Visualisasi simbolis kedamaian (Salaam) yang melingkupi malam hingga terbit fajar.
Surat Al-Qadr, sebuah surah yang ringkas namun sarat makna, terdiri dari lima ayat yang mengabadikan peristiwa paling agung dalam sejarah spiritualitas Islam: turunnya Al-Qur'an dan hadirnya Malam Kemuliaan (Laylatul Qadr). Meskipun seluruh surah ini memegang peran fundamental, puncaknya seringkali dirasakan dalam ayat terakhir, Ayat 5, yang mendefinisikan sifat intrinsik malam tersebut.
Ayat yang menjadi fokus kajian mendalam ini adalah:
(Salaamun Hiya Hatta Matla'il Fajr)
Artinya: "Sejahteralah (malam itu) sampai terbit fajar."
Ayat kelima ini tidak hanya berfungsi sebagai penutup Surah Al-Qadr, tetapi juga sebagai klimaks deskriptif yang menjabarkan inti dari keberkahan Malam Qadar. Ia memberikan sebuah jaminan kosmik akan ketenangan total, sebuah kondisi yang melampaui kedamaian duniawi biasa, dan menetapkan batas waktu bagi keberkahan tersebut: hingga munculnya cahaya fajar.
I. Tinjauan Linguistik dan Makna Dasar 'Salaamun'
Untuk memahami kedalaman ayat ini, kita harus memulai dengan analisis kata kunci utamanya: *Salaamun* (سَلَامٌ). Kata ini jauh lebih kaya maknanya daripada sekadar 'damai' atau 'peace' dalam terjemahan umum.
A. Kedalaman Makna Kata ‘Salaam’
Akar kata *s-l-m* (س ل م) dalam bahasa Arab mengandung arti dasar keselamatan, kesehatan, kepenuhan, dan kepatuhan (Islam sendiri berasal dari akar kata yang sama, berarti penyerahan diri yang membawa keselamatan). Dalam konteks Surah Al-Qadr, *Salaamun* dimaknai dalam beberapa dimensi oleh para ulama tafsir:
- Keselamatan (Safety): Malam itu aman dari segala keburukan dan bencana. Syaitan tidak memiliki kemampuan untuk melakukan kerusakan atau godaan yang signifikan. Ini adalah malam di mana pintu neraka ditutup.
- Ketenteraman (Tranquility): Kondisi spiritual dan psikologis yang murni dan tenang bagi orang-orang yang beribadah. Hati mukmin dipenuhi oleh ketenangan (sakīnah) yang luar biasa.
- Penghormatan Malaikat: Para malaikat, termasuk Jibril, mengucapkan salam (penghormatan dan keselamatan) kepada setiap mukmin yang sedang beribadah. Ini adalah interaksi langsung antara dimensi langit dan bumi.
- Keputusan yang Sejahtera: Segala ketetapan (Qadar) yang ditetapkan pada malam itu untuk tahun mendatang adalah ketetapan yang membawa kebaikan dan kemaslahatan, bebas dari keputusan yang destruktif.
Imam Ar-Razi, dalam tafsirnya, menekankan bahwa kata *Salaamun* di sini menggunakan bentuk *nakirah* (indefinitif), yang menunjukkan keagungan dan keumumannya. Ini bukan sekadar "sebuah kedamaian," tetapi "kedamaian yang luar biasa dan agung yang tidak terdefinisikan sepenuhnya oleh batasan bahasa manusia."
B. Implikasi Gramatikal Kata ‘Hiya’
Kata ganti *Hiya* (هِيَ) yang berarti "ia" (feminin) merujuk pada *Laylatul Qadr* (Malam Kemuliaan). Penekanan gramatikal ini mengukuhkan bahwa sifat *Salaamun* adalah sifat yang melekat pada malam itu sendiri. Malam itu, dalam esensinya, adalah kedamaian yang berjalan, eksis, dan beroperasi di alam semesta.
