Tafsir Al Fatihah dalam Aksara Pegon dan Filosofi Jawa: Sintesis Iman dan Budaya Nusantara

Ilustrasi Kaligrafi Pegon Al Fatihah dengan Motif Jawa الْفَاتِحَةُ (Aksara Jawi Pegon)
Ilustrasi simbolis perpaduan Aksara Arab (Pegon) dan nuansa kebudayaan Jawa.

Pendahuluan: Jembatan Iman dan Aksara

Al Fatihah, yang berarti Pembukaan, adalah surah pertama dan paling fundamental dalam Al-Qur'an. Ia dikenal sebagai Ummul Kitab (Induk Kitab) atau As-Sab’ul Matsani (Tujuh Ayat yang Diulang-ulang). Kedudukannya yang sentral ini menjadikannya fokus utama dalam setiap kajian keislaman, termasuk di bumi Nusantara, khususnya Jawa.

Proses penyebaran Islam di Jawa tidak hanya melalui syiar lisan, tetapi juga melalui penulisan dan penerjemahan kitab-kitab suci serta ajaran dasar agama. Dalam konteks ini, Aksara Pegon memainkan peran krusial. Pegon adalah aksara Arab yang dimodifikasi untuk menuliskan bahasa lokal, dalam hal ini Bahasa Jawa, Melayu, atau Sunda. Pegon menjadi jembatan literasi yang menghubungkan ajaran Islam yang bersumber dari Timur Tengah dengan pemahaman kultural masyarakat Jawa.

Artikel ini bertujuan mengupas tuntas bagaimana Al Fatihah diterjemahkan, diinterpretasikan, dan diserap ke dalam kesadaran spiritual masyarakat Jawa melalui medium Pegon. Lebih dari sekadar transliterasi bunyi, kajian ini menelusuri kedalaman tafsir Jawi yang mempertemukan konsep-konsep tauhid, ibadah, dan spiritualitas dengan nilai-nilai adiluhung Jawa, menciptakan sintesis keilmuan yang unik dan lestari hingga hari ini di lingkungan pesantren dan majelis ilmu tradisional.

Penting untuk dipahami bahwa upaya penerjemahan Al Fatihah ke dalam bahasa lokal (Jawa) dan penulisannya menggunakan Pegon bukanlah semata-mata pekerjaan filologis, melainkan sebuah proyek teologis dan pedagogis. Para ulama terdahulu, terutama setelah era Wali Songo, menyadari bahwa pemahaman yang mendalam hanya dapat tercapai jika umat mampu meresapi makna ayat-ayat suci dalam kerangka bahasa dan budaya mereka sendiri. Inilah yang melahirkan kekayaan khazanah keilmuan Islam Nusantara, yang mana Pegon menjadi kunci utamanya.

Aksara Pegon: Identitas Keilmuan Pesantren

Pegon bukanlah bahasa, melainkan sistem penulisan. Ia mengambil semua huruf hijaiyah Arab, namun menambah beberapa tanda atau titik untuk merepresentasikan bunyi khas non-Arab yang ada dalam bahasa Jawa, seperti 'c' (ca), 'g' (ga), 'p' (pa), 'ny' (nya), 'ng' (nga), dan 'v' (va). Tanpa Pegon, kitab-kitab kuning yang menjadi tulang punggung pendidikan di pesantren tidak mungkin tersampaikan dengan efektif kepada santri yang berbahasa ibu Jawa.

Pegon berfungsi ganda: sebagai alat bantu baca (terutama untuk tafsir interlinear pada kitab gundul) dan sebagai media penulisan kitab Jawa secara mandiri, seperti karya-karya tasawuf dan fiqh lokal. Oleh karena itu, Al Fatihah yang ditulis dalam Pegon, seringkali disertai dengan tafsir (makna) per kata dalam bahasa Jawa Krama Inggil, memberikan kedalaman makna yang khas. Ini adalah cara para ulama memastikan keaslian ajaran (berbahasa Arab) tetap terjaga, sementara pemahaman kontekstual (berbahasa Jawa) dapat maksimal.

