Ilustrasi visual tentang orang yang menolak petunjuk sehingga hati mereka ditutupi oleh penghalang.
Surah Al-Kahfi (Gua) adalah surah ke-18 dalam Al-Qur'an yang mengandung pelajaran fundamental tentang godaan duniawi, kekuasaan, ilmu pengetahuan, dan pentingnya kesabaran. Di antara kisah-kisah luar biasa yang disajikan—mulai dari Ashabul Kahfi, dua pemilik kebun, Nabi Musa dan Khidir, hingga Dzulqarnain—terselip ayat-ayat peringatan keras yang berfungsi sebagai penekanan terhadap inti ajaran. Salah satu ayat yang paling tajam dalam memberikan peringatan mengenai konsekuensi penolakan kebenaran adalah ayat ke-57.
"Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya lalu dia berpaling daripadanya dan melupakan apa yang telah dikerjakan oleh kedua tangannya? Sungguh, Kami telah menjadikan pada hati mereka penutup, sehingga mereka tidak mengerti (Al-Qur'an), dan pada telinga mereka ada penyumbat. Sekalipun engkau (Muhammad) menyeru mereka kepada petunjuk, niscaya mereka tidak akan mendapat petunjuk sama sekali untuk selama-lamanya." (QS. Al-Kahfi: 57)
Ayat ini bukan sekadar pertanyaan retoris biasa; ia adalah deklarasi definitif mengenai tingkat kezaliman tertinggi. Kezaliman ini tidak terletak pada ketidaktahuan, melainkan pada penolakan yang disengaja setelah ilmu dan peringatan telah sampai. Ayat 57 berfungsi sebagai jembatan antara kisah-kisah sebelumnya (yang semuanya berisi peringatan dan pelajaran) dengan konsekuensi akhir bagi mereka yang menolak untuk merenungkan dan mengambil pelajaran tersebut.
Untuk memahami kedalaman ayat ini, kita perlu membedah beberapa kata kunci yang digunakan Al-Qur'an:
Pertanyaan "Siapakah yang lebih zalim?" menunjukkan bahwa tindakan yang dijelaskan setelahnya merupakan puncak kezaliman. Dalam konteks Islam, kezaliman (*dzulm*) adalah menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Kezaliman terbagi menjadi tiga tingkatan:
Ayat ini menunjuk pada jenis kezaliman ketiga. Orang yang telah menerima peringatan dari Tuhannya—melalui ayat-ayat yang jelas, baik yang tertulis (Al-Qur'an) maupun yang terbentang di alam semesta—namun memilih untuk berpaling, telah melakukan kezaliman terhadap Penciptanya, dirinya sendiri, dan kebenaran itu sendiri. Ini adalah tindakan yang lebih parah daripada kezaliman yang dilakukan dalam keadaan jahil (tidak tahu). Kezaliman di sini adalah kezaliman epistemologis, yaitu kezaliman dalam menggunakan akal dan hati untuk memproses informasi ilahi.
Kata *a'raddha* berarti berpaling, memalingkan muka, atau mengabaikan. Ini menunjukkan adanya sikap sadar dan aktif menolak. Mereka tidak sekadar lupa atau lalai, melainkan sengaja memposisikan diri menjauh dari sumber peringatan. Sikap ini muncul dari kesombongan (*kibr*) atau kepuasan diri dengan hawa nafsu duniawi. Mereka melihat kebenaran, tetapi memilih untuk tidak melihat, mendengar nasihat, tetapi memilih untuk tidak mendengar. Berpaling adalah tahap pertama menuju kekalutan spiritual.
Bagian ini sangat kritikal. Orang yang berpaling dari ayat-ayat Allah cenderung melupakan jejak dosa dan kesalahan yang telah mereka lakukan di masa lalu. "Apa yang telah dikerjakan oleh kedua tangannya" adalah metafora untuk seluruh amal perbuatan, baik yang buruk maupun yang baik, meskipun fokusnya di sini lebih pada keburukan yang menumpuk. Lupa ini adalah lupa yang disengaja, sebuah mekanisme pertahanan diri untuk menghindari tanggung jawab. Ketika seseorang menolak peringatan, mereka sekaligus menolak kesempatan untuk introspeksi dan bertaubat. Mereka menjadi buta terhadap akumulasi dosa mereka sendiri, sehingga merasa aman dan benar dalam kesesatan. Keengganan untuk melihat realitas perbuatan adalah fondasi bagi penolakan terhadap pembaruan diri yang ditawarkan oleh hidayah ilahi.
