AL KAHFI AYAT 56: Bantahan yang Sia-sia Terhadap Risalah Kenabian

Simbol Kitab Suci dan Petunjuk Ilustrasi abstrak yang melambangkan kitab suci yang terbuka, mewakili petunjuk dan risalah kenabian yang dibahas dalam Surah Al Kahfi. AYAT

I. Pengantar: Konteks Surah Al Kahfi dan Ayat 56

Surah Al Kahfi, surah ke-18 dalam Al-Qur’an, dikenal sebagai surah yang kaya akan hikmah dan pelajaran teologis mendalam. Surah ini sering dibaca pada hari Jumat karena memuat empat kisah utama yang sarat makna: kisah Ashabul Kahfi (pemuda gua), kisah dua pemilik kebun, kisah Nabi Musa dan Khidr, serta kisah Dzulqarnain. Keempat kisah ini menyajikan tema sentral mengenai ujian keimanan, kekayaan, ilmu, dan kekuasaan.

Ayat 56, yang terletak pada pertengahan surah, berfungsi sebagai jembatan penting yang menghubungkan narasi sejarah dengan penegasan doktrin ketuhanan dan kenabian. Ayat ini secara eksplisit membahas respons keras kepala kaum yang menolak risalah kenabian, menggarisbawahi kontras tajam antara kebenaran ilahi yang disampaikan para Nabi dan argumentasi batil yang diajukan oleh kaum kafir.

Nubuwah dan Risalah: Tujuan Pengutusan Para Nabi

Inti dari Al Kahfi ayat 56 adalah penegasan kembali misi universal para Nabi, yaitu membawa kabar gembira (basyir) dan peringatan (nadhir). Allah SWT telah mengutus para rasul secara historis untuk menegakkan hujah (bukti) atas manusia. Ayat ini secara spesifik mencela kaum yang menanggapi risalah agung ini bukan dengan penerimaan, melainkan dengan perdebatan yang dipenuhi kesia-siaan (al-jidal bi al-bāṭil).

Pesan Kunci Ayat 56: Tidaklah Kami utus para rasul, melainkan hanya sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Namun, orang-orang kafir membantah dengan (alasan) yang batil agar dengan bantahan itu mereka dapat melenyapkan kebenaran. Mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan apa yang diperingatkan kepada mereka sebagai bahan ejekan.


II. Analisis Linguistik dan Tekstual Ayat 56

وَمَا نُرْسِلُ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ ۖ وَيُجَادِلُ الَّذِينَ كَفَرُوا بِالْبَاطِلِ لِيُدْحِضُوا بِهِ الْحَقَّ ۖ وَاتَّخَذُوا آيَاتِي وَمَا أُنْذِرُوا هُزُوًا

Terjemah Lafdziyah (Kata per Kata)

Memahami struktur tata bahasa (Nahwu) dan morfologi (Shorof) dari ayat ini sangat penting untuk menangkap kedalaman maknanya:

  1. وَمَا نُرْسِلُ (wa mā nursilu): Dan tidaklah Kami utus. (Penegasan negatif yang diikuti pengecualian).
  2. الْمُرْسَلِينَ (al-mursalīna): Para Rasul (Nabi).
  3. إِلَّا (illā): Kecuali. (Pengecualian yang membatasi fungsi para rasul).
  4. مُبَشِّرِينَ (mubasysyirīna): Sebagai pembawa kabar gembira. (Keadaan/fungsi positif).
  5. وَمُنْذِرِينَ (wa mundzirīna): Dan sebagai pemberi peringatan. (Keadaan/fungsi negatif/peringatan).
  6. وَيُجَادِلُ (wa yujādilu): Dan mereka berdebat/membantah. (Kata kerja mudhari', menunjukkan tindakan berkelanjutan).
  7. الَّذِينَ كَفَرُوا (alladzīna kafarū): Orang-orang yang kafir. (Pelaku bantahan).
  8. بِالْبَاطِلِ (bi al-bāṭili): Dengan kebatilan/kebohongan. (Cara mereka membantah).
  9. لِيُدْحِضُوا (li yudḥiḍū): Agar mereka melenyapkan/mengalahkan. (Tujuan perdebatan, ditandai oleh Lam al-Ta'lil).
  10. بِهِ الْحَقَّ (bihi al-ḥaqqa): Dengannya (kebatilan) kebenaran.
  11. وَاتَّخَذُوا (wa ittakhadzū): Dan mereka menjadikan.
  12. آيَاتِي (āyātī): Ayat-ayat-Ku (Tanda-tanda kekuasaan Allah).
  13. وَمَا أُنْذِرُوا (wa mā undzirū): Dan apa yang mereka diperingatkan dengannya.
  14. هُزُوًا (huzūwan): Sebagai ejekan/olok-olok.

Fokus pada Term 'Jidāl' (Perdebatan/Bantahan)

Kata kunci dalam ayat ini adalah *yujādilu* (berdebat) yang berasal dari akar kata *jadal* (ج د ل). Jidal adalah suatu bentuk interaksi verbal yang bertujuan untuk mengalahkan lawan bicara atau membalikkan argumen. Dalam konteks Al-Qur'an, jidal bisa dibagi dua:

Allah menyatakan bahwa orang kafir tidak sekadar menolak, tetapi mereka secara aktif berjuang untuk melenyapkan kebenaran (li yudḥiḍū bihi al-ḥaqqa). Istilah idḥād (melenyapkan) memberikan gambaran upaya gigih dan agresif untuk menghapus atau menggugurkan bukti kebenaran yang telah disampaikan oleh para rasul.


