Surat Al-Lahab, atau dikenal juga dengan nama Surat Al-Masad, adalah salah satu surah yang paling singkat namun memiliki bobot historis dan teologis yang luar biasa besar dalam khazanah Al-Qur'an. Surah ini secara langsung menyebut dan mengutuk salah satu penentang utama dakwah Nabi Muhammad ﷺ.
Visualisasi api yang melambangkan Lahab (Jilatan Api), merujuk pada julukan Abu Lahab.
Pertanyaan kunci yang sering diajukan mengenai surah pendek ini adalah: surat Al-Lahab ada berapa ayat? Jawaban yang disepakati oleh seluruh mazhab qiraat, jumhur ulama tafsir, dan mushaf standar Utsmani di seluruh dunia adalah: Surat Al-Lahab terdiri dari 5 (lima) ayat.
Meskipun jumlahnya sedikit, lima ayat ini memuat pesan yang padat, nubuat yang pasti, dan kutukan yang sangat spesifik ditujukan kepada paman Nabi Muhammad ﷺ, Abdul Uzza bin Abdul Muthalib, yang dikenal dengan julukan Abu Lahab, serta istrinya, Ummu Jamil binti Harb.
Penting untuk memahami bahwa penetapan jumlah ayat ini bukan sekadar penghitungan sembarangan, melainkan didasarkan pada tradisi penandaan ayat (Fawasil) yang berasal langsung dari Rasulullah ﷺ sendiri, yang kemudian diwariskan melalui para Sahabat dan ulama Qiraat dari generasi ke generasi. Jumlah lima ayat ini memastikan bahwa setiap bagian wahyu memiliki integritas dan makna yang lengkap.
Struktur lima ayat ini membagi narasi menjadi tiga fokus utama:
Untuk memahami kekuatan lima ayat Surat Al-Lahab, kita harus menengok kembali pada peristiwa historis yang melatarbelakangi penurunannya (Asbabun Nuzul). Kisah ini adalah salah satu kisah yang paling terkenal dan tercatat dalam sejarah Islam, menunjukkan dimulainya dakwah secara terang-terangan di Mekkah.
Menurut riwayat yang masyhur dari Ibnu Abbas dan Bukhari, setelah masa dakwah sembunyi-sembunyi, Allah memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ untuk berdakwah secara terbuka kepada kaumnya. Nabi lantas menaiki Bukit Safa, bukit tertinggi di dekat Ka’bah, lalu berseru keras, memanggil kabilah-kabilah Quraisy, "Wahai Bani Fihr! Wahai Bani Adiyy!" hingga mereka semua berkumpul.
Nabi ﷺ kemudian mengajukan sebuah pertanyaan retoris, "Bagaimana pendapat kalian jika aku katakan bahwa di lembah sana ada pasukan berkuda yang akan menyerang kalian di pagi hari atau petang hari? Apakah kalian akan mempercayaiku?" Mereka semua menjawab serempak, "Kami tidak pernah mendapati engkau berdusta."
Setelah mendapatkan pengakuan atas kejujurannya, Nabi ﷺ berkata, "Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan bagi kalian sebelum datangnya azab yang pedih."
Di tengah kerumunan tersebut hadir Abu Lahab. Begitu mendengar seruan dan peringatan tentang keesaan Allah, ia menjadi yang pertama dan paling lantang menyuarakan penentangan, bahkan terhadap keponakannya sendiri.
"Celakalah kamu! Untuk inikah kamu mengumpulkan kami?"
Teriakan kutukan dari Abu Lahab inilah yang menjadi pemicu langsung turunnya kelima ayat Surat Al-Lahab. Allah Yang Maha Tinggi langsung membalas kutukan tersebut, namun dengan pembalasan yang jauh lebih dahsyat dan abadi, mengarahkan kutukan itu kembali kepada Abu Lahab dan menjamin kehancurannya di dunia dan akhirat. Surah ini adalah satu-satunya surah dalam Al-Qur'an yang secara eksplisit menyebut nama musuh Nabi ﷺ untuk dikutuk.