Proses melupakan ini menciptakan lapisan ilusi yang tebal. Mereka hidup dalam penyangkalan, di mana ajaran agama yang menuntut perubahan atau pengorbanan dilihat sebagai ancaman, bukan sebagai penyelamat. Akibatnya, mereka terus menggali lubang kesesatan, semakin sulit untuk ditarik keluar karena mereka tidak lagi percaya bahwa mereka berada dalam bahaya.
Ayat 57 menjelaskan konsekuensi logis dan spiritual dari kezaliman ini: Allah akan menetapkan penghalang yang menyebabkan hati dan telinga mereka tidak dapat menerima kebenaran. Ini bukanlah hukuman yang dijatuhkan secara sewenang-wenang, melainkan hasil (konsekuensi) dari pilihan bebas manusia itu sendiri. Ketika seseorang secara konsisten memilih untuk berpaling, Allah membiarkan pilihan itu menjadi permanen.
Allah berfirman: "Sungguh, Kami telah menjadikan pada hati mereka penutup (*akinna*), sehingga mereka tidak mengerti (Al-Qur'an)." Kata *akinna* (bentuk jamak dari *kinan*) berarti penutup, selimut, atau pelindung. Ini adalah barrier mental dan spiritual yang menghalangi cahaya hidayah untuk menembus hati. Hati, yang seharusnya menjadi pusat pemahaman (*faqaha*), menjadi tertutup rapat. Mereka mungkin secara fisik mendengar kata-kata Al-Qur'an, tetapi maknanya tidak dapat diserap atau dipahami secara mendalam. Akal mereka tumpul terhadap kebenaran karena hati mereka telah menolaknya terlebih dahulu.
Penutupan ini adalah manifestasi dari hukum sebab-akibat spiritual: Seseorang menolak kebenaran dengan kesombongan, sehingga Allah menguatkan penolakan itu menjadi ketidakmampuan untuk menerima. Hati yang tadinya fleksibel dan siap menerima, menjadi keras dan kaku karena terus-menerus diselimuti oleh dosa dan keengganan.
Dan pada telinga mereka ada penyumbat (*waqr*). *Waqr* berarti sumbatan atau tuli. Ini melengkapi penutupan di hati. Meskipun mereka memiliki organ pendengaran yang berfungsi normal, telinga spiritual mereka menjadi tuli terhadap seruan kebenasan. Mereka mungkin mendengar ceramah, peringatan, dan ayat-ayat, namun suara itu terasa asing, tidak relevan, atau bahkan mengganggu.
Penyumbatan ini adalah simbolisasi penolakan untuk mendengarkan nasihat. Ini menggambarkan betapa penolakan hidayah menghasilkan sistem kekebalan diri terhadap kebenaran. Individu yang terjangkit kondisi ini akan selalu menemukan seribu alasan untuk merasionalisasi penolakannya, menjauhkan diri dari majelis ilmu, dan menganggap remeh pesan-pesan agama.
Ayat ditutup dengan kalimat yang paling tegas: "Sekalipun engkau (Muhammad) menyeru mereka kepada petunjuk, niscaya mereka tidak akan mendapat petunjuk sama sekali untuk selama-lamanya." (QS. Al-Kahfi: 57)
Kalimat ini menegaskan bahwa begitu penghalang spiritual ini telah ditetapkan sebagai konsekuensi dari pilihan zalim mereka, upaya eksternal, bahkan dari seorang Nabi sekalipun, tidak akan mampu menembusnya. Status "selama-lamanya" (*abadan*) menunjukkan bahwa ini adalah kondisi final, kecuali Allah berkehendak lain melalui pertobatan luar biasa. Namun, dari perspektif manusia, pintu hidayah seolah telah terkunci rapat karena kemauan bebas mereka untuk tetap berada dalam kegelapan telah mencapai titik irreversibel.
Ini adalah peringatan serius: hidayah adalah anugerah yang harus dihargai. Jika terus-menerus disia-siakan, ia dapat dicabut, dan kondisi hati yang tertutup menjadi permanen di dunia, yang akan berlanjut hingga akhirat.