Transliterasi dan Tafsir Jawi Al Fatihah dalam Pegon

Setiap ayat dalam Al Fatihah memiliki bobot spiritual dan filosofis yang luar biasa. Ketika diterjemahkan ke dalam Pegon dan disandingkan dengan kearifan Jawa, muncul penekanan-penekanan makna yang spesifik. Berikut adalah analisis mendalam terhadap tujuh ayat Al Fatihah, disertai dengan proyeksi penulisan Pegon dan tafsir filosofi Jawi.

Ayat 1: Basmalah dan Pondasi Welas Asih

بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمـَنِ الرَّحِيمِ
(Kanthi asmane Gusti Allah, Ingkang Maha Murah, Ingkang Maha Asih)

Terjemahan Pegon/Jawi: Bismillahi ar-Rahman ar-Rahim, seringkali dimaknai sebagai: “Kanthi Asmanipun Allah, Ingkang Maha Welas, Ingkang Maha Asih.” Penggunaan kata 'Welas' dan 'Asih' dalam konteks Jawa sangat kaya makna. ‘Welas’ seringkali merujuk pada rasa belas kasihan yang spontan dan universal, sedangkan ‘Asih’ lebih merujuk pada kasih sayang yang mendalam, terencana, dan berkelanjutan.

Tafsir Filosofi Jawa: Dalam tradisi Jawa, konsep welas asih Ilahi ini sangat berkaitan dengan konsep Kawicaksanan (kebijaksanaan) dan Katentreman (kedamaian). Basmalah tidak hanya diucapkan sebagai pembuka, tetapi sebagai janji bahwa setiap tindakan yang dimulai di bawah nama Tuhan akan diwarnai oleh karakter Rahmat dan Rohmaniyah-Nya. Ini sejalan dengan etika Jawa tentang Hanani (memberi tanpa pamrih) dan Ngelmu Padi (ilmu seperti padi, semakin berisi semakin menunduk).

Para santri yang membaca Pegon Basmalah diajarkan bahwa sifat Rahman (umum, mencakup semua ciptaan) dan Rahim (khusus, bagi mukminin) adalah dua sisi mata uang yang harus direfleksikan dalam kehidupan sosial mereka. Jika Allah Maha Welas kepada semua makhluk (tanpa memandang iman), maka manusia juga harus berbuat adil dan welas asih dalam bermasyarakat. Konteks Pegon memperkuat nuansa ini karena ia ditulis dalam bahasa yang dekat dengan hati masyarakat, sehingga resonansi spiritualnya lebih kuat dibandingkan terjemahan formal.

Penyebaran Islam di Jawa, yang dikenal dengan pendekatannya yang damai dan adaptif, sangat mencerminkan Basmalah ini. Para ulama tidak menghapus total tradisi lokal, melainkan 'mewarnai' tradisi tersebut dengan bingkai tauhid dan welas asih. Pembacaan Basmalah dalam Pegon menjadi pengingat bahwa jalan dakwah di Nusantara adalah jalan kemurahan hati (Rahman) dan kasih sayang (Rahim).

Ayat 2: Pujian Universal kepada Gusti Pangeran

الْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
(Sedaya puji katur dumateng Allah, Pangeranipun jagad sedaya)

Terjemahan Pegon/Jawi: Alhamdulillahi Rabbil 'Alamin diterjemahkan: “Sedaya puji iku kagunganipun Gusti Allah, Pangeranipun jagad saisine.” Penggunaan 'Gusti Pangeran' dalam konteks Jawa adalah sangat penting. 'Gusti' menunjukkan penghormatan tertinggi, sedangkan 'Pangeran' merujuk pada penguasa dan pemelihara.

Tafsir Filosofi Jawa: Ayat ini membawa konsep Tauhid Uluhiyah (ketuhanan) yang universal. Di Jawa, yang dikenal dengan konsep spiritualitasnya yang mendalam dan panteistik (sebelum Islam datang), penegasan bahwa 'Rabbi l-'Alamin' (Pemelihara semesta alam) adalah Allah Yang Esa memberikan titik pijak teologis yang kokoh. Ini menjawab pertanyaan filosofis Jawa tentang Sangkan Paraning Dumadi (asal dan tujuan kehidupan).