Tingkat kebencian Abu Lahab bukan hanya lisan, namun juga aksi fisik. Ia dan istrinya, Ummu Jamil, secara konsisten menyebar fitnah, melempar kotoran di depan rumah Nabi, dan menghasut orang lain untuk menjauhi Islam. Oleh karena itu, kelima ayat ini tidak hanya mencakup Abu Lahab tetapi juga sanksi untuk istrinya, memastikan keadilan ilahi mencakup semua pelaku kejahatan besar tersebut.
Mari kita telusuri makna setiap ayat dari total lima ayat yang membentuk Surat Al-Lahab, menggunakan perspektif tafsir klasik (Ibnu Katsir, Al-Qurtubi, Ar-Razi) untuk memastikan elaborasi yang memadai.
Terjemah: "Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa."
Kata kunci di sini adalah تَبَّتْ (Tabbat), yang berarti "binasa, rugi, celaka, atau hancur." Penggunaan kata kerja lampau (perfect tense) di sini memberikan nuansa kepastian; seolah-olah kehancuran itu sudah terjadi, menunjukkan ketetapan takdir. Ini jauh lebih kuat daripada sekadar doa kutukan. Ini adalah penetapan takdir ilahi.
Penggunaan frasa يَدَا (Yadā), bentuk dual dari 'tangan', sangat signifikan. Mengapa hanya tangan, bukan seluruh dirinya? Ulama tafsir menafsirkan ini dalam beberapa cara:
وَتَبَّ (Watabba) pada akhir ayat adalah penguatan. Jika Tabbat yadā adalah kutukan terhadap usahanya, maka watabba adalah konfirmasi bahwa seluruh dirinya dan segala upayanya telah gagal total. Ibnu Katsir menekankan bahwa ini adalah nubuat pasti tentang akhir hidupnya yang buruk, baik di dunia maupun di akhirat.
Terjemah: "Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang ia usahakan."
Ayat kedua dari lima ayat Al-Lahab ini memotong akar kebanggaan Abu Lahab, yaitu kekayaan dan status sosialnya di kalangan Quraisy. Di Mekkah, harta dan kekuasaan kabilah adalah segalanya. Abu Lahab adalah orang kaya dan terpandang.
Frasa مَالُهُ (Māluhū) merujuk pada harta bendanya, perak, emas, dan perdagangan. Sementara وَمَا كَسَبَ (Wa Mā Kasaba) memiliki dua penafsiran utama yang memperkaya makna ayat:
Pesan sentral ayat ini adalah doktrin fundamental Islam: Materi duniawi tidak akan menyelamatkan seseorang dari azab ilahi jika hatinya menolak kebenaran. Ini menjadi pelajaran universal yang melebihi konteks spesifik Abu Lahab.
Terjemah: "Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (bernyala-nyala)."
Ini adalah ayat yang paling tegas dari lima ayat Al-Lahab, mengandung nubuat definitif tentang nasib akhir Abu Lahab. Penggunaan سَيَصْلَىٰ (Sayaslā), bentuk futur yang mengandung kepastian, menunjukkan bahwa nasibnya sudah ditetapkan sebelum ia meninggal. Ayat ini adalah mukjizat kenabian yang luar biasa.
Yang paling menarik adalah penggunaan kata لَهَبٍ (Lahab)—jilatan api atau nyala api. Ini adalah permainan kata yang disengaja. Nama julukan Abu Lahab (Bapak Jilatan Api) diberikan kepadanya karena wajahnya yang tampan dan kemerahan. Allah menggunakan julukannya sendiri sebagai deskripsi azabnya. Ia adalah bapak dari api dunia, dan ia akan menjadi penghuni abadi dari Api Neraka (Al-Lahab).
Mukjizat dalam ayat ini terletak pada prediksinya. Surah ini diturunkan di Mekkah, jauh sebelum wafatnya Abu Lahab. Jika Abu Lahab ingin menyangkal kenabian Muhammad ﷺ, ia hanya perlu menyatakan diri masuk Islam, bahkan secara pura-pura. Namun, dia tidak pernah melakukannya. Dia meninggal dalam keadaan kafir, membuktikan kebenaran mutlak dari nubuat yang terkandung dalam ayat ketiga dari Surat Al-Lahab yang terdiri dari 5 ayat.