Ayat 57 diletakkan di tengah-tengah Surah Al-Kahfi untuk mengikat semua pelajaran besar yang terkandung di dalamnya. Surah ini secara keseluruhan membahas empat fitnah (cobaan) utama, dan ayat 57 adalah kesimpulan yang menyatukan konsekuensi penolakan terhadap peringatan dari fitnah-fitnah tersebut:
Ashabul Kahfi meninggalkan segalanya demi menjaga iman mereka. Mereka menerima peringatan tentang kesesatan masyarakatnya dan memilih untuk berpaling dari kesesatan itu. Kebalikannya, orang yang dijelaskan dalam ayat 57 adalah mereka yang, meskipun telah melihat keajaiban atau kebenaran, justru memilih berpaling dari petunjuk, tenggelam dalam fitnah duniawi.
Kisah dua pemilik kebun adalah tentang kesombongan yang dihasilkan oleh kekayaan. Salah satu dari mereka menolak peringatan temannya (ayat-ayat Allah yang terbentang di alam dan dalam hati) dan menolak mengakui kekuasaan Allah. Kezaliman terbesarnya adalah melupakan dari mana nikmat itu berasal. Ayat 57 secara langsung mengutuk perilaku ini: "Melupakan apa yang telah dikerjakan oleh kedua tangannya," yaitu melupakan bahwa semua yang ia miliki adalah pinjaman, dan melupakan dosa kesombongannya.
Nabi Musa, meskipun seorang Nabi, harus tunduk dan bersabar di hadapan Khidir untuk mendapatkan ilmu yang lebih tinggi. Ini mengajarkan bahwa seseorang harus selalu haus akan ilmu dan rendah hati dalam belajar. Orang yang zalim dalam ayat 57 adalah kebalikan dari sikap Musa: Mereka merasa telah cukup ilmu, menutup diri dari kebenaran yang baru, dan menolak ajaran yang melampaui pemahaman dangkal mereka.
Dzulqarnain adalah seorang raja yang diberi kekuasaan besar namun selalu menyandarkan semua keberhasilannya kepada rahmat Allah. Ia tidak menjadi sombong. Ayat 57 mengingatkan mereka yang, seperti penguasa zalim, menggunakan kekuasaan untuk menindas kebenaran dan menutup telinga terhadap seruan keadilan atau tauhid. Kesombongan kekuasaan seringkali menjadi "ghithaa'" (penutup) tertebal di hati manusia.
Dengan demikian, ayat 57 adalah kesimpulan moral dari keseluruhan surah: Hati-hati terhadap penolakan yang disengaja. Jika Anda menolak hidayah setelah melihatnya, Anda akan berakhir seperti orang-orang sombong dalam kisah-kisah ini, ditutupi oleh kegelapan yang Anda pilih sendiri.
Penting untuk memahami bahwa penetapan penutup di hati (*kinan* dan *waqr*) bukan berarti Allah memaksa manusia menjadi sesat. Ayat ini menjelaskan *Sunnatullah* (hukum Allah) di dunia spiritual. Hidayah adalah hasil dari pencarian, kerendahan hati, dan respons positif terhadap peringatan. Ketika respons itu konsisten berupa penolakan, maka fitrah hati (yang seharusnya menerima kebenaran) akan terdistorsi.
Ayat ini jelas menunjukkan urutan peristiwa:
Konsep penutupan hati ini juga muncul di ayat-ayat lain, seperti:
Perbedaan utama dalam Al-Kahfi 57 adalah penekanan pada sifat zalim orang tersebut yang telah diberi peringatan secara spesifik. Ini mengarah pada tingkat pertanggungjawaban yang lebih tinggi. Mereka tidak bisa berdalih, "Kami tidak tahu," karena peringatan telah datang berulang kali, tetapi mereka memilih mengabaikannya, menenggelamkan diri dalam penyesalan palsu atau keengganan yang disengaja. Pengabaian ini, menurut ulama tafsir, merupakan kezaliman terhadap kebenaran yang paling parah, karena mereka menyimpang dari jalan yang paling jelas.
Jika kita terus menolak, hidayah seolah-olah ‘melarikan diri’. Hidayah adalah cahaya, dan hati yang penuh dengan *dzulm* (kegelapan) secara alami akan menolak cahaya tersebut. Proses penutupan hati adalah metafora untuk hilangnya sensitivitas spiritual. Mereka kehilangan kemampuan untuk membedakan antara yang benar dan yang salah, yang indah dan yang buruk, karena filter di hati mereka telah rusak total. Mereka menjadi budak hawa nafsu yang tidak lagi mampu memimpin diri sendiri ke jalan yang lurus.
