Surat At-Tin Ayat 4-6: Memahami Hakikat Kesempurnaan Penciptaan Manusia
Ilustrasi kesempurnaan penciptaan manusia.
Allah SWT dalam Al-Qur'an telah menjelaskan berbagai aspek mengenai penciptaan manusia. Salah satu penegasan yang sangat mendalam terdapat dalam Surat At-Tin, khususnya pada ayat 4 hingga 6. Ayat-ayat ini tidak hanya sekadar deskripsi, melainkan sebuah pengingat dan penegasan akan kemuliaan serta potensi luar biasa yang dianugerahkan kepada manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya yang paling sempurna.
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya." (QS. At-Tin: 4)
Ayat keempat Surat At-Tin ini merupakan fondasi utama dari pembahasan mengenai kesempurnaan penciptaan manusia. Frasa "أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ" (ahsani taqwim) secara harfiah berarti "bentuk yang paling baik" atau "paling proporsional/semurna". Ini menunjukkan bahwa dari segi fisik, manusia diciptakan dengan struktur tubuh yang harmonis, organ-organ yang berfungsi optimal, dan kemampuan yang belum tertandingi oleh makhluk lain. Keseimbangan, kelengkapan, dan keindahan fisik manusia adalah bukti nyata dari kebesaran dan hikmah Sang Pencipta.
Namun, kesempurnaan ini tidak hanya terbatas pada aspek fisik. Para ulama tafsir menjelaskan bahwa "ahsani taqwim" juga mencakup kesempurnaan akal budi, kemampuan berpikir, dan potensi spiritual yang dimiliki manusia. Manusia dibekali dengan akal untuk membedakan baik dan buruk, hati untuk merasakan, dan ruh untuk terhubung dengan Sang Pencipta. Kemampuan inilah yang membedakan manusia dari makhluk ciptaan lainnya dan memberikan potensi untuk mencapai derajat yang sangat tinggi.
ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ
"Kemudian Kami kembalikan dia (ke tempat) yang serendah-rendahnya." (QS. At-Tin: 5)
Ayat kelima ini seringkali menimbulkan pertanyaan dan kekhawatiran. Mengapa setelah diciptakan dalam bentuk yang paling sempurna, manusia kemudian dikembalikan ke tempat yang paling rendah? Penafsiran ayat ini perlu dipahami dalam konteks yang lebih luas. Para ahli tafsir sepakat bahwa ayat ini merujuk pada dua kondisi utama.
Pertama, jika manusia menyalahgunakan kesempurnaan yang telah diberikan Allah. Ketika akal digunakan untuk kejahatan, hati digunakan untuk kedengkian, dan potensi spiritual diabaikan, maka manusia akan jatuh ke derajat yang paling hina. Kehinaan ini bukanlah kehinaan fisik, melainkan kehinaan moral dan spiritual. Sebaliknya, ketika manusia taat kepada Allah dan menggunakan anugerah-Nya sesuai kehendak-Nya, maka ia akan tetap berada di puncak kemuliaan.
Kedua, ada pula yang menafsirkan ayat ini merujuk pada kondisi manusia saat mencapai usia senja atau saat kematian. Dalam usia tua, fisik manusia bisa saja melemah dan membutuhkan bantuan, sementara kematian adalah transisi kembali kepada Allah. Namun, penafsiran ini haruslah dibarengi dengan pemahaman bahwa kembalinya manusia kepada Allah adalah proses yang mulia jika selama hidupnya ia beriman dan beramal shaleh.
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ
"Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, maka mereka mendapatkan pahala yang tiada putus-putusnya." (QS. At-Tin: 6)
Ayat keenam ini memberikan secercah harapan dan solusi dari kondisi "asfala safilin" yang disebutkan pada ayat sebelumnya. Allah SWT menegaskan bahwa ada pengecualian bagi mereka yang senantiasa berpegang teguh pada keimanan dan amal shaleh. Keimanan yang tulus kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari kiamat, dan takdir Allah, menjadi landasan utama.
Disertai dengan amal shaleh, yaitu segala perbuatan baik yang sesuai dengan syariat Allah, manusia akan terhindar dari jurang kehinaan. Amal shaleh ini mencakup ibadah ritual seperti shalat, puasa, zakat, haji, serta amal sosial seperti berbakti kepada orang tua, menolong sesama, berbuat adil, dan segala bentuk kebaikan lainnya. Kombinasi antara iman dan amal shaleh inilah yang menjadi kunci untuk mempertahankan derajat kesempurnaan penciptaan, bahkan meningkatkannya di hadapan Allah SWT.
Pahala yang dijanjikan bagi orang-orang yang beriman dan beramal shaleh adalah "أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ" (ajrun ghairu mamnun), yang berarti pahala yang tidak terputus, tidak dibatasi, dan tidak akan pernah habis. Ini adalah gambaran kenikmatan surga yang abadi, sebuah ganjaran yang tak terhingga bagi mereka yang telah berusaha keras di dunia untuk meraih ridha-Nya.
Kesimpulan
Surat At-Tin ayat 4-6 mengingatkan kita bahwa manusia dianugerahi kesempurnaan penciptaan yang luar biasa, baik fisik maupun potensi akal dan spiritualnya. Namun, potensi ini dapat mengantarkan pada derajat tertinggi atau terendah tergantung pada pilihan hidupnya. Dengan memelihara iman dan mengamalkan perbuatan shaleh secara konsisten, kita dapat menjaga dan bahkan meninggikan derajat kemuliaan kita, meraih pahala yang tak terputus dari Allah SWT. Ayat-ayat ini adalah pengingat penting untuk senantiasa bersyukur atas karunia-Nya dan menggunakan setiap anugerah untuk kebaikan dunia dan akhirat.