Pujian (Alhamdulillah) dalam konteks Jawa tidak hanya berarti ucapan syukur lisan, tetapi manifestasi dari sikap hidup yang disebut Narimo ing Pandum (menerima apa adanya pemberian Tuhan) dan Lila (ikhlas). Santri yang mengkaji Pegon diajak memahami bahwa segala sesuatu, baik itu karunia maupun musibah, adalah bagian dari skema pemeliharaan Tuhan (Rububiyah). Oleh karena itu, memuji Allah adalah bentuk totalitas kepasrahan dan pengakuan bahwa Dialah sumber dari segala eksistensi.

Tafsiran Pegon menekankan bahwa kekuasaan Allah meliputi seluruh 'Alam' – bukan hanya dunia manusia, tetapi juga alam jin, malaikat, dan segala dimensi yang tidak terjangkau akal. Hal ini memperkaya pandangan kosmologi Jawa yang memang sudah mengenal berbagai tingkatan alam, namun kini dilebur dalam bingkai monoteisme yang tegas.

Ayat 3: Pengulangan Sifat Agung

الرَّحْمـَنِ الرَّحِيمِ
(Ingkang Maha Murah, Ingkang Maha Asih)

Terjemahan Pegon/Jawi: Pengulangan 'Ar-Rahman Ar-Rahim' setelah ayat kedua menunjukkan penekanan yang luar biasa. Dalam Pegon, terjemahan ini dipertahankan, “Ingkang Maha Welas, Ingkang Maha Asih.” Pengulangan ini dalam penafsiran Jawa seringkali dihubungkan dengan prinsip Cakrawedha (pengulangan yang menguatkan) atau Pengeling (pengingat).

Tafsir Filosofi Jawa: Jika ayat kedua menetapkan Tuhan sebagai Penguasa Alam, ayat ketiga ini menetapkan karakter utama Penguasa tersebut: Keagungan-Nya diwarnai oleh Kasih Sayang, bukan tirani. Ini sangat relevan dalam masyarakat yang mengenal struktur kekuasaan feodal. Pesan yang disampaikan melalui Pegon adalah bahwa meskipun Allah Maha Tinggi, Dia tetap dekat dan penuh belas kasih.

Konsep Jawa tentang Gusti Kang Murbeng Dumadi (Tuhan yang Menguasai Penciptaan) disempurnakan di sini. Kuasa yang mutlak harus dibarengi dengan keadilan dan welas asih yang tak terbatas. Bagi ulama Jawa, pengulangan ini berfungsi sebagai penyeimbang antara rasa takut (khauf) dan rasa harap (raja’) kepada Allah. Kita takut karena Dia Mahakuasa, namun kita berharap karena Dia Maha Welas dan Maha Asih. Keseimbangan ini adalah inti dari spiritualitas Jawa yang menekankan Tapa Brata (latihan spiritual) yang tidak ekstrem, tetapi berimbang antara syariat dan hakikat.

Ayat 4: Kedaulatan di Hari Pembalasan

مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
(Ingkang Nduweni Dinten Piwales)

Terjemahan Pegon/Jawi: Maliki Yawm id-Din diterjemahkan: “Ingkang Ngerajani Dinten Piwales.” 'Ngerajani' (merajai/menguasai) secara tegas menunjukkan kedaulatan mutlak. 'Dinten Piwales' (Hari Pembalasan/Hari Keadilan) adalah konsep yang dipahami dengan baik dalam bingkai etika Jawa.

Tafsir Filosofi Jawa: Ayat ini menanamkan konsep Urip Iku Urup (hidup itu menyala, memberi manfaat) dan kaitannya dengan tanggung jawab moral. Kepercayaan pada Hari Pembalasan (Yaumiddin) menjadi penjamin bagi konsep keadilan yang seringkali abstrak di dunia fana.

Dalam konteks Pegon, pengajaran ini sangat penting untuk membentuk mentalitas santri agar selalu memegang teguh Rukun Islam dan Rukun Iman. Jika di dunia ini seorang penguasa (Raja, Sultan, atau pemimpin) mungkin tidak sempurna dalam menjalankan keadilan, maka ayat ini menegaskan bahwa ada Raja yang sesungguhnya di akhirat, yaitu Allah. Ini memberikan harapan bagi kaum tertindas dan peringatan keras bagi para penguasa.

