Surah Al-Kahfi, yang berarti Gua, merupakan salah satu surah Makkiyah yang kaya akan pelajaran mendalam mengenai empat ujian utama kehidupan: ujian agama (kisah Ashabul Kahfi), ujian harta (kisah dua pemilik kebun), ujian ilmu (kisah Musa dan Khidir), dan ujian kekuasaan (kisah Dzulqarnain). Namun, di penghujung surah ini, Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan sebuah peringatan yang sangat menusuk, sebuah ultimatum yang merangkum keseluruhan pelajaran dan menargetkan kondisi manusia yang paling rentan—kondisi merasa benar dalam kesesatan.
Ayat 103 dan 104 adalah penutup yang kuat, berfungsi sebagai peninjauan kembali bagi setiap mukmin: Apakah amal yang kita lakukan saat ini benar-benar akan menjadi bekal, ataukah ia hanya tipuan yang akan menghilang seperti fatamorgana di hari kiamat? Peringatan ini ditujukan kepada golongan yang secara lahiriah tampak berbuat baik, tetapi substansi amal mereka telah cacat dan rusak hingga tak bernilai.
Dua ayat ini memperkenalkan sebuah terminologi yang sangat spesifik dan menakutkan: Al-Akhsarun A'malan (orang-orang yang paling merugi perbuatannya/amalnya). Kerugian di dunia mungkin masih dapat diperbaiki, tetapi kerugian amal di akhirat adalah kerugian yang permanen dan tidak terpulihkan. Puncak tragedi mereka adalah bukan hanya karena amal mereka sia-sia, tetapi karena mereka menjalani seluruh hidup mereka dalam keyakinan penuh bahwa mereka adalah orang-orang yang paling benar, paling baik, dan paling mendekatkan diri kepada Tuhan.
Secara bahasa, ‘Al-Akhsarun’ berasal dari kata *khusrun* yang berarti kerugian. Bentuk *akshar* (superlatif) berarti paling rugi. Orang yang rugi biasanya menyadari kerugiannya. Namun, kelompok ini adalah yang paling rugi karena mereka tidak menyadari kerugian mereka hingga hari perhitungan. Tafsir klasik dan kontemporer menyimpulkan bahwa ‘Al-Akhsarun A’malan’ adalah mereka yang memenuhi salah satu atau kedua syarat utama berikut:
Mayoritas ulama tafsir, seperti Ibnu Katsir dan Ath-Thabari, menafsirkan ayat ini merujuk kepada orang-orang musyrik, kaum kafir, dan munafik. Mereka melakukan berbagai amalan kebaikan di dunia—seperti sedekah, menjaga kerabat, membangun fasilitas umum—tetapi amalan tersebut didasari oleh keyakinan yang batil atau mereka melakukannya tanpa keimanan yang benar kepada Allah dan Rasul-Nya. Amalan-amalan ini menjadi debu beterbangan (kabaa'an manthuuraa) karena kehilangan pondasi tauhid.
Jika amal shalih ibarat sebuah bangunan, maka tauhid adalah pondasinya. Tanpa tauhid yang murni, seberapa tinggi pun bangunan itu, ia akan runtuh total. Allah berfirman dalam Surah Az-Zumar [39]: 65, bahwa jika seseorang berbuat syirik, niscaya terhapuslah amal perbuatannya.
Dalam lingkup umat Islam, ayat ini juga menjadi peringatan keras bagi mereka yang tulus beribadah, tetapi ibadah mereka disandarkan pada bid'ah (inovasi dalam agama) yang diyakini sebagai kebenaran. Mereka bersemangat, berlelah-lelah, dan menghabiskan harta benda serta waktu, tetapi metode ibadah yang mereka gunakan tidak pernah diajarkan atau disahkan oleh syariat Islam (Al-Qur'an dan As-Sunnah).
Mereka ضَلَّ سَعْيُهُمْ (sia-sia perbuatan mereka) karena: Mereka beribadah dengan cara yang tidak disyariatkan, atau Mereka beribadah dengan motivasi yang keliru (riya' atau sum'ah), walaupun bentuk ibadahnya benar. Ini adalah puncak ironi spiritual: usaha yang maksimal, hasil yang nihil.
