asfim ma’kul” adalah bahwa tidak peduli seberapa canggih atau hebatnya teknologi perang yang dimiliki manusia, jika kekuatan itu digunakan untuk menentang kehendak Allah, untuk menindas yang lemah, atau untuk menghancurkan kesucian, akhir mereka akan sama: direduksi menjadi sampah yang tidak berarti. Kehancuran tersebut mungkin tidak selalu berupa burung Ababil, tetapi bisa datang dalam bentuk kegagalan sistematis, keruntuhan ekonomi, wabah yang tak terduga, atau bencana alam yang melumpuhkan, mengubah simbol kekuatan menjadi simbol kehinaan.
Ayat 5 mendorong refleksi mendalam tentang kelemahan fundamental manusia. Abrahah mengira dirinya tak terkalahkan karena memiliki gajah. Allah menunjukkan bahwa manusia, betapapun kuatnya, hanyalah makhluk yang rentan. Seluruh pasukan dapat dengan mudah diubah menjadi sisa-sisa yang hancur, sebanding dengan daun kering yang rapuh. Refleksi ini mengajarkan umat Muslim untuk selalu bergantung pada Allah, bukan pada kekuatan materi atau strategi manusia.
Bagi seorang Mukmin, memahami bahwa kekuatan besar dapat direduksi menjadi ‘asfim ma’kul’ menanamkan kerendahan hati dan menghilangkan rasa takut terhadap tirani dunia. Keyakinan akan janji Allah untuk membela kebenaran adalah sumber kekuatan spiritual yang jauh melampaui segala bentuk kekuatan fisik yang ditawarkan oleh dunia.
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif mengenai ayat ini, kita harus merenungkan secara rinci bagaimana transformasi dari kekuatan menjadi kehancuran total dapat terjadi. Para ahli tafsir dan linguistik telah berusaha memvisualisasikan kondisi akhir dari Pasukan Gajah, dan elaborasi ini penting untuk memahami dampak retoris dari ka’asfim ma’kul.
Istilah ‘dimakan’ tidak selalu harus melibatkan proses pencernaan hewan secara harfiah. Dalam konteks kehancuran oleh batu Sijjil, ‘dimakan’ bisa berarti mengalami kerusakan struktural yang ekstrem. Bayangkan jika batu Sijjil membawa semacam energi kimia atau radiasi yang menyebabkan sel-sel tubuh mulai hancur dengan cepat. Dalam beberapa jam, atau bahkan menit, daging, kulit, dan organ internal akan terurai, meninggalkan jasad yang berlubang-lubang dan rapuh, menyerupai daun yang ditinggalkan ulat, yang hanya menyisakan kerangka jaringan yang kering.
Kehancuran ini haruslah total dan seragam. Seluruh tentara, dari komandan hingga prajurit rendahan, termasuk gajah-gajah yang dilindungi, mengalami nasib yang sama. Ini menghilangkan hierarki kekuatan mereka. Gajah, simbol kekuasaan mereka, mengalami kehancuran yang sama, menunjukkan bahwa senjata terkuat mereka pun tidak mampu menangkis murka Ilahi. Hasilnya adalah dataran yang penuh dengan sisa-sisa organisme yang hancur, yang sama sekali tidak dapat dikenali sebagai pasukan tempur yang pernah gagah. Tubuh-tubuh tersebut menjadi semacam ‘bangkai yang dimakan’, namun proses ‘dimakan’ ini dipercepat secara mukjizat.
Dalam budaya Arab, kehormatan dan kekuatan identik dengan bentuk fisik dan keturunan yang utuh. Menjadi ‘asfim ma’kul’ berarti kehilangan kehormatan, identitas, dan kekuatan secara mutlak. Ketika kaum Arab menyaksikan atau mendengar laporan bahwa pasukan besar yang mengancam kehormatan mereka kini tergeletak sebagai sisa-sisa yang menjijikkan, dampaknya melampaui rasa takut; ia menanamkan rasa hormat yang mendalam terhadap entitas yang melindungi Ka'bah—yaitu Allah SWT.
Simile ini menekankan bahwa bukan hanya kehidupan mereka yang berakhir, tetapi juga makna keberadaan mereka. Mereka datang untuk membuat sejarah melalui kehancuran, tetapi mereka sendiri yang menjadi pelajaran sejarah dalam bentuk yang paling memalukan. Sisa-sisa mereka tidak bisa dimakamkan dengan layak karena wujudnya telah hancur, seolah-olah alam menolak menerima mereka kembali ke dalam tanah sebagai pahlawan atau bahkan musuh yang terhormat. Mereka adalah sisa-sisa yang tidak layak, sampah yang dicampakkan, menunjukkan tingkat maksimum dari murka dan penghinaan Ilahi.
