Pembuka Kisah Pencarian Ilmu Agung
Surat Al Kahfi, sebuah surah Makkiyah yang memuat empat kisah utama sebagai pelajaran bagi umat manusia, menyimpan salah satu narasi paling mendalam tentang hubungan antara ilmu yang tampak dan hakikat kebijaksanaan ilahiah. Di antara kisah-kisah tersebut, perjalanan Nabi Musa ‘Alaihis Salam (AS) bersama muridnya, Yusha’ bin Nun, menjadi poros utama yang mengajarkan tentang pentingnya kerendahan hati dalam menghadapi samudera pengetahuan tak terbatas.
Pencarian ini tidak hanya sekadar perjalanan fisik melintasi batas-batas geografis, melainkan sebuah metafora agung mengenai determinasi spiritual dan kesediaan seorang nabi besar untuk tunduk kepada sumber ilmu yang lebih tinggi, yang diwakili oleh sosok misterius bernama Al-Khidr. Titik tolak dari seluruh rangkaian kisah ini diletakkan dengan tegas dan penuh tekad dalam Surat Al Kahfi ayat 60.
Ayat ini berfungsi sebagai deklarasi niat yang mengikat, menunjukkan resolusi yang luar biasa dari seorang utusan Allah. Ia tidak hanya mengungkapkan keinginan, tetapi juga sumpah dan kesanggupan untuk menempuh perjalanan yang tak terbayangkan panjangnya demi mencapai tujuannya, yaitu pertemuannya dengan "sumber dua lautan" (Majma'a al-Bahrain), lokasi yang telah ditetapkan Allah sebagai titik pertemuan ilmu lahir (syariat) dan ilmu batin (hakikat).
Visualisasi Pertemuan Dua Lautan (Majma'a al-Bahrain), simbolisasi pertemuan ilmu Nabi Musa dan Al-Khidr.
Ayat 60: Tekad Musa AS
Ayat yang menjadi fokus kajian ini berbunyi:
وَإِذْ قَالَ مُوسَىٰ لِفَتَىٰهُ لَآ أَبْرَحُ حَتَّىٰٓ أَبْلُغَ مَجْمَعَ ٱلْبَحْرَيْنِ أَوْ أَمْضِىَ حُقُبًا
Terjemahan dan Makna Dasar
Terjemahan harfiahnya sering diterjemahkan sebagai: “Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada pembantunya (Yusha' bin Nun): 'Aku tidak akan berhenti berjalan sebelum sampai ke pertemuan dua lautan; atau aku akan berjalan terus hingga bertahun-tahun lamanya.'”
Ayat ini terdiri dari tiga bagian makna yang sangat penting:
- Identifikasi Tokoh dan Perintah (وَإِذْ قَالَ مُوسَىٰ لِفَتَىٰهُ): Nabi Musa berbicara kepada pelayannya (atau muridnya), Yusha’ bin Nun. Dalam konteks tafsir, Yusha’ bukan hanya pembantu, tetapi juga murid yang sangat dekat dan calon penerus kepemimpinan spiritual dan kenabian.
- Tekad dan Sumpah (لَآ أَبْرَحُ حَتَّىٰٓ أَبْلُغَ مَجْمَعَ ٱلْبَحْرَيْنِ): Ini adalah inti dari determinasi. Frasa lā abraḥu memiliki makna "Aku tidak akan berhenti" atau "Aku tidak akan meninggalkan tempat ini/tugas ini". Tujuannya jelas: Majma'a al-Bahrain (tempat pertemuan dua lautan).
- Waktu yang Tak Terbatas (أَوْ أَمْضِىَ حُقُبًا): Ini adalah penekanan atas komitmen. Jika pencapaian itu membutuhkan waktu yang sangat lama, bahkan jika harus menempuh ḥuqabā (satu periode waktu yang sangat panjang, sering diartikan sebagai puluhan hingga ratusan tahun), Musa tetap akan melanjutkannya.
Ayat ini menunjukkan bahwa pencarian ilmu sejati, terutama ilmu yang datang langsung dari sisi Allah (ilmu ladunni), menuntut pengorbanan waktu, tenaga, dan yang terpenting, tekad yang tidak mengenal kata menyerah. Jika Nabi Musa, seorang rasul Ulul Azmi yang telah berbicara langsung dengan Allah (Kalimullah), masih harus menempuh perjalanan demikian rupa untuk mencari tambahan ilmu, maka umat manusia lainnya tentu harus memiliki tekad yang jauh lebih besar.