Untuk memahami bagaimana seseorang bisa menjadi "paling rugi" padahal merasa sudah berbuat baik, kita harus meninjau tiga pilar utama diterimanya suatu amal: Ilmu, Ikhlas, dan Ittiba’ (mengikuti sunnah).
Kelompok Al-Akhsarun A’malan seringkali berada dalam kondisi Jahil Muraqqa’, yaitu kebodohan berlapis. Mereka tidak tahu bahwa mereka bodoh, bahkan mereka yakin bahwa kebodohan yang mereka amalkan itu adalah puncak pengetahuan. Mereka menyangka mereka adalah mujtahid atau pencari kebenaran, padahal mereka hanya mengikuti hawa nafsu atau tradisi buta.
Tanpa ilmu syar’i yang benar, niat baik hanyalah jalan menuju penyimpangan. Contohnya: seseorang mungkin berniat baik untuk mendekatkan diri kepada Tuhan melalui ritual-ritual baru yang tidak pernah dicontohkan Nabi Muhammad ﷺ. Karena niatnya tulus, ia merasa benar. Padahal, kebaikan dalam Islam harus didefinisikan oleh Syariat, bukan oleh perasaan atau asumsi pribadi.
Ikhlas (hanya mengharapkan wajah Allah) adalah ruh dari amal. Meskipun seseorang melakukan amal yang secara fiqh dianggap sah (seperti shalat atau puasa), jika motivasi utamanya adalah pujian manusia (Riya') atau keinginan untuk mendapatkan kedudukan duniawi (Sum’ah), maka amal tersebut rusak dari akarnya.
Riya’ adalah salah satu bentuk Syirik Asghar (syirik kecil) yang dampaknya luar biasa besar. Orang yang riya' sangat berpotensi masuk dalam golongan Al-Akhsarun A’malan, karena mereka berlelah-lelah demi pandangan makhluk, bukan pandangan Khaliq. Ketika amalan itu dihadapkan di Hari Kiamat, Allah akan berfirman, "Pergilah kepada siapa kalian beramal di dunia, apakah kalian menemukan balasan di sisi mereka?"
Ini menjelaskan mengapa mereka menyangka mereka berbuat baik. Dalam pandangan publik, mereka adalah tokoh agama, dermawan, atau orang yang rajin ibadah. Namun, di dalam hati, niat mereka telah dicemari oleh virus dunia.
Ittiba’ adalah mengikuti cara Nabi Muhammad ﷺ. Amal harus sesuai dengan syariat dalam enam aspek: Jenis amal, sebab amal, waktu amal, tempat amal, kuantitas amal, dan tata cara amal. Apabila seseorang mengubah salah satu dari enam aspek ini tanpa dalil yang shahih, maka amalnya jatuh ke dalam kategori bid’ah, yang dapat menggugurkan seluruh usahanya.
Seseorang yang tekun puasa di hari yang tidak disyariatkan, atau shalat dengan gerakan tambahan yang ia anggap indah, adalah contoh dari orang yang menyangka telah berbuat baik, padahal ia sedang menyimpang dari jalan yang benar. Usaha mereka benar-benar hilang; dhalal (tersesat) adalah sifat yang melekat pada kerja keras mereka.
Ayat 104 sangat menekankan pada frase وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا ("padahal mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya"). Ini adalah titik terberat dalam peringatan ini. Mengapa manusia bisa melakukan kesalahan fatal sambil merasa yakin 100% bahwa mereka benar?
Ketika seseorang mencintai suatu pandangan atau kelompok melebihi kecintaannya pada kebenaran yang diturunkan oleh wahyu, ia akan membela kesalahannya sampai mati. Hawa nafsu (keinginan pribadi) menyusup ke dalam interpretasi agama. Mereka mulai membenarkan yang salah karena itu menguntungkan kelompok atau karena leluhur mereka telah melakukannya.
Fanatisme ini menciptakan filter kognitif. Mereka hanya mendengar dan menerima informasi yang mendukung keyakinan mereka, sementara menolak setiap dalil atau argumen yang bertentangan, bahkan jika argumen tersebut datang dari Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahih. Mereka melihatnya sebagai ancaman, bukan sebagai petunjuk.
