Surah ke-111 dalam Al-Qur'an | Diturunkan di Mekkah
Surat Al-Lahab, atau dikenal juga sebagai Surat Al-Masad, menempati urutan ke-111 dari 114 surat dalam Al-Qur'an. Surat yang hanya terdiri dari lima ayat ini merupakan salah satu surat Makkiyah, diturunkan pada masa-masa awal dakwah Rasulullah ﷺ di Mekkah, ketika permusuhan dan penentangan terhadap ajaran tauhid mencapai puncaknya. Meskipun pendek, surat ini memiliki makna yang sangat mendalam dan konteks historis yang krusial, berfungsi sebagai proklamasi Ilahi terhadap konsekuensi buruk dari permusuhan yang melampaui batas, bahkan dalam ikatan kekerabatan terdekat.
Nama surat ini, Al-Lahab (yang berarti 'Api yang Berkilat/Menyala'), diambil dari penyebutan api neraka pada ayat ketiga. Sementara nama lainnya, Al-Masad (yang berarti 'Sabut/Tali dari Serat'), diambil dari penyebutan tali yang melilit leher istri Abu Lahab di ayat terakhir. Surat ini unik karena secara eksplisit menyebut nama musuh Nabi Muhammad ﷺ dan menggaransi kehancuran abadi bagi dirinya dan istrinya, menjadikannya satu-satunya surat dalam Al-Qur'an yang memberikan vonis definitif terhadap individu tertentu yang masih hidup pada saat pewahyuannya.
Penting untuk dipahami bahwa Surat Al-Lahab bukan sekadar kutukan pribadi. Ia adalah pelajaran teologis dan profetik yang besar. Ia menunjukkan kepastian janji Allah, menjelaskan bahwa ikatan darah tidak akan mampu menandingi ikatan iman, dan menegaskan bahwa kekayaan serta kekuasaan duniawi tidak akan mampu menyelamatkan seseorang dari hukuman Ilahi ketika ia menolak kebenaran dan memilih jalan kesombongan serta permusuhan terang-terangan.
Untuk memahami sepenuhnya dampak dan kekuatan Surat Al-Lahab, kita harus menilik kembali peristiwa spesifik yang melatarbelakangi pewahyuannya. Kisah ini adalah salah satu momen paling dramatis dalam sejarah dakwah Islam di Mekkah, menunjukkan keberanian Nabi Muhammad ﷺ dalam menyampaikan risalah kepada khalayak ramai dan respons kejam dari pamannya sendiri.
Setelah tiga tahun dakwah secara rahasia, Allah memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ untuk memulai dakwah secara terbuka kepada kaumnya. Nabi kemudian naik ke Bukit Safa, sebuah tempat yang strategis dan tinggi di Mekkah, tempat suku-suku biasa berkumpul untuk mendengarkan pengumuman penting. Nabi memanggil seluruh kabilah Quraisy—termasuk Banu Hasyim, Banu Abdil Muththalib, Banu Zuhrah, dan kabilah-kabilah lainnya.
Ketika semua berkumpul, Nabi Muhammad ﷺ mengajukan pertanyaan retoris: "Bagaimana pendapat kalian jika aku memberitahu bahwa di balik bukit ini ada pasukan berkuda yang siap menyerang kalian, apakah kalian akan memercayaiku?" Mereka semua menjawab serempak, "Ya, kami belum pernah mendengar engkau berdusta."
Setelah mendapatkan pengakuan atas kejujurannya yang tak tercela, Nabi kemudian menyampaikan inti risalahnya: "Sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan bagi kalian di hadapan azab yang pedih." Beliau menyeru mereka untuk meninggalkan penyembahan berhala dan hanya menyembah Allah Yang Maha Esa.
Di antara kerumunan yang hadir, berdiri tegaklah Abu Lahab (nama aslinya adalah Abdul Uzza bin Abdul Muththalib), paman kandung Nabi Muhammad ﷺ. Ia adalah seorang yang kaya raya, berwibawa di Quraisy, dan ironisnya, ia adalah satu-satunya anggota klan terdekat Nabi yang secara terbuka memusuhi beliau, sementara paman-paman lain seperti Abu Thalib, meskipun tidak memeluk Islam, tetap memberikan perlindungan kesukuan.
