Surat Al-Lahab (Api yang Bergejolak) adalah salah satu surat Makkiyah yang sangat ringkas namun memiliki implikasi sejarah, teologis, dan linguistik yang luar biasa. Surat ini, yang secara eksplisit menyebut nama musuh utama Nabi Muhammad ﷺ pada masa-masa awal dakwah, memberikan pesan yang tegas mengenai nasib kesombongan, permusuhan, dan penentangan terhadap kebenaran yang datang dari Allah SWT. Surat ini merupakan mukjizat kenabian yang terwujud dalam bentuk ramalan yang pasti.
Fokus utama artikel mendalam ini adalah ayat pertama yang menjadi fondasi hukuman ilahi: تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ (Tabbat yada Abi Lahabin wa tabb). Ayat ini bukan sekadar kutukan, melainkan deklarasi kepastian mengenai kehancuran total, baik di dunia maupun di akhirat, bagi Abu Lahab dan segala upaya yang ia lakukan untuk memadamkan cahaya Islam.
(Visualisasi api dan peringatan yang melambangkan hukuman yang disebut dalam ayat 1)
Untuk memahami kedalaman pesan ini, kita akan membedah setiap kata, meninjau konteks Asbabun Nuzul (sebab turunnya ayat), mendalami aspek Balaghah (retorika) Al-Qur'an, dan membandingkan tafsir dari para ulama klasik seperti Ibnu Katsir, Al-Qurtubi, dan At-Tabari. Analisis ini akan memperlihatkan betapa dahsyatnya deklarasi yang disampaikan melalui ayat pertama Surat Al-Lahab.
Ayat pertama terdiri dari empat komponen linguistik utama yang mengandung makna berlapis dan penekanan retoris yang tinggi. Memahami setiap kata adalah kunci untuk membuka rahasia ancaman ilahi ini.
Tabbat yada Abi Lahabin wa tabb.
"Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa."
Kata Tabbat berasal dari akar kata (ث ب ب) yang secara umum berarti merugi, binasa, gagal, atau celaka. Namun, dalam konteks Al-Qur'an, maknanya diperkuat menjadi kehancuran total yang meliputi aspek fisik, moral, dan spiritual.
Kata Tabbat adalah kata kerja (fi’il) bentuk lampau (madhi) yang ditambahkan ta' taknis (تْ) karena subjeknya (yada – kedua tangan) diperlakukan sebagai muannats (feminin) dualis dalam tata bahasa Arab yang fleksibel, meskipun secara harfiah merujuk pada tangan seorang laki-laki.
Makna Dasar: Para mufassir sepakat bahwa ini adalah doa (kutukan) yang dikemas dalam bentuk ikhbar (berita atau pernyataan). Ketika Allah menyatakan sesuatu yang menyerupai kutukan, itu bukan lagi harapan atau doa, melainkan ketetapan yang pasti terjadi.
Kerugian yang dimaksud oleh Tabbat memiliki tiga dimensi utama yang saling berkaitan, menjadikannya kehancuran yang komprehensif:
Mengapa Al-Qur'an secara spesifik menyebut "kedua tangan" (yada) dan bukan keseluruhannya (nafs)? Pilihan kata ini adalah puncak dari Balaghah Al-Qur'an.
Dalam budaya Arab, tangan adalah simbol dari:
Penggunaan bentuk dualis (yada) menekankan bahwa setiap tindakan, setiap usaha, dan setiap rencana yang dilakukan oleh Abu Lahab dengan segenap kekuatannya, telah dan akan senantiasa binasa. Ibnu Abbas RA menafsirkan bahwa kehancuran ini meliputi dua hal yang paling dicintai Abu Lahab: hartanya dan dirinya.
Ini adalah satu-satunya surat dalam Al-Qur'an yang secara eksplisit menyebut nama musuh Nabi. Nama ini bukan nama lahirnya, melainkan gelar yang penuh ironi.
Nama asli Abu Lahab adalah Abdul Uzza bin Abdul Muththalib. "Abdul Uzza" berarti hamba Al-Uzza (salah satu berhala Quraisy), yang menunjukkan tingkat kekufuran dan kesyirikannya. Ia adalah paman Nabi Muhammad ﷺ, saudara kandung dari Abdullah (ayah Nabi).
Kunya (Gelar): Ia dipanggil Abu Lahab (Ayah Api/Lidah Api) karena wajahnya yang rupawan dan kemerahan, atau karena temperamennya yang keras dan berapi-api.
Allah SWT menggunakan kunya (Abu Lahab) daripada nama aslinya (Abdul Uzza). Ini adalah retorika yang cerdas:
Pengulangan (Tabbat... wa tabb) pada dasarnya adalah salah satu bentuk Ta'kid (penegasan retoris) dalam Balaghah Arab. Pengulangan ini membedakan dua jenis kehancuran.
