Mengupas Inti Peringatan Ilahi: Analisis Mendalam Surat Al-Lahab Ayat 2

Mā aghnā 'anhu māluhū wa mā kasab

Alt Text: Ilustrasi simbolik harta benda yang fana dan kekuasaan Allah.

I. Pendahuluan: Ayat Kunci dalam Kedaulatan Ilahi

Surah Al-Lahab (Gejolak Api) adalah salah satu surah yang paling spesifik dan pribadi dalam Al-Qur'an, diturunkan secara langsung sebagai peringatan tegas terhadap salah satu penentang utama dakwah Nabi Muhammad ﷺ, yaitu Abu Lahab. Surah ini terdiri dari lima ayat yang singkat namun padat, merangkum sebuah nasib buruk yang telah ditetapkan di dunia dan di akhirat. Namun, di antara ayat-ayat tersebut, surat al lahab ayat 2 memiliki daya tarik linguistik dan teologis yang sangat mendalam dan universal. Ayat ini tidak hanya berbicara tentang Abu Lahab, tetapi juga menetapkan prinsip fundamental tentang hubungan manusia dengan materi.

مَا أَغْنَىٰ عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ

Terjemahan Literal: "Tidaklah berguna (bermanfaat) baginya hartanya dan apa yang telah dia usahakan." (QS. Al-Lahab [111]: 2).

Ayat ini berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan ayat pertama (doa kehancuran fisik dan spiritual) dengan ayat-ayat selanjutnya (penjelasan tentang hukuman di Neraka). Ayat 2 secara khusus menyerang pilar utama kebanggaan dan kekuatan Abu Lahab: hartanya (māluhū) dan kekuasaan atau usahanya (wa mā kasab). Dalam masyarakat Mekah pra-Islam, kekayaan dan keturunan adalah mata uang utama kekuasaan. Dengan satu kalimat, Al-Qur'an menihilkan semua aset duniawi yang diandalkan oleh Abu Lahab.

Kajian yang mendalam terhadap surat al lahab ayat 2 mengharuskan kita untuk membongkar tiga lapisan makna: Pertama, konteks historis spesifik yang melatarbelakangi penurunannya. Kedua, analisis linguistik yang sangat detail terhadap setiap kata, terutama perbedaan penafsiran ‘mā kasab’. Ketiga, implikasi teologis yang jauh melampaui figur Abu Lahab, menjadikannya peringatan abadi bagi umat manusia mengenai ilusi keamanan yang ditawarkan oleh materialisme. Kita akan menelusuri bagaimana harta yang diyakini sebagai penolong di dunia justru menjadi beban yang tidak bernilai di hadapan ketetapan Ilahi.

Penting untuk dipahami bahwa Surah Al-Lahab bukanlah sekadar kutukan, melainkan sebuah proklamasi kenabian tentang kebenaran yang akan terjadi. Prediksi Al-Qur'an ini terbukti benar ketika Abu Lahab meninggal dalam keadaan yang sangat hina dan mengerikan, tanpa sempat mengucapkan kalimat syahadat, memvalidasi bahwa harta dan kekuasaan kabilahnya sama sekali tidak mampu melindunginya dari kemurkaan Allah SWT. Inilah esensi dari surat al lahab ayat 2: kelemahan mutlak kekayaan material ketika dihadapkan pada kekuatan takdir spiritual.

II. Konteks Historis dan Asbabun Nuzul

A. Latar Belakang Abu Lahab dan Surah Al-Lahab

Nama asli Abu Lahab adalah Abdul Uzza bin Abdul Muttalib. Ia adalah paman Nabi Muhammad ﷺ, dan pada awalnya, posisi kekerabatan ini seharusnya memberikan dukungan kuat bagi dakwah Islam. Namun, sebaliknya, Abu Lahab menjadi musuh paling bebuyutan dan paling kejam terhadap keponakannya sendiri. Kebenciannya begitu mendalam sehingga Surah ini menjadi satu-satunya surah dalam Al-Qur'an yang menyebutkan nama individu yang dihukum. Surah ini diturunkan di Mekah, pada fase awal dakwah, ketika tekanan terhadap umat Muslim sangat tinggi.