II. Tafsir Mendalam Ayat 5: Durasi dan Manifestasi Ketenteraman
Bagian kedua dari ayat, *Hatta Matla'il Fajr* (حَتَّىٰ مَطْلَعِ الْفَجْرِ), adalah penentu waktu yang memberikan kekhususan dan keistimewaan pada keberkahan tersebut. "Hatta" (sampai) berfungsi sebagai batas akhir temporal.
A. Batasan Waktu: Hingga Terbit Fajar
Para ulama sepakat bahwa seluruh keberkahan yang dijelaskan dalam ayat 3 (turunnya malaikat dan Ruh) dan ayat 4 (penetapan ketetapan) serta kedamaian yang luar biasa dalam ayat 5, berlangsung tanpa henti sejak matahari terbenam hingga fajar shadiq (fajar yang menandai masuknya waktu Subuh) muncul.
Imam Mujahid dan Qatadah berpendapat bahwa batas waktu ini menunjukkan kesempurnaan anugerah. Begitu matahari terbit, malam tersebut kembali ke status malam biasa, namun selama waktu yang ditetapkan itu, alam semesta berada dalam kondisi penerimaan ilahi yang optimal.
Ini membedakan Laylatul Qadr dari momen ibadah istimewa lainnya yang mungkin hanya terjadi sesaat. Laylatul Qadr adalah periode ibadah dan kedamaian yang berkelanjutan, sebuah ‘layanan penuh’ dari Tuhan selama kurang lebih 8 hingga 12 jam, tergantung letak geografis.
B. Manifestasi Kedamaian di Alam Semesta
Bagaimana kedamaian ini termanifestasi secara nyata? Tafsir klasik dan kontemporer mengidentifikasi beberapa cara:
1. Kedamaian Kosmik (Malaikat)
Malaikat turun dalam jumlah yang tidak terhitung—lebih banyak dari kerikil di bumi, menurut beberapa riwayat. Tugas mereka bukan hanya membawa wahyu atau perintah, tetapi juga membawa *Salam*. Mereka menyapa setiap mukmin yang beribadah, baik yang sedang shalat, membaca Al-Qur'an, atau berzikir. Kehadiran malaikat ini secara massal menciptakan medan energi spiritual yang menenangkan dan melindungi bumi.
2. Kedamaian Lingkungan
Dikatakan bahwa pada malam itu, bahkan udara dan elemen alam terasa berbeda. Angin bertiup lembut, suhu sedang, dan tidak ada badai atau fenomena alam yang mengganggu. Hal ini menciptakan suasana yang ideal bagi manusia untuk fokus pada pencarian spiritual tanpa gangguan fisik yang eksternal. Syaikh Abdurrahman As-Sa'di menjelaskan bahwa keselarasan alam pada malam itu adalah cerminan dari keselarasan Ilahi yang diturunkan.
3. Kedamaian Spiritual (Hati)
Inilah manifestasi yang paling penting. Hati orang mukmin yang terjaga merasakan *hidayah* (petunjuk) dan *rahmah* (kasih sayang) yang mengalir deras. Kecenderungan untuk berbuat dosa melemah drastis, dan keinginan untuk bertobat serta mendekatkan diri kepada Allah menguat. Kedamaian ini menghilangkan kegelisahan, keraguan, dan ketakutan yang seringkali menyelimuti kehidupan sehari-hari.
III. Interpretasi Filosofis dan Teologis Ayat 5
Ayat kelima Surah Al-Qadr adalah pintu gerbang menuju pemahaman teologis tentang hubungan antara Qadar (ketetapan) dan *Salaam* (kedamaian).
A. Hubungan Qadar dan Salaam
Laylatul Qadr adalah malam penetapan (Qadar). Semua peristiwa penting yang akan terjadi dalam setahun ke depan (rezeki, ajal, pernikahan, musibah) ditetapkan atau diperinci pada malam ini. Ayat 5 menjamin bahwa proses penetapan ini diliputi oleh kedamaian.