Kondisi ini mengajarkan kita pentingnya *muhasabah* (introspeksi) dan *tadabbur* (merenungkan ayat). Orang yang zalim ini melupakan dosa-dosa mereka, yang seharusnya menjadi pemicu untuk bertaubat. Lupa ini adalah penyakit yang mematikan, karena tanpa pengakuan kesalahan, tidak ada ruang bagi perbaikan, dan tanpa perbaikan, penghalang spiritual akan terus menebal.
Peringatan dalam Al-Kahfi 57 harus menjadi cambuk bagi setiap Muslim untuk secara rutin mengevaluasi seberapa responsif hati mereka terhadap peringatan ilahi. Apakah kita termasuk orang yang, setelah mendengar nasihat, langsung mencari pembenaran untuk tidak mengikutinya? Apakah kita termasuk yang menganggap enteng ayat-ayat Al-Qur'an dan sunnah hanya karena bertentangan dengan kenyamanan duniawi kita?
Meskipun ayat ini diturunkan dalam konteks awal Islam, relevansinya tetap abadi dan sangat terasa dalam kehidupan kontemporer. Kezaliman dan penolakan yang digambarkan dalam ayat 57 dapat diidentifikasi dalam beberapa fenomena modern:
Di era informasi, bukti-bukti tentang keharmonisan alam semesta dan petunjuk ilmiah dalam Al-Qur'an semakin banyak diungkap. Orang yang dijelaskan dalam ayat 57 adalah mereka yang, meskipun disajikan dengan bukti rasional dan empiris yang mendukung kebenaran ilahi, tetap bersikeras menolaknya, memilih untuk berpaling ke teori-teori skeptis tanpa dasar yang kuat, hanya karena teori tersebut sesuai dengan hawa nafsu dan keinginan mereka untuk hidup tanpa batas moral.
Gaya hidup konsumtif ekstrem seringkali menyebabkan seseorang melupakan "apa yang telah dikerjakan oleh kedua tangannya" dalam konteks dosa dan tanggung jawab sosial. Mereka terus mengejar kenikmatan tanpa batas, melupakan bahwa kekayaan dan kenikmatan adalah ujian. Ketika peringatan tentang zakat, sedekah, atau batasan moral datang, mereka merasionalisasikan penolakan tersebut. Kenyamanan materi menjadi *ghithaa'* (penutup) yang membuat mereka tuli terhadap tuntutan spiritual.
Dalam debat publik, banyak individu atau kelompok yang berpegang teguh pada ideologi sesat meskipun bukti kebenaran telah disajikan secara gamblang. Mereka memiliki *akinna* (penutup hati) yang membuat mereka tidak mampu memahami logika teologis atau moral, karena mereka telah menutup diri dari premis dasar tauhid. Penolakan mereka bukan karena kurangnya data, melainkan karena keengganan moral untuk mengakui kesalahan pandangan hidup mereka.
Orang-orang yang dijelaskan dalam ayat 57 seringkali menjadi sumber kesesatan bagi orang lain. Sikap zalim mereka menciptakan aura permusuhan terhadap kebenaran. Mereka menyebarkan skeptisisme dan keraguan, mengikis keyakinan orang-orang yang masih mencari hidayah. Ironisnya, mereka tidak hanya menghukum diri sendiri dengan penghalang spiritual, tetapi juga secara tidak langsung menghalangi orang lain untuk mencapai pemahaman yang benar.
Oleh karena itu, kewajiban kita adalah berhati-hati agar tidak mencapai titik kezaliman tertinggi ini. Kita harus proaktif dalam mencari ilmu, selalu bersikap terbuka terhadap kritik dan nasihat yang berdasarkan wahyu, dan yang paling penting, memohon kepada Allah agar hati kita tidak pernah ditutupi oleh Akinna dan Waqr.
Penekanan pada kata *abadan* (selama-lamanya) di akhir ayat menimbulkan pertanyaan penting mengenai konsep kehendak bebas dan keputusan ilahi. Apakah ini berarti tidak ada harapan bagi orang yang mencapai level kezaliman ini?
Para ulama tafsir menjelaskan bahwa *abadan* di sini merujuk pada kekekalan kondisi dalam konteks penolakan yang disengaja dan total. Ini adalah deskripsi tentang sebuah jiwa yang telah mencapai batas tertinggi dalam penolakan, sehingga kehendak bebasnya telah mengeras menjadi sifat yang tidak dapat diubah (tanpa intervensi mukjizat). Bagi mereka, hidayah eksternal tidak lagi berfungsi karena mesin penerima internal mereka telah rusak.
