Menggali Kedalaman Surat Al Kahfi Ayat 21

Pelajaran Abadi dari Peristiwa Kebangkitan Ashabul Kahfi

Pendahuluan: Ayat Kunci dalam Kisah Para Penghuni Gua

Surat Al Kahfi (Gua) adalah surat yang memiliki kedudukan istimewa dalam tradisi Islam, sering dibaca pada hari Jumat. Inti dari surat ini berkisar pada empat kisah utama yang mewakili empat fitnah (ujian) kehidupan: fitnah agama (Ashabul Kahfi), fitnah harta (Kisah pemilik dua kebun), fitnah ilmu (Kisah Nabi Musa dan Khidir), dan fitnah kekuasaan (Kisah Dzulqarnain).

Di antara semua kisah tersebut, kisah Ashabul Kahfi—pemuda beriman yang tertidur selama berabad-abad—adalah yang paling menyentuh isu fundamental teologi: Hari Kebangkitan. Ayat 21 dari Surat Al Kahfi bukan sekadar transisi naratif, melainkan titik puncak di mana mukjizat Tuhan yang tersembunyi selama 309 tahun di dalam gua, tiba-tiba menjadi bukti visual yang tak terbantahkan bagi seluruh umat manusia saat itu. Ayat ini menggeser fokus dari kisah individu ke debat teologis dan sosial yang lebih luas.

Ayat 21 ini membuka tabir tentang tujuan utama Allah SWT membiarkan para pemuda itu tertidur dan terbangun pada waktu yang telah ditentukan: agar manusia menyadari bahwa janji Hari Kebangkitan adalah benar, dan agar tidak ada keraguan sedikit pun mengenai kekuasaan-Nya. Oleh karena itu, memahami setiap frasa dalam ayat ini memerlukan analisis yang mendalam, tidak hanya dari sisi terjemah, tetapi juga dari konteks sejarah, tafsir, dan implikasi spiritualnya.

Teks dan Terjemah Ayat 21

Untuk memulai kajian, marilah kita perhatikan lafal suci dari Surat Al Kahfi ayat 21, sebuah ayat yang memuat konfrontasi iman dan keraguan di tengah masyarakat yang telah melupakan kebenaran ajaran tauhid.

وَكَذَٰلِكَ أَعْثَرْنَا عَلَيْهِمْ لِيَعْلَمُوٓا أَنَّ وَعْدَ ٱللَّهِ حَقٌّ وَأَنَّ ٱلسَّاعَةَ لَا رَيْبَ فِيهَآ إِذْ يَتَنَٰزَعُونَ بَيْنَهُمْ أَمْرَهُمْ ۖ فَقَالُوا ٱبْنُوا عَلَيْهِم بُنْيَٰنًا ۖ رَبُّهُمْ أَعْلَمُ بِهِمْ ۚ قَالَ ٱلَّذِينَ غَلَبُوا عَلَىٰٓ أَمْرِهِمْ لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِم مَّسْجِدًا
“Dan demikianlah, Kami singkapkan (hal) mereka agar orang-orang itu mengetahui bahwa janji Allah benar, dan bahwa hari Kiamat tidak ada keraguan padanya. Ketika mereka (penduduk negeri) berselisih tentang urusan mereka, mereka berkata, "Dirikanlah sebuah bangunan di atas (gua) mereka, Tuhan mereka lebih mengetahui tentang mereka." Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata, "Kami pasti akan mendirikan sebuah masjid di atasnya.” (QS. Al Kahfi: 21)

A. Tafsir Per Frasa Kunci

Ayat ini terbagi menjadi dua bagian besar: pengumuman Ilahi (tujuan penyingkapan) dan reaksi manusia (perdebatan sosial).

1. "وَكَذَٰلِكَ أَعْثَرْنَا عَلَيْهِمْ" (Dan demikianlah, Kami singkapkan [hal] mereka)

Kata A’tsarnaa (Kami singkapkan/Kami perlihatkan) menunjukkan intervensi langsung dari Allah. Penemuan Ashabul Kahfi bukanlah kebetulan, melainkan takdir yang telah direncanakan dengan sempurna. Proses penemuan mereka—melalui koin kuno yang dibawa salah satu pemuda—adalah cara yang lembut namun tegas dari Allah untuk membawa kembali kisah ini ke dalam kesadaran publik yang skeptis terhadap kebangkitan.