Ini mengandung makna filosofis yang mendalam: Bahkan ketetapan yang mungkin terasa sulit bagi manusia (musibah atau ujian) adalah ketetapan yang datang dari sumber *Salaam* (Allah, As-Salaam) dan bertujuan pada kedamaian hakiki. Bagi seorang mukmin, ini mengajarkan penerimaan takdir dengan hati yang tenang, karena bahkan hal yang buruk sekalipun memiliki hikmah dan tujuan baik di baliknya.
B. Allah sebagai Sumber Salaam
Salah satu nama indah Allah (Asmaul Husna) adalah *As-Salaam* (Yang Maha Pemberi Keselamatan). Ketika Al-Qur'an menyatakan bahwa malam itu adalah *Salaamun*, ini adalah proyeksi sifat Ilahi itu ke dalam dimensi waktu. Laylatul Qadr menjadi wadah (tempat) di mana sifat *As-Salaam* Allah dimanifestasikan paling intens di bumi.
Oleh karena itu, beribadah pada malam ini berarti mencari perlindungan langsung di bawah payung sifat *As-Salaam*. Ini adalah momen di mana Allah menerima permohonan hamba-Nya untuk keselamatan dari siksa dunia dan akhirat, sehingga terwujudlah kondisi di mana hati manusia selaras sempurna dengan kehendak Ilahi.
Representasi kaligrafi dari ayat 'Salaamun Hiya Hatta Matla'il Fajr'.
IV. Tafsir Kontemporer dan Implementasi Praktis Salaamun
Di era modern, di mana manusia sering menghadapi krisis eksistensial, kecemasan, dan konflik yang terus-menerus, janji *Salaamun* dalam Ayat 5 menjadi sangat relevan. Para ulama kontemporer menekankan bahwa pencarian Laylatul Qadr adalah pencarian stabilitas jiwa.
A. Salaam sebagai Antitesis Kekacauan Dunia
Malam Kemuliaan menawarkan sebuah "jeda kosmik." Ia adalah waktu ketika intensitas kekacauan duniawi diredam oleh intervensi Ilahi. Ketika seorang mukmin beribadah, ia tidak hanya mendapatkan pahala, tetapi juga melepaskan dirinya dari jerat ketegangan dan persaingan hidup. *Salaamun Hiya* adalah pengingat bahwa ketenangan sejati hanya dapat ditemukan dalam koneksi vertikal (hubungan dengan Tuhan), bukan dalam pencapaian horizontal (materi duniawi).
B. Fiqh Ibadah untuk Meraih Salaam
Untuk benar-benar meraih *Salaamun* yang dijanjikan, ibadah pada malam itu harus dilakukan dengan kualitas (khusyu') yang maksimal. Ulama Fiqh menganjurkan beberapa praktik spesifik yang terkait erat dengan ayat ini:
- Qiyamul Lail (Shalat Malam): Shalat adalah bentuk komunikasi paling intim. Berdiri dalam shalat adalah cara untuk menenangkan raga dan jiwa, menarik kedamaian dari sumbernya.
- Doa Ma’tsur (Doa yang Diajarkan Nabi): Doa spesifik Laylatul Qadr, *Allahumma Innaka Afuwwun Tuhibbul Afwa Fa’fu Anni* (Ya Allah, Engkau Maha Pemaaf dan Mencintai Pemaafan, maka maafkanlah aku), adalah permohonan untuk keselamatan dan pembersihan diri, yang merupakan prasyarat mutlak untuk menerima *Salaam*.
- Tadabbur Al-Qur'an: Merenungkan firman Allah pada malam diturunkannya Qur'an adalah cara untuk mengisi hati dengan cahaya petunjuk, yang otomatis menghasilkan ketenangan.
Semua amalan ini harus dipertahankan secara konsisten, dari awal malam hingga *Matla'il Fajr*. Keberkahan *Salaamun* itu tidak datang secara instan; ia memancar secara bertahap seiring waktu ibadah yang ditekuni.