Terjemah: "Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar."
Istri Abu Lahab bernama Arwa binti Harb, saudara perempuan Abu Sufyan, yang dijuluki Ummu Jamil. Dia adalah sosok yang kaya dan memiliki status sosial tinggi. Ayat keempat dari lima ayat ini secara khusus mengutuk perannya dalam permusuhan terhadap Nabi ﷺ.
Frasa حَمَّالَةَ الْحَطَبِ (Hammālat al-Hatab), "pembawa kayu bakar," memiliki dua penafsiran yang saling melengkapi:
Tafsir Ar-Razi menekankan bahwa istilah metaforis jauh lebih merusak bagi reputasinya daripada tindakan fisik. Ini menunjukkan bahwa ia adalah "penyebar api" kebencian, menjadikan azabnya setimpal dengan dosa lisan dan hatinya.
Terjemah: "Di lehernya ada tali dari sabut/serabut."
Ayat penutup, ayat kelima dari total lima ayat Surat Al-Lahab, memberikan detail spesifik tentang hukuman Ummu Jamil di neraka. جِيدِهَا (Jīdihā) berarti leher atau tengkuk.
حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍ (Hablun min Masad) berarti tali yang terbuat dari serabut atau sabut kasar, biasanya sabut pohon kurma. Sabut ini adalah bahan yang paling keras dan kasar yang digunakan oleh masyarakat miskin untuk tali. Ini kontras dengan Ummu Jamil yang kaya dan terbiasa memakai perhiasan mewah di lehernya.
Penyebutan tali dari sabut memiliki makna mendalam:
Dengan demikian, lima ayat Surat Al-Lahab membentuk satu kesatuan narasi yang sempurna, mulai dari kutukan umum, penghapusan kekayaan, penetapan azab neraka bagi suami, hingga hukuman spesifik bagi sang istri.
Kedalaman surah yang hanya terdiri dari 5 ayat ini sering luput dari perhatian karena seringnya dibaca dalam shalat. Namun, dari sudut pandang sastra dan teologis, Al-Lahab adalah surah yang memuat keajaiban (I'jaz) Al-Qur'an.
Surat Al-Lahab adalah salah satu bukti terkuat kenabian Muhammad ﷺ. Selama sepuluh tahun setelah surah ini diturunkan, Abu Lahab masih hidup. Sepuluh tahun adalah waktu yang sangat panjang bagi seseorang untuk mengubah keyakinannya, terutama di bawah tekanan politik dan sosial yang besar. Jika saja Abu Lahab berpura-pura masuk Islam, seluruh narasi kenabian akan dirusak, dan kredibilitas Al-Qur'an akan dipertanyakan.
Namun, karena lima ayat ini adalah kebenaran mutlak dari Allah, Abu Lahab tidak diberi izin oleh takdir untuk masuk Islam. Dia tetap kafir dan akhirnya meninggal dalam kondisi yang sangat memalukan, tak lama setelah Pertempuran Badar, karena penyakit menular (disebut 'Adasah'), yang membuat kerabatnya sendiri menjauhinya karena takut tertular. Tubuhnya dibiarkan membusuk selama beberapa hari sebelum akhirnya didorong ke liang lahat dari jarak jauh dengan kayu panjang.
Nubuat dalam lima ayat ini tidak hanya meramalkan nasib akhiratnya (neraka), tetapi juga nasib dunianya (kehinaan dan kegagalan total dari semua upayanya).
Meskipun isinya adalah kutukan yang keras, surah ini mempertahankan keindahan ritmis khas surah-surah Makkiyah. Surah ini menggunakan rima akhiran yang sangat serasi (-ab dan -ad) yang menciptakan irama yang kuat dan mudah diingat, mencerminkan ketegasan pesan tersebut.