Asbabun Nuzul (sebab turunnya) Surah ini sangat terkenal. Ketika Nabi Muhammad ﷺ diperintahkan untuk memulai dakwah secara terang-terangan (seperti tercantum dalam QS. Asy-Syu'ara: 214), beliau naik ke bukit Safa dan memanggil kabilah-kabilah Quraisy. Ketika beliau menyampaikan pesan tauhid, Abu Lahab berdiri dan berkata, "Celakalah engkau! Apakah untuk ini engkau mengumpulkan kami?" (Teks yang paling masyhur menyebutkan: تَبًّا لَكَ أَلِهَذَا جَمَعْتَنَا). Ucapan ini menunjukkan arogansi, penolakan, dan penghinaan terbuka terhadap Nabi. Sebagai respons langsung, Surah Al-Lahab diturunkan, yang dimulai dengan menimpakan kutukan yang sama kepada Abu Lahab.

B. Posisi Harta di Kalangan Quraisy

Untuk memahami kekuatan surat al lahab ayat 2, kita harus memahami nilai 'harta' dan 'usaha' di Mekah. Mekah adalah pusat perdagangan dan kekayaan. Abu Lahab, sebagai salah satu pemimpin Bani Hasyim (meskipun kemudian memisahkan diri dari perlindungan Nabi), adalah figur yang kaya raya dan memiliki pengaruh besar. Kekayaan memberinya:

  1. Kekuasaan Politik: Kemampuan untuk membayar budak, mengumpulkan sekutu, dan membiayai karavan dagang.
  2. Keamanan Sosial: Perlindungan dari serangan kabilah lain, karena harta bisa digunakan untuk membayar tebusan atau perang.
  3. Status Kehormatan: Kekayaan dianggap sebagai tanda restu dewa-dewa (bagi kaum musyrikin) dan menunjukkan kesuksesan pribadi.
Ketika Al-Qur'an menyatakan, "Mā aghnā 'anhu māluhū wa mā kasab" (Hartanya dan apa yang diusahakannya tidak akan berguna baginya), ia bukan sekadar ancaman spiritual, melainkan sebuah deklarasi bahwa seluruh sistem nilai dan pondasi kehidupannya akan runtuh. Harta, yang ia gunakan untuk membiayai penentangannya terhadap Islam, akan menjadi sia-sia di hari perhitungan.

Penolakan Abu Lahab terhadap pesan Nabi sangat terkait dengan kecintaannya pada status quo dan kekayaan yang ia nikmati. Islam, dengan penekanannya pada kesetaraan dan akhirat, mengancam kekuasaan materialistisnya. Oleh karena itu, surat al lahab ayat 2 adalah penghakiman langsung atas mentalitas materialis yang menganggap materi sebagai pelindung tertinggi.

Penyampaian ayat ini berfungsi ganda: menghancurkan moral Abu Lahab di mata publik yang tahu betapa ia menyombongkan hartanya, dan memberikan ketenangan kepada Muslim awal yang miskin, bahwa kekayaan musuh mereka tidak akan menyelamatkan mereka dari hukuman Ilahi. Pesan ini menegaskan kedaulatan Allah atas kekuasaan manusia.

III. Analisis Linguistik dan Sintaksis Mendalam Ayat 2

Kekuatan Al-Qur'an sering kali terletak pada ketepatan dan kedalaman linguistiknya. Ayat kedua Surah Al-Lahab, meskipun pendek, mengandung beberapa kata kunci yang memiliki spektrum makna yang luas, memunculkan variasi tafsir yang kaya.

A. Analisis Kata Kunci: Mā Aghnā

Frasa pembuka, مَا أَغْنَىٰ (Mā aghnā), adalah inti dari penolakan Ilahi.

Oleh karena itu, Mā aghnā 'anhu berarti "Tidaklah bermanfaat/mencukupi/melindungi dirinya." Ini bukan sekadar menyatakan bahwa hartanya tidak berguna secara pasif, tetapi secara aktif menyatakan bahwa harta itu gagal total dalam menjalankan fungsi utamanya sebagai penolong dan pelindung.

B. Definisi Hartanya (Māluhū)

Kata مَالُهُ (Māluhū) merujuk pada harta bendanya, kekayaan yang dapat dihitung, seperti emas, perak, unta, budak, dan aset-aset dagang yang menjadi sumber kebanggaannya. Para ulama tafsir sepakat bahwa ini mencakup semua bentuk kekayaan duniawi yang Abu Lahab kumpulkan sepanjang hidupnya. Dalam konteks Mekah, hal ini juga mencakup status sosial yang berasal dari kekayaan tersebut.