2. "لِيَعْلَمُوٓا أَنَّ وَعْدَ ٱللَّهِ حَقٌّ وَأَنَّ ٱلسَّاعَةَ لَا رَيْبَ فِيهَآ" (Agar orang-orang itu mengetahui bahwa janji Allah benar, dan bahwa hari Kiamat tidak ada keraguan padanya)

Ini adalah illah (tujuan) utama di balik seluruh episode kebangkitan Ashabul Kahfi. Pada masa itu, masyarakat terbagi: sebagian beriman kepada hari kebangkitan (seperti umat Nasrani yang beriman) dan sebagian lagi mengingkarinya (seperti kaum musyrikin). Mukjizat tidur 309 tahun adalah demonstrasi konkret bahwa Allah mampu menidurkan tubuh, menjaga roh, dan membangkitkannya kembali setelah rentang waktu yang sangat panjang, menjadikannya model kecil dari Hari Kebangkitan yang Agung.

3. "إِذْ يَتَنَٰزَعُونَ بَيْنَهُمْ أَمْرَهُمْ" (Ketika mereka berselisih tentang urusan mereka)

Bagian ini menggambarkan reaksi manusiawi segera setelah keajaiban itu terungkap. Setelah terbukti bahwa para pemuda itu benar-benar tertidur selama berabad-abad, masyarakat mulai berdebat tentang apa yang harus dilakukan terhadap situs gua dan terhadap para pemuda itu sendiri (sebelum mereka akhirnya wafat). Perdebatan ini mencerminkan sifat dasar manusia yang cenderung menggunakan bukti keagamaan untuk kepentingan duniawi atau politik.

4. "فَقَالُوا ٱبْنُوا عَلَيْهِم بُنْيَٰنًا" (Mereka berkata, "Dirikanlah sebuah bangunan di atas [gua] mereka")

Ini adalah saran kelompok pertama, yang menurut banyak mufasir, adalah mereka yang kurang mendalam imannya atau mereka yang berkuasa pada awalnya. Mereka hanya ingin membangun monumen, sebuah tanda peringatan atau museum, yang menunjukkan keajaiban tanpa harus mengaitkannya dengan ibadah spiritual yang mendalam. Mereka melihatnya sebagai fenomena sejarah, bukan sebagai lokasi ibadah.

5. "قَالَ ٱلَّذِينَ غَلَبُوا عَلَىٰٓ أَمْرِهِمْ لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِم مَّسْجِدًا" (Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata, "Kami pasti akan mendirikan sebuah masjid di atasnya")

Kelompok kedua, yang akhirnya memenangkan perdebatan (ghalabuu ‘alaa amrihim – mereka yang menguasai urusan mereka), memutuskan untuk membangun masjid. Kelompok ini adalah pemimpin agama atau politik yang sadar akan pentingnya menjadikan tempat itu sebagai pusat ibadah, pengingat abadi akan kebangkitan dan kekuasaan Allah. Pilihan kata 'masjid' (tempat sujud) menegaskan bahwa tujuan penemuan ini harus berujung pada peningkatan ibadah dan ketundukan kepada Sang Pencipta.

Ilustrasi gua Ashabul Kahfi yang melambangkan kebangkitan dan bukti kekuasaan Allah. Bukti Kebangkitan

Konsep Kebangkitan dalam Konteks Penemuan

Kisah ini terjadi pada masa di mana konsep kebangkitan (al-Ba'ts) menjadi isu sentral dalam perdebatan teologis. Dalam masyarakat Arab pra-Islam (dan juga sebagian masyarakat Romawi pada masa Ashabul Kahfi), ide bahwa tulang belulang yang telah hancur dapat dihidupkan kembali dianggap mustahil dan konyol. Allah menggunakan kisah ini sebagai sarana pedagogis yang efektif: bukti konkret yang disajikan kepada mata kepala manusia.

A. Tidur Panjang sebagai Metafora Kiamat

Tidur para pemuda di gua selama tiga abad lebih adalah miniatur dari kiamat dan kebangkitan. Tidur adalah 'kematian kecil' (al-Mautul Asghar), sementara kebangkitan adalah 'kematian besar' (al-Mautul Akbar). Jika Allah mampu mempertahankan tubuh mereka dalam keadaan tidur nyenyak, tanpa membusuk, dan membangkitkan mereka kembali seolah-olah hanya tidur sehari atau setengah hari, maka membangkitkan miliaran manusia di Hari Kiamat tentu bukan hal yang sulit bagi-Nya.