Mendengar seruan Nabi yang mengancam status quo dan keyakinan tradisional mereka, Abu Lahab tidak hanya menolak, tetapi ia melontarkan celaan yang sangat keji dan hina, yang dicatat dalam sejarah dan menjadi sebab langsung turunnya surat ini. Abu Lahab berteriak, Celakalah engkau! Apakah hanya untuk ini engkau mengumpulkan kami?
Dalam riwayat lain disebutkan ia mengambil batu untuk dilemparkan kepada Nabi ﷺ seraya berkata, Tabbatan laka!
(Rugi dan celakalah engkau!).
Teriakan penolakan dan kutukan dari paman kandung sendiri di hadapan seluruh kabilah Mekkah adalah penghinaan besar dan merupakan upaya nyata untuk merusak kredibilitas dakwah Nabi sejak awal. Respon ilahi datang seketika, mengulangi dan membalikkan kutukan yang dilontarkan Abu Lahab, namun kali ini dengan vonis yang kekal dan tak terhindarkan. Reaksi Ilahi ini menjadi dasar kuat yang melahirkan Surat Al-Lahab.
Surat Al-Lahab terbagi menjadi tiga bagian utama: kutukan terhadap Abu Lahab dan kegagalan upayanya (Ayat 1-2), janji hukuman neraka (Ayat 3), dan vonis terhadap istrinya (Ayat 4-5).
Kata kunci dalam ayat ini adalah تَبَّتْ (Tabbat), yang berasal dari akar kata yang berarti merugi, gagal, celaka, atau binasa. Pengulangan kata ini dalam frasa وَتَبَّ (wa tabb) memberikan penekanan yang luar biasa kuat. Para ahli tafsir menekankan bahwa pengulangan ini adalah salah satu bentuk balaagha (retorika) Al-Qur'an untuk memastikan bahwa kerugian yang dimaksud bersifat total dan abadi.
Pemilihan kata يَدَا (kedua tangan) sangatlah penting. Tangan adalah sarana untuk memberi, mengambil, bekerja, dan menimpakan mudarat. Dalam konteks Asbabun Nuzul, ketika Abu Lahab berteriak di Bukit Safa, ia dilaporkan menggunakan tangannya—bisa jadi untuk menunjuk atau bahkan mengambil batu. Dengan mengutuk tangannya, Allah menyiratkan bahwa seluruh upaya fisiknya dan segala daya upaya yang ia gunakan untuk melawan Rasulullah ﷺ akan sia-sia dan kembali kepadanya sebagai kehancuran.
Abu Lahab adalah salah satu figur terkaya di Mekkah. Di masyarakat Quraisy, kekayaan (terutama dalam bentuk unta, emas, dan pengaruh perdagangan) seringkali dipandang sebagai jaminan keamanan, kehormatan, dan perlindungan dari bahaya. Abu Lahab mungkin berpikir bahwa harta dan posisinya akan melindunginya dari kehancuran duniawi maupun akhirat. Ayat ini menampik anggapan tersebut secara tegas. Di hadapan hukuman Allah, seluruh kekayaan yang ia kumpulkan selama hidupnya menjadi tidak berarti. Konteks ini sangat relevan untuk mengingatkan bahwa nilai manusia di sisi Allah tidak diukur dari jumlah aset finansialnya.
Para mufasir memiliki dua pandangan utama mengenai makna dari مَا كَسَبَ (apa yang dia usahakan/peroleh):
Visualisasi نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ (Api yang Bergejolak).
Partikel سَ (Sa) di awal kata سَيَصْلَىٰ (Sa yaslaa) menunjukkan kepastian mutlak yang akan terjadi di masa depan yang dekat (akhirat). Ini bukan ancaman bersyarat, melainkan vonis definitif dari Allah. يَصْلَىٰ berarti 'dia akan memasuki' atau 'terbakar oleh'. Ini menandakan bahwa api akan melingkupinya dan ia akan merasakan panasnya secara langsung.
Hukuman yang dijanjikan adalah نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ (Naaran Dzaata Lahab) – Api yang memiliki nyala api. Ini adalah puncak keindahan retorika surat ini. Nama orang yang dikutuk adalah Abu Lahab (Bapak Api/Jilatan Api), dan hukuman yang dijanjikan kepadanya adalah api yang bergejolak (Lahab). Ada korelasi linguistik dan tematik yang dalam: ia dipanggil dengan nama api di dunia, dan ia akan dijamu oleh hakikat api itu sendiri di akhirat. Seakan-akan nasibnya sudah terukir dalam namanya sendiri.
