Hikmah dari Al Baqarah Ayat 77-88 Memahami Kepercayaan dan Janji Ilahi

Keimanan Sejati dan Perjanjian Ilahi: Tinjauan Al Baqarah Ayat 77-88

Surah Al Baqarah, sebagai surah terpanjang dalam Al-Qur'an, sarat akan petunjuk dan pelajaran bagi umat manusia. Di antara ayat-ayatnya yang kaya makna, terdapat rangkaian ayat 77 hingga 88 yang memberikan sorotan penting mengenai hakikat keimanan, tanggung jawab manusia, serta hubungan antara Allah SWT dengan hamba-Nya, khususnya terkait dengan perjanjian dan konsekuensinya. Ayat-ayat ini menguak tabir tentang apa yang sesungguhnya diharapkan dari orang-orang yang mengaku beriman, dan bagaimana respons Allah terhadap tindakan mereka.

Ayat 77: Penolakan terhadap Pengetahuan Allah

Ayat 77 diawali dengan penegasan bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang mereka sembunyikan maupun yang mereka tampakkan. Ini adalah pernyataan fundamental yang menegaskan sifat Maha Mengetahui Allah. Namun, yang menarik adalah kelanjutan ayat tersebut yang menggambarkan sebagian dari Bani Israil yang berkata, "Apa urusannya kita akan diazab karena siksaan yang hanya beberapa hari saja?" Pernyataan ini menunjukkan adanya kesalahpahaman atau bahkan penolakan terhadap konsekuensi perbuatan dosa. Mereka meremehkan murka Allah, seolah-olah siksaan itu hanyalah sementara dan ringan. Padahal, bagi Allah, setiap perbuatan memiliki perhitungan yang akurat.

"Dan apakah mereka tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang mereka sembunyikan dan apa yang mereka tampakkan?" (QS. Al Baqarah: 77)

Ayat 78-79: Kitab Tanpa Ilmu dan Kebohongan

Selanjutnya, ayat 78 dan 79 menggambarkan kondisi segolongan dari mereka yang "tidak mengetahui Kitab (Taurat), melainkan hanya angan-angan kosong dan mereka hanyalah menduga-duga." Ini adalah potret suram dari individu atau kelompok yang mengaku memegang kitab suci namun tidak memahaminya secara benar. Mereka hanya berpegang pada tradisi lisan yang tidak akurat, prasangka, atau interpretasi pribadi yang menyimpang. Akibatnya, mereka menulis Kitab (Taurat) dengan tangan mereka sendiri, lalu berkata, "Ini dari sisi Allah." Tujuannya adalah untuk mendapatkan keuntungan duniawi yang sedikit. Allah SWT mengingatkan dengan keras bahwa celakalah mereka dengan apa yang ditulis tangan mereka, dan celakalah mereka dengan apa yang mereka usahakan. Ini merupakan peringatan keras terhadap kebohongan agama dan manipulasi ajaran ilahi demi kepentingan pribadi.

"Dan di antara mereka ada orang-orang yang buta huruf, tidak mengetahui Kitab (Taurat), kecuali angan-angan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah menduga-duga. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang menulis Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu mereka berkata: 'Ini dari Allah', supaya dengan pekerjaan itu mereka membeli keuntungan yang sedikit, maka kecelakaanlah bagi mereka, dari apa yang telah ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaanlah bagi mereka dari apa yang mereka peroleh." (QS. Al Baqarah: 78-79)

Ayat 80-82: Perjanjian dengan Allah dan Konsekuensinya

Ayat 80-82 menggarisbawahi poin penting mengenai perjanjian yang diambil dari Bani Israil. Mereka berjanji kepada Allah bahwa mereka tidak akan menyembah selain Allah, dan akan berbuat baik kepada orang tua, kerabat, anak yatim, dan orang miskin, serta berbicara yang baik kepada manusia dan mendirikan shalat serta menunaikan zakat. Namun, hanya sedikit dari mereka yang menepati janji tersebut. Sebagian besar berpaling dan mengingkarinya. Allah menuntut pertanggungjawaban atas setiap janji yang dibuat. Ini menunjukkan bahwa keimanan bukan hanya pengakuan lisan, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata dan komitmen terhadap perintah-perintah Allah. Janji ini mencakup aspek hubungan vertikal (dengan Allah) dan horizontal (dengan sesama manusia).

