Surah Al-Fatihah, yang secara harfiah berarti "Pembukaan" atau "Pembuka Kitab," adalah surah pertama dalam Al-Qur'an. Kedudukannya yang fundamental menjadikannya wajib dibaca dalam setiap rakaat salat, sebuah ritual yang menghubungkan jutaan umat Islam di seluruh dunia melalui untaian kata yang sama persis. Namun, di balik lafal yang agung, terdapat dimensi visual dan ortografi (tulisan) yang memegang peran krusial dalam menjaga keaslian dan kesakralan teks tersebut. Eksplorasi mengenai tulisan Al-Fatihah bukan sekadar kajian linguistik, melainkan penyelaman ke dalam sejarah kaligrafi Islam, kaidah Rasm Utsmani, dan ekspresi visual dari wahyu Ilahi.
Tulisan Al-Fatihah adalah representasi paling murni dari ortografi Arab klasik, yang ditetapkan sejak masa Khalifah Utsman bin Affan (Rasm Utsmani). Memahami setiap detail visual dari surah ini adalah kunci untuk menghargai warisan intelektual dan seni Islam yang telah berabad-abad menjaganya.
Ketika membahas tulisan Al-Fatihah, kita tidak berbicara tentang ejaan Arab modern (Rasm Imlai), tetapi tentang ejaan kuno yang distandardisasi pada abad ketujuh. Rasm Utsmani adalah kaidah penulisan Al-Qur'an yang wajib diikuti, memastikan bahwa teks yang dibaca hari ini sama persis dengan yang dikumpulkan pada masa sahabat.
Rasm Utsmani memiliki beberapa karakteristik unik yang membedakannya dari penulisan Arab sehari-hari. Kaidah ini berpusat pada pemeliharaan fonetik asli dan kadang-kadang mempertahankan bentuk tulisan kuno yang tidak selalu sesuai dengan pengucapan kontemporer. Dalam Al-Fatihah, prinsip-prinsip ini terlihat jelas, khususnya dalam penulisan alif, ya, dan hamzah.
Keputusan untuk mengikuti Rasm Utsmani menunjukkan bahwa transmisi tulisan Al-Qur'an adalah sakral dan tidak boleh diubah berdasarkan evolusi bahasa Arab. Hal ini menjadikan tulisan Al-Fatihah sebagai dokumen sejarah linguistik dan keagamaan yang tak ternilai.
Untuk memahami kedalaman tulisan ini, kita harus membedah setiap ayat dan melihat bagaimana Rasm Utsmani diterapkan:
Kata Bismillah (بِسْمِ) adalah salah satu pengecualian ortografi yang paling terkenal. Secara kaidah Imlai (ejaan umum), kata ini seharusnya ditulis lengkap dengan alif (ابسم), namun dalam Rasm Utsmani, alif pada kata *ism* (اسم) dihapuskan ketika dilebur dengan Ba' (بِ). Penghapusan alif ini adalah penanda visual kemuliaan dan frekuensi penggunaan frasa ini, menjadikannya berbeda dari penulisan kata 'nama' di konteks lain.
Analisis Tulisan Ar-Rahman (الرَّحْمَنِ): Seperti dijelaskan, alif yang dibaca panjang setelah Ha' (ح) dihilangkan (al-hazf). Penulisan ini (الرَّحْمَنِ) merupakan bentuk klasik yang berbeda dari ejaan modern yang mungkin menulis alif kecil di atasnya untuk memandu pembaca non-Arab.
Penulisan ayat ini secara umum mengikuti kaidah Imlai, namun perhatian besar diberikan pada penempatan tashdid (شَدَّة) pada huruf Lam kedua pada *Lillahi* (لِلَّهِ) dan al-Qamar (الْقَمَر) pada kata Al-Alamin (الْعَالَمِينَ). Dalam kaligrafi, bentuk Lam (ل) yang merangkai nama Allah (الله) menjadi salah satu elemen yang paling sering dihias dan diberi penekanan visual.
Pengulangan tulisan ini menegaskan prinsip penghapusan alif pada *Ar-Rahman*. Pengulangan visual ini juga memberikan ritme dan keseimbangan pada Surah, yang dieksploitasi sepenuhnya dalam seni kaligrafi. Perbedaan visual antara *Ra* (ر) dan *Ha* (ح) menjadi sangat penting untuk kejelasan bacaan.