Istri Abu Lahab adalah Ummu Jamil, nama aslinya adalah Arwa binti Harb, saudara perempuan dari Abu Sufyan (sebelum Abu Sufyan masuk Islam). Ia adalah seorang wanita yang berkedudukan tinggi di kalangan Quraisy, namun ia adalah pendukung fanatik suaminya dalam memusuhi Nabi ﷺ. Keterlibatannya dalam penentangan ini membuatnya pantas mendapat hukuman yang setara.
Frasa حَمَّالَةَ الْحَطَبِ (Hammaalatal Hatab) memiliki dua makna tafsir yang saling melengkapi:
Ayat terakhir memberikan deskripsi yang mengerikan mengenai hukuman fisiknya: فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍ (Di lehernya ada tali dari sabut/serat palma). Kata مَّسَدٍ (Masad) merujuk pada tali yang kasar, dibuat dari serat pohon palma yang dipilin. Tali ini, yang biasanya digunakan untuk pekerjaan kasar atau menjerat hewan, kini akan melilit lehernya.
Tali ini merupakan balasan langsung atas perbuatannya. Jika di dunia ia menggunakan lidahnya (yang digambarkan melalui membawa kayu bakar fitnah) untuk menyakiti Nabi ﷺ, di akhirat ia akan dijerat oleh hasil dari perbuatan itu sendiri. Tafsir lain menyebut bahwa Masad adalah simbol barang yang ia banggakan. Karena ia wanita kaya yang biasa memakai kalung emas mahal, di neraka ia akan digantikan dengan tali sabut yang kasar, berat, dan menyakitkan, sebagai simbol kehinaan total.
Surat Al-Lahab bukanlah sekadar kutukan, melainkan sebuah mukjizat kenabian dan pernyataan teologis yang monumental. Surat ini memainkan peran krusial dalam membuktikan kebenaran risalah Nabi Muhammad ﷺ.
Ketika surat ini diturunkan, Abu Lahab dan istrinya masih hidup dan memiliki kemampuan penuh untuk membuktikan Al-Qur'an salah. Surat ini dengan tegas mengatakan bahwa mereka pasti akan masuk neraka, yang berarti mereka tidak akan pernah memeluk Islam. Secara logika, untuk membuktikan Al-Qur'an salah, Abu Lahab hanya perlu melakukan satu hal: mengucapkan dua kalimat syahadat.
Namun, hingga kematiannya beberapa tahun kemudian—setelah Perang Badar, dalam kehinaan dan tanpa ada yang mau menguburkannya karena ia meninggal dalam penyakit yang menjijikkan (semacam pes atau luka bernanah yang parah)—Abu Lahab tetap dalam kekufurannya. Ia tidak pernah menyatakan keislaman, bahkan secara pura-pura (munafik).
Hal ini menegaskan bahwa sumber Al-Qur'an adalah Ilahi. Hanya Allah yang mengetahui nasib akhir seseorang. Ramalan yang definitif ini tidak pernah terbukti salah, dan ini merupakan salah satu argumen terkuat bagi kaum Muslimin di Mekkah saat itu bahwa Muhammad ﷺ benar-benar utusan Allah.
Surat ini turun sebagai penghibur bagi Nabi Muhammad ﷺ, yang saat itu berada di titik terendah dukungan sosial. Dikhianati oleh paman kandung sendiri dan dicerca di hadapan publik adalah pukulan berat. Turunnya Surat Al-Lahab menandakan bahwa Allah sendirilah yang mengambil alih pembelaan atas Nabi-Nya. Ketika manusia terdekat memilih permusuhan, Allah menegaskan bahwa hukuman dari-Nya lebih cepat dan lebih pasti daripada hukuman manusia.
Kepastian masuknya Abu Lahab dan istrinya ke dalam neraka, sebagaimana diumumkan oleh سَيَصْلَىٰ نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ, menjadi contoh gamblang mengenai konsekuensi permanen dari kekufuran yang disengaja dan diiringi permusuhan yang melampaui batas terhadap kebenaran yang jelas. Keputusan Ilahi ini menutup pintu taubat bagi mereka, karena mereka memilih untuk hidup dan mati dalam penentangan. Ini menggarisbawahi betapa seriusnya penolakan terhadap risalah kenabian.
