Surah Al-Baqarah, sebagai surah terpanjang dalam Al-Qur'an, menyimpan segudang hikmah dan petunjuk bagi umat manusia. Di antara rangkaian ayat-ayatnya yang kaya makna, terdapat bagian yang dimulai dari ayat 88 hingga 100, yang menjadi fokus perenungan kali ini. Ayat-ayat ini tidak hanya mengungkap dialog antara Allah dengan Bani Israil, tetapi juga menyampaikan pesan universal tentang konsekuensi dari ingkar janji, pentingnya kebenaran, serta rahmat dan pertolongan Allah bagi hamba-Nya yang beriman.
Dalam rentang ayat 88-93, Allah SWT berdialog langsung dengan Bani Israil. Mereka mengaku hati mereka "terbungkus" (ghulf), sebuah ungkapan yang menyiratkan ketidakmauan untuk menerima kebenaran atau firman Allah. Allah menegaskan bahwa laknat-Nya tertuju kepada mereka karena kekafiran mereka, sebuah keadaan yang membuat mereka sedikit beriman. Pengakuan mereka yang kontradiktif—bahwa mereka beriman pada apa yang diturunkan kepada mereka sementara pada saat yang sama mereka mengingkari apa yang datang setelahnya (yaitu Al-Qur'an dan kenabian Muhammad SAW)—menjadi inti dari permasalahan ini. Allah menuntut agar mereka berpegang teguh pada Taurat yang telah diturunkan kepada mereka, namun ironisnya, mereka justru menyembunyikan kebenaran yang terkandung di dalamnya.
"Sebenarnya kamu sendiri yang menganiaya diri sendiri, maka kami tidak akan beriman kepadamu." (QS. Al-Baqarah: 89)
Ayat ini menjadi pengingat kuat bahwa penolakan terhadap kebenaran adalah bentuk penganiayaan terhadap diri sendiri. Allah tidak membutuhkan iman kita, namun kita yang membutuhkan rahmat dan petunjuk-Nya. Konsekuensi dari penolakan ini adalah murka Allah dan pahala yang berlipat ganda bagi orang yang sabar dan bertakwa.
Ayat 90-91 membahas lebih dalam mengenai ketidakpercayaan Bani Israil. Mereka justru beriman pada apa yang diturunkan kepada orang-orang yang tidak beriman, sebuah ironi yang tajam. Allah kemudian menurunkan Al-Qur'an sebagai pembenar bagi kitab-kitab sebelumnya, sebuah kitab yang datang dari sisi Allah. Ini adalah penegasan bahwa Al-Qur'an adalah kebenaran yang datang dari Sang Pencipta, dan siapa pun yang mengingkarinya akan mendapatkan kerugian besar dan azab yang pedih.
Lebih lanjut, ayat-ayat ini juga menyentuh keutamaan para nabi. Allah mengingatkan bahwa setiap nabi diutus dengan membawa mukjizat, dan di antara mereka ada yang Allah ajak bicara secara langsung (seperti Nabi Musa AS). Allah juga meninggikan derajat sebagian nabi atas sebagian yang lain, serta memberikan kepada Nabi Isa AS bukti-bukti yang jelas dan menguatkannya dengan Ruhul Qudus (Malaikat Jibril AS). Namun, dengan segala keistimewaan ini, manusia terkadang masih menolak kebenaran.
Ayat 92 hingga 96 menunjukkan kontras antara sikap Bani Israil dengan orang-orang yang beriman. Ketika datang kepada mereka seorang Rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, sebagian di antara mereka justru membuang kitab Allah di belakang punggung mereka, seolah-olah mereka tidak mengetahuinya. Ini adalah bentuk pengingkaran yang paling parah, yaitu mengetahui kebenaran namun sengaja menolaknya.
Namun, di sisi lain, Allah menjanjikan pahala yang berlipat ganda bagi mereka yang beriman dan beramal saleh, meskipun mereka adalah orang-orang yang pernah memiliki kesalahan. Ini adalah janji tentang ampunan dan rahmat Allah yang luas. Bahkan, ketika mereka ditimpa kesulitan, mereka tidak pernah putus asa dari rahmat Allah, sebuah tanda keimanan yang kuat dan tawakal. Allah mengajarkan agar kita tidak membeda-bedakan antara seorang rasul dengan rasul lainnya dalam hal keimanan.
"Dan mereka berkata: 'Kami mendengar dan kami taat. (Kami mohon) ampunan-Mu, wahai Tuhan kami, dan kepada Engkaulah tempat kembali.'" (QS. Al-Baqarah: 285 - contoh ayat yang mencerminkan sikap ini)
Ayat 97-100 menekankan bahwa Allah adalah musuh bagi orang-orang yang mengingkari kebenaran, khususnya mereka yang menentang Malaikat Jibril AS. Ini adalah penolakan terhadap wahyu ilahi yang dibawa oleh malaikat terpercaya. Allah menurunkan Al-Qur'an sebagai petunjuk dan kesembuhan, serta menegaskan bahwa iman yang benar adalah beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan kepada takdir yang baik maupun buruk.
Terakhir, ayat 99-100 menjadi penutup yang kuat. Allah menurunkan ayat-ayat yang jelas dan terang sebagai peringatan. Namun, ironisnya, kebanyakan manusia tidak beriman, bahkan ketika mereka melihat mukjizat yang sangat jelas sekalipun. Mereka lalu menjadikan pendengaran dan penglihatan mereka sebagai penghalang untuk menerima kebenaran. Sikap ini justru hanya akan menambah kegelapan dan kekafiran mereka. Di sisi lain, Allah memberikan janji bahwa tidak ada yang akan menyiksa mereka kecuali Allah sendiri, dan bahwa mereka akan terhindar dari siksaan-Nya jika mereka beriman dan bertakwa.
Secara keseluruhan, rentang ayat Al-Baqarah 88-100 memberikan pelajaran yang mendalam tentang pentingnya menerima kebenaran tanpa prasangka, konsekuensi dari penolakan terhadap wahyu ilahi, dan betapa luasnya rahmat Allah bagi hamba-Nya yang tulus beriman dan bertakwa. Ayat-ayat ini berfungsi sebagai cermin bagi diri kita untuk senantiasa merenungi keimanan, membersihkan hati dari kesombongan, dan selalu berpegang teguh pada petunjuk Al-Qur'an.