Syaitan tidak selalu datang dengan ajakan terang-terangan untuk maksiat. Seringkali, tipuan syaitan yang paling berbahaya adalah dengan membuat seseorang merasa nyaman dalam melakukan "kebaikan" yang ternyata adalah kesesatan. Syaitan membisikkan, "Niatmu baik, usahamu tulus, pasti Tuhan menerima." Syaitan membuat mereka melihat keindahan pada bid'ah dan kesulitan pada sunnah.
Tipu daya ini sangat halus, menyerang area spiritual. Pelaku merasakan ketenangan (sakinah) palsu dari ritual yang mereka ciptakan sendiri, dan mereka menyalahartikan perasaan itu sebagai bukti kebenaran, padahal itu hanyalah ilusi psikologis yang diciptakan oleh konsistensi tindakan, bukan oleh validitas syariat.
Kerugian amal yang parah seringkali diperburuk oleh adanya pemimpin, ulama, atau figur publik yang menyesatkan. Mereka diikuti karena karisma, retorika, atau kedudukan duniawi. Orang awam yang kurang ilmu lantas menganggap ajaran pemimpin tersebut sebagai kebenaran mutlak, bahkan jika ajaran tersebut bertentangan dengan ajaran pokok Islam. Para pengikut ini, karena kecintaan dan kepercayaan buta pada pemimpin, yakin bahwa mereka sedang menapaki jalan kebenaran hakiki, padahal mereka sedang dipimpin menuju jurang.
Penting untuk membedakan antara orang yang berdosa (melakukan maksiat) dan orang yang amalnya sia-sia (Al-Akhsarun A’malan).
Orang yang melakukan maksiat (seperti mencuri, berzina, atau minum khamar) tahu bahwa ia sedang berbuat salah. Ada harapan besar baginya untuk bertaubat, menyesali perbuatannya, dan kembali kepada Allah. Amalan-amalan shalihnya yang lain (jika didasari tauhid dan sunnah) masih mungkin terselamatkan dan menutupi dosanya.
Namun, kondisi Al-Akhsarun A’malan jauh lebih berbahaya. Mereka tidak punya penyesalan karena mereka yakin mereka benar. Mereka beramal dengan sungguh-sungguh, tetapi ternyata amal tersebut—yang seharusnya menjadi modal—justru tidak bernilai sama sekali. Ketika mereka membutuhkan pahala di hari kiamat, mereka mendapati timbangan mereka kosong. Ini adalah kerugian ganda: rugi waktu, rugi harta, rugi tenaga, dan rugi pahala.
Imam Ahmad bin Hanbal pernah ditanya mengenai makna ayat ini, dan beliau memberikan interpretasi yang sangat hati-hati, menunjukkan bahwa ayat ini berlaku bagi siapa saja, termasuk kaum Khawarij yang beribadah keras, tetapi keyakinan mereka menyimpang, hingga akhirnya mereka keluar dari koridor sunnah. Mereka adalah contoh nyata orang yang bersungguh-sungguh (sa'yun), tetapi kesungguhannya itu justru menyesatkan.
Dalam konteks modern, di mana informasi dan faham keagamaan menyebar dengan cepat tanpa filter, risiko menjadi Al-Akhsarun A’malan semakin tinggi. Ayat ini relevan dalam beberapa dimensi modern:
Banyak kelompok aktivis atau sosial yang bekerja keras, bahkan mempertaruhkan nyawa, demi tujuan yang mereka yakini mulia. Namun, jika tujuan dan cara mereka didasari oleh ideologi yang bertentangan dengan Tauhid (misalnya, ideologi ekstremisme, relativisme, atau sekularisme yang diselubungi istilah agama), maka seluruh "amal" dan "perjuangan" mereka berisiko sia-sia di mata Allah. Meskipun secara etika manusiawi mereka tampak heroik, jika pondasi keimanan dan ittiba' tidak ada, amalan itu gugur.
Di era digital, Riya' (pamer) mencapai dimensi yang mengkhawatirkan. Seseorang melakukan ibadah (puasa, sedekah, umrah, atau bahkan tahajjud) dan menyebarkannya di media sosial dengan niat terselubung untuk mendapatkan validasi, pujian, atau pengikut. Usaha untuk berbuat baik ini, jika didominasi oleh motif mencari perhatian manusia, dapat merusak ikhlas dan berpotensi menjadikan amal itu sia-sia.