Para mufassir dan ahli bahasa membedakan dua frasa ini:
Dengan demikian, ayat 1 menyatakan kehancuran total: upayanya gagal, dan dirinya sendiri pasti celaka.
Surat Al-Lahab tidak diturunkan dalam kekosongan, melainkan sebagai respons langsung terhadap provokasi yang sangat spesifik dan penting dalam sejarah dakwah Islam di Makkah.
Periode awal dakwah Nabi Muhammad ﷺ berlangsung secara rahasia. Setelah tiga tahun, Allah memerintahkan beliau untuk berdakwah secara terang-terangan (Surat Asy-Syu'ara: 214). Peristiwa inilah yang menjadi pemicu langsung turunnya Surat Al-Lahab.
Nabi Muhammad ﷺ naik ke atas Bukit Shafa, yang merupakan tempat strategis di Makkah. Beliau memanggil semua klan Quraisy, menggunakan tradisi peringatan darurat. Ketika semua suku – Bani Hasyim, Bani Muththalib, Bani Zuhrah, Bani Makhzum – berkumpul, beliau bertanya:
"Seandainya aku memberitahu kalian bahwa ada pasukan berkuda di balik bukit ini yang siap menyerang kalian, apakah kalian akan memercayaiku?"Mereka menjawab serempak, "Ya, kami belum pernah mendengar engkau berbohong."
Setelah mendapatkan pengakuan atas kejujurannya, Nabi ﷺ menyatakan, "Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan bagi kalian dari azab yang pedih." Beliau menyampaikan risalah tauhid dan peringatan akan Hari Akhir.
Saat semua orang terdiam, terkejut, atau mulai mempertimbangkan kata-kata Nabi, Abu Lahab, paman Nabi sendiri, berdiri di tengah kerumunan dan melontarkan ucapan yang sangat keji, memutus momen dakwah tersebut:
"تبًّا لك سائر اليوم، ألهذا جمعتنا؟"
"Celakalah kamu sepanjang hari ini! Hanya untuk inikah kamu mengumpulkan kami?"
Ucapan Abu Lahab ini, yang secara harfiah menggunakan kata dasar yang sama dengan ayat yang akan diturunkan (Tabban lak), merupakan penghinaan tertinggi. Bukan hanya ia menolak dakwah, tetapi ia menggunakan posisinya sebagai paman untuk mempermalukan Nabi di depan seluruh suku Quraisy.
Penentangan Abu Lahab bukan hanya verbal, tetapi juga meliputi serangkaian tindakan nyata yang menyebabkan turunnya ayat ini sebagai bentuk perlindungan dan penegasan bagi Rasulullah ﷺ.
Oleh karena intensitas dan kebiadaban permusuhan yang datang dari internal keluarga (paman), Allah SWT meresponsnya dengan kekuatan dan kepastian yang setara, mengumumkan kehancuran totalnya, dimulai dengan ayat 1: Tabbat yada Abi Lahabin wa tabb.
Ayat 1 Surat Al-Lahab bukan hanya sebuah kutukan, melainkan salah satu bukti kenabian Muhammad ﷺ yang paling menonjol. Ini adalah prediksi masa depan yang sempurna yang tak mungkin meleset.
Surat ini diturunkan di Makkah, jauh sebelum masa hijrah dan kemenangan Islam. Pada saat surat ini turun, Abu Lahab masih hidup dan memiliki semua kesempatan untuk menyatakan keimanan (syahadat) dan membatalkan kutukan tersebut.
Inti dari mukjizat ini terletak pada penggunaan kata kerja lampau (madhi) untuk menyatakan kepastian masa depan. Allah menggunakan bentuk lampau (Tabbat) seolah-olah kehancuran itu sudah terjadi. Ini menunjukkan bahwa takdir Abu Lahab sudah pasti: ia akan mati dalam keadaan kufur.
Al-Fakhr Ar-Razi: Dalam tafsirnya (Mafatih al-Ghayb), ia menyatakan bahwa tantangan ini sangat besar. Seandainya Abu Lahab, yang sangat sombong, ingin membuktikan Al-Qur'an salah, dia hanya perlu mengucapkan dua kalimat syahadat sekali saja. Jika dia melakukannya, prediksi Al-Qur'an akan tampak keliru (setidaknya secara lahiriah), dan hal ini akan merusak kredibilitas dakwah Nabi. Namun, Abu Lahab tidak pernah melakukan itu, bahkan saat-saat terakhir hidupnya. Dia mati tanpa iman.