B. Kontroversi Koin dan Pengungkapan Rahasia

Penyingkapan (A’tsarnaa) terjadi ketika salah satu pemuda, setelah bangun, pergi ke pasar dengan membawa koin perak kuno untuk membeli makanan. Koin tersebut segera menjadi pusat perhatian karena sudah tidak berlaku lagi, menandakan bahwa sudah ratusan tahun berlalu. Kejadian ini memaksa para penduduk kota, termasuk raja atau penguasa saat itu (yang diyakini sudah beriman kepada monoteisme, berbeda dengan Raja Dajjal yang mereka tinggalkan), untuk menyelidiki asal-usul koin tersebut.

Penemuan identitas para pemuda ini membuktikan dua hal:

  1. Keajaiban adalah nyata: Kisah yang awalnya hanya berupa legenda atau kabar angin, kini terbukti kebenarannya.
  2. Waktu Ilahi: Menunjukkan bahwa konsep waktu manusia (309 tahun) tidak berarti apa-apa di hadapan kekuasaan Allah.

C. Peran Penguasa dan Kelompok Beriman

Dalam konteks waktu penemuan ini, beberapa mufasir menyebutkan bahwa Raja pada masa itu adalah seorang yang shalih. Penemuan ini terjadi di tengah krisis keimanan yang dialami oleh masyarakatnya mengenai Hari Akhir. Oleh karena itu, Raja dan kelompok ulama/pemimpin yang beriman melihat penemuan Ashabul Kahfi sebagai jawaban definitif dari langit untuk menepis keraguan yang melanda umat mereka. Ini menjelaskan mengapa kelompok yang berkuasa (ghalabuu ‘alaa amrihim) dengan tegas memilih mendirikan masjid, bukan sekadar monumen.

Perdebatan Sosial dan Warisan Spiritual (Masjid vs. Bangunan)

Inti dramatis dari Ayat 21 terletak pada bagian perdebatan yang terjadi segera setelah identitas para pemuda itu terungkap dan mereka akhirnya wafat. Perdebatan ini, yang digambarkan dengan kalimat "idzyatanaza’uuna bainahum amrahum" (ketika mereka berselisih tentang urusan mereka), adalah cerminan abadi dari konflik antara spiritualitas murni dan materialisme duniawi dalam menghadapi mukjizat.

A. Pilihan Membangun Bunyaan (Bangunan/Monumen)

Kelompok yang mengusulkan Bunyaan (bangunan biasa) mewakili pandangan yang cenderung membatasi mukjizat pada ranah sejarah atau pariwisata semata. Mereka ingin mengabadikan tempat itu sebagai situs arkeologi atau monumen yang dikagumi, tetapi tanpa unsur ibadah yang mengikat. Mereka mungkin berargumen bahwa:

  • Menghindari kultus individu: Mereka mungkin takut jika tempat itu dijadikan masjid, akan terjadi pemujaan terhadap para pemuda (Ashabul Kahfi) alih-alih kepada Allah.
  • Netralitas: Menginginkan tempat itu menjadi pengingat umum tanpa harus terikat pada ritus keagamaan tertentu.
  • Skeptisisme tersisa: Walaupun mengakui keajaiban, mereka mungkin belum sepenuhnya yakin bahwa tujuan utama adalah ibadah dan kebangkitan.

Saran ini cenderung mengedepankan aspek duniawi dan pengagungan artefak, sebuah kecenderungan yang selalu hadir dalam sejarah manusia, bahkan di hadapan keajaiban Ilahi.