V. Analisis Lanjut: Mengapa 'Hatta Matla'il Fajr'?
Batasan waktu (hingga fajar) memiliki makna simbolis dan praktis yang sangat kuat dalam tradisi Islam.
A. Simbolisme Cahaya vs. Kegelapan
Fajar adalah titik transisi antara kegelapan malam dan cahaya siang. Dalam konteks spiritual, ini melambangkan transisi dari usaha (ibadah di malam hari) menuju hasil atau buah (kedamaian dan ampunan). Laylatul Qadr adalah perjuangan malam hari (mujahadah) yang mencapai puncaknya saat fajar terbit, di mana janji *Salaam* itu terselesaikan dan diresmikan.
Ketika fajar muncul, keberkahan Laylatul Qadr telah usai, dan umat Muslim memulai hari dengan membawa energi dan ketenangan yang diisi semalam suntuk, yang diharapkan dapat bertahan sepanjang tahun.
B. Penafsiran Imam Al-Qurtubi dan At-Tabari
Imam Al-Qurtubi, dalam tafsirnya, menguatkan bahwa fajar adalah batas waktu dikarenakan pada saat itu, para malaikat telah menyelesaikan tugas mereka dan kembali ke langit. Mereka turun ke bumi untuk membawa ketetapan Allah dan menyebarkan kedamaian, dan tugas itu berakhir ketika hari baru dimulai.
Imam At-Tabari menambahkan bahwa penentuan batas waktu ini juga menegaskan bahwa keselamatan yang diberikan pada malam itu bersifat total. Artinya, tidak ada satu detik pun dari malam itu, dari terbenam matahari hingga fajar, yang luput dari lingkupan *Salaam* dan keberkahan.
VI. Perbandingan Salaam Laylatul Qadr dengan Salaam Lain dalam Al-Qur'an
Kata *Salaam* digunakan di berbagai tempat dalam Al-Qur'an, namun *Salaamun* dalam Ayat 5 ini memiliki kekhususan.
A. Salaam di Surga
Di surga, *Salaam* adalah ucapan penghormatan (misalnya, *Salaamun qawlam mir Rabbir Rahīm* - "Salam, sebagai ucapan dari Tuhan Yang Maha Penyayang"). Di surga, *Salaam* adalah status permanen dan penghormatan abadi. *Salaamun* dalam Surah Al-Qadr adalah pengecap awal dari kedamaian surgawi tersebut, sebuah kondisi sementara di dunia fana.
B. Salaam Nabi Nuh dan Ibrahim
Allah juga mengucapkan *Salaam* kepada para Nabi (seperti Nabi Nuh dan Ibrahim). Ini adalah *Salaam* sebagai janji keselamatan pribadi dan penghargaan atas perjuangan mereka. *Salaamun* Laylatul Qadr, sebaliknya, adalah *Salaam* yang universal, yang melingkupi seluruh umat, seluruh bumi, dan seluruh waktu malam itu.
Perbedaan ini menyoroti keagungan Laylatul Qadr. Kedamaian pada malam itu adalah Kedamaian yang diutus secara massal oleh Allah, menjadikannya kesempatan yang tiada bandingannya bagi siapapun yang ingin membersihkan jiwanya.
VII. Studi Kasus Spiritual: Bagaimana Mengukur ‘Salaam’
Karena *Salaamun* adalah fenomena spiritual, bagaimana seorang mukmin dapat memastikan bahwa ia telah meraihnya? Pengalaman *Salaam* tidak selalu berupa penglihatan yang dramatis, melainkan seringkali bersifat internal dan halus.
A. Indikator Kedamaian Batin
- Khusyu' yang Mendalam: Kemampuan untuk fokus penuh dalam ibadah, seolah-olah dunia luar menghilang, adalah tanda kuat masuknya *Salaam* ke dalam hati.