Analisis Mendalam Kata Kunci Ayat 60
Untuk memahami kedalaman ayat ini, kita perlu membedah tiga istilah kunci dalam bahasa Arab:
1. Fatah (لِفَتَىٰهُ)
Kata fatā (jamaknya fityān) berarti pemuda atau hamba/pelayan. Dalam konteks Nabi Musa, Yusha’ bin Nun disebut sebagai fatahū. Namun, sebutan ini tidak merendahkan; sebaliknya, ini adalah gelar kehormatan bagi seseorang yang mengabdi dan menemani seorang nabi dalam misi suci. Yusha’ adalah representasi dari murid yang ideal, yang menemani gurunya dengan penuh ketaatan dan kesabaran, serta memiliki potensi besar. Penafsiran modern bahkan melihat fatah sebagai simbol dari semangat muda dan energi yang diperlukan dalam sebuah perjalanan spiritual yang berat.
Kehadiran Yusha’ juga menunjukkan bahwa perjalanan spiritual dan pencarian ilmu tidak seharusnya dilakukan sendirian. Seseorang membutuhkan pendamping, saksi, dan seseorang yang bisa berbagi beban perjalanan, bahkan jika pendamping itu akhirnya gagal di tengah jalan (sebagaimana yang akan terjadi pada Yusha’ dalam menjaga amanah). Ini adalah pelajaran praktis dalam manajemen tim dan kepemimpinan dalam misi dakwah.
2. Lā Abraḥu (لَآ أَبْرَحُ)
Frasa ini adalah bentuk penegasan sumpah (qasam) yang sangat kuat. Kata abraḥu adalah bentuk mudhari’ (present/future tense) dari kata kerja bariha, yang berarti ‘meninggalkan’ atau ‘beranjak’. Dengan penambahan negasi (lā), ia menciptakan sumpah negatif yang berarti ‘Aku tidak akan meninggalkan/berhenti’. Ini adalah manifestasi dari himmah ‘aliyah (tekad yang tinggi).
Tafsir linguistik menyoroti bahwa penggunaan lā abraḥu di sini jauh lebih tegas daripada sekadar mengatakan 'Aku akan terus berjalan'. Ini menunjukkan komitmen total; Musa telah mengikat dirinya pada tujuan tersebut secara absolut. Dalam ilmu balaghah (retorika Arab), penekanan semacam ini digunakan untuk memompa semangat, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi Yusha’ yang mendengarnya. Ini adalah deklarasi bahwa keberhasilan bukan hanya diharapkan, tetapi dijamin melalui kesungguhan yang tak terhingga.
3. Majma'a al-Bahrain (مَجْمَعَ ٱلْبَحْرَيْنِ)
Secara harfiah berarti ‘tempat bertemunya dua lautan’. Ini adalah istilah paling misterius dalam ayat ini dan telah melahirkan ribuan diskusi tafsir dan geografis. Apa makna hakiki dari dua lautan ini? Para ulama menawarkan beberapa pandangan:
- Makna Fisik (Geografis): Beberapa berpendapat itu adalah pertemuan Laut Merah dan Laut Mediterania, atau pertemuan Teluk Akaba dan Laut Tengah, atau bahkan pertemuan Laut Kaspia dan Laut Hitam. Penentuan lokasi spesifik ini sering kali didasarkan pada riwayat Israiliyat dan spekulasi geografis, yang umumnya tidak diyakini secara mutlak dalam tafsir.
- Makna Metaforis (Ilmu): Pandangan paling populer dan kuat adalah bahwa Majma'a al-Bahrain adalah simbol. Dua lautan tersebut melambangkan:
- Ilmu Syariat (Hukum) yang dimiliki Musa.
- Ilmu Hakikat (Kebijaksanaan Ilahiah/Ladunni) yang dimiliki Al-Khidr.
Jika kita menerima interpretasi metaforis, maka tekad Musa adalah untuk mencapai kesempurnaan ilmu, sebuah titik di mana ilmu yang ia ajarkan (syariat) dapat dipahami sepenuhnya dalam konteks kehendak Tuhan yang lebih luas (hakikat).
