Simbolisasi Kehancuran: Tangan yang celaka (Tabbat Yada) dan nyala api (Al-Lahab).
Surah Al-Masad, atau yang dikenal juga dengan Surah Al-Lahab, merupakan salah satu surah terpendek dalam Al-Qur'an, tetapi memiliki dampak teologis dan historis yang sangat besar. Diturunkan di Makkah, surah ini secara eksplisit mengutuk dan menubuatkan kehancuran seorang individu bernama Abu Lahab, paman Nabi Muhammad ﷺ, dan istrinya, Ummu Jamil.
Pernyataan pembuka surah, "Tabbat Yada Abi Lahabin," adalah titik fokus dari kajian ini. Kalimat ini bukan hanya sebuah kutukan, melainkan proklamasi kenabian yang menjamin bahwa semua upaya dan kekayaan Abu Lahab akan sia-sia, dan ia pasti akan berakhir di dalam api neraka. Studi mendalam terhadap surah ini memerlukan analisis bahasa yang cermat, pemahaman konteks sejarah (Asbabun Nuzul), dan perbandingan tafsir dari ulama klasik hingga kontemporer.
Untuk memahami kekuatan Surah Al-Masad, kita harus mengurai setiap kata dari ayat pertama. Bahasa Arab Qur’ani memiliki kekayaan makna yang berlapis, dan pemilihan kata di sini sangatlah spesifik dan menghunjam.
Kata Tabbat berasal dari akar kata Tabb (تَبّ), yang secara harfiah memiliki beberapa konotasi yang intens:
Ulama tafsir seperti Al-Qurtubi menjelaskan bahwa Tabbat di sini berarti "khasirat wa khabat" (merugi dan gagal total). Kerugian yang dimaksud mencakup seluruh aspek kehidupannya, baik di dunia maupun di akhirat.
Kata Yada adalah bentuk dual (tatsniyah) dari yad (يد) yang berarti tangan. Jadi, Yada berarti 'dua tangan'. Mengapa Al-Qur’an menyebut secara spesifik 'dua tangan', bukan hanya 'dirinya'?
Dengan demikian, frase تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ
"Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa."
Mengandung makna ganda: Pertama, kutukan terhadap usahanya. Kedua, penegasan bahwa dirinya sendiri juga pasti binasa dan merugi. Pengulangan kata 'wa tabb' (dan dia benar-benar binasa) menguatkan dan menyegel keniscayaan hukuman tersebut. Ini menunjukkan bahwa kehancuran usahanya hanyalah bagian dari kehancuran dirinya secara total.
Surah Al-Masad adalah salah satu surah yang memiliki konteks penurunan yang paling jelas dan dramatis. Ia diturunkan sebagai respons langsung terhadap penentangan yang keras dan terbuka dari Abu Lahab, paman kandung Nabi Muhammad ﷺ.
Periode awal dakwah Nabi Muhammad ﷺ di Makkah dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Ketika Allah memerintahkan beliau untuk berdakwah secara terang-terangan, Nabi naik ke Bukit Safa, bukit tertinggi di Makkah, untuk memanggil suku-suku Quraisy.
Menurut riwayat yang shahih, beliau berseru, "Wahai Bani Fihr, wahai Bani Adiy!" dan klan-klan Quraisy berkumpul, termasuk para pembesar Makkah. Nabi bertanya, "Bagaimana pendapat kalian, jika aku beritahukan bahwa di balik lembah ini ada pasukan berkuda yang akan menyerang kalian, apakah kalian akan memercayaiku?" Mereka menjawab serempak, "Ya, kami belum pernah mendengar engkau berbohong."
Lalu Nabi ﷺ bersabda, "Sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan bagi kalian sebelum datangnya azab yang pedih."