Surat ini turun dan dibaca oleh kaum Muslimin selama bertahun-tahun, disebarkan di hadapan Abu Lahab sendiri. Fakta bahwa ia menolak untuk mengucapkan syahadat, bahkan sebagai bentuk tipuan politik, menegaskan bahwa ada kekuatan ilahi yang mengunci hatinya dan membenarkan prediksi yang termaktub dalam ayat 1 ini.
Ayat 1 menggunakan kata Tabbat dan Tabb sebagai jembatan menuju hukuman yang lebih rinci di ayat 3 dan 4.
(Menggambarkan sumber-sumber otentik dari penafsiran mendalam)
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, penting untuk meninjau bagaimana ulama besar dari era klasik menafsirkan komponen retoris dan makna hukum dari Tabbat yada Abi Lahabin wa tabb.
Imam Ath-Thabari, dalam Jami' al-Bayan fi Ta'wil al-Qur'an, cenderung menafsirkan ayat 1 sebagai pernyataan yang memiliki dampak segera di dunia. Bagi Ath-Thabari, kedua 'Tabb' menekankan kegagalan total upaya Abu Lahab:
"Makna dari Tabbat yada Abi Lahabin adalah rugilah kedua tangannya dari manfaat yang ia cari. Ia berusaha keras untuk merusak perkara Rasulullah ﷺ dan menjauhkan orang-orang dari mengikuti kebenaran. Dan wa tabb adalah penegasan bahwa dirinya sendiri telah jatuh ke dalam kerugian besar. Kerugian ini terwujud saat ia mati dengan penyakit wabah dan tidak ada seorang pun yang mau mendekat, yang merupakan kehinaan di mata kaumnya."
Ath-Thabari melihat kehancuran usaha sebagai manifestasi fisik dari ketetapan ilahi.
Imam Al-Qurtubi, dalam Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an, menaruh perhatian besar pada mengapa Allah menyebut 'tangan' dan hubungannya dengan harta benda. Menurutnya, tangan adalah simbol kekuasaan dan kekayaan.
"Sesungguhnya Abu Lahab adalah orang yang banyak harta. Disebutkannya 'tangan' karena tangan adalah alat untuk berusaha dan mencari rezeki. Ayat ini adalah pemberitahuan bahwa harta yang dia kumpulkan, yang ia banggakan, tidak akan memberinya manfaat. Kerugian itu meliputi harta dan pekerjaan. Ini adalah al-Hukm bi al-Jazaa' (keputusan berupa balasan)."
Al-Qurtubi juga menambahkan bahwa ayat ini ditujukan kepada siapa pun yang meniru tindakan Abu Lahab dalam memusuhi Rasulullah ﷺ dan risalah-Nya, meskipun konteksnya sangat spesifik.
Ibnu Katsir paling menonjolkan konteks sejarah, menegaskan bahwa ayat 1 adalah respons langsung dan profetik terhadap ucapan Abu Lahab di Bukit Shafa. Ia menekankan aspek mukjizat.
"Ucapan Abu Lahab 'Tabban lak' dijawab oleh Allah dengan kata yang sama, tetapi diarahkan kembali kepadanya. Peristiwa di Shafa menunjukkan permusuhan yang melampaui batas, dan karenanya balasan yang diberikan adalah kepastian kehancuran total. Kedua tangannya yang berusaha mencegah orang dari Islam akan hancur, dan ia sendiri pasti hancur, suatu kepastian yang terbukti ketika ia meninggal dalam kekafiran dan dimasukkan ke neraka."
Bagi Ibnu Katsir, kepastian kekafiran Abu Lahab hingga akhir hayatnya adalah bukti kebenaran ayat 1 dan kebenaran nubuwah (kenabian) Muhammad ﷺ.
Pesan dari Tabbat yada Abi Lahabin wa tabb melampaui kisah individu. Ia menetapkan prinsip-prinsip teologis dan moral yang fundamental bagi umat Islam sepanjang masa.
Ayat ini mengajarkan bahwa ikatan darah tidak dapat menyelamatkan seseorang dari murka Allah jika ia memilih jalan kekufuran dan permusuhan terhadap risalah. Abu Lahab adalah paman Nabi, tetapi itu tidak memberinya kekebalan.
Pelajaran ini menegaskan prinsip tauhid murni:
Kata 'Tabb' mengajarkan definisi kerugian hakiki (khusr) dalam pandangan Islam. Kerugian bukanlah hilangnya harta, tetapi hilangnya iman dan akhirat.
Surat Al-Ashr menyatakan bahwa "sesungguhnya manusia berada dalam kerugian (khusr)." Surat Al-Lahab memberikan contoh ekstrem dari kerugian ini. Khusr yang diderita manusia umumnya dapat diperbaiki dengan iman dan amal saleh. Namun, 'Tabb' yang menimpa Abu Lahab adalah kerugian permanen dan total yang tidak dapat diperbaiki karena ia menolak iman hingga mati.