Surat Al-Lahab memberikan serangkaian pelajaran moral dan spiritual yang melampaui kisah pribadi Abu Lahab dan istrinya. Pelajaran-pelajaran ini relevan bagi setiap Muslim dalam menghadapi tantangan duniawi dan menjaga integritas keimanan.
Pelajaran terpenting adalah bahwa dalam Islam, ikatan iman jauh lebih kuat daripada ikatan darah. Abu Lahab adalah paman Nabi ﷺ, kekerabatan yang sangat dihormati dalam masyarakat Arab. Namun, ketika kekerabatan itu digunakan untuk menentang kebenaran (tauhid), maka ikatan itu terputus di hadapan Allah.
Kisah ini mengajarkan bahwa seseorang tidak akan diselamatkan oleh silsilahnya, posisinya, atau siapa kerabatnya, melainkan hanya oleh amal saleh dan keikhlasan imannya. Jika paman Nabi sendiri tidak selamat dari hukuman Ilahi karena kekufurannya, maka tidak ada orang lain yang memiliki jaminan keselamatan tanpa iman yang benar.
Ayat kedua (مَا أَغْنَىٰ عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ) adalah kritik keras terhadap materialisme dan pandangan bahwa kekayaan dapat membeli kebahagiaan atau perlindungan abadi. Abu Lahab adalah simbol kesombongan berbasis harta. Ia percaya kekayaannya adalah perisai. Al-Qur'an menghancurkan ilusi ini. Harta, anak, dan kedudukan sosial, yang menjadi pilar kebanggaan duniawi, akan menjadi debu di Hari Penghakiman jika tidak diiringi dengan keimanan.
Pelajaran ini mengajak Muslim untuk senantiasa mengevaluasi hubungan mereka dengan kekayaan: apakah harta digunakan untuk menolong agama Allah (seperti yang dilakukan Abu Bakar) atau justru digunakan untuk menentangnya (seperti yang dilakukan Abu Lahab).
Hukuman terhadap Ummu Jamil sebagai حَمَّالَةَ الْحَطَبِ memberikan peringatan keras tentang bahaya lisan. Menyebarkan fitnah, kebohongan, dan adu domba dianggap sebagai dosa besar yang memiliki balasan yang spesifik dan mengerikan di akhirat. Perkataan buruk yang menyulut api permusuhan di dunia akan menjadi bahan bakar bagi api neraka di akhirat. Ini menekankan pentingnya menjaga lisan dari segala bentuk fitnah dan ghibah.
Surat Al-Lahab adalah manifestasi sempurna dari Keadilan Ilahi (Al-Adl). Hukuman yang diberikan sangat sesuai dan setimpal dengan dosa yang dilakukan. Abu Lahab, bapak jilatan api (Lahab), mendapatkan api yang bergejolak (Lahab). Istrinya, pembawa kayu bakar fitnah, dijerat oleh tali sabut yang kasar. Kesesuaian antara nama, perbuatan, dan hukuman adalah ciri khas dari keadilan yang Mahakuasa.
Penentangan Abu Lahab terhadap Nabi Muhammad ﷺ memiliki dimensi yang kompleks. Ia bukan hanya menolak pesan tauhid, tetapi juga menolak ikatan kekerabatan, yang seharusnya menjadi alasan kuat untuk melindungi Nabi. Analisis ini membantu kita memahami mengapa hukumannya begitu spesifik dan keras.
Abu Lahab menolak Islam bukan karena ia tidak tahu kejujuran Nabi, melainkan karena dua faktor utama:
Keputusan Abu Lahab untuk melawan Nabi ﷺ di hadapan umum adalah bentuk penentangan paling jahat, karena ia menggunakan pengaruh keluarganya untuk menekan klan Banu Hasyim agar menarik perlindungan mereka dari Nabi.
Keunikan Surat Al-Lahab terletak pada fakta bahwa ia secara langsung menyertakan istri dari tokoh utama dalam kutukan tersebut. Ini menunjukkan bahwa dalam kejahatan, tidak ada pemisahan antara individu suami dan istri, terutama jika keduanya bersinergi dalam menentang kebenaran.
Ummu Jamil menyediakan dukungan moral dan operasional yang bersifat merusak. Sementara Abu Lahab menggunakan kekuasaan dan kata-kata kasar di ruang publik, Ummu Jamil bekerja dalam kegelapan, menyebarkan fitnah dan melakukan sabotase kecil (meletakkan duri). Keduanya melambangkan dua jenis permusuhan: permusuhan terbuka yang kasar dan permusuhan tersembunyi yang licik. Keduanya mendapatkan hukuman yang adil.