Ini bukan berarti Allah secara definitif mengharamkan hidayah, tetapi Allah menetapkan bahwa, dengan kondisi hati dan jiwa mereka saat ini—yang merupakan hasil dari akumulasi pilihan buruk—mereka tidak akan pernah mencapai hidayah. Mereka telah kehilangan kualifikasi fundamental untuk menerima petunjuk, yaitu kerendahan hati dan kesediaan untuk berubah. Jika suatu saat mereka mau bertaubat dengan sungguh-sungguh, tentu saja rahmat Allah jauh lebih besar. Namun, ayat ini berbicara tentang mereka yang dalam kondisi tetap menolak.
Penggunaan kata *abadan* bertujuan untuk memberikan peringatan yang sangat kuat kepada umat mukmin agar tidak main-main dengan hidayah. Ia menanamkan rasa takut yang sehat terhadap kemungkinan terjerumus ke dalam kondisi hati yang permanen tertutup. Kesempatan untuk bertaubat dan kembali adalah hal yang sangat berharga dan terbatas. Ketika peringatan datang, kita harus segera merespons, jangan sampai kita menunda hingga hati kita menjadi sekeras batu, atau bahkan lebih keras lagi, ditutupi oleh *akinna* yang abadi.
Pelajaran terpenting dari ancaman *abadan* adalah keharusan untuk menjaga kepekaan hati. Kita harus secara rutin menguji diri kita:
Tidak ada yang mencapai kezaliman total secara instan. Ini adalah proses bertahap. Dimulai dari lalai, berlanjut ke penolakan kecil, kemudian menjadi kebiasaan menolak nasihat, hingga akhirnya menjadi penolakan total yang disengaja. Ayat 57 memperingatkan kita untuk memutus rantai ini pada tahap awal. Setiap kali kita merasa enggan atau sombong terhadap suatu ajaran, kita harus segera mencari perlindungan agar tidak terjerumus dalam lingkaran setan penolakan yang berakhir dengan penutupan hati yang abadi.
Penjelasan mengenai *ghithaa'* dan *waqr* juga menegaskan bahwa mereka yang telah mencapai kondisi ini seringkali tidak menyadari kondisi buruk mereka sendiri, menambah lapisan kesulitan dalam upaya mereka untuk kembali. Mereka merasa nyaman dalam kebodohan spiritualnya, dan inilah bahaya terbesar dari kezaliman yang disengaja.
Mengingat betapa seriusnya peringatan dalam Al-Kahfi 57, setiap mukmin harus secara aktif mengambil langkah-langkah untuk memastikan hati mereka tetap terbuka dan responsif terhadap kebenaran ilahi. Ini adalah pertempuran berkelanjutan melawan hawa nafsu dan tipu daya setan.
Ayat ini menyebutkan: "...melupakan apa yang telah dikerjakan oleh kedua tangannya." Kebalikannya adalah mengingat dan menghitung dosa. Introspeksi rutin adalah vaksin melawan kezaliman. Dengan selalu menyadari kekurangan dan kesalahan, seseorang akan selalu merasa butuh akan ampunan dan petunjuk. Kebutuhan akan hidayah mencegah kesombongan dan keengganan.
Sikap meremehkan dosa kecil adalah pintu masuk kezaliman. Ketika dosa diabaikan, ia menumpuk dan menjadi tirai yang tebal di atas hati. Oleh karena itu, kita harus sering-sering beristighfar dan merenungkan ayat-ayat yang berbicara tentang hari pembalasan, agar kita tidak melupakan konsekuensi dari perbuatan tangan kita sendiri.
Ketika peringatan datang, baik melalui Al-Qur'an, Sunnah, atau lisan seorang yang alim, respons yang benar adalah kepatuhan segera. Menunda kepatuhan atau mencari-cari alasan adalah bentuk awal dari *i'radh* (berpaling). Para sahabat Nabi Muhammad SAW dikenal karena respons mereka yang cepat dan tanpa syarat terhadap perintah Allah, dan ini adalah model yang harus kita ikuti untuk menjaga hati kita tetap lembut dan terbuka.
Al-Qur'an adalah sumber utama peringatan (*dzukkira bi āyāti Rabbih*). Untuk menghindari *akinna* dan *waqr*, kita harus menjadikan Al-Qur'an bukan sekadar bacaan ritual, melainkan sebagai pedoman hidup yang direnungkan (*tadabbur*). Memahami makna dan implikasi dari setiap ayat yang kita baca akan mencegah kita dari berpaling karena kebodohan atau kesalahpahaman. Keterlibatan emosional dan intelektual dengan Al-Qur'an adalah benteng terkuat melawan penutupan hati.