III. Tafsir Para Mufassirin Klasik Mengenai Al Kahfi 56

Para ulama tafsir telah memberikan interpretasi yang sangat mendalam terhadap ayat ini, yang semuanya bersepakat bahwa ayat ini menggambarkan watak pembangkangan yang universal dalam sejarah umat manusia terhadap risalah kenabian.

1. Tafsir Ibn Katsir (W. 774 H)

Ibn Katsir menekankan bahwa tugas para rasul adalah murni penyampaian, bukan pemaksaan. Mereka diutus hanya dengan dua fungsi utama: janji pahala bagi yang beriman dan ancaman siksa bagi yang ingkar. Fungsi ganda ini memastikan bahwa setelah rasul datang, manusia tidak memiliki alasan lagi di hadapan Allah (lā ḥujjah ba'da al-rusul).

Mengenai frasa "yujādilu alladzīna kafarū bi al-bāṭil," Ibn Katsir menjelaskan bahwa perdebatan mereka seringkali didasarkan pada kekeliruan, keraguan yang diada-adakan, atau tuntutan mukjizat yang tidak relevan, yang semua itu tidak didasarkan pada bukti rasional atau spiritual yang sehat. Tujuannya hanya satu: untuk memadamkan cahaya kebenaran (al-Haqq), suatu upaya yang pasti gagal.

2. Tafsir Al-Thabari (W. 310 H)

Imam Al-Thabari memberikan perhatian khusus pada makna "wa mā undzirū huzūwan" (dan apa yang mereka diperingatkan dengannya sebagai ejekan). Al-Thabari menjelaskan bahwa orang-orang kafir tidak hanya menolak ajaran Nabi, tetapi juga mengolok-olok konsekuensi dari penolakan tersebut, yaitu Hari Kiamat, Kebangkitan, dan Neraka.

Mengolok-olok peringatan (indzar) adalah puncak dari kekafiran, karena itu menunjukkan bahwa mereka tidak hanya menolak perintah, tetapi juga meremehkan Kekuatan Ilahi yang mengeluarkan peringatan tersebut. Bagi Al-Thabari, ini adalah gambaran kesombongan intelektual dan spiritual yang menghalangi petunjuk masuk ke dalam hati.

4. Tafsir Al-Qurtubi (W. 671 H)

Al-Qurtubi dalam tafsirnya, Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an, menyoroti aspek 'Ayat-ayat Allah' yang dijadikan ejekan. Ayat-ayat yang dimaksud bukan hanya Al-Qur’an (wahyu), tetapi juga tanda-tanda kosmis (ayat-ayat kauniyah) yang menunjukkan kekuasaan Pencipta. Orang kafir gagal menghubungkan tanda-tanda alam semesta dengan kebenaran yang disampaikan oleh Nabi.

Al-Qurtubi juga menambahkan bahwa upaya melenyapkan kebenaran (li yudḥiḍū bihi al-ḥaqqa) sering kali dilakukan dengan menciptakan keraguan (syubhat) atau menuduh para rasul sebagai penyihir atau pendusta, suatu metode yang diulang-ulang dalam sejarah untuk menghindari kewajiban moral dan keimanan yang dibawa oleh risalah.


IV. Anatomi Perdebatan Batil (Jidal al-Batil) dalam Sejarah

Ayat 56 adalah deskripsi abadi tentang bagaimana penolakan terhadap kebenaran bekerja, terlepas dari era atau peradaban. Pola perdebatan batil yang disebutkan dalam ayat ini memiliki beberapa ciri khas:

1. Penolakan Otoritas (Masalah Kenabian)

Jidal mereka seringkali dimulai dengan penolakan terhadap otoritas spiritual dan kemanusiaan para rasul. Mereka berargumen: "Mengapa rasul harus dari kalangan manusia biasa yang makan dan berjalan di pasar?" Ini adalah inti dari bantahan batil: menuntut bukti yang tidak relevan (seperti malaikat sebagai rasul) sambil mengabaikan bukti logis dan mukjizat yang ada.

Argumentasi yang Tidak Konsisten

Bantahan batil dicirikan oleh inkonsistensi. Ketika Nabi Muhammad SAW menyajikan bukti rasional, mereka menuntut mukjizat fisik. Ketika mukjizat diberikan, mereka menuduh sihir. Tujuannya bukan untuk mencapai pemahaman, tetapi untuk mempertahankan status quo spiritual yang nyaman bagi mereka, bebas dari tanggung jawab ilahi.

2. Pembalikan Bukti (Menggunakan Kebatilan untuk Menghapus Kebenaran)

Frasa "li yudḥiḍū bihi al-ḥaqqa" (agar mereka melenyapkan kebenaran dengannya) menunjukkan upaya membalikkan hierarki nilai. Mereka mengangkat argumen yang jelas-jelas palsu, seperti penyembahan berhala yang diwariskan leluhur, atau keraguan yang diciptakan, dan mencoba menggunakannya sebagai palu untuk menghancurkan pilar Tauhid yang kokoh.