4. Huqubā (حُقُبًا)
Kata huqub (jamaknya ahqāb) berarti periode waktu yang sangat lama, sering kali mengacu pada jangka waktu yang tidak ditentukan namun melebihi batasan normal umur manusia. Beberapa mufassir menetapkannya sebagai 80 tahun, sementara yang lain mengartikannya sebagai "abad-abad".
Penyebutan huqubā berfungsi sebagai hiperbola untuk menunjukkan tingkat pengorbanan yang disanggupi Musa. Dia tidak hanya bersedia berjalan sampai tujuan tercapai; dia bersedia menghabiskan sisa hidupnya, bahkan jika sisa hidup itu harus diperpanjang, hanya untuk mencapai ilmu tersebut. Ini menekankan nilai tertinggi yang diberikan Islam pada pencarian ilmu yang benar. Komitmen ini melampaui kenyamanan, rasa lelah, dan bahkan batasan waktu yang rasional.
Konteks dan Motivasi di Balik Tekad Musa
Perjalanan Musa ini diyakini oleh banyak mufassir terjadi setelah ia menyampaikan khutbah yang memukau kepada Bani Israil. Setelah khutbah tersebut, ia ditanya: "Siapakah orang yang paling berilmu di bumi ini?" Musa, yang pada saat itu merasa sebagai nabi yang menerima wahyu langsung dari Allah, dengan jujur dan tanpa kesombongan, menjawab: "Saya."
Allah kemudian menegurnya melalui wahyu, bukan karena Musa berbohong, tetapi karena ia tidak mengaitkan seluruh ilmu itu kembali kepada Allah dan tidak menyadari bahwa selalu ada hamba lain yang diberikan ilmu yang berbeda. Teguran Ilahi ini memicu perjalanan yang dicatat dalam ayat 60. Allah memberitahu Musa bahwa ada hamba-Nya di Majma'a al-Bahrain yang memiliki ilmu yang tidak dimiliki Musa.
Motivasi Nabi Musa, oleh karena itu, sangat murni dan agung:
- Kepatuhan Total: Respon cepat terhadap teguran Ilahi. Musa tidak membela diri; ia langsung mencari cara untuk memperbaiki kekurangannya.
- Kehausan Ilmu: Meskipun telah menjadi nabi, Musa menyadari bahwa ilmu Allah itu tak terbatas, dan ia tidak merasa malu untuk mencari guru.
- Kerendahan Hati (Tawadhu): Keputusan untuk melakukan perjalanan yang sangat sulit demi belajar dari seseorang yang bukan nabi, menunjukkan kerendahan hati yang ekstrem. Ini mematahkan anggapan bahwa seseorang yang lebih tua atau berkedudukan tinggi tidak perlu belajar dari yang lebih muda atau yang berstatus lebih rendah.
Ketegasan dalam lā abraḥu adalah cerminan dari keseriusan Musa dalam melaksanakan perintah baru ini. Ia tidak menganggap remeh perintah untuk mencari sumber ilmu, seolah-olah ia berkata: “Jika tujuan ini adalah kehendak-Mu, ya Allah, maka tidak ada kesulitan atau waktu yang dapat menghalangiku.”
Perjalanan ini mengajarkan umat Islam tentang adab menuntut ilmu. Seorang penuntut ilmu harus memiliki tekad yang membaja (seperti janji lā abraḥu), harus siap menanggung kesulitan (seperti perjalanan ḥuqabā), dan harus memiliki kesabaran serta kerendahan hati untuk menerima ilmu dari sumber manapun (seperti Musa yang belajar dari Al-Khidr).
Menelaah Ulang Kedalaman Konsep 'Huqubā'
Pilihan kata huqubā (bertahun-tahun) di akhir ayat bukanlah sekadar pemanis retorika; ia adalah fondasi filosofis bagi pencarian ilmu. Dalam konteks spiritual, huqubā tidak hanya berarti lamanya waktu fisik, tetapi juga lamanya proses penyucian diri dan penempaan spiritual yang diperlukan untuk menjadi wadah bagi ilmu ilahiah.