Mereka merasa sedang menyebarkan dakwah atau inspirasi, padahal yang mereka sebarkan adalah ketidakikhlasan. Mereka menyangka telah berbuat baik karena mendapat banyak pujian dan ‘like’, tetapi niat hati mereka telah menjauh dari wajah Allah.
Ghirah (semangat) beragama yang tinggi tanpa diimbangi ilmu yang komprehensif dapat menghasilkan ekstrimitas. Seseorang terlalu fokus pada satu aspek agama (misalnya fiqih, atau zuhud) hingga mengabaikan prinsip dasar aqidah dan manhaj (metode). Kelompok yang terlalu fanatik dan mengharamkan hal-hal yang tidak diharamkan oleh Allah, atau sebaliknya, menghalalkan yang jelas-jelas haram, termasuk dalam kategori ini. Mereka berlelah-lelah dalam ketakwaan versi mereka sendiri, yang ironisnya, justru menjauhkan mereka dari takwa yang hakiki.
Ayat Al-Kahfi 103-104 bukanlah ayat keputusasaan, melainkan peta jalan spiritual. Peringatan ini ditujukan agar kita dapat mengoreksi diri sebelum terlambat. Untuk mencegah diri dari menjadi Al-Akhsarun A’malan, seorang mukmin harus memegang teguh tiga benteng pertahanan:
Tidak ada amal shalih yang diterima tanpa ilmu. Ilmu yang dimaksud adalah ilmu syar’i yang bersumber dari Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan pemahaman para salafus shalih (pendahulu yang shalih). Kita harus memastikan bahwa setiap keyakinan dan perbuatan ibadah kita memiliki dalil yang shahih dan dapat dipertanggungjawabkan.
Mencari ilmu harus menjadi ibadah terpenting. Ilmu yang benar akan menuntun kita untuk membedakan antara sunnah dan bid’ah, antara tauhid dan syirik, serta antara ikhlas dan riya’. Kejahilan adalah musuh utama dalam ayat ini; kebodohan adalah alasan utama mengapa seseorang "menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya."
Ikhlas adalah pekerjaan hati yang harus diperbaharui setiap hari. Imam Sufyan Ats-Tsauri pernah berkata, "Tidak ada yang lebih sulit aku hadapi selain niatku, karena ia selalu berubah-ubah." Seorang mukmin harus senantiasa introspeksi sebelum, selama, dan setelah beramal: Apakah amal ini saya lakukan demi mendapatkan perhatian Allah atau perhatian manusia?
Pencegahan terhadap riya’ membutuhkan latihan spiritual yang konsisten, yaitu menyembunyikan amal kebaikan sebisa mungkin, kecuali jika amal tersebut memang wajib ditampakkan (seperti shalat wajib) atau jika penampakannya membawa maslahat syar’i yang lebih besar (seperti dakwah terang-terangan yang disyariatkan).
Komitmen terhadap Sunnah Nabi Muhammad ﷺ adalah filter terakhir dan paling penting. Amalan harus dilakukan kaifa sanna al-nabiy (sebagaimana yang Nabi contohkan). Cinta kepada Nabi harus diwujudkan bukan hanya melalui pengakuan, tetapi melalui kepatuhan total pada metodenya dalam beribadah dan bermuamalah.
Melestarikan sunnah berarti menolak bid’ah, sekecil apapun bentuknya, meskipun bid’ah itu terasa "baik" atau "indah" di mata manusia. Karena setiap bid’ah, meskipun awalnya kecil, adalah jalan yang membawa pada kesesatan yang lebih besar, dan setiap kesesatan ujungnya adalah neraka.
Peringatan Al-Kahfi 103-104 mencapai klimaksnya ketika Allah menjelaskan bagaimana nasib amal-amal ini di Hari Perhitungan. Dalam Surah Al-Furqan [25]: 23, Allah berfirman:
"Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan."
Debu yang beterbangan (kabaa'an manthuuraa) adalah metafora yang sempurna untuk menggambarkan amal Al-Akhsarun A’malan. Debu terlihat ada saat dilihat dari jauh (misalnya melalui sinar matahari), memberikan ilusi substansi dan jumlah. Demikian pula amal mereka; di dunia terlihat banyak, besar, dan mengagumkan.