Para ulama Jawa sering menghubungkan ayat ini dengan etika Ratu Adil—sosok pemimpin ideal yang akan datang—namun menegaskan bahwa kedaulatan sejati dan keadilan yang mutlak hanya milik Allah pada Hari Kiamat. Oleh karena itu, manusia diwajibkan untuk menjalankan Cekelan (pegangan moral) di dunia, karena setiap perbuatan akan dihitung secara detail oleh Sang Pemilik Hari Piwales.

Ayat 5: Ibadah Totalitas dan Manunggaling Kawulo

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
(Namung Panjenengan ingkang Kawula Sembah, lan namung dumateng Panjenengan Kawula Nyuwun Pitulungan)

Terjemahan Pegon/Jawi: “Mung Panjenengan ingkang kawulo sembah, lan mung dateng Panjenengan kawulo nyuwun pitulungan.” Ini adalah inti dari Tauhid Ibadah (Uluhiyah) dan Tauhid Isti'anah (memohon pertolongan).

Tafsir Filosofi Jawa: Ayat ini adalah titik pertemuan krusial antara Islam dan spiritualitas Jawa. Konsep Manunggaling Kawulo Gusti (bersatunya hamba dan Tuhan)—sebuah konsep yang sering disalahpahami dalam mistisisme Jawa—ditempatkan dalam kerangka Tauhid yang murni. Dalam tafsir Pegon, ulama menekankan bahwa ‘Manunggal’ di sini harus dipahami sebagai ‘keselarasan kehendak’ atau ‘totalitas kepatuhan’, bukan penyatuan substansi (hulul) yang menyimpang.

Kata ‘Na’budu’ (kami menyembah) dan ‘Nasta’in’ (kami memohon pertolongan) diucapkan dalam bentuk jamak ('kami'). Penafsiran Jawa menekankan pentingnya ibadah kolektif (jamaah) dan kesadaran sosial (ukhuwah). Sembahyang (ibadah) bukan hanya urusan pribadi, melainkan komitmen bersama komunitas untuk tunduk kepada Allah.

Pengajaran pesantren lewat Pegon menjelaskan bahwa ibadah adalah Laku (perilaku spiritual) yang utuh, mencakup dzikir, fikir, dan amal. Memohon pertolongan (Isti’anah) kepada selain Allah adalah syirik. Ini mengoreksi praktik-praktik lokal yang mungkin masih bergantung pada kekuatan lain di luar Tuhan. Ayat ini menjadi penegasan fundamental Tauhid dalam jiwa orang Jawa: satu-satunya sumber kekuatan, penyembahan, dan pertolongan hanyalah Allah.

Lebih jauh, dalam tasawuf Jawi, ayat ini diinterpretasikan sebagai tahapan penting dalam perjalanan spiritual. Menyembah (beribadah) adalah pekerjaan manusia di dunia fana, sedangkan memohon pertolongan adalah pengakuan atas kefanaan dan keterbatasan diri. Keseimbangan ini menciptakan pribadi yang Mandita (berwibawa secara spiritual) namun tetap tawadhu (rendah hati) di hadapan Gusti Pangeran.

Ayat 6: Permintaan Petunjuk dan Jalan Kebenaran

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
(Mugi Panjenengan Paring Pitedah dumateng margi ingkang leres)

Terjemahan Pegon/Jawi: Ihdina ash-Shiratal Mustaqim diterjemahkan: “Mugi Paduka paring pitedah dumateng margi ingkang jejeg.” Kata 'Pitedah' (petunjuk) dan 'Margi ingkang Jejeg' (jalan yang lurus/teguh) adalah terjemahan yang sangat efektif dalam Pegon.

Tafsir Filosofi Jawa: Ayat keenam ini adalah klimaks dari permohonan. Setelah mengakui Tauhid dan janji beribadah, umat memohon hal yang paling esensial: petunjuk. Dalam budaya Jawa, konsep 'jalan yang lurus' sangat selaras dengan konsep Laku Utama (perilaku utama/mulia) atau Dalan Kebeneran (jalan kebenaran).

Apa itu Shiratal Mustaqim dalam pandangan Jawa? Ini bukan hanya sekadar jalan hukum (syariat), melainkan jalan yang memadukan syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat. Ia adalah jalan tengah, menghindari ekstremitas, selaras dengan konsep Jawa tentang Titen (ketelitian) dan Eling lan Waspada (sadar dan waspada).