Perbandingan dengan Perjalanan Spiritual Lain
Dalam tradisi sufi dan etika Islam, perjalanan menuju kesadaran spiritual penuh sering kali digambarkan sebagai perjalanan seumur hidup. Musa bersedia menukarkan sisa umurnya—atau bahkan periode waktu yang jauh melampaui usianya—demi satu tujuan mulia. Ini membedakan pencarian ilmu yang didorong oleh hasrat duniawi (yang terbatas pada manfaat cepat) dengan pencarian ilmu yang didorong oleh keridhaan Ilahi (yang tidak mengenal batas waktu atau pengorbanan).
Tekanan dari ḥuqabā mengajarkan bahwa ilmu ladunni, ilmu hakikat, atau hikmah ilahi, bukanlah sesuatu yang dapat diperoleh melalui kursus singkat atau studi cepat. Ia memerlukan dedikasi yang konsisten dan berkelanjutan, melewati berbagai kesulitan, dan menghadapi kegagalan berulang kali. Musa telah membuktikan bahwa meskipun ia memiliki mukjizat dan wahyu, ia tetap harus melalui proses penempaan yang panjang dan menyakitkan demi meraih tingkat pemahaman yang lebih tinggi.
Dimensi Kelelahan dan Lupa
Kisah ini kemudian berlanjut, menunjukkan bahwa meskipun Musa memiliki tekad yang membaja, kelemahan manusia tetap ada. Ia dan Yusha’ akhirnya kelelahan, dan Yusha’ lupa menyampaikan amanah penting tentang hilangnya ikan (tanda tempat pertemuan). Tekad yang diucapkan di ayat 60 tidak membatalkan fitrah manusia yang bisa lupa dan lelah. Justru, ayat 60 menonjolkan tekad yang dicanangkan *sebelum* kelelahan datang, menunjukkan betapa kuatnya niat awal itu.
Musa menyadari bahwa perjalanan itu akan sulit, dan dia mempersiapkan dirinya secara mental untuk hal terburuk ("aku akan berjalan terus hingga bertahun-tahun lamanya"). Ini adalah strategi mental yang efektif: menetapkan target terburuk terlebih dahulu, sehingga segala kesulitan di bawah standar itu terasa lebih ringan. Ini adalah model untuk setiap perjuangan besar, baik dalam menuntut ilmu, berjuang di jalan dakwah, maupun menempuh karier yang berat.
Pelajaran mendalam lainnya adalah bahwa kegagalan dan kelelahan di tengah jalan bukanlah alasan untuk berhenti, melainkan menjadi penanda bahwa proses itu sudah mendekati titik puncaknya. Jika Musa berhenti karena lelah atau karena lupa, seluruh pencariannya akan sia-sia. Namun, tekad yang diucapkan di ayat 60 menariknya kembali untuk melanjutkan pencarian.
Majma'a al-Bahrain: Titik Perjumpaan Dua Ilmu
Jika kita memperluas tafsir metaforis tentang Majma'a al-Bahrain, kita menemukan relevansi filosofis yang luar biasa bagi kehidupan modern. Dua lautan yang bertemu dapat dilihat sebagai:
1. Ilmu Eksoteris (Zhahir) vs. Ilmu Esoteris (Batin)
Nabi Musa adalah representasi puncak ilmu eksoteris, syariat yang mengatur kehidupan manusia, hukum Allah yang bersifat umum dan wajib. Ilmu ini jelas, terstruktur, dan dapat dipahami melalui akal dan teks.
Al-Khidr (hamba yang ditemui Musa) mewakili ilmu esoteris atau ilmu ladunni, ilmu yang datang langsung dari Allah, yang bersifat spesifik, tersembunyi, dan hanya dapat dipahami melalui intuisi dan kebijaksanaan ilahiah (hikmah). Ilmu ini seringkali tampak bertentangan dengan hukum yang tampak (seperti merusak perahu atau membunuh anak).
Tujuan Musa adalah mencapai titik integrasi di mana ia dapat memahami bahwa hukum (syariat) dan takdir (hakikat) berjalan seiring, meskipun cara kerjanya berbeda. Majma'a al-Bahrain adalah tempat di mana seorang ulama (Musa) dapat melihat bahwa ada lapisan kebaikan yang lebih dalam di balik setiap ketidakadilan yang tampak. Ini adalah puncak pemahaman tauhid, di mana seorang hamba melihat kehendak Allah dalam segala hal, baik yang baik maupun yang buruk menurut pandangan manusia.