Hal ini dapat diterjemahkan dalam konteks modern sebagai penggunaan retorika skeptisisme berlebihan, relativisme moral, atau teori konspirasi yang kompleks hanya untuk menolak premis dasar tentang eksistensi Tuhan dan tujuan hidup yang dibawa oleh risalah agama.

3. Ejekan dan Penghinaan (Huzūwan)

Ketika semua argumen logis gagal, bantahan batil sering berakhir dengan ejekan (huzūwan). Ini adalah mekanisme pertahanan psikologis. Karena mereka tidak mampu membantah substansi peringatan (Neraka, Hari Kiamat, Hisab), mereka mereduksi bobot peringatan itu menjadi lelucon atau mitos kuno. Ini adalah tindakan merendahkan risalah agung demi menghindari rasa takut atau malu.


V. Dimensi Teologis: Keseimbangan Basyir dan Nadhir

Ayat 56 secara fundamental mendefinisikan peran kenabian: mubasysyirīn (pembawa kabar gembira) dan mundzirīn (pemberi peringatan). Kedua fungsi ini tidak dapat dipisahkan; keduanya mencerminkan rahmat (kasih sayang) dan keadilan Allah SWT.

1. Mubasysyirīn (Kabar Gembira)

Ini adalah aspek yang menarik jiwa manusia ke arah kebaikan, menjanjikan Jannat (Surga), kedamaian batin, dan hubungan erat dengan Pencipta bagi mereka yang taat. Kabar gembira ini memotivasi amal saleh dan memberikan harapan di tengah kesulitan dunia.

2. Mundzirīn (Peringatan)

Fungsi peringatan adalah untuk membangun rasa takut yang sehat (khawf) terhadap konsekuensi dosa dan kekafiran. Peringatan memastikan bahwa manusia tidak hidup dalam kelalaian (ghaflah), menyadari bahwa tindakan mereka memiliki bobot abadi.

Keengganan Menerima Peringatan

Jidal al-Batil (perdebatan batil) terutama ditujukan untuk meniadakan fungsi mundzirīn. Orang-orang kafir yang disebut dalam ayat ini paling enggan menerima peringatan karena peringatan itu menuntut perubahan gaya hidup, pengekangan hawa nafsu, dan pengakuan akan adanya otoritas di atas diri mereka. Dengan menolak peringatan dan menjadikannya ejekan, mereka berusaha membatalkan tanggung jawab moral universal.


VI. Analisis Lanjutan: Kedalaman Linguistik Struktur Kalimat

Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, perlu dilakukan kajian terhadap aspek Nahwu (Sintaksis) dan Balaghah (Retorika) dari ayat 56, yang menyajikan struktur kalimat yang sangat kuat dan persuasif.

A. Struktur Qasr (Pembatasan/Pengecualian)

Ayat dimulai dengan konstruksi Qasr (pembatasan) melalui penggunaan 'Mā' (negasi) yang diikuti oleh 'Illā' (pengecualian): "Wa mā nursilu al-mursalīna illā mubasysyirīna wa mundzirīna."

Pembatasan ini memberikan penekanan mutlak: tidak ada tujuan lain yang lebih tinggi atau tersembunyi dari pengutusan para rasul. Mereka diutus BUKAN untuk mencari kekayaan, BUKAN untuk mendominasi politik, dan BUKAN untuk tujuan pribadi, melainkan murni untuk menyampaikan kabar gembira dan peringatan. Pembatasan ini sekaligus menangkis tuduhan kaum kafir bahwa Nabi memiliki motif tersembunyi.

B. Balaghah: Penggunaan Kalimat Nomina (Ismiyah) dan Verba (Fi’liyah)

Dalam ayat ini, fungsi rasul dijelaskan menggunakan kata benda keadaan (isim hal) - *mubasysyirīn* dan *mundzirīn* - yang bersifat stabil dan permanen. Ini menunjukkan bahwa peran ini adalah identitas dan substansi mereka.

Sebaliknya, tindakan orang kafir dijelaskan menggunakan kata kerja *yujādilu* (mudhari'), yang menunjukkan tindakan yang berulang, berkelanjutan, dan penuh perjuangan. Ini secara retoris menggarisbawahi bahwa perdebatan batil adalah aktivitas yang sia-sia, sementara risalah kenabian adalah kebenaran yang statis dan permanen.

C. Tafriq (Pemisahan) Antara Ayatullah dan Indzar

Ayat ini memisahkan dua hal yang dijadikan ejekan oleh kaum kafir: "āyātī" (ayat-ayat-Ku, tanda-tanda) dan "mā undzirū" (apa yang diperingatkan). Para ulama Balaghah melihat pemisahan ini sebagai penekanan ganda:

  1. Ejekan terhadap Ayatullah: Menolak bukti keesaan dan kekuasaan Allah (seperti mukjizat atau penciptaan alam).
  2. Ejekan terhadap Indzar: Menolak konsekuensi dari penolakan tersebut (ancaman siksa dan Hari Akhir).

Kaum kafir menertawakan baik premis (bukti kebenaran) maupun kesimpulan (konsekuensi ketaatan/kekafiran), menunjukkan penolakan total pada setiap level risalah.