Di antara kerumunan itu adalah Abd al-Uzza bin Abd al-Muttalib, yang dikenal dengan kun-yah-nya (julukannya) Abu Lahab. Ia adalah satu-satunya orang di antara kerabat terdekat Nabi yang berdiri dan mengeluarkan kutukan brutal, berteriak di depan umum:
"Celakalah engkau! Apakah untuk ini engkau mengumpulkan kami?"
Abu Lahab kemudian mengambil batu atau benda lain dan melemparkannya ke arah Nabi, atau setidaknya mengancamnya. Penghinaan ini sangat menyakitkan, karena bukan datang dari musuh biasa, melainkan dari paman kandung beliau, seseorang yang seharusnya menjadi pelindung (hami) dalam sistem klan Makkah.
Sebagai respons langsung terhadap kutukan dan penghinaan tersebut, Allah SWT menurunkan Surah Al-Masad, yang membalikkan kutukan Abu Lahab kepada dirinya sendiri. Ini adalah momen penting karena menegaskan bahwa ikatan kekerabatan tidak berguna di hadapan penentangan terhadap tauhid.
Abu Lahab adalah paman Nabi dan tetangga terdekat. Nama aslinya adalah Abdul Uzza, tetapi ia dijuluki Abu Lahab (Bapak Api/Jilatan Api) karena wajahnya yang tampan dan berseri-seri, yang kadang-kadang disamakan dengan nyala api. Ironisnya, nama julukannya ini menjadi kenyataan azabnya di akhirat.
Bersama istrinya, Ummu Jamil binti Harb (saudari dari Abu Sufyan), Abu Lahab adalah musuh paling gigih yang tidak hanya menolak Islam tetapi juga secara aktif menyebarkan fitnah, menghina, dan memblokir jalan bagi orang yang ingin mendengarkan Nabi Muhammad ﷺ.
Surah Al-Masad tidak hanya mengutuk, tetapi juga memberikan prognosis (ramalan) definitif mengenai akhir kehidupan Abu Lahab. Prognosis ini terpenuhi sepenuhnya, memberikan bukti kuat atas kebenaran kenabian.
مَا أَغْنَىٰ عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ
"Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang ia usahakan."
Analisis Kata Kunci:
Ayat ini menegaskan bahwa pada hari kiamat, semua kebanggaan duniawi—kekayaan (yang sering menjadi penolong dalam masyarakat Makkah) dan anak-anak (yang menjadi harapan di masa tua)—tidak akan mampu menyelamatkan Abu Lahab dari azab. Semua modal sosial dan finansialnya adalah nol besar di hadapan kehendak Ilahi.
سَيَصْلَىٰ نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ
"Kelak dia akan masuk ke dalam api yang berkobar."
Analisis Kata Kunci:
Penyebutan Lahab dalam deskripsi api neraka bukan sekadar kebetulan, tetapi sebuah korelasi linguistik yang menampar. Ini menyiratkan bahwa ia akan dibakar oleh esensi dari apa yang menjadi identitasnya di dunia. Tafsir At-Tabari menegaskan bahwa api yang dimaksud sangat hebat dan melalap habis, sebuah kontras dari api dunia yang hanya membakar sebagian.
Ayat ini adalah bukti kenabian yang paling mutlak. Surah ini diturunkan saat Abu Lahab masih hidup. Ayat ini menubuatkan dua hal: (1) Ia akan binasa di dunia (usahanya sia-sia). (2) Ia pasti masuk neraka. Untuk masuk neraka, ia harus mati dalam keadaan kafir. Jika Abu Lahab pernah berpura-pura masuk Islam, atau bahkan masuk Islam secara diam-diam hanya untuk membuktikan Qur'an salah, nubuwwah ini akan batal. Namun, Abu Lahab meninggal dalam keadaan kafir total, beberapa waktu setelah Perang Badar karena penyakit yang menular (disebut Al-Adasah, sejenis wabah), yang bahkan membuat keluarganya menjauhinya karena takut tertular.
Kenyataan bahwa Allah menetapkan nasib Abu Lahab saat ia masih hidup, dan nasib itu terwujud persis seperti yang dinubuatkan, merupakan salah satu mukjizat retorika dan kebenaran Al-Qur'an.