2. Perjuangan dan Pengorbanan
Perjalanan ke Majma'a al-Bahrain bukan hanya sekadar perjalanan fisik, tetapi perjalanan dari keraguan menuju keyakinan yang kokoh. Dari pandangan bahwa ilmu yang ia miliki sudah cukup, menuju kesadaran bahwa ilmu Allah tak bertepi. Titik pertemuan ini hanya bisa dicapai melalui pengorbanan, seperti yang dicanangkan dalam sumpah lā abraḥu dan kesiapan menempuh ḥuqabā.
Dalam konteks modern, kita sering mencari kesuksesan spiritual atau profesional melalui jalan pintas. Ayat 60 adalah penolakan terhadap mentalitas jalan pintas. Ia mengajarkan bahwa hal-hal yang paling berharga — kebijaksanaan sejati, hubungan yang erat dengan Tuhan, atau puncak pencapaian profesional — menuntut investasi waktu dan tenaga yang substansial, yang digambarkan secara dramatis sebagai perjalanan hingga puluhan tahun.
Kesanggupan Musa untuk menukarkan puluhan tahun hidupnya demi pengetahuan menunjukkan skala prioritas yang benar. Bagi seorang pencari sejati, ilmu yang mendekatkan kepada Allah jauh lebih berharga daripada kenikmatan hidup atau panjang umur semata.
Jalan yang ditempuh Musa untuk mencapai Majma'a al-Bahrain penuh dengan ujian yang menguji tekadnya. Ujian pertama adalah kelelahan fisik, yang menyebabkan Yusha' bin Nun lupa akan tanda hilangnya ikan. Kelelahan dan lupa ini adalah tantangan universal bagi para penuntut ilmu. Mereka yang berhasil adalah mereka yang, seperti Musa, mampu mengingat kembali tekad awal mereka (ayat 60) dan bangkit dari kegagalan kecil untuk melanjutkan perjalanan.
Implikasi Ayat 60 pada Etika Kepemimpinan
Nabi Musa adalah seorang pemimpin besar, nabi yang membebaskan kaumnya dari perbudakan Firaun. Namun, bahkan di puncak kepemimpinannya, ia mengajarkan pelajaran penting tentang kebutuhan berkelanjutan untuk belajar. Ayat 60 memberikan cetak biru bagi kepemimpinan yang ideal dalam Islam:
1. Kepemimpinan yang Rendah Hati
Seorang pemimpin sejati tidak pernah merasa memiliki semua jawaban. Ketika Musa diingatkan bahwa ada yang lebih berilmu, ia segera menanggapi dengan tindakan nyata, bukan hanya mengakui secara lisan. Keputusan untuk mencari guru yang ilmunya berbeda, meskipun Musa memiliki status kenabian, adalah tindakan kerendahan hati terbesar. Pemimpin harus selalu menjadi murid, siap untuk menerima pandangan dan ilmu baru, bahkan dari sumber yang tidak terduga.
2. Visi Jangka Panjang (Huqubā)
Kepemimpinan yang efektif membutuhkan visi yang melampaui masa jabatan atau keuntungan jangka pendek. Keputusan Musa untuk melanjutkan perjalanan ḥuqabā menunjukkan kesediaan untuk berinvestasi dalam pengetahuan yang mungkin baru menghasilkan buah puluhan tahun ke depan, atau bahkan setelah ia tiada. Ini adalah etika kepemimpinan yang berfokus pada warisan dan kebenaran abadi, bukan pada popularitas sesaat.
3. Ketahanan (Lā Abraḥu)
Kepemimpinan pasti menghadapi hambatan, kritik, dan kegagalan. Frasa lā abraḥu (Aku tidak akan berhenti) adalah mantra ketahanan. Pemimpin harus menetapkan tujuan yang jelas (Majma'a al-Bahrain) dan menolak untuk menyerah pada kelelahan, rasa sakit, atau godaan untuk kembali ke zona nyaman. Ketahanan ini menular kepada pengikut, seperti Yusha’ bin Nun, yang meskipun lupa, tetap melanjutkan perjalanan atas dasar tekad gurunya.