VII. Konsekuensi Spiritual dan Hukum Ilahi

Ayat 56 tidak hanya mendeskripsikan perilaku kaum kafir, tetapi juga menyiratkan konsekuensi logis dan spiritual dari tindakan tersebut. Siapa pun yang menolak kebenaran setelah hujah ditegakkan, dan bahkan berusaha melenyapkan kebenaran itu dengan kebatilan, berada dalam bahaya besar.

1. Penghapusan Hidayah (Istidrāj)

Ketika seseorang secara sadar dan gigih berusaha melenyapkan kebenaran (li yudḥiḍū bihi al-ḥaqqa), hal ini dapat memicu fenomena Istidrāj (penarikan secara bertahap) dari Allah. Mereka dibiarkan larut dalam bantahan batil mereka, sehingga mereka semakin jauh dari hidayah, bukan karena Allah tidak adil, tetapi karena mereka sendiri yang menutup pintu hati mereka.

2. Pertanggungjawaban Abadi

Karena para rasul telah melaksanakan tugas basyir dan nadhir secara sempurna, tidak ada lagi alasan bagi manusia di Hari Kiamat. Ayat 56 menegaskan bahwa pengutusan rasul adalah bukti paling nyata dari keadilan Allah. Penolakan mereka adalah tindakan yang sepenuhnya disengaja, menjadikan mereka bertanggung jawab penuh atas azab yang akan menimpa mereka.

Refleksi Mendalam: Bantahan dengan kebatilan tidak akan pernah dapat melenyapkan Kebenaran (Al-Haqq). Kebatilan itu seperti buih di atas air yang akan segera menghilang, sementara kebenaran adalah sungai yang mengalir abadi. Upaya kaum kafir hanya melenyapkan potensi keimanan dalam diri mereka sendiri, bukan kebenaran itu sendiri.


VIII. Elaborasi Komparatif dalam Surah Al Kahfi

Ayat 56 memiliki korelasi yang kuat dengan narasi-narasi lain dalam Surah Al Kahfi, menegaskan tema sentral surah ini mengenai keterbatasan pengetahuan manusia dan pentingnya menerima takdir dan hikmah ilahi.

1. Ayat 56 dan Kisah Khidr-Musa

Kisah Nabi Musa dan Khidr adalah studi kasus tentang keterbatasan pengetahuan. Musa, seorang rasul agung, harus menerima bahwa ada dimensi kebenaran yang melampaui pemahaman rasionalnya saat itu. Perdebatan (jidal) kaum kafir dalam ayat 56 adalah kebalikan dari sikap Musa: kaum kafir menolak kebenaran yang jelas, sementara Musa bersabar terhadap kebenaran yang tersembunyi.

2. Ayat 56 dan Kisah Dzulqarnain

Dzulqarnain adalah figur kekuasaan yang tunduk pada hukum Allah. Kekuasaannya digunakan untuk menegakkan keadilan dan membangun tembok pelindung. Kafir dalam ayat 56, sebaliknya, menggunakan potensi mereka (misalnya, kekuatan retorika atau pengaruh sosial) untuk membangun tembok keraguan yang justru melindungi mereka dari kebenaran. Ini adalah kontras antara kekuatan yang digunakan untuk menegakkan Al-Haqq dan kekuatan yang digunakan untuk menyokong Al-Batil.

3. Ayat 56 dan Kisah Dua Kebun

Kisah dua pemilik kebun mengajarkan tentang kesombongan (ghurūr) yang datang dari kekayaan dan penolakan terhadap Hari Akhir. Sikap ini—penolakan terhadap Hari Kiamat—adalah bentuk ejekan terhadap apa yang diperingatkan (huzūwan mā undzirū) yang disebutkan dalam Ayat 56. Pemilik kebun yang sombong meremehkan peringatan tentang hilangnya nikmat, sama seperti kaum kafir meremehkan ancaman siksa.


IX. Relevansi Kontemporer Al Kahfi 56

Meskipun ayat ini diturunkan pada konteks Mekkah untuk menanggapi kaum Quraisy, maknanya tetap abadi. Perdebatan batil (jidal al-batil) hari ini hadir dalam bentuk yang lebih modern, namun esensinya tetap sama: upaya untuk melenyapkan kebenaran ilahi.

1. Jidal al-Batil di Era Digital

Di era informasi saat ini, *jidal al-batil* sering termanifestasi sebagai:

2. Tantangan bagi Pembawa Risalah Modern

Bagi para da’i dan umat Islam, ayat 56 menjadi panduan. Tugas mereka adalah tetap fokus pada fungsi mubasysyirīn dan mundzirīn—menyampaikan kabar gembira dan peringatan dengan jelas. Tidak perlu terlibat dalam perdebatan batil yang tidak berujung. Ayat ini mengajarkan bahwa jika bantahan lawan sudah jelas-jelas didasarkan pada kebatilan, tujuannya hanya untuk melenyapkan kebenaran, dan keterlibatan lebih lanjut hanya akan membuang waktu dan energi, seperti yang ditunjukkan oleh kaum kafir yang telah menjadikan ayat-ayat sebagai ejekan.