Surah Al-Masad tidak berhenti pada Abu Lahab, tetapi melanjutkan kutukan kepada istrinya, Ummu Jamil, yang memiliki nama asli Arwa binti Harb.
وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ
"Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar."
فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍ
"Di lehernya ada tali dari sabut."
Istilah 'pembawa kayu bakar' ditafsirkan oleh ulama dalam dua makna, satu literal (jarang diterima) dan satu simbolis (mayoritas diterima):
Beberapa riwayat minor menyebutkan bahwa Ummu Jamil, meskipun kaya, terkadang membawa kayu bakar untuk memasak atau untuk keperluan sehari-hari. Namun, tafsir ini dianggap lemah.
Mayoritas ulama tafsir sepakat bahwa hammalatal hatab adalah metafora untuk penyebar fitnah, pembuat onar, dan penyulut permusuhan.
Dengan demikian, Ummu Jamil dihukum karena peran aktifnya sebagai pendukung penentangan suaminya, menggunakan lidah dan tindakannya untuk menyakiti Nabi secara verbal dan fisik.
Ayat terakhir Surah Al-Masad menggambarkan azab Ummu Jamil di neraka: di lehernya akan ada tali dari sabut.
Interpretasi Hukuman:
Ummu Jamil dikenal di dunia sebagai wanita yang suka memakai perhiasan mahal, khususnya kalung. Beberapa tafsir menyatakan bahwa kalung mahal yang ia banggakan di dunia akan digantikan di neraka dengan tali yang kasar, panas, dan menyakitkan, terbuat dari serat palem neraka (masad) yang akan mencekiknya atau menyeretnya.
Tali sabut juga dapat dihubungkan kembali dengan perannya sebagai pembawa kayu bakar. Sebagaimana ia membawa kayu bakar di dunia (entah literal atau simbolis) menggunakan tali, maka di akhirat ia akan diikat dengan tali yang sama—sebuah kesesuaian sempurna antara perbuatan dan balasan.
Kekuatan Surah Al-Masad terletak pada struktur bahasanya yang ringkas namun dahsyat, yang memadukan nubuat, kutukan, dan hukuman dengan keserasian kata yang luar biasa.
Pengulangan kata Tabbat dan korelasi antara Abi Lahab dengan Naran Dhatin Lahab adalah contoh Ijaz (keajaiban) retorika Qur'an:
Semua ayat dalam Surah Al-Masad berakhir dengan suara yang sama (bunyi "b" atau "d" yang kuat, diikuti oleh suara yang ditekankan), menciptakan irama yang tegas dan menghantam, cocok dengan pesan azab dan kepastian yang dibawanya:
Irama ini, yang dikenal sebagai fawaasil dalam ilmu Balaghah, memberikan resonansi emosional dan daya ingat yang kuat, sekaligus menegaskan bahwa surah ini adalah satu kesatuan vonis yang tak terpisahkan.
Para ulama seperti Sayyid Qutb menekankan bahwa Surah Al-Masad adalah bukti kenabian karena ia memprediksi kematian Abu Lahab dalam kekafiran. Selama sepuluh tahun setelah surah ini diturunkan, Abu Lahab memiliki kesempatan penuh untuk masuk Islam, bahkan pura-pura masuk Islam, hanya untuk menodai kebenaran Al-Qur'an. Namun, ia tidak pernah melakukannya. Ini membuktikan bahwa Al-Qur'an berbicara dengan pengetahuan mutlak (ilmu ghaib) tentang takdir akhir individu.
Surah Al-Masad memberikan pelajaran teologis yang vital mengenai hubungan antara iman dan kekerabatan, serta prinsip keadilan Ilahi.