Bahkan dalam konteks pengambilan keputusan, ayat ini relevan. Musa, sebagai pemimpin syariat, harus belajar dari Khidr bahwa ada dimensi keputusan yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Kepemimpinan yang bijaksana menggabungkan penerapan hukum yang ketat (syariat Musa) dengan pemahaman mendalam tentang konsekuensi takdir dan hikmah (ilmu Khidr). Tanpa pemahaman yang terakhir, keputusan yang adil secara hukum dapat terlihat kejam dalam praktik, dan inilah yang dipelajari Musa di titik pertemuannya.
Perjalanan ini adalah penyeimbangan antara al-Qadar (takdir) dan al-Syar'u (hukum). Musa harus melakukan perjalanan ḥuqabā untuk melihat bagaimana takdir bekerja melalui tindakan Khidr yang tampak melanggar hukum. Ketika Khidr merusak perahu, membunuh anak, dan membangun dinding, ia bertindak berdasarkan ilmu takdir yang diwahyukan Allah, sesuatu yang tidak dapat ditoleransi oleh syariat Musa. Perjalanan yang dipicu oleh ayat 60 adalah proses di mana Musa mendapatkan izin untuk mengintip rahasia di balik tabir hukum, yang membuatnya menjadi pemimpin yang lebih lengkap dan bijaksana.
Pencarian ini, yang diabadikan dalam satu ayat yang sarat tekad, menjadi pondasi bagi kisah-kisah selanjutnya yang penuh dengan paradoks dan pelajaran spiritual. Tanpa resolusi yang dicanangkan di ayat 60, Musa mungkin sudah menyerah setelah beberapa hari berjalan, atau setelah menyadari bahwa tanda perjalanannya telah hilang.
Namun, karena sumpahnya yang teguh (lā abraḥu), ia memiliki cadangan kekuatan spiritual yang memungkinkannya berkata kepada muridnya setelah mereka menyadari kehilangan itu: "Itulah tempat yang kita cari!" (Al Kahfi: 64). Tekad dari ayat 60 adalah yang mengubah kelelahan dan kegagalan menjadi momen pencerahan dan titik balik yang membawa mereka menuju tujuan akhir.
Memperluas Tafsir Huqubā dalam Kehidupan Modern
Menerapkan konsep huqubā (perjalanan panjang nan tak berkesudahan) dalam konteks abad ini sangat relevan. Di era informasi yang serba cepat, di mana manusia terbiasa dengan kepuasan instan, ayat 60 mengingatkan kita bahwa makna sejati, ilmu yang mendalam, dan kualitas spiritual tidak dapat diperoleh secara instan.
1. Konsistensi dalam Ibadah dan Spiritualitas
Perjalanan huqubā dapat diartikan sebagai kebutuhan akan konsistensi (istiqamah) dalam ibadah. Seseorang tidak mencapai tingkat spiritualitas tinggi hanya dengan shalat semalam suntuk, tetapi dengan shalat yang konsisten selama puluhan tahun. Kualitas iman yang dicari Musa adalah kualitas yang hanya bisa dibentuk oleh waktu dan ketekunan yang lama. Ini menolak gagasan bahwa pengalaman spiritual yang mendalam adalah hasil dari ledakan emosi sesaat; ia adalah hasil dari pengukuhan karakter selama periode yang panjang.
2. Mastery (Penguasaan) dalam Profesi
Dalam bidang profesional, ḥuqabā melambangkan proses penguasaan (mastery). Tidak ada seorang pun yang menjadi ahli sejati tanpa investasi waktu yang sangat besar. Tekad Musa di ayat 60 adalah tekad seorang master yang memahami bahwa kesempurnaan membutuhkan pengabdian total, jauh melampaui batasan jam kerja standar. Jika tujuannya adalah ilmu yang mengubah hidup, maka pengorbanan haruslah bersifat total.
Bagi para ilmuwan, para seniman, dan para pendidik, ayat 60 adalah pengingat bahwa tujuan sejati tidak terletak pada gelar atau pengakuan cepat, tetapi pada kedalaman pemahaman dan kualitas kerja yang dibangun melalui ketekunan yang panjang dan tak kenal lelah. Seringkali, pencarian ilmu membawa pada jalan buntu, kelelahan, dan keraguan—inilah “kehilangan ikan” dan “rasa lapar” yang dialami Musa. Namun, tekad untuk berjalan terus (lā abraḥu) adalah kunci untuk menemukan kembali jalan yang hilang.