X. Kedalaman Filosofis Penolakan Terhadap Indzar (Peringatan)

Penolakan terhadap peringatan, yang berujung pada ejekan (huzūwan), adalah tindakan yang berasal dari penyakit spiritual. Dalam kajian filosofis Islam, penolakan ini berakar pada tiga hal:

1. Kebanggaan (Kibr)

Kibr adalah akar dari semua dosa. Seseorang yang sombong menolak peringatan karena merasa dirinya tidak membutuhkan hidayah, atau merasa lebih unggul dari pemberi peringatan (Nabi). Kesombongan ini mencegah pengakuan terhadap kebenaran, bahkan ketika bukti (Ayatullah) telah disajikan dengan jelas.

2. Hawa Nafsu (Syahwat)

Peringatan ilahi (Indzar) seringkali melibatkan pengekangan hawa nafsu dan disiplin diri. Kaum yang menolak kebenaran khawatir bahwa dengan menerima risalah, mereka harus meninggalkan kesenangan duniawi yang tidak halal. Mereka lebih memilih perdebatan batil yang membenarkan keinginan mereka, daripada kebenaran yang menuntut pengorbanan.

3. Ketakutan akan Perubahan

Kebenaran menuntut perubahan radikal dalam cara pandang dan gaya hidup. Perdebatan batil adalah upaya untuk menunda atau menghindari perubahan ini. Mereka membantah untuk mempertahankan zona kenyamanan spiritual dan sosial mereka, meskipun mereka tahu di lubuk hati terdalam bahwa argumen mereka lemah.


XI. Struktur Gramatikal Detail: Nahwu dan Shorof Ayat 56

Untuk memastikan pemahaman yang menyeluruh sesuai dengan tuntutan ilmu tafsir yang mendalam, kita harus menelaah setiap detail gramatikal yang membentuk kekuatan retoris ayat ini.

A. Analisis Struktur Verbal: نُرْسِلُ dan يُجَادِلُ

1. الفعل المضارع (Kata Kerja Masa Kini/Akan Datang) نُرْسِلُ (Nursilu)

Ini adalah *fi'l mudhari'* yang menunjukkan tindakan berkelanjutan atau kebiasaan. Penggunaan *Nursilu* (bentuk aktif, Kami utus) menunjukkan bahwa pengutusan para rasul adalah tindakan langsung yang dilakukan oleh Allah (di sini menggunakan kata ganti orang pertama jamak untuk keagungan – *Nahnu*).

Struktur وَمَا نُرْسِلُ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا berfungsi sebagai predikat untuk subjek yang implisit (Allah), memberikan penekanan bahwa ini adalah hukum ilahi yang konsisten sepanjang sejarah kenabian.

2. الفعل المضارع يُجَادِلُ (Yujādilu)

Kata kerja ini berasal dari *bab mufā'alah* (pola III), yang menyiratkan tindakan timbal balik atau upaya keras. Ini bukan sekadar 'berbicara' tetapi 'berjuang dalam perdebatan'. Penggunaannya dalam bentuk mudhari' (sekarang/masa depan) menunjukkan bahwa perdebatan batil ini adalah fenomena yang terus berlanjut, bukan hanya insiden historis.

Kata kerja ini diikuti oleh *al-bāṭil* (dengan batil) sebagai alat perdebatan, dan tujuan (Lam al-Ta'lil) *līudḥiḍū* (agar mereka melenyapkan), yang mengikat erat sifat perdebatan dengan niat destruktif.

B. Fungsi Lam al-Ta’līl (Lam yang Menyatakan Sebab)

Partikel لِـ pada لِيُدْحِضُوا sangat krusial. Lam ini berfungsi untuk menjelaskan tujuan atau niat di balik tindakan *yujādilu*. Ini mengungkapkan niat batin kaum kafir:

  1. Tindakan Lahiriah: Mereka berdebat.
  2. Niat Batiniah (Tujuan): Mereka melakukan itu *agar* kebenaran dapat dilenyapkan.

Hal ini menyingkap hipokrisi. Perdebatan mereka bukan didorong oleh pencarian kebenaran, melainkan didorong oleh keinginan untuk menyingkirkannya. Ini adalah penetapan niat jahat (sū' al-qasd) oleh Al-Qur'an.

C. Morfologi Kata هُزُوًا (Huzūwan)

Kata Huzūwan (ejekan) adalah *mashdar* (verbal noun) yang berfungsi sebagai *maf'ūl bih thānī* (objek kedua) bagi kata kerja *ittakhadzū* (mereka menjadikan). Struktur ini menunjukkan bahwa ejekan adalah sifat yang mereka tetapkan pada ayat-ayat dan peringatan. Ini bukan sekadar tindakan sesekali, melainkan status permanen yang mereka berikan pada risalah ilahi, suatu bentuk penghinaan yang mendalam.


XII. Penolakan Nubuwah: Studi Kasus dalam Sejarah

Ayat 56 merangkum esensi perlawanan yang dialami oleh setiap Nabi. Untuk memahami kekuatan ayat ini, kita perlu melihat contoh historis bagaimana perdebatan batil digunakan untuk menolak para rasul:

1. Penolakan terhadap Nabi Nuh AS

Kaum Nuh menolak ajarannya dengan argumen batil yang bersifat kelas sosial. Mereka berkata, "Apakah kami harus beriman kepadamu, padahal yang mengikutimu hanyalah orang-orang yang rendah?" (QS. Asy-Syu'ara: 111). Bantahan batil di sini adalah penggunaan status sosial sebagai kriteria untuk menilai kebenaran risalah, bukan isi risalah itu sendiri.