Namun, ketika disentuh atau dicoba ditimbang, debu itu sama sekali tidak memiliki massa. Ia hanyut dan menghilang. Inilah kerugian total: mereka datang membawa kantong yang disangka berisi emas, padahal isinya hanya udara kosong. Mereka yakin akan diselamatkan oleh pahala, tetapi mereka justru ditinggalkan oleh amal mereka sendiri.
Bukan hanya kerugian yang mereka terima, tetapi juga penghinaan (ad-dzill) dari Allah karena kepongahan mereka di dunia. Di akhir Surah Al-Kahfi, setelah menjelaskan kerugian mereka, Allah berfirman di ayat 105:
"Mereka itu adalah orang-orang yang kufur (mengingkari) ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) pertemuan dengan Dia. Maka sia-sia seluruh amal mereka, dan Kami tidak akan memberikan penimbangan bagi amal mereka pada hari Kiamat."
Frasa ‘Kami tidak akan memberikan penimbangan’ (falā nuqīmu lahum yawma al-qiyāmati waznā) memiliki dua makna utama. Pertama, amalan mereka memang tidak memiliki bobot sedikit pun, sehingga tidak layak untuk ditimbang. Kedua, ini adalah bentuk penghinaan: Allah tidak sudi memberikan perhatian kepada mereka pada hari yang paling mereka harapkan perhatian-Nya.
Dua ayat ini, bersama dengan penutup Surah Al-Kahfi (ayat 107-110), secara tegas menggarisbawahi syarat diterimanya amal: Tauhid dan Ittiba'. Ayat terakhir (110) berbunyi: "Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, hendaklah dia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah dia mempersekutukan (berbuat syirik) dengan siapapun dalam beribadah kepada Tuhannya."
Ayat 103 dan 104 adalah pendahuluan peringatan, sementara ayat 110 adalah kesimpulan dan solusinya. Solusi untuk tidak menjadi Al-Akhsarun A’malan terletak pada dua sayap yang tidak boleh dipisahkan:
Surah Al-Kahfi adalah pengingat bahwa keindahan ibadah yang sesungguhnya terletak pada kesesuaiannya dengan petunjuk Ilahi, bukan pada keindahan yang diciptakan oleh akal manusia. Ketika seseorang mencampuradukkan ibadah murni dengan hawa nafsu, tradisi keliru, atau bahkan sistem kepercayaan lain, ia telah menggali lubang kerugian bagi dirinya sendiri, sambil bersorak riang karena menyangka dirinya sedang membangun istana.
Oleh karena itu, setiap mukmin harus terus menerus menguji amalnya. Bukan dengan bertanya, "Apakah saya sudah melakukan banyak?", tetapi dengan bertanya, "Apakah yang saya lakukan ini benar-benar sesuai dengan apa yang Allah cintai, dan apakah saya melakukannya hanya karena Allah?"
Kesungguhan tanpa ilmu adalah kesesatan. Ilmu tanpa ikhlas adalah kesombongan. Ikhlas tanpa ittiba’ adalah sia-sia. Hanya ilmu yang dipadukan dengan keikhlasan dan kepatuhan mutlak pada Sunnah yang dapat menyelamatkan kita dari tragedi menjadi golongan Al-Akhsarun A’malan.
Golongan yang paling merugi amalnya tidak hanya mengalami kehancuran personal di akhirat, tetapi keberadaan mereka di dunia juga seringkali membawa dampak negatif yang meluas. Kesesatan dalam amal, terutama jika didorong oleh keyakinan merasa paling benar (self-righteousness), dapat memicu konflik dan perpecahan sosial.
Ketika sekelompok orang merasa bahwa cara ibadah atau keyakinan mereka, yang berbasis bid’ah atau penyimpangan, adalah satu-satunya jalan menuju surga, mereka cenderung mengkafirkan atau menyalahkan kelompok lain yang mengikuti Sunnah. Kesungguhan yang keliru ini (ضَلَّ سَعْيُهُمْ) menjadi bahan bakar bagi fanatisme takfiri atau eksklusivisme yang berlebihan. Mereka berbuat keras, berjuang, dan berkorban—semua dilakukan dengan keyakinan bahwa mereka sedang membela agama Allah—padahal mereka justru sedang merobek-robek persatuan umat berdasarkan metode yang sesat.