3. Menghadapi Krisis Eksistensial
Dalam kehidupan spiritual, seringkali kita menghadapi krisis iman ketika menyaksikan ketidakadilan atau penderitaan yang tampak tidak masuk akal. Ini adalah "lautan" pertama (syariat) yang bertabrakan dengan "lautan" kedua (takdir). Tekad Musa di ayat 60 adalah resolusi untuk mencari kejelasan, untuk tidak pernah puas dengan jawaban yang dangkal. Ini mengajarkan kita untuk tidak melarikan diri dari misteri kehidupan, tetapi untuk mengejarnya dengan tekad yang tulus, dengan harapan bahwa pada akhirnya kita akan mencapai Majma'a al-Bahrain, di mana kita dapat menerima bahwa di balik setiap kesulitan pasti ada hikmah yang lebih besar.
Perjalanan yang panjang ini adalah sebuah janji bahwa pencarian ilmu, meskipun melelahkan, tidak akan pernah sia-sia. Allah telah menjamin bahwa mereka yang sungguh-sungguh mencari akan ditunjukkan jalan-Nya. Sumpah Musa adalah sebuah afirmasi dari keyakinan ini, sebuah keyakinan bahwa tujuan itu ada, dan harga yang harus dibayar adalah kesediaan untuk menginvestasikan seumur hidup.
Tafsir ini juga menekankan bahwa kegigihan bukanlah sekadar upaya fisik, melainkan upaya mental dan spiritual untuk mempertahankan fokus. Musa harus melawan godaan untuk merasa cukup dengan apa yang sudah ia miliki. Rasa cukup dalam ilmu adalah penyakit spiritual yang berbahaya. Oleh karena itu, lā abraḥu adalah sebuah deklarasi perang terhadap kepuasan diri (self-satisfaction) dan kemalasan intelektual.
Analisis yang mendalam terhadap lā abraḥu ḥattā ablugha (Aku tidak akan berhenti sampai aku mencapai) mengungkapkan dinamika antara proses dan tujuan. Bagi Musa, proses (perjalanan panjang ḥuqabā) menjadi tak terpisahkan dari tujuan (Majma'a al-Bahrain). Ilmu yang ia cari tidak hanya ditemukan di tujuan, tetapi juga dibentuk selama proses pencarian itu sendiri. Tanpa kelelahan, lupa, dan kembali menelusuri jejak, Musa tidak akan mencapai tingkat kerendahan hati yang diperlukan untuk belajar dari Al-Khidr.
Penutup: Warisan Ketegasan dari Ayat 60
Surat Al Kahfi ayat 60 adalah lebih dari sekadar pembuka narasi dramatis Nabi Musa dan Al-Khidr; ia adalah sebuah piagam spiritual bagi setiap penuntut ilmu dan setiap jiwa yang mencari hakikat. Ayat ini mengukir secara tegas tiga pelajaran abadi:
- Absolutnya Niat: Niat harus total dan tanpa syarat (lā abraḥu). Keraguan harus dieliminasi sejak awal perjalanan.
- Tujuan yang Jelas: Meskipun misterius, tujuan (Majma'a al-Bahrain) harus diyakini keberadaannya, mewakili puncak kebijaksanaan dan pengetahuan ilahi.
- Kesanggupan Berkorban Waktu: Kualitas memerlukan kuantitas waktu yang tidak terbatas (ḥuqabā). Tidak ada ilmu sejati tanpa pengorbanan jangka panjang.
Perjalanan Musa mengajarkan bahwa bahkan tokoh terbesar dalam sejarah kenabian pun dituntut untuk terus mengembangkan diri, mencari kebijaksanaan baru, dan bersedia menanggalkan kesombongan intelektual. Tekad yang diikrarkan oleh Musa menjadi model bagi kita semua: bahwa pencarian kebenaran adalah sebuah perjalanan seumur hidup yang menuntut komitmen tak terbatas. Kita harus menetapkan hati kita, seperti Musa, untuk tidak berhenti sampai kita mencapai titik pertemuan pribadi kita dengan hikmah ilahi, tidak peduli berapa banyak tahun (ḥuqabā) yang harus kita tempuh.