Fungsi lain dari simile ka’asfim ma’kul adalah untuk mengabadikan kisah ini dalam memori kolektif. Deskripsi ‘seperti daun yang dimakan ulat’ adalah deskripsi yang sangat kuat, mudah divisualisasikan, dan mudah diingat oleh masyarakat yang sebagian besar bergantung pada pertanian dan ternak. Setiap kali seseorang melihat sisa-sisa jerami yang dimakan atau daun yang berlubang, mereka akan teringat pada kehancuran Abrahah. Ini adalah cara Al-Qur'an memastikan bahwa pelajaran dari peristiwa tersebut akan terus bergema melintasi waktu, berfungsi sebagai pengingat yang konstan akan batas-batas kekuasaan manusia.
Keakuratan dan ketajaman deskripsi ini menunjukkan kesempurnaan Al-Qur'an, yang menggunakan bahasa yang paling sederhana untuk menggambarkan peristiwa yang paling dahsyat dan supranatural. Pilihan kata yang tepat ini memastikan bahwa tidak ada kebingungan mengenai akhir yang menimpa pasukan tersebut. Mereka tidak mundur, mereka tidak kalah dalam pertempuran konvensional; mereka dimusnahkan hingga tingkat fundamental, diubah menjadi materi biologis yang telah terurai dan tidak berarti.
Pada tingkat spiritual, Surat Al-Fil, dan khususnya Ayat 5, memberikan pelajaran esensial bagi perjalanan iman seorang individu. Surat ini bukan hanya tentang perlindungan Ka'bah di masa lalu, tetapi tentang perlindungan Allah terhadap hati seorang mukmin yang teguh.
Kisah ini adalah contoh utama dari Tawakkal (berserah diri). Ketika menghadapi ancaman yang tak tertandingi (seperti yang dialami Abdul Muttalib), solusi bukanlah melawan dengan kekuatan yang sama, tetapi berserah diri sepenuhnya kepada Sang Pencipta. Hasilnya, kehancuran yang ditimpakan kepada Abrahah digambarkan dengan simile ka’asfim ma’kul, mengajarkan bahwa hasil dari Tawakkal adalah perlindungan yang total dan penghinaan bagi musuh.
Dalam kehidupan sehari-hari, seorang Muslim yang menghadapi kesulitan atau kezaliman harus mengingat Ayat 5. Sebesar apa pun masalah yang terlihat (seperti Pasukan Gajah), jika hati berserah kepada Allah, Dia mampu mengubah ancaman besar itu menjadi ‘daun yang dimakan ulat’—hancur dan tidak efektif. Kehinaan yang menimpa musuh-musuh Allah adalah janji bagi mereka yang berlindung di bawah naungan-Nya.
Ayat 5 mengingatkan kita bahwa kekuatan Ilahi seringkali beroperasi melalui instrumen yang paling remeh. Burung (Ababil) dan batu kecil (Sijjil) adalah agen kehancuran, sedangkan hasil akhirnya adalah sesuatu yang rapuh (jerami yang dimakan). Ini menunjukkan bahwa Mukmin harus menghargai setiap kebaikan dan kekuatan, sekecil apa pun, yang datang dari Allah. Jangan pernah meremehkan intervensi Allah hanya karena ia datang dalam bentuk yang sederhana atau tidak konvensional.
Ini kontras dengan mentalitas Abrahah, yang hanya menghargai gajah dan jumlah pasukannya. Kesombongan menghalangi dia untuk melihat ancaman dari hal-hal kecil. Bagi kita, ini adalah pelajaran untuk tidak meremehkan musuh yang kecil, dan lebih penting lagi, tidak meremehkan bantuan Allah yang datang dari sumber yang tak terduga. Daun yang dimakan ulat adalah metafora bagi betapa mudahnya Allah dapat merobek kain kekuatan buatan manusia dengan alat yang tampaknya tidak berarti.
Surat Al-Fil secara keseluruhan, dan khususnya Ayat 5, adalah meditasi tentang al-fana’, atau kebinasaan. Semua yang diciptakan, termasuk kekuasaan dan harta benda, pada akhirnya akan hancur dan kembali menjadi materi yang tidak berharga. Simile jerami yang dimakan adalah bentuk paling dasar dari kebinasaan materi. Ia adalah pengingat bahwa tujuan hidup bukanlah membangun kekuasaan fana, melainkan mencari ridha Allah yang abadi.