- Hati yang Lapang: Hilangnya dendam, iri hati, dan perasaan negatif lainnya. Hati terasa ringan dan penuh cinta kepada Allah dan sesama.
- Kemudahan Beribadah: Malam itu terasa singkat, dan ibadah yang berat terasa ringan dan menyenangkan. Ini adalah bantuan (taufiq) dari Allah yang menyertai *Salaam* malaikat.
- Peningkatan Kualitas Hidup Pasca-Qadr: Bukti nyata bahwa seseorang telah meraih *Salaam* Laylatul Qadr adalah peningkatan konsistensi dalam amal shalih dan ketenangan dalam menghadapi cobaan setelah Ramadhan berakhir.
Kedamaian ini bukan sekadar perasaan nyaman, tetapi sebuah kekuatan batin yang memungkinkan hamba untuk menjalani kehidupan sehari-hari dengan perspektif Ilahi, terlepas dari tantangan duniawi yang mungkin ia hadapi.
VIII. Menutup Malam dengan Fajr: Kesimpulan Ayat 5
Ayat terakhir Surah Al-Qadr, *Salaamun Hiya Hatta Matla'il Fajr*, adalah janji abadi tentang keagungan waktu. Ia merangkum seluruh esensi Laylatul Qadr: sebuah malam yang disucikan, dipenuhi oleh intervensi malaikat, dan dibatasi oleh penanda kosmik (terbitnya fajar).
A. Kontinuitas Anugerah
Penekanan pada kata *Hatta* (sampai) mengajarkan kepada kita pentingnya kontinuitas dalam beribadah. Seorang mukmin tidak boleh berhenti beribadah setelah merasa lelah di pertengahan malam, melainkan harus bertahan hingga batas waktu yang ditetapkan, yaitu terbitnya fajar. Kegigihan (istiqamah) ini adalah kunci untuk menuai buah penuh dari *Salaam* tersebut.
B. Warisan Kedamaian
Pada akhirnya, Laylatul Qadr, yang disimpulkan oleh Ayat 5, meninggalkan warisan yang mendalam. Malam ini mengajarkan bahwa dalam Islam, keselamatan (*Salaam*) bukanlah sekadar hasil akhir, tetapi juga merupakan sebuah proses yang diberikan secara berkala oleh Allah kepada hamba-Nya yang berusaha. Ketenangan yang dirasakan saat fajar terbit adalah bekal rohani yang harus dijaga agar semangat ketenangan dan ibadah tersebut dapat terus menyala sepanjang sebelas bulan berikutnya, hingga Laylatul Qadr kembali menyapa.
Ayat 5 Surat Al-Qadr adalah undangan universal untuk berlabuh dalam samudra ketenangan Ilahi, sebuah suaka spiritual yang terbuka bagi semua yang mencari, dan menutup tirainya hanya ketika cahaya Subuh mulai menyinari ufuk.
***
IX. Ekspansi Tafsir Mendalam: Analisis Tekstual dan Historis
Untuk melengkapi pembahasan mengenai keagungan *surat al qadr ayat 5*, penting untuk menyentuh bagaimana ayat ini diinterpretasikan dalam berbagai mazhab tafsir klasik dan bagaimana ia berhubungan dengan tradisi lisan (hadis) yang melingkupinya. Keindahan ayat ini terletak pada kemampuannya menampung berbagai lapis makna.
A. Perspektif Tafsir Sufi (Al-Qushayri)
Dalam tradisi Sufi, *Salaamun* tidak hanya dipandang sebagai kedamaian dari siksa dunia atau gangguan setan, tetapi juga sebagai pembebasan dari kekangan diri (nafs) yang rendah. *Salaamun Hiya* bagi kaum Sufi berarti malam itu disucikan dari segala sifat kemanusiaan yang buruk. Malam itu adalah cermin yang memantulkan kesucian murni dari hadirat Ilahi. Ketika seorang hamba mencapai titik kehampaan diri (fana') dalam ibadahnya, barulah ia dapat sepenuhnya menyerap *Salaam* tersebut.