2. Penolakan terhadap Nabi Ibrahim AS

Namrud bin Kan'an membantah Ibrahim mengenai hakikat Tuhan dengan argumen batil yang dangkal: "Tuhanku adalah yang menghidupkan dan mematikan." Namrud membalas dengan, "Aku juga menghidupkan dan mematikan" (yakni, dengan memberi ampunan atau hukuman mati). Bantahan ini adalah contoh klasik jidal bi al-bāṭil, di mana definisi dan konteks disimpangkan untuk menciptakan ilusi kekuatan yang setara dengan Tuhan.

3. Penolakan terhadap Nabi Muhammad SAW di Mekkah

Kaum Quraisy menggunakan berbagai bentuk jidal batil: menuduh Nabi sebagai penyihir, penyair gila, atau orang yang diajar oleh orang asing. Mereka menjadikan peringatan tentang Kiamat (Ayatullah) sebagai ejekan, menuntut agar Kiamat disegerakan jika Nabi benar. Semua ini adalah upaya untuk *li yudḥiḍū bihi al-ḥaqqa*.

Kisah-kisah ini menegaskan bahwa metode penolakan yang disebutkan dalam Al Kahfi 56 adalah pola historis yang berulang, membuktikan bahwa penolakan terhadap kebenaran bukanlah karena kurangnya bukti, melainkan karena keengganan spiritual dan kesombongan.


XIII. Hikmah Pengulangan dan Penegasan Ilahi

Dalam konteks Al-Qur'an, pengulangan tema dan penegasan doktrin memiliki fungsi pedagogis dan psikologis. Ayat 56 adalah pengulangan yang penting dari tema yang sama yang telah muncul di surah-surah lain (seperti Al-An’am, Yunus, dan Al-Isra').

A. Fungsi Pedagogis

Pengulangan berfungsi untuk mengajarkan umat Islam agar waspada terhadap pola perlawanan yang sama. Muslim diingatkan bahwa upaya untuk melenyapkan kebenaran akan selalu ada, dan kebatilan seringkali tampil dengan bungkus intelektual yang menarik. Dengan mengetahui pola ini, mukmin dapat mengidentifikasi jidal al-batil dan tidak terjebak di dalamnya.

B. Fungsi Penguatan Iman

Ayat ini memberikan kekuatan moral bagi kaum mukmin yang minoritas di awal Islam. Ia meyakinkan mereka bahwa perdebatan dan ejekan yang mereka hadapi bukanlah hal baru; itu adalah takdir yang harus diterima oleh setiap pembawa risalah. Hal ini memposisikan penderitaan mereka dalam jalur historis bersama para Nabi, menegaskan bahwa mereka berada di pihak Kebenaran.


XIV. Mengapa Kebatilan Selalu Gagal Melenyapkan Kebenaran?

Walaupun kaum kafir berusaha keras untuk *melenyapkan* kebenaran (li yudḥiḍū bihi al-ḥaqqa), Al-Qur'an dan sejarah menegaskan bahwa mereka tidak pernah berhasil. Kekuatan Al-Haqq (Kebenaran) dijamin oleh Allah, sementara Al-Batil (Kebatilan) bersifat fana.

1. Sumber Kebenaran yang Abadi

Kebenaran yang dibawa oleh para rasul (Ayatullah) bersumber dari Dzat yang Abadi, yaitu Allah SWT. Oleh karena itu, ia bersifat kekal, universal, dan tak lekang oleh waktu. Sementara itu, kebatilan bersumber dari keraguan, hawa nafsu, dan asumsi manusia yang terbatas dan berubah-ubah.

2. Fitrah Manusia

Kebenaran selaras dengan fitrah (naluri murni) manusia. Meskipun dapat disembunyikan sementara oleh hawa nafsu, fitrah akan selalu merindukan tauhid dan petunjuk. Bantahan batil bekerja melawan naluri ini, sehingga tidak memiliki daya tahan jangka panjang. Kebatilan hanya bisa bertahan selama seseorang mengabaikan bisikan fitrahnya.

3. Janji Ilahi

Allah SWT telah berjanji dalam banyak ayat (misalnya QS. Al-Isra': 81) bahwa kebatilan pasti akan sirna ketika kebenaran datang. Upaya melenyapkan kebenaran yang dilakukan oleh kaum kafir dalam Al Kahfi 56 adalah upaya yang sejak awal ditakdirkan untuk gagal, meskipun mereka mengerahkan segala daya upaya dan retorika yang paling canggih.


XV. Implementasi Personal Ayat 56

Bagi seorang mukmin, Ayat 56 bukan hanya tentang sejarah kaum kafir, tetapi juga tentang introspeksi diri mengenai cara kita menerima petunjuk dan menghadapi keraguan.

1. Menghindari Jidal al-Batil dalam Diri Sendiri

Kadang-kadang, perdebatan batil terjadi di dalam diri kita sendiri. Ketika hati kita merasakan kebenaran suatu perintah agama, tetapi pikiran kita mulai mencari celah, pembenaran yang lemah, atau argumen-argumen yang berasal dari hawa nafsu untuk menolak perintah tersebut. Inilah bentuk internal dari jidal bi al-bāṭil. Mukmin sejati harus waspada agar tidak melenyapkan kebenaran yang Allah masukkan ke dalam hatinya sendiri.

