Ilustrasi cahaya petunjuk ilahi

Al-Baqarah Ayat 100-105: Hikmah di Balik Perjanjian dan Penolakan

Surah Al-Baqarah, sebagai salah satu surah terpanjang dalam Al-Qur'an, sarat akan ajaran dan kisah yang relevan bagi kehidupan umat manusia. Di antara ayat-ayat yang penuh makna, terdapat rangkaian ayat 100 hingga 105 yang mengisahkan tentang perjanjian Allah dengan Bani Israil, penolakan mereka terhadap kebenaran, serta peringatan keras bagi kaum yang ingkar.

Konteks Ayat-Ayat

Ayat-ayat ini muncul setelah penjelasan mengenai berbagai ibadah dan hukum yang disyariatkan untuk umat Islam. Allah SWT mengingatkan kembali kaum Yahudi, yang merupakan penerima kitab Taurat sebelumnya, tentang perjanjian mereka dengan Allah. Namun, yang terjadi adalah pengkhianatan dan penolakan terhadap wahyu yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Hal ini menunjukkan pola perilaku sebagian Bani Israil yang seringkali tidak menepati janji dan berkeras hati terhadap petunjuk Ilahi.

"Apakah setiap kali mereka membuat perjanjian, segolongan di antara mereka merobeknya? Bahkan, kebanyakan dari mereka tidak beriman." (QS. Al-Baqarah: 100)

(Terjemahan Kemenag RI)

Ayat 100 secara tegas menyebutkan bahwa banyak di antara Bani Israil yang melanggar janji-janji mereka kepada Allah. Perjanjian ini bisa merujuk pada perjanjian yang telah dibuat dengan para nabi sebelumnya, atau perjanjian yang Allah tegaskan kembali melalui Nabi Muhammad SAW. Sifat "merobek perjanjian" menggambarkan penolakan mereka yang disengaja terhadap ajaran-ajaran Allah, bahkan ketika mereka tahu kebenarannya.

"Dan setelah datang kepada mereka seorang rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa (kitab) yang ada pada mereka, segolongan orang (Ahli Kitab) yang telah diberi kitab itu melemparkan kitab Allah ke belakang punggung mereka, seolah-olah mereka tidak mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 101)

(Terjemahan Kemenag RI)

Ayat 101 melanjutkan dengan menggambarkan bagaimana, ketika seorang Rasul (Nabi Muhammad SAW) datang membawa kebenaran yang sesuai dengan kitab-kitab mereka (seperti Taurat dan Injil), sebagian dari Ahli Kitab justru mengabaikan dan menolak kitab suci mereka sendiri. Perilaku "melemparkan kitab Allah ke belakang punggung" adalah metafora yang sangat kuat untuk menunjukkan ketidakpedulian dan penolakan terhadap ajaran agama yang seharusnya mereka junjung tinggi.

"Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman. Sulaiman tidak kafir, tetapi syaitan-syaitan lah yang kafir; mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di Babilonia, yaitu Harut dan Marut. Padahal keduanya tidak mengajarkan seorang pun kecuali berkata, 'Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah engkau kafir.' Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa (sihir) yang dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Mereka tidaklah memudaratkan seorang pun dengan sihir itu kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memudaratkan diri mereka dan tidak memberi manfaat kepada mereka. Dan sesungguhnya mereka benar-benar telah meyakini bahwa barang siapa yang menukarnya (dengan kitab Allah), niscaya tidak akan mendapat bagian (kebahagiaan) di akhirat, dan amat buruklah perbuatan yang mereka jual (dirinya) dengan sihir itu, sekiranya mereka mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 102)

(Terjemahan Kemenag RI)

Ayat 102 memberikan contoh konkret lain dari perilaku menyimpang Bani Israil, yaitu kecenderungan mereka untuk mengikuti sihir dan ajaran-ajaran yang menyesatkan, yang dikaitkan dengan aktivitas syaitan pada masa Nabi Sulaiman. Penjelasan tentang Harut dan Marut menegaskan bahwa sihir itu sendiri adalah ujian, dan siapa pun yang mempelajarinya untuk tujuan yang buruk, apalagi menukarnya dengan petunjuk Allah, akan merugi di dunia dan akhirat. Ini adalah peringatan keras agar umat Islam menjauhi segala bentuk praktik yang menyesatkan dan hanya berpegang teguh pada ajaran Al-Qur'an.

"Dan sekiranya mereka beriman dan bertakwa, niscaya (mereka akan mendapat) pahala dari sisi Allah yang lebih baik, sekiranya mereka mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 103)

(Terjemahan Kemenag RI)

Ayat 103 menyajikan kontras yang jelas. Jika saja Bani Israil beriman dengan benar dan bertakwa, mereka akan mendapatkan balasan yang jauh lebih baik dari sisi Allah dibandingkan dengan apa pun yang mereka kejar melalui cara-cara yang menyimpang. Ini adalah ajakan untuk senantiasa memilih jalan keimanan dan ketakwaan sebagai kunci kebahagiaan dunia dan akhirat.

"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu katakan, 'Rā‘inā' (berikanlah perhatian kepada kami) dan katakanlah, 'Unẓurna' (lihatlah kami) serta dengarkanlah.' Dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang pedih." (QS. Al-Baqarah: 104)

(Terjemahan Kemenag RI)

Ayat 104 merupakan peringatan spesifik kepada umat Islam. Dilarang menggunakan istilah "Rā‘inā" yang memiliki konotasi negatif atau bisa disalahartikan oleh orang-orang Yahudi, yang seringkali menggunakan kata tersebut dengan niat mengejek atau memutarbalikkan makna. Sebaliknya, diperintahkan untuk menggunakan "Unẓurna" yang memiliki makna yang lebih murni dan menunjukkan sikap hormat serta keinginan untuk memahami. Larangan ini menunjukkan pentingnya menjaga adab dan kesopanan dalam berinteraksi, terutama dalam urusan agama, serta kewaspadaan terhadap perkataan yang dapat menimbulkan kesalahpahaman atau membawa pada kekufuran.

"Orang-orang yang kafir dari golongan Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tidak menginginkan diturunkannya suatu kebaikan pun kepadamu dari Tuhanmu. Allah menentukan rahmat-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki, dan Allah pemilik karunia yang besar." (QS. Al-Baqarah: 105)

(Terjemahan Kemenag RI)

Ayat terakhir ini menjelaskan ketidakmauan kaum kafir dari Ahli Kitab dan kaum musyrik untuk melihat kebaikan diturunkan kepada umat Islam. Mereka tidak senang jika umat Islam mendapatkan kemuliaan dan rahmat dari Allah. Namun, Allah menegaskan bahwa rahmat dan karunia-Nya adalah hak prerogatif-Nya, yang diberikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Allah adalah pemilik segala kebaikan dan karunia yang tak terhingga. Ayat ini memberikan ketenangan dan keyakinan bahwa rezeki dan pertolongan Allah tidak bergantung pada persetujuan orang lain, melainkan sepenuhnya pada kehendak dan kemurahan-Nya.

Pelajaran Penting

Dari rangkaian ayat 100-105 Surah Al-Baqarah, kita dapat menarik beberapa pelajaran berharga:

Memahami dan merenungkan ayat-ayat ini akan membantu kita untuk terus memperkuat iman, menjaga diri dari kesesatan, dan senantiasa memohon rahmat serta karunia dari Allah SWT.

🏠 Homepage