Pengulangan dan penekanan pada ketahanan dalam perjalanan ini, yang melampaui kelelahan dan kegagalan yang dijelaskan dalam ayat-ayat berikutnya, menegaskan bahwa kelemahan manusiawi adalah bagian tak terpisahkan dari proses pemurnian. Namun, janji yang diucapkan di awal—janji untuk terus berjalan, walau harus memakan waktu seabad sekalipun—itulah yang menjadi jangkar spiritual yang menyelamatkan Musa dari keputusasaan dan memastikan pencapaian tujuannya.
Dengan demikian, Surat Al Kahfi ayat 60 berdiri tegak sebagai monumen tekad, mengingatkan bahwa di hadapan keagungan ilmu Allah, setiap manusia, tanpa terkecuali, adalah musafir abadi yang harus terus bergerak maju, meninggalkan jejak perjuangan yang tidak mengenal batas waktu, demi mencapai sumber kebijaksanaan yang hakiki.
Kesungguhan Musa yang luar biasa ini, yang ditekankan melalui sumpah berat, merupakan refleksi dari pentingnya ilmu yang dicari tersebut. Jika ilmu yang dimaksud adalah hanya ilmu duniawi biasa, tentu Allah tidak akan menuntut seorang Nabi sekelas Musa untuk bersumpah menempuh ḥuqabā. Tetapi karena ini adalah ilmu yang berkaitan dengan rahasia takdir dan sifat Allah, maka harga yang harus dibayar adalah pengabdian seumur hidup.
Ayat 60 adalah panggilan kepada umat untuk merenungkan sejauh mana kita telah mengikat diri kita pada tujuan spiritual dan intelektual yang kita tetapkan. Apakah tekad kita sekuat lā abraḥu? Apakah kita bersedia mengorbankan tahun-tahun berharga (ḥuqabā) demi mencapai kualitas iman dan ilmu yang transformatif? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan menentukan apakah kita adalah pencari sejati, yang mewarisi semangat Nabi Musa AS dalam pencarian hikmah abadi di Majma'a al-Bahrain.
Sangat penting untuk dicatat bahwa tekad Musa yang diikrarkan secara publik kepada Yusha' bin Nun berfungsi sebagai kontrak spiritual yang mengikat. Dalam tradisi Islam, mengumumkan niat baik dapat memperkuat motivasi dan menjadikannya lebih sulit untuk menyerah ketika rintangan muncul. Ayat ini mengajarkan bahwa tekad yang kuat harus diwujudkan, diinternalisasi, dan dipertahankan melalui tindakan nyata di tengah kesulitan yang tak terhindarkan dalam setiap perjalanan menuju kebenaran. Ilmu, dalam pandangan Al-Qur'an, bukanlah komoditas yang mudah didapat, melainkan harta karun yang terkunci di balik benteng ketekunan, yang kuncinya adalah resolusi yang diikrarkan Musa di awal perjalanannya yang bersejarah.
Pengulangan analisis ini, dari sudut pandang tekad, kepemimpinan, dan spiritualitas, bertujuan untuk menggarisbawahi betapa padatnya makna yang terkandung dalam rangkaian kata-kata yang ringkas namun eksplosif dalam ayat 60 ini. Ia adalah inti dari narasi panjang Surah Al Kahfi yang menyajikan model ideal bagi setiap manusia yang mendambakan kedekatan yang lebih dalam dengan Sang Pencipta melalui ilmu yang bermanfaat dan amalan yang konsisten.
Pencarian ini tidak hanya mencari ilmu, tetapi juga mencari adab. Musa tahu bahwa ilmu Khidr adalah ujian bagi adabnya. Kerendahan hati dan kesiapan untuk menjadi murid (seperti yang ditunjukkan oleh sumpah lā abraḥu) adalah prasyarat spiritual untuk menerima ilmu ladunni. Tanpa tekad untuk mengorbankan waktu dan statusnya, Musa tidak akan pernah bisa lulus dari ujian adab di hadapan Al-Khidr. Ayat 60, dengan demikian, adalah sumpah adab sebelum sumpah perjalanan.
Kesimpulannya, setiap generasi harus kembali menafsirkan janji lā abraḥu ḥattā ablugha Majma'a al-Bahrain aw amḍiya ḥuqabā. Ia adalah kompas moral dan intelektual yang mengarahkan kita untuk selalu mengejar kebenaran tertinggi, tanpa pernah membiarkan kelelahan, kepuasan diri, atau lamanya waktu menghalangi jalan kita menuju pertemuan hakikat.