Para ulama salaf telah memperingatkan bahwa bahaya bid'ah lebih besar daripada maksiat, sebab orang yang melakukan maksiat tahu ia berdosa, sedangkan pelaku bid'ah merasa ia sedang berbuat ketaatan, sehingga ia tidak merasa perlu bertaubat dan bahkan mendakwahkan kesalahannya.
Al-Akhsarun A’malan seringkali beroperasi di zona abu-abu syariat, di mana mereka mencoba mencampurkan kebenaran dengan kebatilan. Mereka mengambil sedikit dari Al-Qur'an, sedikit dari filsafat, sedikit dari tradisi pagan, dan mencampurnya menjadi praktik keagamaan baru. Karena mereka menyajikan ini dengan bungkus kebaikan (misalnya, kemanusiaan, persatuan, atau kearifan lokal), banyak orang awam yang tertipu dan menganggapnya sebagai bentuk ketaatan yang lebih "fleksibel" atau "mendalam."
Contohnya adalah praktik-praktik spiritual yang berlebihan (ghuluw) yang membuat pengikutnya lalai dari kewajiban dasar syariat, atau sebaliknya, praktik yang menoleransi syirik demi alasan kemajemukan. Mereka merasa telah mencapai tingkat spiritual yang tinggi (ihsan), padahal mereka telah jatuh ke dalam jurang penyimpangan aqidah.
Kata kunci dalam ayat 104 adalah سَعْيُهُمْ (sa’yuhum), yang berarti usaha, kerja keras, atau jerih payah. Ayat ini tidak berbicara tentang orang yang malas, pasif, atau yang secara terang-terangan menolak Tuhan. Justru, ayat ini menargetkan orang yang proaktif, bersemangat, dan berkorban dalam aktivitas mereka.
Mereka adalah orang-orang yang menyia-nyiakan usaha. Ini menegaskan bahwa masalahnya bukan pada kuantitas usaha, melainkan pada kualitas dan arah usaha. Usaha yang sia-sia adalah usaha yang tidak diarahkan kepada tujuan yang benar atau tidak dilakukan dengan metode yang benar. Mereka berlari kencang, tetapi menuju ke arah yang salah, sehingga semakin cepat mereka berlari, semakin jauh mereka tersesat.
Para ahli tafsir sering menghubungkan ayat ini dengan kondisi para pendeta, rahib, dan kelompok asketik dari agama-agama terdahulu yang beribadah sepanjang hidup mereka di biara atau gunung. Mereka meninggalkan dunia, menyiksa diri, dan melakukan ritual yang sangat sulit, semua demi mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam pandangan manusia, mereka adalah puncak kesalehan.
Namun, jika ibadah mereka dilakukan tanpa dasar tauhid yang benar—misalnya, jika mereka mempersekutukan Allah atau menolak kenabian—maka seluruh kesungguhan dan pengorbanan mereka menjadi dhalal (sesat dan sia-sia). Ayat ini mengajarkan bahwa kesungguhan hati adalah prasyarat, tetapi ia harus tunduk pada kebenaran objektif yang diwahyukan.
Bagaimana seorang Muslim memastikan bahwa ia tidak termasuk dalam golongan Al-Akhsarun A’malan? Proses ini memerlukan introspeksi yang ketat dan berkelanjutan:
Setiap sebelum beramal, tanyakan: "Kepada siapakah pahala ini akan saya tuntut?" Jika jawaban yang muncul adalah ‘kepada manusia’, ‘kepada popularitas’, atau ‘kepada harta dunia’, maka niat harus segera dibersihkan. Ingatlah bahwa amal yang besar bisa hancur oleh niat yang kecil, sementara amal yang kecil bisa menjadi besar karena niat yang murni.
Setiap melakukan ibadah, tanyakan: "Apakah ini pernah dilakukan oleh Rasulullah ﷺ atau sahabat-sahabat beliau?" Jika tidak ada contoh, maka berhati-hatilah. Jika ada yang mengatakan "Ini baik menurutku," segera tinggalkan. Agama sudah sempurna; tidak perlu ditambah atau dikurangi.
Jika ada ulama yang lebih berilmu atau dalil yang lebih kuat datang dan menunjukkan bahwa amal kita keliru, segera tinggalkan amal tersebut, betapapun beratnya. Sikap sombong terhadap kebenaran (menolak nasihat dan dalil yang shahih) adalah karakteristik utama dari golongan yang paling merugi. Orang yang berilmu sejati akan selalu rendah hati dan siap mengubah pandangannya ketika bukti kebenaran disajikan.