Melalui Pegon, santri diajarkan bahwa petunjuk ini harus dimohonkan terus menerus, karena kehidupan adalah serangkaian godaan dan persimpangan. 'Margi ingkang Jejeg' adalah jalan yang tidak terpengaruh oleh hawa nafsu (nafsu amarah, lawwamah, sufiyah, muthmainnah), yang dalam mistisisme Jawa digambarkan sebagai musuh terbesar manusia. Petunjuk Allah adalah kompas spiritual agar manusia tetap berada dalam koridor Keselarasan (harmoni) antara lahir dan batin, dunia dan akhirat.

Ulama Pegon juga menafsirkan ayat ini secara komunal: umat memohon agar seluruh masyarakat Jawa diarahkan pada jalan yang benar, bukan hanya individu. Ini mencerminkan tanggung jawab sosial dan kepedulian ulama terhadap tatanan moral dan spiritual masyarakat secara luas.

Ayat 7: Memohon Perlindungan dari Penyimpangan

صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ
(Inggih puniko Margi Tiyang-tiyang ingkang sampun Panjenengan paringi Nikmat, Sanes Margi Tiyang ingkang dipun Bendoni, lan sanes Margi Tiyang ingkang Késasar)

Terjemahan Pegon/Jawi: “Yaiku dhalan (margi) e wong kang Paduka paringi nikmat, ora dhalane wong kang Paduka bendoni, lan ora dhalane wong kang kesasar.”

Tafsir Filosofi Jawa: Ayat penutup ini berfungsi sebagai klarifikasi dan penegasan terhadap jalan lurus. Terdapat tiga kelompok manusia: (1) Yang diberi nikmat, (2) Yang dimurkai (al-Maghdub), dan (3) Yang tersesat (ad-Dhallin).

Dalam tafsir Jawa yang ditulis dalam Pegon, ‘Yang Diberi Nikmat’ merujuk pada para nabi, siddiqin, syuhada, dan shalihin, yang perilakunya (Laku) harus dijadikan teladan. Nikmat terbesar di sini adalah nikmat iman dan hidayah. Ini sejalan dengan penghormatan mendalam masyarakat Jawa terhadap para leluhur dan guru spiritual (Kyayi, Wali).

Kelompok ‘Yang Dimurkai’ diinterpretasikan sebagai mereka yang mengetahui kebenaran (ilmu) namun menolaknya karena kesombongan atau hawa nafsu. Dalam kearifan Jawa, ini adalah sifat Adigang, Adigung, Adiguna (sombong karena kekuatan, kekuasaan, dan kepintaran). Pegon mengajarkan bahwa keilmuan yang tidak dibarengi akhlak akan membawa pada kemurkaan Ilahi.

Kelompok ‘Yang Tersesat’ adalah mereka yang beribadah atau beramal dengan sungguh-sungguh, namun tanpa ilmu (bid’ah atau kesesatan akidah). Mereka adalah orang-orang yang menjalani Tirakat tanpa pitedah yang benar. Pesan Pegon sangat jelas: ibadah harus dilandasi ilmu yang benar (syariat), yang hanya dapat diperoleh melalui sanad keilmuan yang tersambung kepada para ulama (yang diberi nikmat).

Secara keseluruhan, ayat ketujuh melalui interpretasi Pegon memberikan kerangka moral dan spiritual yang komprehensif bagi masyarakat Jawa: jadilah pribadi yang berilmu, beramal, dan berakhlak, serta senantiasa berada di tengah-tengah (tawasuth), jauh dari kesombongan (Maghdub) dan kebodohan (Dhallin).

Pegon dan Mekanisme Transmisi Keilmuan Jawa

Untuk memahami mengapa Al Fatihah dalam Pegon bisa memiliki bobot tafsir yang begitu dalam, kita harus melihat konteks pedagogisnya di pesantren. Pegon bukan hanya alat terjemah, tetapi merupakan sistem mnemonic dan hermeneutika yang memfasilitasi hafalan dan pemahaman mendalam.