"Dan mereka berkata: 'Kami tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali hanya beberapa hari yang dihitung.' Katakanlah: 'Apakah kamu menerima janji dari Allah sehingga Allah akan menepati janji-Nya, ataukah kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?'" (QS. Al Baqarah: 80)
"Ya (bukan demikian), barangsiapa menepati janji-Nya dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa." (QS. Al Baqarah: 82)

Ayat 83-86: Perintah untuk Berbuat Baik dan Kepatuhan

Ayat 83-86 kembali menegaskan pentingnya mewujudkan keimanan melalui perbuatan. Allah mengingatkan kembali perjanjian-Nya kepada Bani Israil: agar mereka tidak menyembah selain Allah, berbuat baik kepada kedua orang tua, kerabat, anak yatim, dan orang miskin, serta berkata yang baik kepada manusia, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Namun, lagi-lagi, hanya sedikit yang menepati janji tersebut. Allah menekankan bahwa mengambil janji dari Bani Israil adalah penegasan komitmen mereka untuk patuh. Pengingkaran terhadap janji ini berimplikasi pada hukuman dan siksaan di akhirat. Allah berfirman bahwa janji-Nya itu adalah kebenaran dan janji-Nya akan dipenuhi. Kontrasnya, orang-orang yang mengingkari janji akan ditimpa keburukan.

Lebih lanjut, ayat-ayat ini juga mencakup pesan bahwa Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Setiap amal yang diperoleh adalah untuk dirinya sendiri, dan setiap keburukan juga demikian. Ini menegaskan prinsip keadilan ilahi, di mana setiap individu bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Kesalahan orang tua tidak akan ditanggung oleh anaknya, dan sebaliknya. Perjanjian ini berlaku hingga akhir masa.

Ayat 87-88: Tantangan dan Penolakan Kebenaran

Pada ayat 87 dan 88, Allah kembali mengingatkan Bani Israil bahwa Dia telah memberikan Kitab (Taurat) kepada Musa dan mengutus rasul-rasul sesudahnya. Allah juga memberikan bukti-bukti yang jelas dan menguatkan dengan Ruhul Qudus (malaikat Jibril). Namun, ketika datang kepada mereka seorang rasul yang membawa apa yang tidak diinginkan oleh hawa nafsu mereka, mereka menyombongkan diri. Sebagian mereka dustakan dan sebagian mereka bunuh.

Ayat ini menunjukkan sikap arogan dan penolakan terhadap kebenaran yang dibawa oleh para nabi, terutama ketika kebenaran itu bertentangan dengan keinginan dan kepentingan pribadi mereka. Sikap semacam ini adalah akar dari kesesatan dan penolakan terhadap petunjuk Allah. Penolakan terhadap rasul dan ajaran yang dibawanya adalah bentuk mengingkari perjanjian yang paling mendasar dengan Allah. Allah berfirman bahwa karena kekafiran mereka, hati mereka tertutup. Ini adalah peringatan keras bahwa menolak kebenaran akan berujung pada penguncian hati, sehingga semakin sulit untuk menerima petunjuk di masa mendatang.

"Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepada Musa Kitab (Taurat) dan Kami susulkan sesudah dia rasul-rasul (yang lain), dan Kami berikan keterangan-keterangan (mukjizat) kepada Isa putera Maryam dan Kami perkuat dia dengan Ruhul Qudus. Apakah setiap datang kepadamu rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu menyombongkan diri? Sebahagian kamu ada yang kamu dustakan dan sebahagian yang lain kamu bunuh." (QS. Al Baqarah: 87)
"Dan mereka berkata: 'Hati kami tertutup.' Sebenarnya Allah telah melaknati mereka karena kekafiran mereka, maka sedikit sekali mereka yang beriman." (QS. Al Baqarah: 88)

Ayat-ayat Al Baqarah 77-88 ini memberikan pelajaran yang mendalam tentang pentingnya integritas keimanan, kejujuran dalam beragama, dan konsekuensi dari janji serta pengingkaran. Pesan ini relevan bagi setiap Muslim untuk senantiasa menguji diri, apakah keimanannya murni, apakah ia memegang teguh janji kepada Allah, dan apakah ia terbuka terhadap kebenaran tanpa dibatasi oleh hawa nafsu.

🏠 Homepage