Kesimpulannya, Al-Kahfi 103 dan 104 adalah peringatan tentang bahaya terbesar yang dihadapi manusia: melakukan keburukan dengan perasaan sedang melakukan kebaikan. Ini adalah jebakan spiritual yang paling mematikan. Penyelamat kita adalah Tauhid yang murni, Ikhlas yang terjaga, dan Ittiba' yang teguh.
Semoga Allah melindungi kita dari segala bentuk kerugian amal, menjadikan usaha kita terarah kepada ridha-Nya, dan memberatkan timbangan amal kita di Hari Perhitungan.
Penting untuk memahami nuansa bahasa Arab dalam ayat ini, karena pilihan kata Allah tidak pernah kebetulan. Fokus pada tiga kata kunci utama: Al-Akhsarun, Dhalla Sa’yuhum, dan Yahsabūna Yuhsinūna Sun’ā.
Kata Akhsarun (أَخْسَرِينَ) adalah bentuk perbandingan paling tinggi (superlatif) dari kata khusr (rugi). Ini bukan sekadar rugi, tetapi kerugian yang paling mutlak. Dalam konteks ekonomi, seseorang mungkin rugi harta tetapi untung reputasi, atau rugi di satu proyek tetapi untung di proyek lain. Tetapi kerugian yang disinggung di sini adalah kerugian total, kerugian yang mencakup modal (usaha dan waktu) dan juga hasil (pahala). Ini menempatkan golongan ini di bawah orang-orang kafir yang tidak pernah beramal baik sama sekali. Orang kafir mungkin sadar mereka tidak memiliki modal spiritual. Tetapi kelompok ini, mereka yakin memiliki modal padahal kantongnya robek.
Kata Dhalla (ضَلَّ) berarti tersesat, hilang, atau melenceng. Ini menunjukkan bahwa usaha mereka, meskipun ada, telah kehilangan arah. Bayangkan seorang musafir yang berjalan kaki dengan sangat cepat dan penuh semangat. Ia berjalan 1000 kilometer, tetapi ternyata ia berjalan ke arah yang berlawanan dari tujuannya. Kelelahan dan kesungguhannya tidak menghasilkan apa-apa kecuali semakin jauh dari tempat yang dicari.
Hal ini berbeda dengan orang yang malas (kaslan) yang memang tidak berusaha. Mereka yang Dhalla Sa’yuhum adalah orang-orang yang energik, yang berpuasa, shalat malam, berdakwah, dan bersedekah, tetapi karena ada penyimpangan fundamental (syirik atau bid’ah) dalam metodologi atau niat mereka, seluruh upaya itu menjadi sesat dan tidak sampai ke hadapan Allah sebagai pahala.
Frasa ini adalah inti dari tragedi psikologis spiritual mereka. Yahsabūna (يَحْسَبُونَ) menunjukkan perkiraan, sangkaan, atau asumsi yang kuat tetapi keliru. Mereka bukan sekadar berharap, tetapi mereka yakin sepenuhnya bahwa mereka adalah yang terbaik. Kata Sun’ā (صُنْعًا) merujuk pada keahlian atau pembuatan yang dilakukan dengan sangat baik.
Ini mencerminkan superioritas moral palsu. Mereka memandang rendah orang lain yang mengikuti Sunnah karena orang lain dianggap terlalu "kaku" atau "tradisional." Mereka melihat diri mereka sebagai kaum reformis atau mistikus yang telah mencapai level pemahaman yang lebih tinggi, padahal yang mereka capai hanyalah ilusi yang dirajut oleh hawa nafsu mereka sendiri.
Meskipun ayat ini pada tafsir awalnya ditujukan kepada kaum musyrikin yang tidak beriman, para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah sepakat bahwa umat Islam pun bisa terjerumus dalam kerugian serupa jika mereka melanggar prinsip keikhlasan dan ittiba', khususnya melalui Syirik Kecil.
Riya' (pamer) adalah contoh paling umum dari Syirik Kecil yang dapat membuat amal menjadi kabaa'an manthuuraa. Ketika seseorang menunaikan shalat dengan khusyuk yang dibuat-buat di depan umum, atau bersedekah di depan kamera agar dipuji sebagai dermawan, ia telah menyekutukan Allah dengan makhluk-Nya dalam niat.