2. Menghargai Basyir dan Nadhir

Kita harus senantiasa menghargai kedua fungsi kenabian tersebut. Menerima kabar gembira (basyir) tanpa melupakan peringatan (nadhir) akan menciptakan keseimbangan antara harap (rajā') dan takut (khawf), yang merupakan landasan keimanan yang sejati.

3. Membela Kebenaran dengan Hikmah

Ayat ini mengajarkan bahwa respons terhadap bantahan batil harus proporsional. Rasul tidak diperintahkan untuk membalas ejekan dengan ejekan, melainkan untuk terus menyampaikan risalah. Tugas mukmin adalah menyampaikan kebenaran dengan cara yang terbaik (QS. An-Nahl: 125), dan meninggalkan perdebatan yang sia-sia ketika jelas bahwa niat lawan hanyalah *idḥād al-ḥaqq*.

Ayat 56 dari Surah Al Kahfi adalah pengingat yang kuat tentang sifat abadi risalah ilahi, kegigihan para penentangnya, dan kepastian bahwa segala upaya untuk melenyapkan kebenaran dengan kebatilan akan berakhir sia-sia, dan hanya menyisakan kerugian bagi para pelakunya di Hari Pembalasan.

***

XVI. Mendalami Makna 'Ayat-AyatKu' dan Ejekan Terhadapnya

Frasa وَاتَّخَذُوا آيَاتِي هُزُوًا (Dan mereka menjadikan ayat-ayat-Ku sebagai ejekan) memerlukan elaborasi lebih lanjut mengenai cakupan 'Ayat-AyatKu' (Ayatullah) dalam konteks ini. Istilah 'Ayat' dalam Al-Qur'an memiliki dimensi ganda yang saling melengkapi.

A. Ayat-Ayat Tanziliyah (Wahyu)

Ini merujuk pada ayat-ayat Al-Qur'an yang diturunkan, yang mencakup hukum, kisah, doktrin, dan janji/ancaman. Ejekan terhadap jenis ayat ini bisa berupa:

  1. Penolakan Kandungan: Menyebut cerita-cerita Al-Qur'an sebagai mitos kuno (asāṭīr al-awwalīn).
  2. Memutarbalikan Tafsir: Menggunakan ayat untuk membenarkan tindakan yang melanggar syariat, atau menafsirkannya secara serampangan untuk menghindari tanggung jawab.
  3. Menghina Pembawa Wahyu: Mencela Nabi Muhammad SAW sebagai cara tidak langsung untuk merendahkan sumber wahyu.

B. Ayat-Ayat Kauniyah (Kosmik/Alam Semesta)

Ayat ini juga mencakup tanda-tanda kebesaran Allah di alam semesta—penciptaan langit, bumi, siklus hidup dan mati, dan mukjizat yang terjadi melalui tangan para Nabi. Ejekan terhadap Ayat Kauniyah adalah kegagalan total untuk melihat tanda-tanda ilahi di sekitar mereka.

Contohnya, ketika Nabi menunjuk kepada bulan yang terbelah (mukjizat), mereka menyebutnya sihir sesaat, bukan bukti kenabian. Ketika mereka diperingatkan tentang siklus kematian dan kebangkitan (tanda kauniyah), mereka menertawakannya, berkata, "Ketika kami telah menjadi tulang dan debu, apakah kami akan dibangkitkan kembali?" Ejekan ini menutup pintu refleksi dan ilmu pengetahuan sejati.

Kedua bentuk ejekan ini, sebagaimana ditekankan dalam Ayat 56, adalah manifestasi dari kebutaan hati yang disengaja. Mereka melihat tanda (baik dari wahyu maupun alam), tetapi mereka memilih untuk menafsirkannya secara meremehkan, agar upaya mereka melenyapkan kebenaran tetap terlihat logis bagi diri mereka sendiri.

XVII. Metode Liyudḥiḍū: Mengapa Batil Digunakan?

Mengapa kaum kafir secara spesifik memilih *al-bāṭil* (kebatilan) untuk membantah, padahal mereka memiliki potensi intelektual? Para ulama etika dan logika (mantik) menjelaskan bahwa Kebatilan dipilih karena beberapa alasan strategis dalam perdebatan:

1. Daya Tarik Retorika (Fashāhah al-Bāṭil)

Kebatilan seringkali dapat dirangkai dengan bahasa yang sangat indah dan retorika yang memukau (fashāhah). Kebenaran (Al-Haqq) seringkali polos, lugas, dan menuntut kepatuhan. Sebaliknya, kebatilan bisa dibungkus dengan argumen filosofis yang rumit, menjadikannya menarik bagi orang-orang yang hanya tertarik pada kesenangan intelektual dan bukan pada tanggung jawab moral.

2. Kemudahan Adaptasi

Kebatilan mudah beradaptasi dengan tren zaman. Ia tidak terikat pada prinsip moral atau teologis yang stabil. Setiap kali argumen batil yang lama terbantahkan, mereka dengan cepat menciptakan *syubhat* (keraguan) baru untuk melanjutkan jidal, menjaga agar kebenaran tetap terkesan kuno atau tidak relevan.