Dalam sebagian besar surat Al-Qur'an, ancaman dan kutukan bersifat umum (misalnya: Alladziina kafaruu - orang-orang yang kafir). Namun, dalam surat ini, nama Abu Lahab disebutkan secara eksplisit. Para ulama tafsir menjelaskan hikmah di balik pengecualian ini:
Surat Al-Lahab adalah mahakarya retorika Arab, menunjukkan keindahan dan kekuatan bahasa Al-Qur'an meskipun dalam lima ayat yang singkat.
Pengulangan kata Tabbat (binasa) di Ayat 1 adalah contoh tawkiid yang kuat. تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ. Pengulangan ini memastikan bahwa kutukan terhadap tangan (perbuatan) diikuti oleh kutukan terhadap keseluruhan eksistensi Abu Lahab, menutup semua celah untuk lolos dari konsekuensi ilahi.
Kesesuaian antara hukuman dan dosa sangat mencolok:
Kesesuaian ini bukan kebetulan; ia adalah seni bahasa yang menguatkan pesan keadilan dan kepastian balasan.
Seluruh surat ini, meskipun berisi ancaman serius, mempertahankan ritme dan rima yang khas dari surat-surat Makkiyah pendek. Rima akhir (misalnya, ...tabb, ...kasab, ...lahab, ...hatab, ...masad) memberikan daya ingat yang kuat dan memastikan bahwa pesan tersebut tersampaikan dengan otoritas yang tak tertandingi.
Surat Al-Lahab, bersama dengan surat-surat pendek Makkiyah lainnya seperti Al-Kafirun, Al-Ma'un, dan Al-Kautsar, memiliki ciri khas tertentu. Surat-surat ini berfokus pada pemisahan identitas antara Muslim dan kafir, dan penegasan bahwa hasil akhir orang yang menentang kebenaran adalah kerugian total.
Surat Al-Kautsar (Surat 108) seringkali dipandang sebagai pasangan kontras yang sempurna bagi Surat Al-Lahab. Ketika Al-Kautsar diturunkan, musuh-musuh Nabi menuduh beliau sebagai abtar (terputus keturunannya/tidak memiliki penerus). Allah membalas dengan janji sungai Kautsar dan mengatakan bahwa syani’aka huwal abtar (sesungguhnya orang yang membencimu dialah yang terputus).
Jika Al-Kautsar adalah janji kemuliaan dan keberlimpahan bagi Nabi Muhammad ﷺ, Surat Al-Lahab adalah janji kehinaan dan kemiskinan (rohani dan jasmani) bagi penentang utamanya, Abu Lahab. Kedua surat ini, meskipun berbeda konteks, sama-sama berfungsi sebagai perlindungan dan penegasan status kenabian dari serangan musuh.
Berbeda dengan Al-Kafirun yang menekankan perbedaan ibadah secara umum (lakum dinukum waliya diin), Al-Lahab menargetkan individu spesifik yang tindakannya melampaui batas penolakan ideologis, menuju tindakan permusuhan fisik dan verbal yang jahat. Ini menunjukkan bahwa meskipun Islam menganjurkan toleransi dalam perbedaan, permusuhan aktif dan upaya penghancuran risalah akan dibalas secara keras dan pribadi.
Dampak Surat Al-Lahab terhadap komunitas Muslim awal sangatlah besar. Surat ini memberikan kepercayaan diri kepada kaum Muslimin yang minoritas dan tertindas, meyakinkan mereka bahwa penindasan yang mereka alami hanyalah sementara dan bahwa keadilan Ilahi akan ditegakkan pada akhirnya.
Ketika surat ini diwahyukan, sebagian besar kabilah Quraisy masih takut pada Abu Lahab dan kekuasaannya. Namun, wahyu yang secara terbuka mencela dan mengutuknya memberi sinyal jelas bahwa kekuasaan manusiawi tidak relevan di hadapan Allah. Hal ini memicu keberanian bagi para sahabat yang lemah untuk terus berpegang teguh pada Islam.
Surat ini mengajarkan kepada kaum Muslimin bahwa mereka tidak sendirian. Ketika keluarga terdekat pun berbalik menjadi musuh, Allah mengambil peran sebagai Pelindung sejati. Hal ini menggeser fokus umat dari bergantung pada perlindungan suku atau kabilah kepada bergantung sepenuhnya kepada perlindungan Allah semata.
