Kajian Komprehensif Surah Ke-18 dalam Al-Qur'an
Surah Al Kahfi memiliki posisi istimewa dalam Islam, terutama anjuran untuk membacanya pada malam atau hari Jumat. Hadis-hadis Nabi Muhammad ﷺ menegaskan bahwa membaca surah ini dapat memberikan cahaya (nur) antara dua Jumat dan menjadi pelindung dari fitnah terbesar, yaitu Dajjal.
Cahaya yang dimaksud bukan hanya penerangan fisik, tetapi juga cahaya spiritual yang membimbing seorang Muslim melalui kegelapan syubhat dan godaan duniawi. Perlindungan dari Dajjal dikaitkan erat dengan pemahaman atas inti Surah Al Kahfi, yang secara ringkas merangkum empat fitnah utama yang akan digunakan Dajjal untuk menyesatkan manusia.
Surah Al Kahfi, yang berarti "Gua", adalah surah Makkiyah, yang turun pada periode awal kenabian di Makkah. Surah ini diwahyukan untuk memberikan ketenangan hati kepada Rasulullah ﷺ dan kaum Muslimin yang menghadapi penindasan dan keraguan dari kaum Quraisy. Inti pesan surah ini adalah peringatan akan Hari Kebangatan, kebenaran wahyu, dan pentingnya kesabaran dalam menghadapi cobaan hidup yang datang dalam berbagai bentuk.
Struktur Surah Al Kahfi yang terdiri dari 110 ayat ini secara cerdas menempatkan empat kisah utama sebagai alegori atau perumpamaan bagi empat jenis ujian berat yang dihadapi umat manusia: ujian keimanan, ujian harta, ujian ilmu pengetahuan, dan ujian kekuasaan/kedudukan. Memahami surah ini berarti mempersenjatai diri dengan kesadaran akan hakikat fitnah dunia.
ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ ٱلَّذِيٓ أَنزَلَ عَلَىٰ عَبۡدِهِ ٱلۡكِتَٰبَ وَلَمۡ يَجۡعَل لَّهُۥ عِوَجَاۜ
Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepada hamba-Nya dan Dia tidak menjadikannya bengkok (menyimpang).
Surah dibuka dengan pujian sempurna hanya milik Allah, Sang Penurun Al-Qur'an. Penekanan bahwa Kitab ini tidak memiliki "Iwajan" (kebengkokan atau kontradiksi) menegaskan kesempurnaan hukum, kisah, dan petunjuknya, menjadikannya panduan lurus bagi umat manusia.
قَيِّمٗا لِّيُنذِرَ بَأۡسٗا شَدِيدٗا مِّن لَّدُنۡهُ وَيُبَشِّرَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٱلَّذِينَ يَعۡمَلُونَ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أَنَّ لَهُمۡ أَجۡرًا حَسَنٗا
(Sebagai petunjuk) yang lurus, untuk memperingatkan (manusia) akan siksa yang sangat pedih dari sisi-Nya dan memberikan kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan kebajikan, bahwa mereka akan mendapat balasan yang baik.
Al-Qur'an berfungsi ganda: sebagai peringatan (ancaman keras bagi yang menentang) dan kabar gembira (janji surga bagi yang beriman dan beramal saleh). Ini menetapkan dikotomi awal antara kebenaran (iman) dan kesesatan (kekafiran).
مَّٰكِثِينَ فِيهِ أَبَدٗا
Mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya.
Ayat 3 ini menekankan sifat kekalnya balasan bagi orang-orang mukmin, sebuah motivasi besar untuk istiqamah. Kemudian ayat 4 dan seterusnya memperingatkan mereka yang menyekutukan Allah, terutama klaim kaum musyrikin Makkah bahwa Allah memiliki anak. Ayat-ayat awal ini berfungsi sebagai landasan teologis sebelum memasuki kisah-kisah perumpamaan.