Interpretasi ini menekankan bahwa keberkahan Laylatul Qadr tidak hanya didapat dari kuantitas ibadah (banyaknya rakaat), tetapi dari kualitas kehadiran hati (hudur qalb) yang membawa pada ketenangan esensial, yang berlanjut *Hatta Matla'il Fajr*.
B. Makna ‘Mata Air’ Kedamaian
Para ahli bahasa Arab kuno seringkali memandang kata *Salaamun* di sini sebagai sebuah sumber, bukan hanya sebuah kondisi. Seolah-olah malam itu adalah ‘mata air’ kedamaian yang melimpah ruah, mengalir ke seluruh penjuru bumi di mana terdapat hamba yang beribadah. Ketika fajar terbit, mata air itu ‘menutup’ alirannya untuk waktu tertentu, menjadikannya anugerah yang sangat spesifik dan terbatas.
Penjelasan ini memperkuat urgensi untuk memanfaatkan setiap detik malam tersebut. Setiap napas, setiap sujud, adalah kesempatan untuk menimba dari sumber kedamaian ini sebelum ia mengering saat munculnya cahaya fajar.
C. Isyarat Ilmiah: Ketahanan Kosmik
Meskipun Al-Qur'an bukanlah buku sains, para mufasir modern terkadang mencoba melihat keterkaitan antara deskripsi ayat dan pengetahuan alam. Deskripsi malam yang begitu tenang (*Salaamun*) hingga fajar dapat dihuburungkan dengan fenomena kosmik yang terjadi di lapisan atmosfer selama malam itu. Beberapa pandangan, meskipun spekulatif, mengemukakan bahwa aktivitas alam semesta yang membawa potensi bahaya (seperti badai kosmik) diminimalkan oleh kehadiran malaikat atau pengaruh Ilahi pada malam itu, yang secara harfiah menjamin kondisi *Salaam* yang stabil di permukaan bumi.
Namun, yang terpenting adalah makna teologis: ketenangan ini adalah tanda kekuasaan Allah yang mampu menangguhkan atau meredam hukum alam demi menegaskan keagungan sebuah waktu yang dipilih-Nya.
D. Penentuan Waktu Fajar dalam Ibadah
Secara Fiqh, batas *Matla'il Fajr* sangat krusial. Ini adalah saat di mana shalat Tarawih dan shalat Lailatul Qadr harus dihentikan, dan waktu shalat Subuh dimulai. Pemahaman yang mendalam tentang Ayat 5 ini mendorong umat Islam untuk tidak terburu-buru. Seringkali, orang menyelesaikan ibadahnya sesaat sebelum fajar. Ayat ini justru mendorong kita untuk berjuang hingga detik-detik terakhir; menyelesaikan zikir, doa, dan istighfar tepat sebelum cahaya fajar menyingsing, memastikan kita sepenuhnya terendam dalam *Salaam* hingga batas waktu yang paling akhir.
Imam Ahmad bin Hanbal menekankan pentingnya memaksimalkan bagian akhir malam. Keberkahan *Salaam* memuncak seiring mendekatnya fajar, seolah-olah seluruh kekuatan malam itu dikumpulkan di akhir, sebelum ditutup oleh waktu Subuh.
X. Konsekuensi Spiritual dari Melewatkan Salaamun Hiya
Jika malam itu sedemikian damai dan penuh keberkahan, apa konsekuensi spiritual bagi mereka yang lalai? Hadis-hadis mengisyaratkan kerugian besar. Rasulullah ﷺ bersabda, "Barangsiapa yang dihalangi dari kebaikannya, maka ia benar-benar terhalangi." Melewatkan Laylatul Qadr berarti kehilangan jaminan *Salaamun* selama setahun penuh.