C. Perdebatan Klasik: Makna Wa Mā Kasab (وَمَا كَسَبَ)

Ini adalah bagian yang paling banyak diperdebatkan dan memiliki kedalaman makna yang luar biasa dalam surat al lahab ayat 2. Frasa وَمَا كَسَبَ (Wa mā kasab) secara literal berarti "dan apa yang ia usahakan/peroleh." Ada dua penafsiran utama yang dipegang oleh mufassir terdahulu:

1. Penafsiran Pertama: Harta yang Dihasilkan (Hasil Usaha)

Menurut penafsiran ini, mā kasab merujuk pada kekayaan tambahan atau hasil jerih payah yang baru diperoleh. Ini bisa diartikan sebagai:

Jika diartikan demikian, ayat ini menjadi sangat komprehensif: bukan hanya harta yang sudah ia miliki (māluhū), tetapi juga potensi kekayaan masa depan dan segala hasil jerih payahnya (mā kasab) sama sekali tidak akan menyelamatkan dirinya dari Neraka.

2. Penafsiran Kedua: Keturunan atau Anak-Anaknya

Banyak ulama salaf, termasuk para sahabat seperti Ibnu Abbas dan Aisyah, serta ulama besar seperti Mujahid dan Qatadah, menafsirkan mā kasab sebagai "anak-anaknya." Dasar linguistiknya adalah Hadis Nabi ﷺ: "Sesungguhnya, sebaik-baik yang kamu makan adalah apa yang dari usahamu, dan sesungguhnya anakmu adalah termasuk usahamu (kasabuka)." (HR. Abu Dawud, Tirmidzi).

Mengapa penafsiran ini sangat kuat dalam konteks Abu Lahab?

  1. Kebanggaan Kabilah: Di Mekah, memiliki banyak anak laki-laki adalah bentuk kekayaan dan kekuasaan yang paling dihormati. Anak-anak dianggap sebagai investasi, buruh, dan pelindung di masa tua.
  2. Ironi Sejarah: Beberapa anak Abu Lahab (seperti Utbah dan Mu'attib) kemudian memeluk Islam setelah penaklukan Mekah, meskipun ayah mereka telah binasa dalam kekafiran. Ini menambah ironi bahwa bahkan 'usahanya' dalam menghasilkan keturunan tidak mampu melindunginya, dan sebagian dari keturunan itu justru bergabung dengan pihak yang ia lawan.
Dengan penafsiran ini, surat al lahab ayat 2 menyampaikan bahwa tidak ada satupun sumber daya, baik materi (harta) maupun manusia (anak/keturunan), yang dapat membebaskannya dari azab Ilahi.

Kesimpulan linguistik: Tafsir yang paling menyeluruh menggabungkan keduanya, bahwa māluhū adalah kekayaan yang ada, sementara wa mā kasab adalah segala sesuatu yang merupakan hasil jerih payahnya, baik itu keuntungan, status, atau keturunan.

IV. Dimensi Teologis: Konsep Kefanaan Harta

A. Kontras antara Kekayaan Dunia dan Kekayaan Akhirat

Surat al lahab ayat 2 merupakan salah satu ayat paling tajam dalam membedakan nilai dunia (dunya) dan nilai akhirat (akhirah). Ayat ini mengajarkan bahwa kekayaan duniawi hanya memiliki nilai fungsional (utility) selama hidup, tetapi tidak memiliki nilai penyelamatan (salvation) di hadapan Allah tanpa dibarengi iman dan amal saleh.

Harta dalam pandangan Islam adalah *amanah* (kepercayaan), bukan hak absolut. Ketika harta digunakan untuk menentang kebenaran atau diperoleh melalui cara haram, ia kehilangan fungsi keberkahannya. Dalam kasus Abu Lahab, hartanya digunakan untuk mendanai permusuhan terhadap Nabi dan kaum Muslimin, sehingga harta tersebut tidak hanya sia-sia, tetapi juga menjadi saksi yang memberatkannya.

Konsep ini diperkuat oleh ayat-ayat lain yang membahas nasib orang kaya yang ingkar, seperti kisah Qarun (QS. Al-Qasas: 78-82) yang dibenamkan bersama hartanya. Perbedaannya, Qarun dihancurkan secara fisik bersama hartanya di dunia, sementara Abu Lahab diancam dengan hukuman Neraka yang hartanya tidak mampu ia tebus. Ayat 2 menegaskan bahwa pada Hari Kiamat, mata uang yang berlaku adalah keimanan dan amal saleh, bukan emas atau perak.