Tulisan *Maliki* (مَالِكِ) memiliki variasi bacaan yang tercermin dalam ortografi. Ada dua cara penulisan Rasm Utsmani yang diakui: (1) Dengan alif (مالك) dibaca *Maaliki* dan (2) Tanpa alif (ملك) dibaca *Maliki*. Dalam Mushaf standar (seperti Mushaf Madinah), alifnya sering kali ditampilkan sebagai alif kecil (khānjarīyah) di atas Mīm (م) untuk menuntun pembaca kepada bacaan yang panjang, meskipun bentuk dasarnya mungkin tetap tanpa alif tegak.
Ayat ini dikenal karena ketegasan dan pengulangan pronomina. Secara ortografi, penulisan Iyyaka (إِيَّاكَ) dengan *shaddah* (tashdid) pada huruf Ya' (ي) adalah kunci. Dalam kaligrafi, penekanan pada shaddah ini sering diwujudkan melalui penempatan harakat yang menonjol dan berkarakter, menekankan keunikan dan ketunggalan Allah.
Tulisan Al-Fatihah telah menjadi subjek utama bagi para kaligrafer (khattat) sepanjang sejarah Islam. Keindahan surah ini tidak hanya terletak pada maknanya, tetapi juga pada fleksibilitas bentuknya yang memungkinkan ekspresi artistik yang tak terbatas. Kaligrafi Surah Al-Fatihah mewakili puncak pencapaian seni Islam, menggabungkan kesucian teks dengan keindahan visual.
Sejak abad-abad awal, tulisan Al-Qur'an telah berevolusi dari skrip yang kaku dan angular menjadi gaya yang lebih mengalir dan dekoratif. Evolusi ini mencerminkan kebutuhan akan keterbacaan yang lebih baik dan keinginan untuk menghormati teks melalui estetika yang lebih tinggi.
Kufi adalah gaya tertua yang digunakan untuk menulis Al-Qur'an. Ciri khasnya adalah sudut yang tajam, garis horizontal yang kaku, dan kesimetrian geometris. Ketika Al-Fatihah ditulis dalam Kufi, setiap huruf terasa terstruktur dan monumental. Huruf *Alif* (ا) dan *Lam* (ل) berdiri tegak lurus, sementara bentuk seperti *Mim* (م) dan *Nun* (ن) sering disederhanakan menjadi bentuk persegi atau bundar yang minimalis.
Dalam Kufi, penempatan harakat (titik dan vokal) baru ditambahkan belakangan, seringkali menggunakan tanda titik berwarna untuk membedakan konsonan dan vokal. Membaca Al-Fatihah dalam skrip Kufi awal membutuhkan keahlian mendalam, tetapi memberikan kesan keagungan dan orisinalitas.
Naskh (yang berarti 'menyalin') menjadi gaya tulisan Al-Qur'an yang paling populer dan digunakan dalam mushaf cetak modern. Naskh dikembangkan untuk kecepatan dan keterbacaan yang tinggi. Dalam Naskh, tulisan Al-Fatihah tampak jelas, proporsional, dan harakatnya ditempatkan dengan tepat, menghilangkan ambiguitas yang mungkin ada pada Kufi.
Fokus Naskh pada kejelasan sangat penting untuk teks yang dibaca miliaran kali sehari. Lengkungan yang lembut pada *Ya* (ي) dan *Nun* (ن), serta keterbacaan kepala *Ain* (ع) dan *Ghayn* (غ), memastikan bahwa pembaca awam dapat mengikuti irama dan fonetik Al-Fatihah dengan benar.
Thuluth, yang berarti 'sepertiga', dikenal karena ukurannya yang besar dan bentuknya yang dramatis. Gaya ini jarang digunakan untuk menyalin seluruh Al-Qur'an, melainkan untuk judul surah, inskripsi masjid, atau kaligrafi seni. Al-Fatihah dalam Khat Thuluth menampilkan garis-garis yang tebal, perpanjangan horizontal (kashida) yang elegan, dan penumpukan huruf (tarkib) yang rumit dan artistik.
