Surah Al-Baqarah, sebagai surah terpanjang dalam Al-Qur'an, memuat berbagai ajaran mendalam yang relevan bagi kehidupan umat manusia. Di antara rangkaian ayat-ayatnya yang berharga, ayat 97 hingga 120 menawarkan pandangan yang signifikan mengenai hubungan antara wahyu, para nabi, dan tanggung jawab umat dalam menerima serta mengamalkan ajaran ilahi. Ayat-ayat ini sering kali membahas mengenai permusuhan terhadap wahyu, peran malaikat Jibril, serta tuntunan bagi umat manusia untuk senantiasa berpegang teguh pada kebenaran.
Ayat 97 Surah Al-Baqarah secara tegas menyatakan bahwa tidak ada keraguan dalam Al-Qur'an sebagai firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Ayat ini juga menyebutkan permusuhan yang timbul dari orang-orang Yahudi terhadap Al-Qur'an. Penting untuk memahami konteks historis dan spiritual ayat ini. Permusuhan terhadap kebenaran, khususnya ajaran yang dibawa oleh para nabi, bukanlah fenomena baru. Sejak zaman dahulu, selalu ada pihak yang menolak, meragukan, atau bahkan memerangi dakwah para rasul.
"Katakanlah (hai Muhammad): 'Siapa yang memusuhi Jibril (dengan menyalahkannya karena membawa wahyu), maka sesungguhnya Jibril itu telah menurunkannya (Al-Qur'an) ke dalam hatimu dengan izin Allah; membenarkan kitab-kitab yang ada sebelumnya dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang beriman.'" (QS. Al-Baqarah: 97)
Ayat ini menunjukkan bahwa segala sesuatu yang berasal dari Allah memiliki tujuan yang mulia. Malaikat Jibril, sebagai perantara wahyu, bukanlah musuh, melainkan pembawa kebaikan yang menurunkan kitab-kitab samawi, termasuk Al-Qur'an. Penolakan terhadap wahyu sering kali berakar pada kesombongan, ketidakmauan untuk menerima kebenaran yang bertentangan dengan hawa nafsu atau kepentingan duniawi.
Ayat-ayat selanjutnya dalam rangkaian ini (hingga ayat 120) melanjutkan diskusi tentang peran para nabi dan respons umat terhadap ajaran mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala menegaskan kembali bahwa setiap nabi diutus dengan tugas yang sama: menyampaikan risalah-Nya. Para nabi diberikan mukjizat dan petunjuk, namun manusia memiliki pilihan untuk beriman atau mengingkari.
Poin krusial yang ditekankan adalah bahwa Allah tidak akan pernah mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang berusaha mengubahnya. Ini adalah prinsip keadilan ilahi yang memberikan otonomi dan tanggung jawab kepada manusia atas pilihan-pilihannya.
"Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia." (QS. Ar-Ra'd: 11 - kutipan yang relevan dengan makna umum ayat 109-120 Al-Baqarah)
Meskipun ayat 11 Ar-Ra'd tidak secara langsung berada dalam rentang yang diminta, prinsipnya sangat relevan dengan pesan yang terkandung dalam Al-Baqarah ayat 97-120 mengenai usaha, pilihan, dan akibatnya. Umat Islam diajarkan untuk tidak pasrah pada keadaan, tetapi aktif berusaha untuk memperbaiki diri dan masyarakat sesuai dengan tuntunan agama.
Ayat-ayat ini juga secara implisit merujuk pada kitab-kitab suci sebelumnya, yaitu Taurat dan Injil, yang juga merupakan wahyu dari Allah. Allah menegaskan bahwa Al-Qur'an datang untuk membenarkan kitab-kitab terdahulu dan melengkapi ajaran-ajaran yang ada. Namun, Al-Qur'an membawa kesempurnaan dan kejelasan yang tidak dimiliki kitab-kitab sebelumnya, terutama dalam menghadapi keragaman interpretasi dan perubahan yang terjadi pada kitab-kitab tersebut seiring waktu.
Penegasan ini menunjukkan konsistensi risalah para nabi sepanjang sejarah, yaitu menyerukan penyembahan kepada satu Tuhan dan menolak segala bentuk kemusyrikan. Umat Muslim, sebagai umat akhir zaman, memiliki tanggung jawab besar untuk memegang teguh Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW sebagai panduan hidup, serta menjadi saksi kebenaran ilahi bagi seluruh alam.
Kisah dalam Al-Baqarah 97-120 juga mengingatkan kita akan pentingnya menjaga keimanan di tengah berbagai tantangan, keraguan, dan godaan. Ajaran ini mendorong umat untuk senantiasa merujuk kepada Al-Qur'an dan Sunnah, serta memperbanyak doa agar senantiasa diberikan petunjuk dan keteguhan hati.
Pemahaman yang mendalam terhadap ayat-ayat ini bukan hanya sekadar mengetahui maknanya, tetapi juga menginternalisasikan nilainya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan memahami bagaimana para nabi terdahulu menghadapi penolakan dan bagaimana Allah memberikan ujian untuk membedakan mana yang beriman dan mana yang munafik, umat Muslim dapat lebih siap menghadapi berbagai situasi dan senantiasa berjuang di jalan kebenaran.
Secara keseluruhan, Al-Baqarah ayat 97-120 adalah pengingat yang kuat tentang sifat wahyu ilahi, peran para nabi, serta tanggung jawab umat dalam menerimanya. Pesan utamanya adalah pentingnya keimanan yang kokoh, usaha yang gigih, dan ketundukan total kepada Allah sebagai jalan menuju keselamatan dan kejayaan dunia akhirat.
Semoga artikel ini memberikan wawasan yang bermanfaat.