B. Kegagalan Fungsi 'Ghinā' (Kecukupan)

Kata kunci Aghnā (bermanfaat/mencukupi) menunjukkan kegagalan total. Di dunia, Abu Lahab mungkin merasa "cukup" dan "aman" karena hartanya. Ia mungkin berpikir hartanya bisa membeli kebahagiaan, kekuasaan, atau setidaknya membebaskannya dari konsekuensi perbuatannya. Namun, janji Al-Qur'an ini meruntuhkan ilusi tersebut secara total. Hartanya tidak akan:

  1. Menghentikan Azab: Tidak ada harta yang bisa disumbangkan kepada Allah untuk menghentikan hukuman api (Neraka).
  2. Membeli Penebusan: Ia tidak bisa membeli waktu tambahan untuk bertaubat, atau membayar malaikat penjaga Neraka.
  3. Memberi Ketenangan: Dalam kematian, hartanya ditinggalkan dan tidak dibawa serta.
Ini adalah pelajaran teologis yang paling mendasar: Keterikatan buta pada materi akan membawa pada kegagalan spiritual total.

C. Hukum Kekekalan Amal

Dalam konteks teologis, surat al lahab ayat 2 juga berbicara mengenai hukum sebab-akibat dalam Islam. Yang akan menyelamatkan manusia adalah amal yang dibawa. Dalam riwayat yang masyhur, Ibnu Mas'ud berkata, "Setiap orang yang meninggal akan diikuti oleh tiga hal: keluarganya, hartanya, dan amalnya. Dua akan kembali, dan satu akan tetap bersamanya. Keluarganya dan hartanya akan kembali, sementara amalnya tetap bersamanya."

Abu Lahab sangat berinvestasi pada keluarga (sebagaimana penafsiran mā kasab) dan hartanya (māluhū), namun ia gagal berinvestasi dalam amal dan iman. Ayat ini adalah refleksi sempurna dari hadis tersebut. Ketika dia menghadapi kematian, semua yang dia banggakan telah meninggalkannya, dan dia hanya membawa amalnya yang buruk, yang mengantarkannya pada nasib yang telah diramalkan dalam ayat 3: "Sayashlā nāran dhāta lahab" (Ia akan masuk ke dalam api yang bergejolak).

Oleh karena itu, ayat ini merupakan penegasan teologis bahwa pada akhirnya, tidak ada tuhan lain selain Allah yang dapat memberikan perlindungan, dan tidak ada sumber daya duniawi yang dapat menggantikan rahmat dan keadilan-Nya. Kekayaan hanyalah alat uji, dan Abu Lahab gagal dalam ujian tersebut dengan menggunakan alat itu untuk menentang kebenaran.

V. Implikasi Fiqh dan Ekonomi Islam dari Ayat 2

Meskipun surat al lahab ayat 2 secara spesifik menargetkan Abu Lahab, prinsip yang terkandung di dalamnya memiliki resonansi abadi dalam Fiqh Muamalat (hukum transaksi Islam) dan etika ekonomi. Ayat ini mengajarkan batasan moral dan spiritual dari kepemilikan harta.

A. Konsep Harta Halal dan Thayyib

Dalam ekonomi Islam, harta yang sah (halal) harus juga baik (thayyib). Kehinaan Abu Lahab mengajarkan bahwa kekayaan yang diperoleh secara sah menurut kacamata Mekah (dagang) namun digunakan untuk tujuan yang jahat atau menghalangi jalan Allah, akan kehilangan berkahnya dan menjadi sia-sia di akhirat. Harta hanya memiliki potensi 'ghinā' (kecukupan) jika digunakan sesuai dengan kehendak Ilahi, seperti:

Jika harta hanya berfungsi sebagai akumulasi untuk kesenangan diri dan penindasan, seperti yang dilakukan Abu Lahab, maka janji "mā aghnā" (tidak berguna) menjadi nyata. Ayat ini mendorong Muslim untuk selalu meninjau tujuan akhir (maqasid) dari harta mereka.

B. Kritik terhadap Akumulasi dan Sifat Materialistik

Ayat ini adalah kritik keras terhadap akumulasi kekayaan yang melahirkan kesombongan (kibr). Abu Lahab menyombongkan hartanya, yang merupakan manifestasi dari keyakinan bahwa ia mampu mengendalikan nasibnya sendiri. Ketika Al-Qur'an menyatakan bahwa kekayaannya tidak akan menyelamatkannya, hal ini memutus rantai berpikir materialistik yang menyamakan kekayaan dengan keselamatan.

Dalam Fiqh, kepemilikan dibatasi oleh hak orang lain dan hak Allah. Zakat adalah mekanisme paling jelas untuk memastikan bahwa harta tidak hanya terakumulasi secara stagnan, yang secara tidak langsung menyebabkan harta menjadi 'sia-sia' secara spiritual. Seorang kaya raya yang menimbun hartanya dan menolak menunaikan kewajiban sosialnya akan mendapati hartanya menjadi 'sia-sia' di hadapan Allah, meskipun di dunia ia dianggap berhasil.