Rasulullah ﷺ bersabda bahwa hal yang paling beliau khawatirkan dari umatnya adalah syirik kecil. Ketika ditanya tentang maknanya, beliau menjawab: "Yaitu Riya'."
Orang yang riya' berlelah-lelah sepanjang hidupnya mengumpulkan amal untuk ditukar dengan pujian fana dari manusia. Ketika ia datang pada hari Kiamat, ia akan menuntut balasan dari Allah, padahal ia sudah menerima balasannya di dunia berupa pujian. Allah berfirman, "Aku adalah yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barang siapa mengerjakan suatu amalan lalu ia menyekutukan Aku dengan selain-Ku, Aku tinggalkan ia dan sekutunya." (Hadis Qudsi).
Bayangkan usaha sepanjang hidup, dari bangun pagi hingga tidur malam, ibadah, infaq, dan jihad, semuanya berubah menjadi abu karena motifnya adalah sanjungan. Ini adalah bentuk kerugian amal yang paling mendalam, karena pelakunya benar-benar menyangka ia sedang berinvestasi spiritual, padahal ia sedang menyalurkan modalnya ke bank yang salah.
Generasi Salafus Shalih (pendahulu yang shalih) sangat takut terhadap ayat Al-Kahfi 103-104. Ketakutan mereka menunjukkan bahwa bahkan dengan ketakwaan yang tinggi, potensi kerugian amal tetap mengintai.
Diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu pernah menangis ketika mendengar ayat ini dan ia bertanya kepada Nabi ﷺ, "Wahai Rasulullah, apakah ini (ditujukan) kepada kami?" Nabi ﷺ menjelaskan bahwa ayat ini mencakup seluruh orang yang menyimpang dari kebenaran, baik dari kalangan Yahudi, Nasrani, maupun orang-orang yang beramal dengan bid'ah. Hal ini menunjukkan universalitas peringatan ini, yang melintasi batas-batas kelompok.
Ketakutan Umar dan para Sahabat bukanlah karena mereka sengaja berbuat salah, tetapi karena mereka tahu betapa licinnya jalan niat (ikhlas) dan betapa mudahnya bid'ah menyelinap. Mereka berhati-hati agar tidak ada satu pun amal yang terkontaminasi oleh sesuatu yang bukan berasal dari ajaran Nabi.
Fudhail bin Iyadh, seorang tabi'in yang mulia, pernah menafsirkan firman Allah mengenai أَحْسَنُ عَمَلًا (amal yang terbaik) dalam Surah Al-Mulk, dengan mengatakan: "Amal yang terbaik adalah yang paling ikhlas dan paling benar." Kemudian ia menjelaskan:
Jika amal itu ikhlas tetapi tidak benar (bid’ah), maka ia tertolak. Jika amal itu benar (sunnah) tetapi tidak ikhlas (riya’), maka ia tertolak. Hanya ketika keduanya terpenuhi, seseorang dapat merasa aman dari ancaman menjadi Al-Akhsarun A’malan.
Pelajaran dari Al-Kahfi 103-104 adalah sebuah seruan untuk memeriksa kembali keseluruhan kerangka spiritual kita. Apakah yang kita bangun selama ini adalah rumah kokoh di atas batu Tauhid dan Sunnah, ataukah hanya istana pasir yang indah tetapi akan runtuh disapu gelombang Hari Kiamat? Keamanan abadi terletak pada kesadaran mendalam bahwa kita tidak pernah boleh merasa puas dengan amal kita, melainkan harus terus menerus mengoreksi diri dan mencari ilmu yang memandu kita menuju keridhaan-Nya.
Jalan yang selamat adalah jalan yang penuh dengan kekhawatiran yang positif: khawatir amal tidak diterima, khawatir riya' menyelinap, dan khawatir menyimpang dari Sunnah. Kekhawatiran inilah yang mendorong seorang mukmin untuk terus belajar, membersihkan hati, dan memperbaiki metode ibadahnya, sehingga usahanya tidak menjadi sa’yun dhalal (usaha yang tersesat), melainkan sa’yun masykūran (usaha yang dihargai).