B. Pilihan Membangun Masjid (Tempat Sujud)

Keputusan kelompok yang berkuasa (yang didominasi oleh orang-orang beriman yang kuat) untuk membangun Masjid menunjukkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai tujuan Ilahi. Keputusan ini mengandung beberapa makna penting:

  1. Transcendensi Tujuan: Mengubah tempat mukjizat menjadi tempat ibadah menegaskan bahwa setiap keajaiban harus mengarah pada peningkatan ketakwaan dan penyembahan kepada Allah semata.
  2. Pendidikan Abadi: Masjid berfungsi sebagai pusat pendidikan. Setiap orang yang bersujud di sana akan diingatkan tentang kisah Ashabul Kahfi, kekuasaan Allah, dan janji kebangkitan.
  3. Penegasan Tauhid: Dengan membangun masjid, mereka menolak potensi pemujaan kubur atau individu, dan mengarahkan fokus total kepada Dzat yang menciptakan mukjizat tersebut.

Frasa "lanattakhidanna ‘alaihim masjidã" (Kami pasti akan mendirikan sebuah masjid di atasnya) menggunakan penegasan laam tawkid (penekanan), yang menunjukkan resolusi dan ketegasan dalam mengambil keputusan spiritual tersebut.

C. Perdebatan tentang Kubur dan Ibadah

Ayat ini sering kali menjadi bahan perdebatan dalam fikih mengenai hukum mendirikan tempat ibadah di atas kuburan orang shalih. Ulama Ahli Sunnah Wal Jamaah umumnya menafsirkan bahwa meskipun ayat ini mencatat tindakan kelompok berkuasa saat itu, Rasulullah SAW kemudian melarang umatnya menjadikan kuburan sebagai masjid (tempat sujud), sebagai upaya pencegahan syirik. Namun, konteks ayat 21 ini adalah peninggalan dari umat terdahulu, yang tujuannya adalah memelihara keimanan terhadap kebangkitan, bukan pemujaan kubur.

Pelarangan Nabi Muhammad SAW berfungsi sebagai benteng terakhir bagi umat Islam agar tidak terjerumus pada praktik kultus individu, meskipun kisah Ashabul Kahfi menunjukkan niat mulia untuk menjadikan tempat itu sebagai pengingat tauhid.

Implikasi Teologis Ayat 21: Fondasi Iman

Ayat 21 adalah salah satu ayat terpenting dalam Al-Qur’an yang secara eksplisit menghubungkan sebuah peristiwa sejarah dengan doktrin inti agama. Implikasinya melampaui kisah naratif semata; ia menyentuh tiga fondasi utama keimanan.

A. Janji Allah (Wa'dullah) adalah Hakikat

Frasa "an na wa'dallahi haqq" (bahwa janji Allah adalah benar) mencakup semua janji Allah, namun dalam konteks ini, janji yang paling ditekankan adalah janji kebangkitan. Pada masa itu, masyarakat membutuhkan bukti nyata. Kisah Ashabul Kahfi memberikan jawaban logis: jika Allah mampu menangguhkan kehidupan dan membangkitkan tubuh yang sama setelah 309 tahun, maka seluruh alam semesta akan tunduk pada kehendak-Nya di Hari Kiamat.

B. Kepastian Hari Kiamat (As-Sa’ah)

Ayat ini secara eksplisit menyatakan: "wa annas sa’ata laa raiba fiihaa" (dan bahwa hari Kiamat tidak ada keraguan padanya). Keraguan (raib) adalah penyakit hati yang paling berbahaya bagi seorang mukmin. Allah menggunakan mukjizat historis ini untuk menghilangkan keraguan tersebut secara total. Kebangkitan mereka adalah penjelas yang paling tulus dan langsung mengenai kemampuan mutlak Tuhan untuk menghidupkan kembali.

C. Kekuatan Mutlak (Qudratullah)

Ayat ini memperlihatkan qudratullah dalam tiga dimensi:

  1. Kekuatan Menghentikan Waktu: Allah menidurkan mereka tanpa membuat tubuh mereka membusuk, menangguhkan hukum alam yang biasa berlaku pada organisme hidup yang tidak makan dan minum.
  2. Kekuatan Mengubah Sejarah: Allah memastikan mereka bangun pada saat yang tepat di mana kebangkitan menjadi topik perdebatan panas.
  3. Kekuatan Mempengaruhi Hati: Penemuan ini memaksa kelompok yang paling skeptis sekalipun untuk mengakui adanya kekuatan supra-natural yang bekerja.

Kisah ini adalah penegasan bahwa kekuasaan Allah tidak terbatas oleh ruang, waktu, atau hukum fisika yang diciptakan-Nya sendiri.