C. Relevansi Mā Kasab dalam Warisan Fiqh

Jika kita menerima tafsir ‘mā kasab’ sebagai keturunan, ayat ini memiliki implikasi menarik terhadap Fiqh Warisan dan tanggung jawab orang tua. Walaupun dalam Islam, setiap jiwa bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri (QS. Al-An'am: 164), keberhasilan atau kegagalan orang tua dalam mendidik keturunannya (yang dianggap sebagai hasil usahanya) memiliki dampak spiritual pada mereka.

Ayat 2 mengingatkan bahwa jika fokus utama orang tua adalah mengumpulkan harta untuk warisan, tetapi mengabaikan pembentukan iman, maka 'usaha' (mā kasab) menghasilkan keturunan yang saleh akan gagal memberikan manfaat spiritual di akhirat. Keturunan yang kafir atau fasik tidak akan dapat mendoakan atau menolong orang tua mereka di hari Kiamat—suatu fungsi yang sangat diharapkan oleh orang tua di masa lalu.

Surat al lahab ayat 2 dengan demikian memberikan landasan moral bahwa keberhasilan finansial tidak pernah boleh menjadi tujuan akhir, melainkan hanya sarana untuk mencapai rida Ilahi. Kegunaan harta (ghinā) diukur bukan dari kuantitasnya, tetapi dari dampaknya terhadap peningkatan takwa dan kontribusi sosial.

VI. Penerapan Universal dan Pelajaran Abadi

A. Mengatasi Ilusi Keamanan Material

Pelajaran utama dari surat al lahab ayat 2 adalah penghancuran total terhadap ilusi keamanan yang diciptakan oleh harta. Di setiap zaman, manusia cenderung percaya bahwa masalah mereka dapat diselesaikan, atau nasib buruk dapat dihindari, melalui kekuatan finansial atau koneksi sosial yang kuat (yang juga merupakan hasil ‘kasab’).

Ayat ini mengajarkan prinsip tauhid dalam hal perlindungan (al-Himayah): Hanya Allah yang dapat melindungi. Ketika ancaman itu datang dari Allah (dalam bentuk azab Neraka), tidak ada kekayaan di dunia ini yang dapat berfungsi sebagai perisai, penyuap, atau penjamin. Bagi seorang Muslim, ini harus menjadi pengingat harian bahwa keamanan sejati terletak pada ketaatan, bukan pada rekening bank.

Kita dapat melihat relevansi ini pada era modern. Seseorang mungkin memiliki kekayaan miliaran dolar (māluhū) dan koneksi bisnis global (mā kasab), namun ketika dihadapkan pada ujian yang tak terhindarkan seperti penyakit mematikan, kematian yang tiba-tiba, atau keruntuhan moral/spiritual, semua kekayaan tersebut tidak akan "bermanfaat" (mā aghnā) untuk menanggapi krisis eksistensial itu.

B. Kritik terhadap Arsitektur Kesombongan

Kisah Abu Lahab adalah studi kasus tentang bagaimana kesombongan membangun tembok antara manusia dan kebenaran. Abu Lahab tidak hanya kaya, tetapi ia memandang rendah Nabi Muhammad ﷺ karena Nabi dianggap miskin dan tidak berkuasa pada awalnya. Kekayaannya menjadi arsitektur kesombongannya.

Surat al lahab ayat 2 adalah deklarasi bahwa arsitektur ini cacat secara fundamental. Kekayaan yang digunakan untuk menindas kebenaran akan runtuh, dan keangkuhan yang didirikan di atas fondasi materi akan hancur lebur di hadapan keadilan Ilahi. Ayat ini menyerukan kerendahan hati: Sadarilah bahwa semua yang Anda miliki, baik harta maupun keturunan, adalah pinjaman dan ujian, dan tidak memiliki kekuatan untuk membatalkan keputusan Tuhan.

Pelajaran ini sangat relevan bagi pemimpin, penguasa, atau individu sukses yang mungkin tergoda untuk menggunakan kekayaan mereka untuk memaksakan agenda yang zalim atau menindas mereka yang lemah. Akhir dari Abu Lahab menjadi monumen peringatan bahwa kekuasaan fana selalu tunduk pada Kekuasaan Abadi.

C. Menghargai 'Kasab' yang Sejati

Jika 'mā kasab' Abu Lahab (usaha/keturunan yang buruk) gagal menolongnya, maka yang ditekankan adalah pentingnya 'kasab' (usaha) yang sejati: amal saleh. Usaha sejati seorang Muslim harus diarahkan pada investasi di akhirat:

Inilah yang benar-benar 'bermanfaat' (ghinā) bagi seseorang di kuburnya dan di hari perhitungan. Kontras antara 'mā kasab' yang sia-sia dari Abu Lahab dan 'kasab' yang abadi dari seorang mukmin adalah inti dari etika spiritual Islam.