A. Kerugian dari Kedamaian yang Hilang
Seseorang yang melewatkan malam ini mungkin akan menjalani tahun berikutnya dengan hati yang lebih gelisah, lebih rentan terhadap godaan setan, dan lebih jauh dari ketenangan batin. Kehilangan *Salaam* ini diartikan sebagai hilangnya kesempatan untuk 'mengisi ulang' baterai spiritual yang mampu menahan guncangan hidup.
Ayat 5 memberikan kontras yang tajam antara malam yang penuh rahmat dan ketenangan (Laylatul Qadr) dengan malam-malam biasa yang penuh dengan potensi kerusakan dan godaan. Bagi yang beribadah, malam itu adalah oasis. Bagi yang lalai, malam itu hanyalah malam lain yang berlalu tanpa bekas.
B. Ajaran tentang Istighfar
Pencarian *Salaam* ini harus disertai dengan *Istighfar* (memohon ampunan). Keselamatan (*Salaam*) hakiki tidak dapat diraih jika hati masih terbebani oleh dosa. Oleh karena itu, *Salaamun Hiya Hatta Matla'il Fajr* mendorong kita untuk membersihkan diri total. Istighfar pada malam itu bukan hanya sekadar permintaan maaf, tetapi sebuah pemulihan totalitas diri, menyiapkan wadah batin agar layak menerima kedamaian dan ketetapan terbaik dari Allah.
Sebab, ketika malaikat mengucapkan *Salam* kepada kita, kita harus berada dalam kondisi yang bersih, menjauhkan diri dari hal-hal yang dapat membatalkan penerimaan *Salam* surgawi tersebut.
C. Menarik Pelajaran Etika
Konsep *Salaamun* juga memiliki implikasi etika yang besar. Jika Allah mengutus kedamaian-Nya ke bumi pada malam itu, maka setiap mukmin diwajibkan untuk merefleksikan kedamaian itu dalam perilakunya. Laylatul Qadr adalah malam di mana kita harus meninggalkan pertengkaran, kebencian, dan permusuhan, baik dalam hati maupun perbuatan. Untuk menerima *Salaam* dari langit, kita harus menjadi sumber *Salaam* bagi lingkungan sekitar kita.
Syeikh Muhammad Al-Ghazali menekankan bahwa ibadah terbaik pada malam itu adalah yang menghasilkan kedamaian nyata, baik bagi individu maupun masyarakat, sebuah kedamaian yang dipancarkan dari hati yang tulus hingga batas waktu fajar tiba.
XI. Kesimpulan Komprehensif: Ayat 5 sebagai Jaminan Ilahi
Ayat 5, *Salaamun Hiya Hatta Matla'il Fajr*, adalah inti sekaligus penutup dari pesan Surah Al-Qadr. Ayat ini adalah jaminan ilahi bagi umat Muhammad ﷺ bahwa ada waktu khusus, sebuah "ruang aman" tahunan, di mana Allah menurunkan seluruh keagungan, ampunan, dan ketenangan-Nya.
Kedamaian ini dimulai dengan turunnya Jibril dan para malaikat, mencapai puncaknya melalui ibadah hamba yang tulus, dan berakhir secara presisi pada saat fajar. Kedamaian ini adalah bukti kasih sayang Allah yang tak terbatas, memberikan kesempatan sekali setahun untuk membersihkan papan tulis kehidupan dan memulai lagi dengan ketetapan (Qadar) yang penuh berkah.
Dengan merenungkan setiap kata dalam ayat yang mulia ini, umat Islam diundang untuk tidak hanya mencari Laylatul Qadr secara fisik, tetapi juga secara spiritual, memastikan bahwa hati mereka siap menerima *Salaamun* agung yang mengalir deras hingga terbitnya fajar.
Malam Kemuliaan, dengan janji kedamaian totalnya, sesungguhnya adalah hadiah terindah yang diberikan kepada umat ini, sebuah jendela menuju ketenangan abadi yang hanya dapat diakses melalui perjuangan dan penyerahan diri yang murni.
***