Pelajaran Spiritual dan Kontemporer dari Ayat 21

Walaupun kisah Ashabul Kahfi adalah peristiwa masa lalu, hikmah dari Ayat 21 bersifat universal dan abadi. Ayat ini mengajarkan kita bagaimana merespons mukjizat dan ujian keimanan di era modern, di mana skeptisisme ilmiah dan materialisme menjadi tantangan utama.

A. Menghindari Godaan Memperkosa Keajaiban

Perdebatan antara bunyaan dan masjid adalah peringatan agar kita tidak memperlakukan bukti keimanan hanya sebagai komoditas sejarah atau sumber daya pariwisata. Ketika kita dihadapkan pada keajaiban atau mukjizat (baik dalam bentuk historis maupun dalam kehidupan pribadi), respons yang benar harus selalu berupa peningkatan ibadah (masjid), bukan sekadar kekaguman pasif (bunyaan).

Di era modern, godaan ini terwujud dalam menjadikan kisah-kisah Islam sebagai mitos belaka, atau hanya memandang peninggalan sejarah Islam sebagai warisan budaya tanpa nilai spiritual yang transformatif.

B. Iman di Tengah Keraguan Kolektif

Ayat ini diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW di Mekkah ketika beliau menghadapi keraguan luar biasa dari kaum Quraisy tentang Hari Akhir. Ayat 21 adalah dukungan langit bagi Nabi bahwa meskipun masyarakat sekitarnya mengingkari, bukti kebenaran akan muncul pada waktu yang telah ditentukan oleh Allah.

Bagi umat Islam kontemporer, ini mengajarkan keteguhan. Meskipun kita hidup dalam masyarakat yang semakin sekuler dan meragukan eksistensi Tuhan atau kehidupan setelah mati, janji Allah adalah tetap dan pasti, sebagaimana kebangkitan Ashabul Kahfi adalah pasti.

C. Etika Kekuasaan

Frasa "ghalabuu ‘alaa amrihim" (orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka) membawa pelajaran etika kepemimpinan. Pemimpin yang baik adalah mereka yang menggunakan kekuasaan dan pengaruh mereka untuk menegakkan ibadah (mendirikan masjid), bukan sekadar untuk kepentingan politik, pengumpulan harta, atau membangun monumen kebesaran diri (mendirikan bunyaan).

Kisah ini mengajarkan bahwa kekuasaan harus diarahkan kepada penguatan spiritualitas masyarakat, memastikan bahwa setiap peristiwa luar biasa yang terjadi dijadikan kesempatan untuk kembali bersujud dan mengakui kekuasaan mutlak Allah.

Aspek Balaghah dan Keindahan Bahasa Ayat 21

Keindahan Al-Qur’an seringkali tersembunyi dalam pilihan kata dan struktur kalimatnya. Ayat 21, meskipun padat narasi dan teologi, juga kaya akan unsur balaghah (retorika keindahan bahasa Arab).

A. Penggunaan Kata "A’tsarnaa" (Kami Singkapkan)

Kata a’tsarnaa (dari akar kata ‘atsara, yang berarti menemukan secara tak sengaja atau mengungkap) sangat mendalam. Allah menggunakan bentuk fi’il madhi (kata kerja lampau) yang menunjukkan kepastian aksi Ilahi. Penggunaan kata kerja ini menyiratkan bahwa penemuan ini bukan hasil kerja keras pencarian manusia, melainkan hasil penyingkapan yang direncanakan oleh Allah, seolah-olah tabir yang menutupi mereka ditarik oleh tangan kekuasaan mutlak.

B. Struktur Klausa Tujuan (Liya'lamu)

Penggunaan lam ta’lil (li, yang berarti 'agar' atau 'supaya') dalam "liya'lamuu an na wa’dallahi haqq" menegaskan hierarki tujuan. Tujuan utama kisah ini bukanlah cerita hiburan, melainkan tujuan didaktis dan teologis: agar manusia tahu dan yakin akan kebenaran janji kebangkitan. Struktur ini menempatkan keimanan sebagai produk akhir yang harus dicapai dari peristiwa tersebut.

C. Kontras antara Bunyaan dan Masjid

Kontras yang tajam antara bunyãnan (bangunan umum, struktur fisik) dan masjidãn (tempat sujud, struktur spiritual) adalah puncak retorika ayat ini.