VII. Pendalaman Falsafah Kefanaan dalam Perspektif Filosofis Islam

Untuk mencapai kedalaman pemahaman yang dikehendaki, kita harus menempatkan surat al lahab ayat 2 dalam kerangka filosofis yang lebih luas mengenai konsep kefanaan (fana) dan kekekalan (baqa) dalam Islam.

A. Fana' al-Māl (Kefanaan Harta)

Ayat 2 secara eksplisit mengajarkan fana' al-māl—bahwa harta benda duniawi adalah entitas yang sementara. Dalam tasawuf dan falsafah, dunia (dunya) dilihat sebagai bayangan yang bergerak dan cepat berlalu. Kekayaan adalah bagian dari bayangan itu. Kekuatan ayat ini adalah bahwa ia tidak hanya memprediksi kehancuran finansial, tetapi juga kehancuran fungsi penyelamatan harta itu sendiri.

Filosofi di balik ini adalah bahwa segala sesuatu selain Allah adalah makhluk yang terbatas dan tidak memiliki daya inheren untuk melindungi dari Penciptanya. Ketika manusia bergantung pada harta sebagai sumber keamanan dan kekuatan spiritual, ia telah melakukan syirik kecil, yaitu menuhankan materi. Ayat ini adalah koreksi Ilahi terhadap penyimpangan tauhid dalam bentuk materialisme absolut. Harta tidak mampu menyelamatkan karena harta itu sendiri adalah ciptaan yang fana.

B. Konsep Daya Tawar (Negotiability) di Akhirat

Dalam banyak budaya dan bahkan di dunia pra-Islam, ada kepercayaan bahwa hukuman dapat dinegosiasikan atau dibeli. Raja-raja Mesir kuno dikubur dengan kekayaan mereka, berharap dapat "membayar" jalan mereka di kehidupan selanjutnya. Dalam Islam, Al-Qur'an secara tegas menolak gagasan ini. Surat al lahab ayat 2 adalah salah satu proklamasi terkuat melawan daya tawar material di Hari Kiamat.

Dalam ayat lain, Allah berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafa'at." (QS. Al-Baqarah: 254). Ayat 2 Surah Al-Lahab adalah studi kasus nyata dari prinsip ini. Bagi Abu Lahab, "hari itu" telah tiba; hartanya tidak mampu membeli penebusan, dan kekerabatan darah (persahabatan yang akrab, yang diwakili oleh ‘mā kasab’/anaknya) tidak memberinya syafaat.

C. Pengaruh Tafsir Modern: Kapitalisme dan Individualisme

Dalam tafsir kontemporer, ayat ini sering dilihat sebagai kritik profetik terhadap kapitalisme yang berlebihan dan individualisme yang egois. Di zaman modern, 'māluhū' (hartanya) telah berlipat ganda menjadi kompleksitas sistem keuangan global, dan 'mā kasab' (usahanya) mencakup korporasi, saham, dan kekuasaan media. Meskipun individu modern mungkin tidak menyembah berhala, mereka sering menyembah sistem yang menjanjikan keselamatan melalui kekayaan material.

Ayat 2 berfungsi sebagai pengingat bahwa jika seluruh sistem ekonomi didasarkan pada penindasan, riba, dan ketidakadilan (seperti yang dilakukan oleh kaum Quraisy terhadap kaum Muslimin), maka keberhasilan sistem itu, tidak peduli seberapa besar akumulasi kekayaan yang dihasilkan (māluhū wa mā kasab), akan dianggap sia-sia dan akan membawa pelakunya pada kerugian spiritual yang total. Ini adalah seruan untuk Ekonomi Islam yang beretika, yang menekankan keadilan dan pemerataan, agar harta yang kita peroleh benar-benar "bermanfaat" (ghinā) bagi kita di dunia dan akhirat.

Pentingnya studi ini terletak pada kemampuannya untuk mengambil pelajaran dari kisah historis yang spesifik (Abu Lahab) dan menjadikannya prinsip universal yang relevan bagi setiap individu di setiap era: prioritas dalam hidup harus selalu kekekalan, dan bukan kefanaan.