Pasukan Abrahah tidak hanya binasa; mereka binasa dengan cara yang paling jelas menafikan tujuan hidup mereka. Mereka diubah menjadi abu dan sisa, sebuah peringatan keras bahwa jika ambisi manusia berbenturan dengan perlindungan Ilahi, ambisi itu akan menjadi debu. Ayat 5 adalah akhir yang mutlak, sebuah penutupan yang tidak menyisakan ruang bagi keraguan atau pemulihan bagi kesombongan tersebut.
Analisis tata bahasa Arab (Nahw dan Sharf) pada Ayat 5 sangat penting untuk menangkap kekuatan retorisnya. Struktur kalimat “Fa ja’alahum ka’asfim ma’kul” (فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَّأْكُولٍ) menunjukkan kesinambungan, hasil, dan perbandingan.
Kata kerja ‘ja’ala’ berarti ‘Dia menjadikan’ atau ‘Dia mengubah’. Penggunaan kata kerja ini menunjukkan transformasi yang aktif dan disengaja. Ini bukan kehancuran yang pasif atau kebetulan; itu adalah keputusan aktif dari Allah SWT. Preposisi ‘Fa’ (فَـ) yang mendahuluinya adalah fa al-ta’qib (menunjukkan urutan yang cepat) dan fa al-sababiyyah (menunjukkan hasil). Artinya, segera setelah burung-burung melemparkan batu Sijjil (ayat 4), hasilnya (ayat 5) terjadi dengan cepat dan definitif.
Objek dari ‘ja’ala’ adalah ‘hum’ (mereka), merujuk kepada seluruh Pasukan Gajah. Ini mencakup manusia dan hewan, menunjukkan bahwa hukuman itu menyeluruh dan tanpa pengecualian.
Partikel ‘ka’ yang berarti ‘seperti’ atau ‘menyerupai’ adalah kunci dalam simile ini. Ini adalah partikel perbandingan yang efektif karena memungkinkan pemahaman langsung tentang kondisi akhir tanpa harus menjelaskan proses kehancuran yang supranatural. Dengan mengatakan ‘seperti jerami yang dimakan’, Al-Qur'an memilih gambaran yang paling efisien dan memalukan untuk menggambarkan hasil dari hukuman Sijjil.
Keindahan Nahw di sini adalah bahwa simile ini tidak membandingkan mereka dengan sesuatu yang mati atau terbakar, melainkan sesuatu yang telah melalui proses penghancuran organik. Hal ini memperkuat interpretasi bahwa kehancuran mereka melibatkan pembusukan atau peluruhan yang cepat, yang mengubah mereka dari wujud militer yang utuh menjadi sisa-sisa organik yang hancur.
Kata ‘ma’kul’ berfungsi sebagai sifat (na’t) untuk ‘asfim’. Jika hanya dikatakan ‘ka’asfin’ (seperti jerami), maknanya akan lebih ringan. Namun, dengan menambahkan ‘ma’kul’ (yang telah dimakan), ia memperjelas jenis jerami yang dimaksud: bukan jerami segar, melainkan jerami yang sudah melalui proses kerusakan—ia telah dikunyah, dihancurkan, dan kehilangan semua nilai fisiknya. Penambahan sifat ini menjadikan perbandingan kehancuran tersebut jauh lebih total dan memalukan.
Kombinasi struktural ini menghasilkan kalimat yang sangat padat namun penuh makna, merangkum dalam tiga kata seluruh kesimpulan teologis dan historis dari peristiwa besar tersebut. Ini menunjukkan puncak dari keajaiban retorika Al-Qur'an.
Surat Al-Fil Ayat 5, “Fa ja’alahum ka’asfim ma’kul,” adalah lebih dari sekadar penutup cerita; ia adalah sebuah pernyataan teologis yang abadi mengenai hakikat kekuasaan. Ayat ini memproklamasikan bahwa segala bentuk kekuatan fisik, militer, atau teknologi manusia, jika digunakan dengan keangkuhan untuk menentang kebenaran dan kesucian, akan direduksi menjadi kehinaan yang total.