Kisah Abu Lahab menjadi studi kasus abadi tentang bahaya kombinasi kekafiran, kesombongan, dan permusuhan terhadap kebenaran. Ia mengajarkan bahwa dosa-dosa ini tidak dapat ditebus oleh status sosial atau ikatan darah. Ini adalah peringatan bagi setiap individu untuk merenungkan amal perbuatan dan niat hati mereka.
Sebagai penutup, Surat Al-Lahab, meskipun terfokus pada tokoh sejarah tertentu, menawarkan ajaran universal tentang kepastian janji Allah, kesia-siaan ambisi duniawi yang tidak dihiasi iman, dan balasan setimpal bagi mereka yang memilih jalan permusuhan terhadap cahaya kebenaran. Ini adalah seruan yang jelas: waspadalah terhadap kesombongan, kendalikan lisan, dan jadikan iman sebagai satu-satunya jaminan keselamatan abadi.
Surat ini akan terus dibaca oleh jutaan umat Islam sebagai pengingat abadi bahwa segala upaya yang dilakukan untuk memadamkan cahaya Islam pasti akan gagal, dan pada akhirnya, kerugian total akan menimpa para penentangnya. Inilah kebenaran hakiki dari Surat Al-Lahab dan keadilan mutlak dari Rabbul 'Alamin.
Dalam analisis tafsir modern, Surat Al-Lahab juga dilihat sebagai metafora yang melampaui kisah individu. Meskipun merujuk pada Abu Lahab secara historis, surat ini berfungsi sebagai arketipe dari penentang risalah Tuhan di setiap zaman.
Setiap orang yang memusuhi kebenaran, menggunakan kekuasaannya untuk menindas kebaikan, dan menggunakan harta untuk menghambat dakwah, secara spiritual dapat dianggap sebagai 'Abu Lahab' di zamannya. Mereka adalah individu-individu yang, karena kesombongan, menutup hati mereka dari petunjuk Ilahi. Mereka menanggung nama 'Bapak Api' karena setiap tindakan mereka, baik melalui lisan (kayu bakar) maupun harta (kesombongan), menghasilkan api permusuhan di dunia dan menjamin api hukuman di akhirat.
Konteks مَا أَغْنَىٰ عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ sangat berkaitan erat dengan konsep amal yang terhapus (sia-sia) dalam teologi Islam. Seseorang mungkin melakukan banyak perbuatan baik (seperti memberi sedekah, menjaga kehormatan keluarga, atau memimpin masyarakat) di mata manusia. Namun, jika perbuatan tersebut tidak didasarkan pada fondasi tauhid dan justru digunakan untuk memusuhi Rasul, maka seluruh usahanya tidak akan memberi manfaat sedikit pun di hadapan Allah. Hal ini adalah penekanan mendasar bahwa iman adalah prasyarat mutlak bagi diterimanya amal perbuatan.
Bagi para pejuang kebenaran (da’i) di setiap generasi, surat ini berfungsi sebagai sumber kekuatan rohani. Ketika penentangan terasa berat, Surat Al-Lahab mengingatkan bahwa kebencian yang dilontarkan oleh musuh-musuh agama, meskipun berasal dari keluarga atau teman dekat, hanyalah omong kosong yang sudah divonis oleh Allah. Penentangan mereka adalah kebinasaan mereka sendiri. Ini mencegah keputusasaan dan menegaskan bahwa pertolongan sejati berasal dari Yang Maha Kuasa, bukan dari persetujuan manusia.
Mari kita kembali fokus pada kompleksitas ayat pertama. Penggunaan bentuk ganda dan tunggal dari 'Tabbat' dalam satu ayat adalah keunikan yang patut dianalisis lebih jauh dari sudut pandang gramatikal dan retoris. تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ.
Penggunaan تَبَّتْ (bentuk lampau, tunggal, feminin) dan يَدَا (bentuk ganda, merujuk pada dua tangan) menunjukkan bahwa kehancuran telah ditetapkan pada kedua sisi kekuatan Abu Lahab. Tangan melambangkan kekuatan fisik, kemampuan untuk melakukan, dan sumber penghidupan. Kedua tangan ini, yang seharusnya digunakan untuk berbuat baik atau minimal melindungi kerabat, justru digunakan untuk menentang. Dengan mengutuk kedua tangan, Allah mengutuk seluruh sumber kekuasaan dan pengaruhnya. Ini adalah penghancuran pada tingkat operasional dan fungsional.