فَلَعَلَّكَ بَٰخِعٞ نَّفۡسَكَ عَلَىٰٓ ءَاثَٰرِهِمۡ إِن لَّمۡ يُؤۡمِنُواْ بِهَٰذَا ٱلۡحَدِيثِ أَسَفًا
Maka barangkali engkau (Muhammad) akan mencelakakan dirimu karena bersedih hati menyusul mereka, jika mereka tidak beriman kepada keterangan ini.
Ini adalah penghiburan dari Allah kepada Nabi ﷺ, yang sangat bersedih karena penolakan kaumnya. Allah mengingatkan bahwa tugas Nabi hanyalah menyampaikan, bukan memaksa iman. Ayat ini juga memberikan pelajaran bagi para dai bahwa kesedihan yang berlebihan atas penolakan dakwah harus diredam oleh kesadaran akan takdir Allah.
إِنَّا جَعَلۡنَا مَا عَلَى ٱلۡأَرۡضِ زِينَةٗ لَّهَا لِنَبۡلُوَهُمۡ أَيُّهُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلٗا
Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, untuk Kami uji mereka, siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.
Ayat ini adalah kunci memahami seluruh narasi Surah Al Kahfi. Dunia dan segala isinya (harta, kedudukan, keindahan) hanyalah "perhiasan" sementara yang diciptakan untuk menguji manusia. Tujuan utama hidup adalah mencari kualitas amal (ahsan amala), bukan kuantitas materi. Ini adalah persiapan psikologis sebelum masuk ke fitnah kekayaan (kisah kedua).
Kisah Ashabul Kahf (Penghuni Gua) adalah alegori pertama yang membahas fitnah terberat: Ujian Keimanan. Kisah ini menceritakan sekelompok pemuda beriman yang hidup di tengah masyarakat kafir (di bawah kekuasaan raja zalim, Diyqyanus/Decius, menurut riwayat tafsir) yang memaksa mereka menyembah berhala. Demi mempertahankan tauhid, mereka melarikan diri dan berlindung di dalam gua, di mana Allah menidurkan mereka selama 309 tahun.
أَمۡ حَسِبۡتَ أَنَّ أَصۡحَٰبَ ٱلۡكَهۡفِ وَٱلرَّقِيمِ كَانُواْ مِنۡ ءَايَٰتِنَا عَجَبًا
Apakah engkau mengira bahwa sesungguhnya Ashabul Kahf dan Ar-Raqīm itu, termasuk tanda-tanda kebesaran Kami yang menakjubkan?
Allah mempertanyakan persepsi manusia tentang keajaiban. Tidurnya ratusan tahun memang menakjubkan, tetapi segala penciptaan Allah (langit, bumi, siang, malam) juga merupakan tanda kebesaran yang jauh lebih besar. Kisah ini adalah tanda (ayat) yang berfungsi untuk menguatkan hati Rasulullah dan kaum mukmin di tengah minoritas yang terancam.
Inti dari keberanian para pemuda ini terletak pada doa mereka sebelum memasuki gua. Mereka tidak meminta kekayaan atau kemenangan militer, tetapi meminta "rahmat dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami ini." (Ayat 10). Ini mengajarkan bahwa dalam menghadapi fitnah keimanan, modal utama bukanlah kekuatan fisik, melainkan petunjuk (Hidayah) dan rahmat Allah.
إِذۡ قَامُوٓاْ فَقَالُواْ رَبُّنَا رَبُّ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ لَن نَّدۡعُوَاْ مِن دُونِهِۦٓ إِلَٰهٗاۖ لَّقَدۡ قُلۡنَآ إِذٗا شَطَطًا
Ketika mereka berdiri lalu berkata, "Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi; kami tidak menyeru tuhan selain Dia. Sungguh, kalau kami berbuat demikian, tentu kami telah mengucapkan perkataan yang jauh dari kebenaran."