Lebih jauh lagi, penekanan pada frasa mā aghnā 'anhu membawa kita pada perenungan tentang hakikat perlindungan. Perlindungan yang dicari manusia dari harta adalah perlindungan dari ketidakpastian. Kekayaan menjanjikan penyangga terhadap bencana, kemiskinan, dan bahkan kematian (melalui perawatan medis terbaik). Namun, surat al lahab ayat 2 menyingkap batas ultimate dari janji ini. Di hadapan takdir ilahi—terutama takdir akhirat—semua penyangga material runtuh. Tidak ada asuransi duniawi, tidak ada aset likuid, yang dapat mencairkan seseorang dari api Neraka. Ini adalah inti dari kepasrahan (Islam) kepada Allah; mengakui bahwa hanya Dia yang mampu memberikan perlindungan sejati (al-Hafiz).

Penyebutan Abu Lahab yang spesifik dalam Surah ini juga membawa pelajaran mendalam tentang keadilan Ilahi. Abu Lahab menggunakan segala sumber dayanya, termasuk kekerabatan dekatnya dengan Nabi, untuk menghambat dakwah. Ia percaya bahwa status sosialnya akan membebaskannya dari konsekuensi moral. Kegagalan māluhū wa mā kasab adalah penegasan bahwa di sisi Allah, tidak ada nepotisme atau previlese yang berlaku. Penghakiman adalah murni berdasarkan iman dan amal. Ini memberikan harapan besar bagi kaum Muslimin yang miskin pada saat itu, yang melihat ketidakadilan dunia, bahwa pada akhirnya, neraca keadilan Allah tidak dapat dimanipulasi oleh kekuatan finansial.

D. Tafsir Ruhani dan Kebersihan Jiwa

Dalam perspektif ruhani, ayat 2 ini dapat dilihat sebagai panggilan untuk 'tazkiyatun nafs' (pembersihan jiwa) dari kecintaan berlebihan terhadap dunia. Harta benda yang dikumpulkan dengan rakus dapat mengeraskan hati, menutup mata terhadap kebenaran, dan memicu penolakan terhadap ajaran spiritual. Abu Lahab adalah contoh jiwa yang tertutup, yang mana kekayaannya telah menjadi hijab (penghalang) antara dirinya dan hidayah.

Para sufi sering merenungkan ayat ini sebagai peringatan terhadap 'hubbud dunya' (cinta dunia) yang berlebihan. Jika kekayaan menjadi fokus utama keberadaan seseorang, maka ia telah kehilangan arah. Kemanfaatan (ghinā) harta hanya akan terwujud ketika harta tersebut menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, misalnya melalui kedermawanan dan pengorbanan. Harta yang disimpan rapat-rapat, enggan dibersihkan dengan zakat, dan digunakan untuk kesombongan, adalah harta yang secara spiritual sudah mati, dan oleh karena itu, tidak akan "bermanfaat" (mā aghnā) sama sekali di saat-saat kritis.

Perenungan terhadap surat al lahab ayat 2 harus menghasilkan introspeksi: Untuk apa saya menggunakan harta saya? Apakah harta saya saat ini merupakan aset penyelamat atau beban yang memberatkan? Jika harta saya tidak dapat melindungi saya dari azab kecil di dunia, bagaimana mungkin ia akan melindungi saya dari azab Neraka yang abadi?

Ketepatan linguistik dalam penggunaan kata kasab (usaha) juga mencakup seluruh karir profesional dan ambisi hidup seseorang. Jika seluruh energi dan ‘usaha’ hidup difokuskan pada pengejaran kekayaan fana tanpa mempertimbangkan moral dan etika ketuhanan, maka seluruh ‘karir’ dan 'warisan' tersebut dianggap tidak bernilai di hadapan Allah. Keberhasilan profesional tanpa keberkahan Ilahi hanyalah kesia-siaan, diukur dari perspektif keabadian.

Ayat ini mengajarkan kepada setiap individu, tanpa memandang status sosial, bahwa setiap aset yang dimiliki—baik itu jabatan tinggi, kekayaan besar, kecerdasan luar biasa, atau bahkan popularitas yang luas—tidak akan pernah menjadi penolong mutlak. Setiap keunggulan duniawi hanya dapat berfungsi jika diinvestasikan dalam ketaatan. Jika aset-aset ini digunakan untuk menentang kebenaran, seperti yang dilakukan oleh Abu Lahab dengan hartanya, maka aset tersebut akan menjadi sia-sia, sebuah ilusi yang hilang di hadapan realitas Hari Perhitungan.