Kemudian diikuti oleh وَتَبَّ (bentuk lampau, tunggal, maskulin), yang merujuk pada Abu Lahab sendiri. Ini adalah kehancuran pada tingkat esensi diri, jiwa, dan nasib abadi. Jika kehancuran tangan bersifat duniawi atau sebagai alat, kehancuran yang kedua bersifat menyeluruh (total ruin). Ini adalah puncak dari kutukan, memastikan bahwa tidak hanya usahanya yang binasa, tetapi juga dirinya sendiri secara keseluruhan. Maknanya menjadi: celaka upaya-upayanya, dan celaka pula dirinya, secara duniawi dan akhirat.
Kata مَّسَدٍ (Masad) di ayat kelima tidak hanya sekadar tali. Dalam kamus bahasa Arab kuno, Masad merujuk pada tali yang dibuat dari serat keras pohon palma atau kulit unta yang dipilin kuat. Tali ini dikenal sangat kasar dan dapat melukai kulit. Penggantian perhiasan emas Ummu Jamil dengan tali Masad adalah kontras yang pahit.
Ummu Jamil, sebagai wanita kaya, selalu mengenakan kalung yang mahal dan anggun, menunjukkan status sosialnya. Di akhirat, status ini dicabut. Kalung kehormatan diganti dengan tali kehinaan. Tali Masad adalah simbol kerja paksa, penderitaan, dan status rendah. Ironi ini menunjukkan bahwa kekayaan dan kemuliaan duniawi tidak hanya gagal menyelamatkan mereka, tetapi juga diubah menjadi alat penyiksaan dan penghinaan abadi.
Karena ia menaburkan kepahitan (duri) dan fitnah di dunia, balasan yang ia terima adalah sesuatu yang kasar dan menyakitkan (tali sabut). Ini mengajarkan bahwa apa pun yang kita keluarkan di dunia—baik itu kelembutan atau kekasaran—akan kembali kepada kita dalam bentuk yang setimpal.
Dalam masyarakat Mekkah yang klan-sentris, serangan dari Abu Lahab terhadap keponakannya adalah tindakan yang hampir tidak terbayangkan. Sistem sosial mereka didasarkan pada asabiyyah (solidaritas suku). Ketika Muhammad ﷺ mulai berdakwah, Abu Thalib (paman lainnya) berdiri teguh melindungi keponakannya, meskipun ia tidak beriman. Tindakan Abu Lahab melanggar norma sosial paling mendasar—yaitu kewajiban kerabat terdekat untuk melindungi anggota klan.
Surat Al-Lahab menjustifikasi pemutusan solidaritas suku yang tidak didasarkan pada kebenaran. Ia menegaskan bahwa solidaritas sejati hanya ada pada jalan tauhid. Kehancuran Abu Lahab berfungsi sebagai pembenaran Ilahi atas keharusan untuk memprioritaskan ajaran agama di atas ikatan keluarga yang menolak kebenaran. Surat ini adalah revolusi sosiologis yang menempatkan iman di puncak hirarki nilai sosial.
Untuk mengakhiri analisis mendalam ini, marilah kita tegaskan kembali poin-poin krusial yang harus diinternalisasi dari studi Surat Al-Lahab:
Surat Al-Lahab adalah peringatan yang berapi-api. Ia mengajarkan tentang akhir yang menyedihkan dari kesombongan yang terbungkus kekayaan, kekerabatan, dan penolakan yang keras kepala. Setiap kali kita membaca surat ini, kita tidak hanya mengingat Abu Lahab sang tokoh sejarah, tetapi juga merenungkan potensi 'lahab' (api kesombongan dan permusuhan) yang mungkin bersemayam dalam diri kita sendiri, dan bergegas mencari perlindungan dari Allah.
Visualisasi تَبَّتْ يَدَا (Binasalah kedua tangan).
Semoga kita semua diberikan taufik oleh Allah untuk mengambil pelajaran dari kisah ini dan menjauhi segala bentuk kesombongan, permusuhan, dan penolakan terhadap kebenaran yang telah disampaikan melalui Rasulullah ﷺ.
Inilah analisis mendalam mengenai Surat Al-Lahab, sebuah surat pendek namun memiliki bobot teologis, historis, dan profetik yang tak terhingga dalam khazanah Islam.