Sistem Makna Gandul

Penerjemahan Al Fatihah ke dalam Pegon seringkali dilakukan dalam bentuk Makna Gandul (terjemahan menggantung). Kitab asli Arab ditulis di baris atas, dan terjemahan per kata (makna) dalam bahasa Jawa ditulis persis di bawah kata Arab tersebut menggunakan Pegon. Sistem ini memaksa santri untuk tidak hanya mengetahui arti, tetapi juga memahami struktur gramatikal Arab (Nahwu dan Sharf), karena urutan kata Jawa seringkali berbeda dengan Arab.

Misalnya, saat menerjemahkan ‘Iyyaka Na’budu’ (Hanya Engkau yang kami sembah), Pegon akan membantu santri memahami bahwa meskipun kata 'Na’budu' muncul kedua, penekanan 'Iyyaka' (Hanya Engkau) harus diprioritaskan. Pegon menempatkan makna sesuai kaidah sintaksis Jawa, sekaligus mempertahankan tautan visual dan teologis dengan teks aslinya.

Fungsi Sosial Pegon

Pegon menjadikan ajaran Islam bukan sekadar dogma impor, melainkan bagian integral dari identitas Jawa. Dengan Al Fatihah dalam Pegon, seorang petani di desa, seorang pedagang di pasar, atau seorang priyayi di keraton dapat meresapi makna surah ini dalam bahasa yang mereka gunakan sehari-hari, baik Krama Inggil maupun Ngoko.

Penyebaran teks-teks Al Fatihah yang ditulis Pegon ini memastikan homogenitas ajaran di seluruh wilayah Jawa yang dipengaruhi tradisi pesantren. Kitab-kitab tafsir awal yang ditulis ulama Jawa (seperti Syaikh Nawawi Al-Bantani atau KH. Sholeh Darat) seringkali menggunakan Pegon untuk catatan dan penafsiran, menjadikannya warisan tak ternilai.

Sintesis Bahasa dan Spiritualisme

Bahasa Jawa, terutama Krama Inggil, memiliki tingkatan tutur yang sangat menghormati. Ketika Al Fatihah diterjemahkan ke Krama Inggil Pegon, penggunaan kata 'Panjenengan' (Anda yang sangat dihormati) atau 'Kawulo' (hamba) menciptakan nuansa kedekatan spiritual yang sopan dan mendalam antara hamba dan Gusti Pangeran. Ini memperkuat konsep Adab (etika) dalam beribadah, yang menjadi ciri khas Islam Nusantara.

Oleh karena itu, Pegon dalam menerjemahkan Al Fatihah bukan hanya menyampaikan informasi, tetapi juga membentuk karakter dan etika santri. Karakter yang diharapkan adalah karakter yang Andhap Asor (rendah hati) di hadapan Tuhan, namun memiliki semangat yang Jejeg (teguh) dalam menjalankan syariat.

Implikasi Filosofis Jawa dalam Tafsir Al Fatihah

Lima konsep utama filosofi Jawa terintegrasi secara halus dalam penafsiran Al Fatihah yang diwariskan melalui Pegon. Integrasi ini menunjukkan kecerdasan para ulama dalam melakukan indigenisasi keilmuan Islam tanpa mengorbankan prinsip-prinsip Tauhid.

1. Konsep Welas Asih (Rahman dan Rahim)

Seperti disinggung di Ayat 1 dan 3, Welas Asih adalah prinsip kosmis yang fundamental. Dalam pandangan Jawa, kehidupan harmonis (Rukun) hanya bisa dicapai jika individu mempraktikkan welas asih. Tafsir Pegon menjadikan sifat Rahmat Tuhan sebagai model perilaku sosial. Jika Tuhan Maha Welas, hamba-Nya harus menjauhi Dendam dan Serakah.

2. Sangkan Paraning Dumadi (Alhamdulillah dan Rububiyah)

Pertanyaan tentang asal dan tujuan segala sesuatu dijawab tuntas oleh Ayat 2. Allah adalah Rabbil 'Alamin, yang menciptakan, memelihara, dan mengakhiri. Filosofi ini memberikan kedamaian (Tentrem) karena semua peristiwa diyakini memiliki tujuan Illahi. Keterikatan ini menolak fatalisme, namun mendorong kepasrahan aktif (ikhtiar yang dilandasi tawakal).