Meskipun Abu Lahab memiliki posisi tinggi di Makkah, seluruh usahanya (yada) dianggap binasa (tabbat) karena tidak didasarkan pada tauhid. Ini adalah penegasan bahwa amal atau usaha duniawi tidak bernilai di sisi Allah jika tidak disertai dengan iman yang benar.
Dalam ilmu Balaghah, ayat pertama ini adalah mahakarya yang menggunakan teknik penegasan, ironi, dan peringkasan untuk dampak maksimal.
Pengulangan kata Tabbat pada awal dan akhir ayat (Tabbat yada... wa tabb) berfungsi sebagai ta'kid (penegasan). Pengulangan ini menghilangkan keraguan sedikit pun mengenai kepastian hukuman tersebut. Ini bukan hanya sebuah harapan buruk, melainkan suatu deklarasi yang tidak bisa dibatalkan.
Pengulangan juga menciptakan ritme yang kuat dan mengancam, memastikan pesan tersebut meresap secara mendalam ke hati pendengarnya.
Sebagaimana dibahas sebelumnya, menyebut 'tangan' adalah penggunaan metafora (isti’arah) untuk merujuk pada keseluruhan usaha, kekuatan, dan pengaruh Abu Lahab. Ini adalah bentuk majaz mursal di mana sebagian anggota tubuh (tangan) digunakan untuk merujuk pada keseluruhannya (usaha dan diri). Dengan demikian, kehancuran tangan berarti kehancuran dari sumber kekuasaan dan kekayaan.
Surat Al-Lahab adalah contoh sempurna dari ijaz (ringkasan) dalam Al-Qur'an. Dalam dua kalimat pendek, ayat 1 merangkum seluruh kisah kehidupan seorang penentang besar Islam, meramalkan kegagalan dunianya, dan memastikan azab akhiratnya. Tidak ada kata yang mubazir; setiap kata memiliki beban makna sejarah, teologis, dan linguistik yang sangat padat.
Penggunaan bentuk lampau untuk peristiwa yang akan datang (futuristik) di ayat 1 memberikan kesan:
Meskipun Surat Al-Lahab secara spesifik ditujukan kepada individu Abu Lahab, pelajaran moral dan spiritualnya tetap relevan bagi setiap Muslim dalam menghadapi tantangan dakwah modern.
Ayat 1 menjadi peringatan abadi bahwa siapa pun, di mana pun, yang menggunakan posisi, kekuasaan, atau kekayaan mereka ('yada') untuk secara aktif dan sengaja memusuhi dan menghalangi kebenaran Allah, maka nasib mereka akan terancam dengan 'Tabbat' (kehancuran) di dunia dan 'Tabb' (azab) di akhirat.
Ini berlaku bagi mereka yang menyebarkan fitnah, menggunakan media untuk merusak citra Islam, atau menyalahgunakan kekuasaan untuk menindas umat beriman. Upaya mereka, meskipun tampak kuat sementara, pada akhirnya akan "hancur kedua tangannya" dan mereka akan merugi.
Ayat ini adalah sumber penghiburan yang luar biasa bagi para dai dan aktivis Islam yang menghadapi permusuhan sengit, bahkan dari kerabat atau orang terdekat mereka.
Karena 'yada' melambangkan usaha, ayat ini mengingatkan bahwa kuantitas usaha tidak sepenting kualitas niat (niyyah) dan objek dari usaha tersebut. Jika usaha dilakukan untuk memusuhi Allah, hasilnya adalah kehancuran (tabbat), bahkan jika usaha itu dilakukan dengan gigih dan penuh semangat, seperti yang dilakukan oleh Abu Lahab.
Oleh karena itu, setiap Muslim harus senantiasa introspeksi: apakah 'yada' (usaha) kita saat ini sedang mengarah pada keridhaan Allah, atau justru mengarah pada kehancuran dan kerugian, seperti yang diwanti-wanti dalam Surat Al-Lahab.
Pemahaman mendalam tentang setiap kata dan konteks dari تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ menegaskan bahwa Al-Qur'an adalah kitab yang hidup, yang kebenarannya abadi, dan yang menjamin hukuman bagi penentang, serta janji kemenangan bagi pembawa risalah, bahkan di tengah permusuhan yang paling sengit sekalipun. Ini adalah deklarasi final yang menutup segala celah perdebatan mengenai nasib musuh-musuh utama kebenaran.
Ayat 1 berdiri sebagai monumen kenabian, menunjukkan kepastian takdir, keadilan ilahi, dan pelajaran bahwa tidak ada kekuasaan, kekayaan, atau ikatan darah yang mampu menandingi janji dan ancaman dari Tuhan Semesta Alam.