Ketika kaligrafer menulis Al-Fatihah dalam Thuluth, mereka sering kali menggabungkan tujuh ayat tersebut menjadi komposisi tunggal yang padat, memanfaatkan spasi kosong untuk dekorasi visual (tazhib) dan penempatan harakat yang indah. Ini adalah gaya yang paling sering digunakan dalam representasi visual Ayat Kursi atau Basmalah, termasuk ayat pertama Al-Fatihah.
Visualisasi Tulisan Basmalah (Ayat Pembuka Al-Fatihah).
Dalam tulisan Al-Fatihah, setiap huruf tidak hanya membawa nilai fonetik tetapi juga nilai spiritual dan estetika. Para khattat memperlakukan setiap huruf sebagai entitas yang hidup.
Kajian mendalam terhadap tulisan Al-Fatihah memerlukan pemahaman tentang bagaimana struktur kata memengaruhi makna dan bagaimana kaidah tulisan Arab mempertahankan makna-makna yang halus (nuansa semantik) yang mungkin hilang dalam terjemahan.
Hampir setiap kata kunci dalam Al-Fatihah diawali dengan kata sandang tentu 'Al' (ال). Ini termasuk *Al-Hamdu* (Pujian yang Tentu), *Ar-Rahman*, *Ar-Rahim*, *Al-Alamin*, dan *Ad-Din* (Hari Pembalasan yang Tentu). Secara tulisan, penyambungan Lam dan Alif pada 'Al' harus dilakukan dengan presisi, memastikan bahwa Lam tersebut tidak tumpang tindih secara visual dengan huruf berikutnya, terutama pada huruf-huruf yang berlekuk seperti Ha (ح) atau Ain (ع).
Penulisan kata sandang ini menekankan sifat ketuhanan yang eksklusif dan mutlak. Ketika kita menulis *Al-Hamdu*, kita tidak hanya menulis 'pujian' secara umum, tetapi 'Pujian yang Sempurna' secara definitif, sebuah konsep yang harus direfleksikan dalam keteraturan dan kejelasan tulisannya.
Meskipun Rasm Utsmani adalah tunggal, ia mengakomodasi varian pembacaan yang sah (Qira'at). Perbedaan ini kadang-kadang tampak dalam penulisan tetapi lebih sering dalam penempatan harakat. Kita kembali pada Ayat 4:
Pembacaan (Qira’at) yang umum (Hafs dari Ashim) adalah *Mālikī* (Pemilik), dengan alif panjang. Sementara ada Qira’at lain yang membaca *Malikī* (Raja), tanpa alif panjang. Meskipun mushaf modern menunjukkan alif kecil, penulisan asli yang fleksibel (ملك) mampu menampung kedua interpretasi tanpa mengubah teks dasar.
Hal ini menunjukkan kecerdasan Rasm Utsmani. Tulisan dasar adalah wadah tetap, sementara tanda baca (harakat, alif kecil) adalah petunjuk yang dapat berubah sesuai dengan riwayat (periwayatan) Qira’at yang disahkan. Keaslian tulisan Al-Fatihah dipertahankan, sementara variasi fonetik yang sah diakui.
Untuk mencapai kedalaman yang dibutuhkan dalam memahami tulisan Al-Fatihah, kita perlu membedah setiap huruf dan formasi kata yang unik dalam surah ini, khususnya dari sudut pandang kaligrafi dan etimologi visual.
Bā' yang memulai surah adalah titik awal visual. Dalam gaya Naskh, Bā' sering digambarkan pendek dan tajam, menunjukkan awal yang tegas. Titik di bawah Bā' ditempatkan dengan hati-hati. Dalam beberapa gaya Kufi, Bā' bisa sangat panjang secara horizontal, memberikan pondasi kuat bagi seluruh baris. Koneksi Bā' ke Sīn (س) tanpa Alif di antaranya adalah penanda ortografi yang ikonik.
Sīn (س) pada *Ism* ditulis dengan tiga 'gigi' yang jelas dan simetris, diikuti oleh Mīm (م). Mīm sering digambarkan sebagai lingkaran tertutup yang kecil dan rapi dalam Naskh, sedangkan dalam Thuluth, ia bisa memiliki ekor yang lebih dekoratif atau dihiasi titik-titik kecil yang estetik.