  • Bunyaan: Bersifat horizontal (duniawi), memandang keajaiban sebagai fenomena sejarah yang layak dipertontonkan.
  • Masjid: Bersifat vertikal (ukhrawi), memandang keajaiban sebagai seruan untuk bersujud dan menyembah Tuhan yang melakukannya.

Pilihan kata ini secara implisit mengkritik kecenderungan manusia untuk memisahkan mukjizat dari ibadah, suatu kritikan yang tetap relevan hingga hari ini.

D. Penekanan (Tawkid) pada Keputusan

Dalam keputusan kelompok yang berkuasa, frasa "lanattakhidanna" (Kami pasti akan mendirikan) mengandung laam tawkid (lam penegas) dan nun tawkid tsaqilah (nun penegas berat). Kombinasi ini memberikan kekuatan mutlak pada keputusan tersebut. Ini menunjukkan bahwa kelompok yang beriman tidak hanya membuat keputusan, tetapi membuat keputusan yang tidak dapat diganggu gugat, mencerminkan keyakinan mutlak mereka bahwa tempat itu harus berfungsi sebagai pusat pengingat kebangkitan Ilahi.

Kesimpulan: Hikmah Abadi Surat Al Kahfi Ayat 21

Surat Al Kahfi Ayat 21 adalah penutup kisah Ashabul Kahfi yang brilian, mengubah narasi pelarian dari raja tiran menjadi sebuah demonstrasi teologis kosmik. Ayat ini adalah jembatan antara masa lalu dan Hari Kiamat, antara tidur dan kebangkitan. Pelajaran yang disajikan tidak terbatas pada sejarah kuno; ia berbicara langsung kepada tantangan keimanan kita hari ini.

A. Refleksi Mendalam tentang Kehidupan dan Kematian

Kisah ini mengajak kita untuk merenungkan makna tidur kita sendiri. Setiap malam adalah kematian kecil, dan bangun di pagi hari adalah kebangkitan kecil. Jika Allah mampu mengembalikan kesadaran dan kehidupan setiap hari, mengapa kita meragukan kemampuan-Nya untuk melakukan hal yang sama pada skala besar di Hari Kiamat? Ayat 21 menghilangkan semua keraguan tersebut, menuntut keyakinan tanpa syarat.

B. Ujian Terhadap Warisan Spiritual

Ayat 21 mengajarkan bahwa ketika dihadapkan pada peninggalan spiritual atau bukti keajaiban, kita harus memilih jalan masjid (ibadah dan ketakwaan) daripada jalan bunyaan (monumen dan kekaguman duniawi). Warisan sejati dari orang-orang shalih bukanlah struktur fisik, tetapi penguatan iman yang diwariskan kepada generasi berikutnya.

C. Peran Doa dan Perlindungan dari Fitnah

Kisah Ashabul Kahfi sering dikaitkan dengan perlindungan dari fitnah Dajjal. Dajjal akan menguji manusia dengan kekuasaan duniawi (harta dan mukjizat palsu). Ayat 21 mengajarkan bahwa penawar utama terhadap fitnah dunia adalah pengakuan yang teguh atas kekuasaan Allah dan kepastian Hari Akhir. Ketika seseorang yakin bahwa kebangkitan dan pertanggungjawaban adalah nyata, godaan materi Dajjal menjadi tidak berarti.

Oleh karena itu, pembacaan dan perenungan Surat Al Kahfi, khususnya Ayat 21, berfungsi sebagai penyeimbang spiritual. Ia mengingatkan bahwa realitas tertinggi bukanlah apa yang dapat kita lihat, sentuh, atau hitung hari ini, melainkan janji abadi tentang keadilan Ilahi dan kehidupan yang kekal di Hari Kiamat. Ini adalah panggilan untuk menggunakan setiap momen hidup untuk bersujud, menjadikan hati kita sebagai masjid yang selalu mengingat tujuan utama penciptaan kita.

Melalui kisah Ashabul Kahfi, Allah memberikan kita sebuah jendela waktu yang unik, menegaskan kebenaran yang tak lekang dimakan zaman. Kekuatan untuk menidurkan dan membangkitkan adalah bukti final dan definitif bahwa Wa'dullãhi haqq—janji Allah adalah kebenaran yang pasti.

🏠 Homepage