Perubahan rima di bagian akhir surah, dari suara yang lebih terbuka dan berapi-api (Lahab) menjadi suara yang lebih tertutup dan keras (Masad), secara puitis menggambarkan transisi dari ancaman umum terhadap Abu Lahab menjadi detail hukuman fisik yang keras bagi istrinya.
Surat Al-Lahab, dengan jumlah lima ayatnya yang ringkas, memainkan peran penting dalam teologi Islam, khususnya mengenai konsep Walā’ wa al-Barā’ (Loyalitas dan Pelepasan Diri).
Surah ini menunjukkan bahwa hubungan darah tidak lagi menjadi jaminan keselamatan di hadapan Allah, terutama ketika ada penentangan terhadap kebenaran. Abu Lahab adalah paman Nabi, tetapi dia dikutuk abadi. Ini mengajarkan bahwa iman mendahului ikatan keluarga dan kabilah.
Ulama fikih menyoroti bahwa lima ayat ini menegaskan prinsip bahwa permusuhan terhadap Allah dan Rasul-Nya secara otomatis membatalkan semua ikatan sosial atau kekerabatan. Kutukan ini bersifat permanen dan tidak dapat dibatalkan, menunjukkan bahwa penentangan yang dilakukan Abu Lahab berada pada tingkat kekafiran yang paling ekstrem dan tidak termaafkan.
Surat Al-Lahab unik karena secara terang-terangan menyebut nama individu yang dikutuk. Meskipun Firaun, Qarun, dan Abu Jahal dikutuk dalam Al-Qur'an, tidak ada surah yang diberi nama mereka atau yang mengawali kutukan secara langsung seperti "Tabbat yadā Abī Lahabin."
Alasan penamaan eksplisit ini, menurut Imam Fakhruddin Ar-Razi, adalah untuk menunjukkan kekhususan dosa Abu Lahab. Dia tidak hanya menentang dakwah; dia menentangnya saat ia memiliki hubungan kekerabatan terdekat, dan dia melakukannya pada momen kritis ketika dakwah mulai terbuka, mencoba membungkam kebenaran sejak awal. Oleh karena itu, hukumannya juga harus diabadikan dalam cara yang sangat spesifik melalui lima ayat wahyu.
Surat Al-Lahab ditempatkan di Juz ke-30, dekat dengan surah-surah Makkiyah yang pendek lainnya seperti Al-Kafirun dan An-Nasr. Meskipun pendek, lima ayatnya membawa beban yang berbeda dari surah-surah tetangganya.
Beberapa mufasir mengaitkan penurunan Al-Lahab (yang merupakan salah satu surah Makkiyah awal, sekitar tahun 613 M) dengan Surah An-Nasr (yang merupakan salah satu surah Madaniyah terakhir, sekitar tahun 630 M). An-Nasr (Ayat 110) berbicara tentang kemenangan, pertolongan Allah, dan masuknya manusia berbondong-bondong ke dalam Islam. Sementara itu, Al-Lahab (Ayat 111) berbicara tentang kehancuran mutlak dan kegagalan total orang yang menentang. Kedua surah ini, ketika diletakkan berdampingan, menyajikan kontras yang kuat: hasil akhir bagi yang beriman versus hasil akhir bagi yang menentang.
Kontras ini memperkuat pesan bahwa meskipun di awal perjuangan Nabi ﷺ sangat ditentang oleh keluarganya sendiri, jaminan kemenangan Allah sudah ada—seperti yang tersirat dalam jaminan kehancuran total Abu Lahab yang termuat dalam lima ayat tersebut.
Setiap ayat dalam lima ayat Al-Lahab memiliki hubungan erat satu sama lain. Para ahli balaghah (retorika) Al-Qur'an menunjukkan bahwa surah ini memiliki kohesi yang luar biasa:
Tidak ada satu pun ayat yang dapat dihilangkan tanpa merusak kesempurnaan narasi ilahi ini. Keutuhan lima ayat tersebut adalah bukti mukjizat dalam penyusunan surah yang teramat pendek.