Ini adalah kata yang paling kompleks dan indah dalam Al-Fatihah. Terdiri dari Alif, dua Lām, dan Hā' marbūṭah. Kaligrafer sangat memperhatikan:
Tulisan Rā' (ر) harus miring ke kanan, memberikan kesan dinamis. Yang krusial adalah Ḥā' (ح). Kepala Ḥā' yang terhubung ke Mīm (م) sering digambarkan sangat terbuka dalam Naskh untuk memastikan keterbacaan, sementara dalam Thuluth, Ḥā' bisa memiliki bentuk yang lebih anggun, menekankan pengucapan yang bersih dari tenggorokan. Ingat, ketiadaan Alif besar setelah Ḥā' adalah fitur khas Rasm Utsmani.
Hamzah yang berada di bawah Alif (إ) menunjukkan vokal I pendek yang kuat. Secara visual, Hamzah (ء) sendiri harus ditulis dengan ukuran yang proporsional, seringkali menyerupai kepala 'Ain' kecil. Dalam beberapa gaya kaligrafi, Alif yang membawa Hamzah ini bisa dibuat lebih dekoratif.
Nūn (ن) memiliki titik tunggal yang posisinya harus seimbang. 'Ayn (ع) yang berada di tengah kata (وسطية) harus memiliki 'kepala' yang tertutup rapat, khususnya dalam Naskh, untuk menghindari kebingungan dengan huruf Gha'in (غ) yang memiliki titik. Transisi dari 'Ayn ke Bā' (ب) yang diikuti oleh Dāl (د) membentuk rantai huruf yang menunjukkan ketergantungan dan ibadah.
Tulisan Dāl (د) harus berbentuk kurva yang jelas dan sudut yang tepat, melambangkan ketegasan perintah ibadah.
Ṣād (ص) memiliki kepala yang besar dan unik. Dalam kaligrafi, kepala Ṣād harus dibentuk sedemikian rupa sehingga ia menampung seluruh lekukan tanpa kehilangan proporsinya. Titik-titik dihilangkan pada huruf ini (karena Ṣād tidak bertitik), memberikan kesan visual yang lebih bersih dan tegas. Koneksinya ke Rā' (ر) yang elegan dan Alif yang tegak membuat kata 'jalan' ini memiliki kesan visual yang kuat.
Huruf Ḍād (ض) adalah salah satu huruf paling khas dalam bahasa Arab (disebut 'Bahasa Ḍād'). Ia memiliki kepala yang mirip dengan Ṣād, tetapi dilengkapi dengan titik di atasnya. Dalam kaligrafi, titik ini harus ditempatkan sedikit di atas sumbu vertikal kepala Ḍād. Tulisan *Al-Ḍāllīn* menampilkan Lām ganda yang panjang (alif maddah), menunjukkan pemanjangan vokal, yang dalam kaligrafi sering dibuat sangat dramatis, mengisi ruang secara vertikal dan horizontal untuk menekankan makna 'orang-orang yang tersesat jauh'.
Proporsi dan Skala: Kaligrafer tradisional menggunakan titik (nuqṭah) yang dihasilkan oleh ujung pena (qalam) sebagai unit pengukuran. Dalam menulis Al-Fatihah, proporsi Alif biasanya ditentukan menjadi 5, 6, atau 7 titik, dan seluruh lebar serta tinggi huruf lainnya diukur relatif terhadap Alif ini. Konsistensi proporsional inilah yang memberikan harmonisasi visual pada seluruh Surah.
Kisah tentang bagaimana tulisan Al-Fatihah tetap utuh selama lebih dari empat belas abad adalah kisah konservasi budaya dan religius yang luar biasa. Transmisi ini melibatkan beberapa lapisan: ortografi dasar (Rasm), tanda baca (Dabt), dan penyalinan artistik (Khatt).
Pada awalnya, Al-Qur'an ditulis hanya dengan Rasm Utsmani, tanpa titik konsonan (i'jam) dan tanpa harakat (syakl). Ini membuat teks rawan ambiguitas bagi pembaca non-Arab atau bagi mereka yang tidak terbiasa dengan dialek Quraisy.