3. Pembenaran Diri

Kebatilan memberikan pembenaran psikologis bagi dosa. Jika kebenaran diterima, maka gaya hidup yang melanggar harus ditinggalkan. Kebatilan menawarkan solusi yang lebih mudah: tidak perlu mengubah perilaku, cukup bantah kebenaran itu sendiri. Inilah alasan mendasar mengapa upaya melenyapkan kebenaran dengan kebatilan menjadi pilihan utama bagi mereka yang menolak Risalah.

XVIII. Keterkaitan Ayat 56 dengan Ayat Sebelumnya: Peringatan Kemanusiaan

Ayat 56 datang setelah serangkaian peringatan keras dalam Al Kahfi (Ayat 54-55) yang berbicara tentang watak manusia yang suka membantah:

وَلَقَدْ صَرَّفْنَا فِي هَٰذَا الْقُرْآنِ لِلنَّاسِ مِنْ كُلِّ مَثَلٍ ۚ وَكَانَ الْإِنْسَانُ أَكْثَرَ شَيْءٍ جَدَلًا

Ayat 54 (terjemah ringkas): "Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam Al-Qur'an ini bermacam-macam perumpamaan. Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah."

Ayat 56 berfungsi sebagai ilustrasi konkret dari Ayat 54. Ayat 54 menetapkan sifat umum manusia (sangat suka membantah/berdebat), sedangkan Ayat 56 menunjukkan *kualitas* perdebatan tersebut ketika dilakukan oleh kaum kafir: yaitu, perdebatan yang dilakukan *bi al-bāṭil* (dengan kebatilan) yang ditujukan untuk *liyudḥiḍū bihi al-ḥaqqa* (melenyapkan kebenaran).

Keterkaitan ini memperingatkan bahwa sifat dasar manusia yang suka berdebat menjadi berbahaya ketika diarahkan melawan kebenaran ilahi dan menggunakan alat kebohongan. Allah telah memberikan segala jenis perumpamaan dan bukti, namun sifat membantah yang ada pada manusia justru diaktifkan untuk tujuan yang destruktif.

XIX. Perluasan Studi Kasus Kontemporer: Sifat Bantahan di Abad Ini

Untuk memahami kedalaman penerapan Ayat 56 di masa kini, kita harus menganalisis bagaimana bantahan batil (jidal al-batil) mengenai nubuwah dan ayat-ayat Allah dimodernisasi.

1. Penolakan Etika Kenabian

Saat ini, ejekan (huzūwan) sering diarahkan pada sistem etika dan hukum yang dibawa oleh Nabi. Contohnya, mengolok-olok konsep halal-haram, atau meremehkan tuntunan akhlak dengan klaim kebebasan mutlak dan individualisme. Kebatilan di sini adalah ide bahwa etika adalah relatif dan subjektif, digunakan untuk melenyapkan kebenaran bahwa ada standar moral ilahi yang objektif.

2. Kritik Sejarah (Historical Skepticism)

Bentuk jidal al-batil yang populer adalah upaya untuk menggali dan membesar-besarkan keraguan (syubhat) historis mengenai otentisitas wahyu atau kredibilitas perawi hadis. Tujuannya bukan untuk memahami konteks sejarah, melainkan untuk menciptakan keraguan total yang pada akhirnya *melenyapkan* dasar otoritas risalah kenabian itu sendiri.

3. Tuntutan Bukti 'Ilmiah' yang Absolut

Perdebatan batil sering menuntut agar ajaran agama (yang bersifat transenden) dibuktikan sepenuhnya melalui metode ilmiah empiris (yang bersifat terbatas dan immanen). Ketika agama tidak dapat direduksi menjadi persamaan matematika, mereka menjadikannya ejekan, melupakan bahwa Nabi datang dengan bukti yang melampaui kemampuan observasi manusia, seperti mukjizat dan petunjuk spiritual.

***

Dengan demikian, Surah Al Kahfi ayat 56 adalah salah satu ayat terpenting yang menjelaskan dinamika abadi antara Kebenaran dan Kebatilan. Ia menegaskan tugas suci para Rasul dan menggambarkan secara rinci taktik perlawanan yang sia-sia dari mereka yang memilih kekafiran dan ejekan. Intisari ayat ini adalah penegasan kedaulatan Allah, kekekalan risalah-Nya, dan kepastian hukuman bagi mereka yang berupaya melenyapkan petunjuk ilahi dengan kebohongan yang mereka ciptakan sendiri.

Kajian mendalam ini menunjukkan bahwa Al-Qur'an telah memberikan deskripsi yang presisi mengenai watak penolakan, yang relevan pada masa lalu, masa kini, dan masa depan. Ayat ini menjadi tameng bagi mukmin agar selalu berpegang teguh pada Al-Haqq dan menjauhi godaan perdebatan yang hanya bertujuan untuk merusak dan melenyapkan kebenaran yang telah terang benderang.

Umat Islam diperintahkan untuk menjadikan ayat ini sebagai cermin, memeriksa apakah dalam interaksi atau introspeksi diri, mereka tanpa sadar terlibat dalam pola *jidal bi al-bāṭil* atau apakah mereka tetap kokoh dalam menerima risalah Nabi sebagai kabar gembira dan peringatan yang harus dihargai, bukan diejek.

🏠 Homepage