3. Tapa Brata dan Tirakat (Iyyaka Na’budu)

Praktik spiritual Jawa seperti puasa, meditasi (semedi), dan olah batin diintegrasikan ke dalam kerangka ibadah Islam. Pegon mengajarkan bahwa segala bentuk Tapa Brata harus ditujukan semata-mata kepada Allah (Iyyaka Na’budu). Ini adalah upaya untuk ‘membersihkan’ ritual lokal dari unsur syirik, menjadikan niat sebagai pondasi segala Laku.

4. Keseimbangan dan Laku Utama (Shiratal Mustaqim)

Konsep jalan lurus (Shiratal Mustaqim) sangat resonan dengan nilai Hamemayu Hayuning Bawana (memelihara keindahan dunia). Jalan lurus adalah jalan yang seimbang: spiritual dan material, dunia dan akhirat, syariat dan hakikat. Laku utama adalah menjauhi perilaku ekstrem (Maghdub) dan menjauhi kebodohan (Dhallin). Ia adalah jalan moderasi (tawasuth) yang menjadi ciri khas Islam Jawa.

5. Eling lan Waspada (Maliki Yawmiddin)

Kesadaran akan Hari Pembalasan (Yaumiddin) yang dikuasai Allah menumbuhkan sikap Eling (selalu ingat/sadar) dan Waspada (hati-hati). Dalam tafsir Pegon, ini adalah motivasi utama untuk menahan diri dari perilaku yang menyimpang dan menjalankan etika sosial yang baik, karena setiap tindakan memiliki konsekuensi di akhirat. Konsep ini memperkuat pentingnya Karma Phala yang kini diislamisasikan sebagai perhitungan amal.

Peran Historis Kitab Pegon Al Fatihah

Kehadiran Al Fatihah dalam bentuk Pegon tidak hanya memberikan pemahaman spiritual, tetapi juga memainkan peran historis dalam melawan kolonialisme dan mempertahankan identitas keilmuan lokal.

Konservasi Bahasa dan Jati Diri

Pada masa kolonial, Belanda berusaha memaksakan aksara Latin dan membatasi penyebaran literatur Arab. Aksara Pegon menjadi benteng pertahanan bagi literasi keislaman. Dengan menuliskan tafsir Al Fatihah dalam Pegon, ulama memastikan bahwa ilmu-ilmu fundamental tetap diakses oleh masyarakat lokal tanpa perlu bergantung pada sistem pendidikan formal kolonial.

Kitab-kitab kecil berisi terjemahan Pegon Al Fatihah menjadi harta karun yang diwariskan secara turun temurun. Ini membuktikan bahwa Pegon adalah alat perlawanan budaya yang efektif, menjaga bahasa Jawa tetap terikat pada nilai-nilai ketuhanan.

Pedagogi Mandiri

Di luar tembok pesantren, guru-guru ngaji di surau-surau desa menggunakan metode yang sama. Mereka mengajarkan Al Fatihah dalam bahasa Arabnya, tetapi penafsiran Pegon menjadi penjelas utama. Metode ini menciptakan sistem pedagogi yang mandiri, tidak terikat kurikulum formal modern, namun menghasilkan generasi yang sangat mendalam pemahaman agamanya.

Sebagai contoh, banyak ulama yang menulis Nadzom (syair ajaran) tentang Fatihah dalam bahasa Jawa Pegon, yang memudahkan hafalan makna. Syair-syair ini diulang dalam berbagai acara keagamaan, memastikan bahwa tujuh ayat fundamental ini benar-benar merasuk dalam kesadaran spiritual kolektif masyarakat Jawa.

Menghadapi Tantangan Modernitas

Meskipun aksara Latin kini mendominasi, warisan Pegon tetap relevan. Bagi para santri tingkat lanjut, memahami nuansa bahasa Arab yang diterjemahkan melalui Pegon adalah ujian keilmuan yang membedakan mereka dari pembaca awam. Kajian Al Fatihah dalam Pegon merupakan pengingat akan kedalaman tradisi literasi Islam Nusantara yang mampu mensintesiskan wahyu Ilahi dengan kearifan lokal yang telah berakar selama ribuan tahun.

Pegon adalah saksi bisu upaya besar para ulama untuk melokalisasi Islam. Al Fatihah sebagai surah paling sentral adalah bukti terbaik dari kesuksesan proses lokalisasi ini. Setiap kata, dari Basmalah hingga Waladh Dhallin, diolah sedemikian rupa sehingga tidak hanya menjadi doa universal, tetapi juga cerminan nilai-nilai etik dan filosofis Jawa yang utuh.