Ayat ini mengajarkan bahwa ikatan darah tidak dapat menyelamatkan seseorang dari azab Allah jika orang tersebut menolak kebenaran. Abu Lahab adalah paman kandung Nabi, tetapi karena permusuhan dan kekafirannya, ia dikutuk. Ini menggarisbawahi pentingnya al-Wala wal-Bara (loyalitas dan disavowal) dalam Islam: loyalitas hanya diberikan kepada orang-orang beriman, bahkan jika mereka bukan kerabat darah, sementara disavowal (pelepasan diri) dilakukan terhadap musuh-musuh Allah, meskipun mereka adalah kerabat terdekat.
Ayat kedua ("Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang ia usahakan") adalah pengingat bahwa semua alat kekuasaan duniawi (uang, anak, posisi) adalah sementara dan tidak bernilai sama sekali di hadapan Hari Penghakiman, jika tidak digunakan untuk mendukung kebenaran. Abu Lahab percaya kekayaannya akan melindunginya, tetapi justru hal itu yang gagal menolongnya.
Hukuman yang dijatuhkan kepada Abu Lahab dan istrinya menunjukkan prinsip keadilan (qishash) dalam balasan:
Kesesuaian ini, di mana nasib di akhirat berkorelasi langsung dengan peran yang dimainkan di dunia, adalah ciri khas keadilan Ilahi.
Untuk melengkapi kedalaman analisis, kita perlu kembali meninjau beberapa istilah yang jarang digunakan dalam bahasa Arab sehari-hari, tetapi krusial dalam Surah Al-Masad.
Kata Masad (masdar dari kata kerja masada) secara spesifik merujuk pada tali yang dibuat dari serat pohon palem yang dipelintir dengan sangat kuat, biasanya digunakan untuk mengikat barang berat atau ember sumur. Tali ini sangat kasar dan dapat melukai kulit.
Jika tali yang digunakan di dunia untuk mengikat kayu bakar adalah tali palem biasa, bayangkan betapa keras dan menyakitkannya tali sabut yang dibuat dari bahan neraka. Hal ini menyoroti bahwa hukuman bagi Ummu Jamil akan sangat brutal dan tak tertahankan, sebuah kontras dari kelembutan sutra dan emas yang menjadi kebanggaannya di dunia.
Dalam Ayat 2, Allah memisahkan Maluhu (hartanya, kekayaan yang diwarisi atau yang sudah ada) dari Ma Kasaba (apa yang ia usahakan). Pemisahan ini mencakup seluruh totalitas kekayaannya:
Ini mencakup semua lini pertahanan sosial dan finansial Abu Lahab. Para mufassir menekankan bahwa Abu Lahab pernah berkata, "Jika kebenaran itu ada, aku akan menebus diriku dengan hartaku dan anak-anakku." Ayat ini datang untuk menolak klaim tersebut, menegaskan bahwa tidak ada tebusan yang berlaku di Hari Penghakiman bagi kekafirannya.
Walaupun Surah Al-Masad adalah surah kutukan, hikmah utamanya adalah pelajaran etika dan prinsip keimanan yang kuat:
Setiap kata dalam surah ini—dari Tabbat yang menghancurkan hingga Masad yang mengikat—berkontribusi pada sebuah narasi teologis yang padat, membuktikan bahwa penentangan terhadap kebenaran akan berakhir dengan kerugian total, baik di dunia maupun di akhirat.
Meskipun Surah Al-Masad secara spesifik ditujukan kepada Abu Lahab dan istrinya, para ulama modern sering melihat surah ini sebagai peringatan universal bagi siapa pun yang menggunakan kekuasaan, kekayaan, dan pengaruh klan mereka untuk menghalangi jalan dakwah dan kebenaran.
Ketika kita memahami Tabbat Yada sebagai "celakalah usaha dan upaya," maka ancaman ini berlaku bagi setiap pemimpin, tiran, atau individu yang mengerahkan seluruh sumber daya (tangan dan kekayaan) mereka untuk melawan kebenuran yang jelas. Upaya mereka, meskipun mungkin berhasil sementara di dunia, pasti akan gagal dan binasa di hadapan kehendak Allah.