Dalam konteks kelima ayat Surat Al-Lahab, pemahaman mendalam terhadap kata penutup, مَّسَدٍ (Masad), sangat penting. Para ahli tafsir dan linguistik memberikan perhatian khusus pada kata ini karena jarang muncul dalam Al-Qur'an dan membawa implikasi simbolis yang kuat.
Secara etimologi, Masad (م س د) merujuk pada tali yang terbuat dari serat palem atau bahan keras dan kasar lainnya. Di Mekkah, tali sabut adalah tali yang paling rendah nilainya, sering digunakan oleh budak atau orang miskin untuk memanggul beban yang berat.
Al-Qurtubi dan Ibnu Jarir At-Tabari mengutip bahwa Ummu Jamil, meskipun kaya, sangat pelit dan sering menolak meminjamkan barang, bahkan tali. Dengan mengutuknya dengan tali dari Masad di neraka, Allah memberikan hukuman yang ironis dan menghinakan. Tali itu bukan tali emas yang mungkin ia harapkan, melainkan tali yang merendahkan statusnya.
Kekasaran tali Masad juga memperkuat gambaran azab yang pedih. Tali itu akan melukai lehernya saat ia dipaksa memanggul beban kayu bakar neraka. Ini adalah hukuman yang sangat spesifik yang seimbang dengan kejahatan spesifiknya: menyebarkan kebohongan yang membakar dan menyakiti Rasulullah ﷺ.
Kisah Ummu Jamil dan tali Masad ini, yang tersirat dalam lima ayat, mengajarkan bahwa kemewahan di dunia tidak berarti apa-apa jika digunakan untuk menentang kebenaran. Posisinya sebagai istri dari bangsawan Mekkah dan saudara perempuan Abu Sufyan (pemimpin Quraisy saat itu) tidak mampu menyelamatkannya dari takdir yang disuratkan dalam ayat terakhir Al-Lahab.
Penggunaan simbol tali juga mengingatkan pada gambaran budak yang diikat. Dalam kehidupan dunia, Ummu Jamil adalah wanita bebas yang angkuh; di akhirat, dia diperlakukan seperti budak rendahan yang membawa beban kehinaan, terikat oleh Masad.
Keakuratan nubuat dalam lima ayat ini dibuktikan bukan hanya oleh kematian Abu Lahab dalam kekafiran, tetapi juga oleh cara ia wafat. Kisah kematian Abu Lahab menambah lapisan kehinaan pada kutukan ilahi yang sudah diturunkan.
Setelah kekalahan telak Quraisy di Perang Badar (yang tidak ia ikuti karena sakit), Abu Lahab menderita penyakit menular yang mengerikan yang disebut Adasah, sejenis bisul yang sangat parah dan sangat ditakuti pada masa itu karena dianggap sangat menular, mirip wabah. Bahkan anak-anaknya menjauhinya karena takut tertular.
Ketika dia meninggal, tidak ada yang berani mendekatinya untuk melakukan ritual pemakaman yang layak. Tubuhnya membusuk selama beberapa hari. Akhirnya, orang-orang menyewa buruh dari suku lain untuk mendorong jenazahnya ke dalam lubang (liang lahat) menggunakan kayu panjang, tanpa disentuh, dan mereka hanya melemparkan batu di atasnya. Kehinaan ini adalah pemenuhan sempurna dari "Tabbat yadā" – semua kekuasaan dan usahanya hancur total, dan ia meninggal tanpa kehormatan di mata kaumnya sendiri.
Nasib ini adalah konfirmasi mutlak bahwa lima ayat Surat Al-Lahab adalah kebenaran ilahi yang tak terhindarkan, membuktikan kekalahan material (tidak ada harta yang menolongnya) dan kehinaan sosial (tidak ada yang menguburkannya dengan hormat).
Surat Al-Lahab, yang terdiri dari lima ayat, adalah pelajaran abadi tentang konsekuensi menentang kebenaran. Jumlah yang ringkas ini menahan di dalamnya sejarah perjuangan awal Islam, keajaiban linguistik Al-Qur'an, dan salah satu nubuat yang paling akurat dan definitif.