Kedalaman Filologi Jawi

Penyusunan tafsir Pegon Al Fatihah memerlukan keahlian filologi yang tinggi. Ulama harus memilih diksi Jawa (Krama Inggil) yang paling tepat dan paling suci untuk mempresentasikan keagungan Allah. Misalnya, pemilihan kata "Gusti Pangeran" alih-alih sekadar "Raja" atau "Dewi" adalah pilihan sadar yang membawa makna monoteisme tertinggi sambil tetap mempertahankan konteks penghormatan tradisional Jawa.

Transliterasi vokal pendek Arab yang tidak dikenal dalam aksara Jawa (seperti dhommah, kasrah, fathah) harus disesuaikan. Sistem penulisan Pegon, dengan tambahan tanda-tanda vokal yang detail, memastikan bahwa pengucapan dan pemaknaan dalam bahasa Jawa tetap akurat dan tidak melenceng dari kaidah tajwid Arab. Ini menunjukkan betapa cermatnya para ulama Jawa dalam menjaga kemurnian teks sambil memfasilitasi pemahaman lokal.

Al Fatihah sebagai Doa Kehidupan

Dalam tradisi Jawa, Al Fatihah seringkali dibaca dalam berbagai ritual kehidupan, mulai dari kelahiran, pernikahan, hingga kematian, serta dalam ritual keselamatan (selamatan). Pegon memberikan landasan pemahaman bahwa doa-doa ini tidak hanya sekadar ritual kosong, tetapi permintaan yang mendalam yang mencakup keseluruhan filosofi hidup. Permintaan "Shiratal Mustaqim" menjadi doa harian agar segala keputusan hidup selalu lurus, sesuai dengan tuntunan Allah dan etika Jawa.

Oleh karena itu, surah Al Fatihah yang diartikan melalui Pegon telah menjadi DNA spiritual masyarakat Jawa, mewujudkan ajaran Islam yang Rahmatan Lil 'Alamin (rahmat bagi semesta alam) dan Rahmatan Lil Jawi (rahmat bagi bumi Jawa). Inilah warisan terbesar Aksara Pegon yang mengikat spiritualitas, bahasa, dan kebudayaan dalam satu kesatuan teologis yang kokoh.

Penutup: Warisan Abadi Sintesis Budaya

Kajian terhadap Al Fatihah dalam Aksara Pegon menunjukkan lebih dari sekadar upaya penerjemahan; ia adalah monumen agung sintesis kebudayaan dan keimanan. Para ulama Jawa berhasil menciptakan sebuah medium (Pegon) yang memungkinkan surah fundamental Islam ini meresap ke dalam filosofi dan etika Jawa secara mendalam.

Al Fatihah yang dibaca oleh seorang santri di pesantren dengan bantuan makna gandul Pegon, adalah sebuah laku spiritual yang menghubungkan masa lalu, kini, dan masa depan. Ia menghubungkan ajaran Rasulullah dengan kearifan lokal Jawa, dan menghubungkan seorang hamba (kawulo) dengan Tuhannya (Gusti Pangeran) melalui bahasa yang paling santun dan paling dipahami.

Warisan Pegon ini adalah bukti bahwa Islam di Nusantara adalah agama yang adaptif, menghargai, dan memperkaya budaya lokal, bukan menghapusnya. Pemahaman yang mendalam terhadap setiap ayat Al Fatihah, melalui lensa Pegon, memastikan bahwa nilai-nilai universal Islam—Tauhid, keadilan, welas asih, dan ketaatan—berpadu harmonis dengan prinsip-prinsip Laku Utama Jawa, menghasilkan spiritualitas Nusantara yang kaya dan berakar kuat.

Meskipun tantangan modernitas datang silih berganti, Pegon tetap bertahan sebagai penanda keaslian dan kedalaman tradisi keilmuan pesantren. Al Fatihah, dalam bentuk aksara Pegon, akan terus menjadi pembuka hati dan pikiran, memandu umat menuju Margi ingkang Jejeg (Jalan yang Lurus) yang diridhai oleh Gusti Pangeran.

🏠 Homepage