Kehancuran Pasukan Gajah yang diubah menjadi 'daun yang dimakan ulat' berfungsi sebagai batu uji bagi iman. Ia mengajarkan umat manusia bahwa perlindungan yang hakiki hanya datang dari Allah, dan bahwa bentuk hukuman Ilahi dapat mengambil bentuk yang paling tidak terduga, mengubah entitas yang paling perkasa menjadi sesuatu yang paling rapuh dan tidak berharga. Simile yang kuat ini memastikan bahwa setiap generasi akan memahami dengan jelas: kesombongan manusia akan selalu berakhir dalam kehinaan, hancur lebur seperti sisa-sisa makanan yang telah dikunyah dan dibuang, tanpa meninggalkan jejak keagungan, hanya pelajaran yang pahit dan abadi.
Ayat ini adalah penyemangat bagi yang tertindas, peringatan bagi yang zalim, dan penguat keimanan bagi seluruh umat Muslim. Kekuatan Allah melampaui segala perhitungan dan strategi manusia. Dengan memahami kedalaman ka’asfim ma’kul, kita memperbarui komitmen kita terhadap kerendahan hati dan ketundukan kepada satu-satunya Penguasa Alam Semesta.
Pesan dari kehancuran ini terus bergema: berserah diri dan tawakkal adalah benteng terkuat melawan tirani. Sementara pasukan Abrahah hanya menyisakan ‘asfim ma’kul’ di bumi, janji perlindungan Ilahi bagi mereka yang benar adalah abadi dan kekal. Kehancuran yang digambarkan di Ayat 5 adalah akhir bagi kesombongan di dunia ini, dan awal dari kesadaran akan kebesaran Tuhan.
Transformasi yang cepat dan total ini menuntut kita untuk selalu memeriksa niat kita. Apakah kita membangun kekuasaan kita di atas fondasi yang kokoh dari kebenaran dan keadilan, atau di atas pasir kesombongan? Jika yang kedua, maka nasib kita, cepat atau lambat, akan menyerupai 'daun yang dimakan ulat'. Kekuatan Ilahi beroperasi di luar pemahaman manusia, dan ketika Dia memutuskan untuk menghukum, hasilnya akan selalu total, definitif, dan terukir dalam sejarah sebagai bukti kedaulatan-Nya yang mutlak. Semua rencana Abrahah, semua gajahnya, dan semua keangkuhannya, semuanya berakhir pada satu gambaran yang memalukan dan mengerikan: ka’asfim ma’kul. Inilah keadilan Ilahi yang tidak dapat ditawar.
Keajaiban ini, yang disaksikan oleh para leluhur Nabi, merupakan fondasi kuat yang meletakkan dasar bagi penerimaan risalah Islam di Mekah. Peristiwa yang menghasilkan kehancuran yang begitu nyata dan tak terhindarkan, direkam dalam kalimat yang begitu ringkas namun kuat, menguatkan keyakinan bahwa ada kekuatan yang jauh lebih besar yang mengendalikan takdir semesta. Kekuatan yang mampu mengubah senjata biologis terkuat (gajah) menjadi sisa-sisa organik yang menjijikkan adalah Kekuatan yang layak untuk disembah dan ditakuti.
Setiap detail linguistik dalam Ayat 5 memperkuat gagasan kehancuran yang tidak dapat dipulihkan. Pemilihan kata ‘asf’—sesuatu yang seharusnya menjadi pakan ternak—dan status ‘ma’kul’—sesuatu yang sudah melalui proses konsumsi dan penghancuran—menutup semua interpretasi lain selain kehancuran total. Tidak ada yang tersisa untuk dikagumi, tidak ada yang tersisa untuk ditakuti, hanya sisa-sisa pelajaran bagi mereka yang mau merenung. Dalam konteks spiritual, ini berarti bahwa keangkuhan dan kezaliman tidak akan meninggalkan warisan yang layak, hanya kehinaan yang akan dilupakan atau hanya diingat sebagai contoh kegagalan total yang direkayasa oleh kuasa Yang Maha Tinggi.
Oleh karena itu, ketika membaca Surat Al-Fil, umat Islam diingatkan bukan hanya tentang sejarah, tetapi tentang prinsip abadi: Allah akan selalu membela rumah-Nya, baik rumah fisik di Mekah, maupun rumah spiritual dalam hati setiap Mukmin yang tulus. Dan bagi musuh-musuh-Nya, kesudahan mereka telah digambarkan dengan jelas dan memalukan: mereka akan menjadi seperti daun yang dimakan ulat, hancur, terfragmentasi, dan tidak berarti di hadapan keagungan Allah SWT.