Setiap ayat dari lima ayat ini berfungsi sebagai batu bata yang kokoh dalam membangun narasi peringatan: dari kehancuran usaha (Ayat 1), hilangnya manfaat kekayaan (Ayat 2), kepastian azab neraka (Ayat 3), hingga hukuman spesifik bagi mitra kejahatan (Ayat 4 & 5). Keutuhan lima ayat ini menjadikannya salah satu surah yang paling sering dibaca untuk mengingatkan umat Muslim tentang pentingnya loyalitas kepada Allah dan Rasul-Nya, serta bahaya dari permusuhan terhadap kebenaran, bahkan jika permusuhan itu datang dari lingkaran keluarga terdekat.
Oleh karena itu, ketika kita merenungkan pertanyaan "surat Al-Lahab ada berapa ayat?", jawabannya, lima, melampaui sekadar angka. Lima ayat tersebut adalah ringkasan sempurna dari penghakiman ilahi yang adil dan mutlak.
Al-Qur'an, sumber lima ayat Surat Al-Lahab.
Dalam ilmu Balaghah (retorika) Al-Qur'an, Surah Al-Lahab dianggap sebagai mahakarya ringkas yang sarat makna. Struktur lima ayatnya menggunakan teknik sastra tingkat tinggi yang memberikan dampak psikologis mendalam pada pendengarnya. Salah satu teknik yang paling menonjol adalah penggunaan 'Tawriyah' (ambiguitas yang disengaja) dan 'Iltifāt' (peralihan gaya bahasa).
Tawriyah terlihat jelas dalam penggunaan nama julukan Abu Lahab. Secara literal, Allah merujuk pada paman Nabi. Namun, dalam Ayat 3, ketika Allah berfirman: "Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (datu Lahab)," terjadi pergeseran makna. Di sini, Lahab yang pertama adalah julukan manusia, dan Lahab yang kedua adalah sifat api neraka. Ini menunjukkan takdir yang sangat ironis: namanya sendiri adalah prekursor dari hukuman abadi yang akan menimpanya. Ironi ini memperkuat kutukan yang termuat dalam kelima ayat surah tersebut.
Terdapat juga peralihan gaya bahasa yang halus dalam lima ayat ini. Surah ini dimulai dengan narasi (perkataan Allah tentang Abu Lahab), tetapi secara retoris, ia memberikan kesan seolah-olah kutukan tersebut adalah respons langsung yang mendesis terhadap celaan Abu Lahab di Bukit Safa. Peralihan yang cepat dan tegas ini meningkatkan intensitas peringatan, memastikan bahwa pendengar memahami bahwa ini adalah respons langsung dari Yang Mahakuasa.
Surah ini juga menampilkan Muqābalah (kontras) yang kuat: Tangan yang binasa (Ayat 1) vs. Harta yang tidak berguna (Ayat 2). Usaha duniawi (Ma Kasaba) vs. Nyala Api Neraka (Sayaslā Naran). Kemewahan Ummu Jamil (sebagai bangsawan) vs. Tali Masad yang kasar (hukuman). Kontras yang sempurna dalam lima ayat ini menunjukkan keadilan dan ketepatan pembalasan Allah.
Kajian mendalam ini menegaskan bahwa meskipun surat Al-Lahab ada lima ayat, kedalaman tafsir, kekayaan linguistik, dan bobot historisnya menjadikannya salah satu pilar dakwah dan peringatan dalam Al-Qur'an.
***
Artikel ini telah menyajikan analisis komprehensif dari setiap aspek Surat Al-Lahab, mulai dari penetapan jumlah lima ayat, konteks historis, interpretasi linguistik dari setiap frasa kunci, hingga implikasi teologis dari nubuat yang terkandung di dalamnya. Keberadaan lima ayat ini adalah jaminan ilahi atas kebenaran risalah Nabi Muhammad ﷺ dan kepastian azab bagi musuh-musuh-Nya.