Ilustrasi: Makna Ayat dalam Perspektif Islami
Surat At-Tin, surat ke-95 dalam Al-Qur'an, dibuka dengan sumpah Allah terhadap buah tin dan zaitun, serta tempat-tempat suci seperti Mekah dan Baitul Maqdis. Sumpah ini menegaskan pentingnya ayat-ayat Allah yang terkandung dalam ciptaan-Nya. Ayat-ayat awal surat ini berbicara tentang penciptaan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, sebuah anugerah dan potensi luar biasa yang diberikan Tuhan kepada hamba-Nya. Namun, dalam kelanjutannya, terdapat ayat yang seringkali menimbulkan pertanyaan dan perenungan mendalam, yaitu ayat kelima yang berbunyi: "ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ" (Tsumma radadnaahu asfala saafiliin).
Secara harfiah, ayat ini dapat diterjemahkan sebagai, "Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya." Kata "radadnaahu" berarti "Kami kembalikan" atau "Kami jadikan kembali," sedangkan "asfala saafiliin" adalah bentuk superlatif dari "asfal" (bawah) yang berarti "paling rendah," "paling hina," atau "tempat yang paling merosot."
Penafsiran mengenai ayat ini sangat beragam di kalangan ulama dan mufassir. Namun, pemahaman yang paling umum dan mendalam mengaitkannya dengan dua kondisi utama manusia:
Salah satu tafsir utama ayat kelima Surat At-Tin adalah bahwa ayat ini mengingatkan manusia akan potensi kejatuhan spiritual dan moralnya. Meskipun manusia diciptakan dalam bentuk yang paling sempurna, dengan akal, nafsu, dan kemampuan memilih, ia juga memiliki kelemahan. Jika manusia menyalahgunakan anugerah akalnya, menuruti hawa nafsunya secara membabi buta, dan berpaling dari ajaran Allah, maka ia bisa tergelincir ke dalam jurang kehinaan.
Kehinaan ini bukanlah kehinaan fisik semata, melainkan kehinaan dalam aspek akidah, moralitas, dan perilaku. Manusia bisa menjadi lebih rendah dari binatang jika ia tidak menggunakan potensi akal dan kehendaknya untuk kebaikan. Misalnya, keserakahan yang berlebihan, keangkuhan, penindasan terhadap sesama, atau penolakan terhadap kebenaran ilahi dapat menarik manusia ke derajat yang paling rendah. Ini adalah peringatan keras agar manusia senantiasa menjaga diri, mengendalikan hawa nafsu, dan berpegang teguh pada petunjuk Allah agar tidak jatuh ke lembah kehinaan.
Tafsir lain yang juga kuat adalah bahwa ayat ini merujuk pada keadaan manusia sebelum ia diciptakan dalam bentuknya yang sekarang, yaitu saat ia masih berupa setetes air mani di dalam rahim, sebuah fase yang sangat lemah dan belum memiliki kesadaran. Ada juga yang menafsirkannya sebagai keadaan manusia ketika ruhnya dicabut dari tubuhnya menjelang kematian, kembali ke alam yang lebih rendah atau ke keadaan yang sangat renta.
Namun, pandangan yang paling diterima dan selaras dengan keseluruhan konteks Surat At-Tin adalah bahwa ayat kelima ini, bersama dengan ayat keenam yang menyatakan "kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya," menunjukkan dua ekstrem yang bisa dialami manusia. Manusia punya potensi untuk mencapai ketinggian yang luar biasa karena akal dan keimanannya, tetapi juga punya potensi untuk jatuh serendah-rendahnya karena kemaksiatan dan kesesatannya.
Ayat kelima Surat At-Tin memiliki implikasi mendalam bagi kehidupan setiap Muslim. Ia mengajarkan tentang dualitas kodrat manusia: potensi kebaikan yang sangat tinggi dan potensi keburukan yang juga sangat rendah. Hal ini menekankan pentingnya perjuangan terus-menerus dalam diri manusia untuk memilih jalan kebaikan.
Peringatan ini seharusnya tidak menimbulkan keputusasaan, melainkan menjadi motivasi untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, memperbanyak amal saleh, dan menjauhi larangan-Nya. Dengan iman dan amal saleh, sebagaimana dijelaskan pada ayat berikutnya, manusia tidak akan jatuh ke "asfala saafiliin," melainkan akan diangkat derajatnya dan mendapatkan kebahagiaan abadi. Ayat ini mengingatkan kita bahwa nasib akhir manusia sangat bergantung pada pilihan dan usahanya sendiri di dunia ini, dalam koridor ketetapan dan rahmat Allah.
Memahami surat At-Tin secara keseluruhan, terutama ayat kelima, adalah sebuah pengingat akan kerentanan manusia sekaligus potensi mulianya. Ini adalah panggilan untuk introspeksi diri, evaluasi perilaku, dan komitmen untuk terus memperbaiki diri demi meraih ridha Allah SWT.