Pada masa Tabi'in, terutama melalui usaha Abul Aswad Ad-Du'ali dan kemudian Al-Farahidi, sistem penandaan vokal dan titik dikembangkan. Proses penambahan Dabt ini adalah evolusi visual yang krusial untuk Surah Al-Fatihah. Titik-titik (misalnya pada ب, ت, ث, ن, ي) membedakan konsonan, sementara harakat (fathah, dammah, kasrah) menentukan vokal.
Penggunaan Dabt dalam Al-Fatihah memastikan bahwa setiap orang, terlepas dari latar belakang linguistiknya, dapat melafalkan surah ini dengan tepat, menjaga kesuciannya dalam salat. Tanpa tanda-tanda ini, kata *Maliki* (ملك) bisa dibaca sebagai 'raja' atau 'pemilik', dan *Na'budu* (نعبد) bisa disalahpahami sebagai 'mereka sembah'.
Saat ini, mushaf yang paling banyak digunakan di seluruh dunia, seperti Mushaf Madinah, mengikuti standar kaligrafi Naskh yang sangat ketat dan mengadopsi tanda-tanda Rasm Utsmani dan Dabt secara komprehensif. Lembaga-lembaga seperti Kompleks Percetakan Al-Qur'an Raja Fahd di Arab Saudi memainkan peran sentral dalam memastikan bahwa setiap cetakan tulisan Al-Fatihah di dunia adalah identik dan sesuai dengan kaidah yang telah disepakati oleh ulama.
Penyahihan ini mencakup pemeriksaan terhadap: (1) Bentuk Rasm dasar, (2) Penempatan harakat dan tanda tajwid, dan (3) Proporsi kaligrafi, menjamin bahwa teks suci ini tetap homogen secara visual di seluruh dunia Islam.
Ketika kaligrafer menyusun tulisan Al-Fatihah untuk tujuan dekorasi, mereka sering memperlakukannya seperti sebuah struktur arsitektural. Surah ini memiliki tujuh ayat, yang secara visual harus menyeimbangkan satu sama lain.
Keseimbangan adalah kunci. Komposisi kaligrafi Al-Fatihah seringkali diatur sedemikian rupa sehingga ayat-ayat yang lebih pendek (seperti Ayat 1, 2, 3, 4) menyeimbangkan Ayat 6 dan 7 yang lebih panjang dan lebih padat secara visual. Teknik yang digunakan antara lain:
Surah Al-Fatihah mencakup hampir semua tantangan kaligrafi dalam bahasa Arab. Ia memuat huruf-huruf matahari (شمسية) dan huruf-huruf bulan (قمرية), huruf-huruf yang mudah disambung, dan huruf-huruf yang tidak dapat disambung (misalnya Alif dan Ra). Keberagaman fonetik dan morfologi ini memaksa kaligrafer untuk menunjukkan keahlian penuh mereka dalam mengatur aliran tinta dan spasi.
Misalnya, penulisan *Al-Mughḍūbi* (الْمَغْضُوبِ) pada Ayat 7 memerlukan transisi yang mulus dari Ain (ع) ke Ghayn (غ), diikuti oleh Dād (ض), yang merupakan kombinasi yang sulit untuk dipertahankan proporsinya, terutama dalam gaya yang cepat.
Geometri Kaligrafi: Keteraturan visual yang melekat pada kaidah Rasm Utsmani.
Tulisan Surah Al-Fatihah melampaui sekadar ejaan; ia menjadi alat spiritual dan fondasi pembelajaran agama. Dalam tradisi mistik, bentuk hurufnya sendiri dipercaya mengandung rahasia (huruf muqatta'ah), meskipun Al-Fatihah tidak memilikinya, setiap lekukan dan titik pada tulisannya dipandang sebagai manifestasi visual dari sifat-sifat Allah.
Meskipun bukan doktrin formal, memandang dan merenungkan tulisan Al-Fatihah, terutama dalam bentuk kaligrafi yang indah, dianggap sebagai bentuk meditasi dan ibadah. Beberapa tradisi sufistik menekankan pada estetika penulisan, percaya bahwa semakin indah dan rapi tulisan Al-Fatihah yang diproduksi, semakin besar pula penghormatan terhadap Kalamullah.