Dalam konteks modern, hal ini dapat diinterpretasikan sebagai kehancuran sistem-sistem yang dibangun di atas kebohongan, penindasan, atau korupsi yang didanai dengan harta kekayaan yang melimpah. Meskipun tampaknya kokoh, fondasi mereka akan runtuh, dan usaha mereka (kasaba) akan sia-sia.
Jika Ummu Jamil adalah penyebar fitnah di zamannya dengan menaburkan duri dan menyebarkan gosip jahat, maka di era digital, konsep Hammalatal Hatab meluas ke media massa, jaringan sosial, atau individu yang secara sistematis menyebarkan disinformasi, kebencian, dan fitnah untuk menghalangi dakwah atau merusak citra kebenaran.
Tali sabut (Hablun min Masad) menjadi metafora bagi beban mental, spiritual, dan fisik yang dipikul oleh penyebar kebohongan. Mereka mungkin dihormati di dunia, tetapi di akhirat mereka akan terikat oleh hasil dari apa yang mereka sebarkan, yang menyalakan api fitnah bagi diri mereka sendiri dan orang lain.
Surah Al-Masad adalah surah yang unik karena:
Setiap umat Islam yang membaca Surah Al-Masad diingatkan bahwa tidak ada kedudukan atau kekayaan yang dapat membeli keselamatan dari murka Allah jika hati menolak petunjuk dan tangan digunakan untuk menentang kebenaran.
Pandangan ulama besar memperkaya pemahaman kita tentang intensitas surah ini:
Ibnu Katsir fokus pada Asbabun Nuzul dan menekankan bahwa Tabbat Yada adalah respons langsung terhadap perkataan Abu Lahab di Bukit Safa. Ia juga memperjelas bahwa ma kasaba merujuk pada anak-anak Abu Lahab, yaitu Utbah dan Mu’attab, yang (berbeda dengan ayah mereka) pada akhirnya masuk Islam setelah Fathu Makkah, menunjukkan bahwa ancaman dalam surah ini adalah spesifik bagi Abu Lahab dan istrinya, bukan seluruh keturunannya.
Al-Qurtubi memberikan penekanan linguistik yang mendalam pada kata Tabbat, menyimpulkan bahwa maknanya adalah kerugian dan kehancuran yang tak terhindarkan. Ia juga membahas mengapa hukuman Ummu Jamil terkait dengan leher, menafsirkan itu sebagai penghinaan total yang mengganti kalung permata duniawinya dengan tali api akhirat.
Sayyid Qutb melihat surah ini sebagai pemisahan definitif antara cahaya dan kegelapan, antara klan Nabi dan klan kebenaran. Ia menekankan aspek harakah (gerakan) dan peran aktif Ummu Jamil sebagai pembawa kayu bakar. Surah ini adalah deklarasi bahwa permusuhan yang aktif terhadap Islam tidak akan ditoleransi dan akan dihukum dengan azab yang sesuai dengan tindakan mereka di dunia.
Kajian mendalam terhadap Tabbat Yada artinya membawa kita pada pemahaman bahwa Surah Al-Masad adalah sebuah dokumen nubuat yang sempurna, sebuah bukti kebenaran kenabian, dan sebuah peringatan abadi tentang sia-sianya kekuasaan duniawi di hadapan keputusan Ilahi. Kehancuran Abu Lahab bukanlah kebetulan, melainkan vonis yang ditetapkan secara abadi atas penolakan dan penghinaan yang ia lakukan terhadap panggilan tauhid yang paling mendasar.
Setiap umat yang membaca dan merenungkan surah ini diingatkan bahwa setiap usaha (yada) yang dilakukan untuk menentang jalan Allah pasti akan celaka (tabbat), dan setiap penyebar api fitnah (hammalatal hatab) akan memikul beban api itu sendiri.
— Akhir Kajian Mendalam Surah Al-Masad —