E. Analisis Komparatif dengan Ayat-Ayat Azab Lainnya

Perluasan analisis surat al lahab ayat 2 dapat dilakukan dengan membandingkannya dengan cara Al-Qur'an menggambarkan nasib orang-orang zalim lainnya yang mengandalkan harta. Misalnya, Firaun mengandalkan kekuasaan kerajaannya dan sumber daya negerinya (QS. Az-Zukhruf: 51). Harta Qarun begitu besar sehingga ia bahkan tidak dapat membawa kuncinya (QS. Al-Qasas: 76). Perbedaannya, Surah Al-Lahab menargetkan seorang individu yang paling dekat hubungannya dengan Nabi. Ayat 2 secara spesifik menyentuh inti harga diri seorang Quraisy: kekayaan pribadi dan keturunan. Ini menunjukkan bahwa bahkan koneksi kabilah yang paling sakral (paman-keponakan) dan pilar ekonomi yang paling kuat (harta) sama sekali tidak dihargai ketika ia memilih jalan kekafiran.

Penghakiman yang mutlak ini—"mā aghnā 'anhu māluhū wa mā kasab"—menggarisbawahi keabsolutan hukum Allah. Tidak ada pengecualian yang didasarkan pada kekayaan atau kedudukan sosial. Ini adalah pernyataan tentang supremasi Tauhid dalam segala aspek, termasuk ekonomi dan sosial. Orang yang merasa 'cukup' (ghinā) karena hartanya adalah orang yang menolak Tauhid dalam praktek hidupnya, karena hanya Allah yang Maha Mencukupi (Al-Ghaniyy).

Sejatinya, seluruh Surah Al-Lahab adalah pelajaran mengenai konsekuensi dari kesombongan, dan ayat 2 adalah penjelas mengapa kesombongan itu tidak berdasar. Abu Lahab sombong karena ia kaya; Al-Qur'an menjawab bahwa kekayaan itu akan menjadi debu yang tidak berguna. Kesombongan adalah dosa yang didasarkan pada penilaian yang salah terhadap nilai sejati dan kekuasaan abadi. Harta, ketika dilihat sebagai kekuasaan, menjadi sumber kesesatan. Ayat 2 membongkar sumber kesesatan tersebut.

Oleh karena itu, setiap pembaca surat al lahab ayat 2 diundang untuk melakukan inventarisasi spiritual: Apakah yang saya kumpulkan hari ini akan menjadi 'ghinā' (bermanfaat/pelindung) bagi saya di hari esok, ataukah ia akan menjadi beban yang memberatkan, seperti harta Abu Lahab? Jawaban atas pertanyaan ini menentukan arah dan prioritas hidup seorang Muslim yang sejati.

VIII. Kesimpulan: Prinsip Keabadian di Tengah Kefanaan

Kajian mendalam terhadap surat al lahab ayat 2 (مَا أَغْنَىٰ عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ) mengukuhkan salah satu prinsip terpenting dalam teologi Islam: kekayaan dan usaha duniawi, tanpa pondasi iman dan amal saleh, adalah sia-sia di hadapan keadilan Ilahi. Ayat ini tidak hanya mencatat nasib buruk Abu Lahab, tetapi juga menawarkan cetak biru moral dan etika universal bagi seluruh umat manusia.

Dari perspektif linguistik, perdebatan mengenai makna wa mā kasab—apakah itu merujuk pada hasil usaha finansial atau keturunan—memperkaya makna ayat ini, menegaskan bahwa tidak ada sumber daya, baik materi maupun manusia, yang dapat berfungsi sebagai jaminan keselamatan spiritual. Frasa mā aghnā adalah penolakan mutlak terhadap kekuasaan material sebagai penyelamat.

Secara teologis, ayat ini adalah proklamasi kenabian yang meruntuhkan ilusi kesombongan dan materialisme, mengingatkan bahwa aset sejati adalah yang dibawa melintasi batas kematian: hati yang bersih, ilmu yang bermanfaat, dan amal yang ikhlas. Kegagalan harta Abu Lahab berfungsi sebagai pengingat abadi bahwa segala investasi harus berorientasi pada keabadian. Hanya dengan menjadikan harta sebagai sarana untuk mencapai Rida Allah, harta tersebut dapat mencapai fungsi 'ghinā' yang sebenarnya, yaitu kecukupan dan kemanfaatan yang abadi.

Dengan demikian, Surah Al-Lahab ayat 2 bukanlah sekadar kisah sejarah tentang seorang paman yang jahat, tetapi sebuah prinsip fundamental yang terus relevan bagi setiap individu yang bergumul dengan godaan materi di setiap zaman. Ini adalah peringatan tegas bahwa harta tidak dapat membeli tiket keluar dari takdir yang telah ditetapkan Allah bagi para penentang kebenaran.

🏠 Homepage