Kaligrafi Al-Fatihah yang dipajang di rumah atau masjid berfungsi sebagai pengingat visual akan hakikat ibadah dan petunjuk, menggabungkan seni dengan spiritualitas. Huruf-huruf tersebut menjadi jembatan antara yang material (tinta di atas kertas) dan yang transenden (makna Ilahi).
Dalam pendidikan Islam, tulisan Al-Fatihah adalah teks pertama yang dipelajari anak-anak. Keterampilan membaca Al-Fatihah secara sempurna (dengan Tajwid) sangat bergantung pada pemahaman visual terhadap tulisannya.
Dengan demikian, tulisan Al-Fatihah adalah kurikulum visual yang mengajarkan bukan hanya membaca, tetapi juga melafalkan teks suci sesuai dengan standar lisan yang diwariskan secara turun-temurun.
Eksplorasi terhadap tulisan Al-Fatihah di era digital dan percetakan modern masih relevan. Meskipun Rasm Utsmani tetap menjadi standar, teknologi memungkinkan variasi dalam font dan gaya tanpa mengubah esensi ortografi.
Pengembangan font Arab digital (seperti font *Uthmanic* atau *Scheherazade*) yang digunakan dalam perangkat lunak Al-Qur'an harus mempertahankan semua keunikan Rasm Utsmani, termasuk penghapusan alif pada *Bismillah* dan penempatan alif kecil (khānjarīyah) pada kata-kata seperti *Maliki*. Tantangan terbesar adalah memastikan bahwa bentuk huruf tetap indah (estetika Naskh) sambil mematuhi aturan ortografi kuno. Setiap pengetikan digital Surah Al-Fatihah adalah perwujudan teknologi modern yang melayani tradisi kuno.
Dua ayat terakhir ini, yang merupakan permintaan dan penegasan jalan, memiliki konstruksi kata yang sangat kaya secara ortografi:
Penulisan Ghairi al-Maghḍūbi (غَيْرِ الْمَغْضُوبِ) dan Al-Ḍāllīn (الضَّالِّينَ) adalah puncak visual dari surah ini, menunjukkan kontras antara dua kelompok: yang dimurkai dan yang tersesat. Kontras ini sering diinterpretasikan kaligrafer melalui bentuk yang berbeda, di mana *Al-Maghḍūb* (yang dimurkai) mungkin ditulis dengan bentuk yang lebih berat, dan *Al-Ḍāllīn* (yang tersesat) dengan tarikan Lām yang memanjang, melambangkan jarak dari petunjuk.
Kajian mendalam terhadap tulisan Al-Fatihah mengungkapkan bahwa teks ini adalah perpaduan unik antara kaidah ortografi yang ketat (Rasm Utsmani) dan kebebasan artistik (Kaligrafi). Setiap penghapusan Alif, penempatan titik, dan lengkungan Lam adalah hasil dari tradisi penyalinan yang tidak hanya menjaga teks dari perubahan, tetapi juga meninggikan statusnya sebagai teks yang harus dihargai secara visual.
Surah Al-Fatihah adalah sebuah mahakarya sastra, spiritual, dan visual. Dari geometri Kufi yang monumental hingga kejelasan Naskh yang universal, tulisan ini melayani dua tujuan utama: memastikan transmisi teks yang sempurna dan memberikan ekspresi keindahan yang tak terbatas terhadap wahyu Ilahi.
Memahami bagaimana surah ini ditulis—dengan semua nuansa Rasm dan estetika Khatt—adalah langkah penting dalam mengapresiasi warisan Islam. Ia adalah jembatan yang menghubungkan keimanan, seni, dan sejarah, yang terus dibaca dan ditulis oleh miliaran orang, memancarkan keagungan dalam setiap goresan hurufnya, dari Bā' pada Basmalah hingga Nūn pada Al-Ḍāllīn.
Estetika tulisan Al-Fatihah, yang diperkuat oleh kehati-hatian historis dan kaidah ortografi yang tidak berubah, memastikan bahwa "Pembukaan Kitab" ini akan tetap menjadi sumber inspirasi spiritual dan artistik untuk generasi yang akan datang, selamanya terukir dalam keindahan aksara Arab yang sakral.
Penghargaan terhadap detail visual ini adalah bentuk ibadah tersendiri, sebuah pengakuan akan kesempurnaan dan kekekalan Kalam Allah.