Kezaliman sering kali tumbuh subur dalam lingkungan yang penuh dengan syahwat dan dukungan terhadap dosa. Lingkungan seperti itu mendorong seseorang untuk "melupakan apa yang telah dikerjakan oleh kedua tangannya." Mencari teman yang saleh dan berada dalam majelis ilmu yang mengingatkan kita pada Allah adalah cara efektif untuk menghilangkan debu-debu kezaliman dari hati dan telinga kita. Sebaliknya, menghindari lingkungan yang mendorong kita untuk berpaling dari peringatan adalah sebuah keharusan.
Penguatan internal ini harus dilengkapi dengan doa yang tiada henti. Nabi sering berdoa memohon ketetapan hati. Kita harus meniru doa beliau, memohon agar Allah tidak memalingkan hati kita setelah kita diberi hidayah (seperti dalam QS. Ali Imran: 8). Permintaan ini mengakui bahwa hidayah adalah sepenuhnya anugerah Allah, dan hanya dengan Rahmat-Nya kita dapat terhindar dari kondisi yang dijelaskan dalam Al-Kahfi 57.
Surah Al-Kahfi ayat 57 memberikan pelajaran yang sangat berat namun sangat penting bagi perjalanan spiritual manusia. Ayat ini berfungsi sebagai kaca pembesar yang menyoroti keburukan moral dari penolakan yang disengaja. Ini bukan hanya cerita tentang orang-orang kafir di masa lalu, melainkan peringatan yang berlaku bagi setiap individu di setiap zaman yang berpotensi memiliki kezaliman dalam hatinya.
Inti pesannya adalah: Ketika cahaya kebenaran datang, menyambutnya adalah bentuk syukur tertinggi. Menolaknya setelah melihatnya adalah kezaliman terbesar, yang konsekuensinya adalah hilangnya kemampuan spiritual untuk menerima petunjuk, suatu kondisi yang digambarkan dengan sangat puitis dan menakutkan melalui metafora *akinna* (penutup hati) dan *waqr* (penyumbat telinga).
Ayat ini menegaskan kembali bahwa Allah Maha Adil. Dia tidak menghalangi hidayah kecuali bagi mereka yang dengan bebas dan konsisten memilih untuk menghalangi hidayah itu sendiri dari memasuki hati mereka. Mereka yang berpaling dan melupakan dosanya telah meniti jalan menuju kegelapan, dan Allah hanya menguatkan pilihan mereka, hingga mereka mencapai titik di mana, meskipun Nabi sendiri yang menyeru, mereka tidak akan pernah mendapat petunjuk sama sekali untuk selama-lamanya.
Marilah kita senantiasa memohon kepada Allah SWT agar hati kita tetap lembut, telinga kita tetap mendengar, dan mata hati kita tetap terbuka untuk setiap peringatan dan petunjuk yang datang dari ayat-ayat-Nya, baik yang tertulis dalam Al-Qur'an maupun yang terhampar di jagat raya, sehingga kita terhindar dari gelar yang paling mengerikan: "orang yang paling zalim."
Pengulangan dan penekanan pada tema ini, di samping semua kisah besar dalam Al-Kahfi, menunjukkan betapa sentralnya isu respons terhadap kebenaran dalam penilaian ilahi. Kesadaran akan bahaya *i'radh* (berpaling) harus selalu menjadi filter bagi setiap keputusan dan respons kita terhadap ajaran agama. Kita harus memastikan bahwa kita tidak pernah membiarkan hawa nafsu dan kesombongan menjadi penghalang yang permanen antara kita dan cahaya yang kita cari.
Kezaliman yang disinggung dalam ayat ini adalah pelajaran tentang integritas spiritual. Integritas menuntut kita untuk menyelaraskan antara apa yang kita ketahui (ilmu) dengan apa yang kita lakukan (amal). Ketika ilmu datang, dan kita memilih untuk bertindak bertentangan dengannya, itulah awal dari kehancuran spiritual, di mana hati mulai mengeras, pandangan mata hati mulai kabur, dan suara kebenaran menjadi gumaman yang tidak berarti di telinga.
Semoga Allah melindungi kita dari kezaliman yang disengaja, dan menjadikan kita termasuk golongan orang-orang yang selalu merespons peringatan-Nya dengan kerendahan hati dan kepatuhan yang tulus. Amin.