Ayat 14 menunjukkan keberanian (Tsabat) mereka. Mereka meninggalkan kemewahan dunia dan berani menyatakan tauhid di hadapan kekuasaan. Ini menunjukkan bahwa hijrah (meninggalkan lingkungan buruk) adalah solusi saat mempertahankan iman menjadi mustahil. Mereka memilih isolasi demi menjaga akidah murni.
Allah membolak-balikkan badan mereka di dalam gua agar tubuh mereka tidak rusak, dan anjing mereka (Qithmir) dibiarkan menjaga di ambang pintu (Ayat 18). Peristiwa tidur selama 309 tahun ini adalah mukjizat yang menunjukkan kekuasaan mutlak Allah atas waktu dan kehidupan. Saat mereka terbangun, mereka mengira hanya tidur sehari atau setengah hari. Perbedaan pandangan ini menunjukkan hilangnya dimensi waktu dalam pandangan Allah.
وَكَذَٰلِكَ بَعَثۡنَٰهُمۡ لِيَتَسَآءَلُواْ بَيۡنَهُمۡۚ
Dan demikianlah Kami bangunkan mereka, agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri.
Tujuan kebangkitan mereka adalah sebagai bukti nyata kebangkitan setelah kematian (Hari Kiamat). Ketika salah satu dari mereka pergi membeli makanan, ia menemukan bahwa kota telah berubah, raja yang zalim telah tiada, dan agama tauhid telah berkembang. Kisah ini berakhir dengan penduduk kota memutuskan untuk membangun masjid di atas tempat peristirahatan mereka, sebagai pengingat akan kebesaran Allah (Ayat 21).
Pelajaran Utama Fitnah Iman: Ketika iman diuji, harta dan kekuasaan tidak relevan. Kekuatan terletak pada doa, istiqamah, dan keberanian untuk menjauh dari lingkungan yang merusak akidah, bahkan jika itu berarti isolasi total.
قُلِ ٱللَّهُ أَعۡلَمُ بِمَا لَبِثُواْۖ لَهُۥ غَيۡبُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۖ
Katakanlah (Muhammad), "Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal (di sana); milik-Nya semua rahasia langit dan bumi."
Ayat 26 menutup kisah ini, menegaskan bahwa detail persis (jumlah pemuda, durasi tidur) adalah urusan gaib Allah. Fokus utama seharusnya bukan pada angka-angka, melainkan pada pesan inti: Kekuasaan Allah untuk mematikan dan menghidupkan kembali (Ba'ts), dan keharusan bersabar dalam menghadapi fitnah agama.
Kisah kedua menceritakan perumpamaan dua orang laki-laki, salah satunya kaya raya dengan dua kebun anggur dan kurma yang subur (melambangkan fitnah harta), sementara temannya adalah seorang yang miskin tetapi teguh imannya. Kisah ini secara langsung melanjutkan tema dari Ayat 7: bahwa dunia hanyalah perhiasan ujian.
Pria kaya, yang digambarkan memiliki kebun yang dikelilingi sungai dan berlimpah hasil (Ayat 32-33), terbuai dalam kebanggaan material. Dia tidak hanya bangga dengan hartanya tetapi juga dengan status sosialnya yang lebih tinggi daripada temannya yang miskin.
وَدَخَلَ جَنَّتَهُۥ وَهُوَ ظَالِمٌ لِّنَفۡسِهِۦ قَالَ مَآ أَظُنُّ أَن تَبِيدَ هَٰذِهِۦٓ أَبَدٗا
Dan dia memasuki kebunnya sambil menzalimi dirinya sendiri (karena sombong dan kufur); dia berkata, "Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya."
Ayat 35 menunjukkan puncak kesombongan (kibr) pria itu. Ia meyakini harta dan kekayaan itu kekal karena usaha dan kepintarannya sendiri, tanpa menghubungkannya dengan kehendak Allah. Ia juga menolak adanya Hari Kiamat. Kezaliman terbesar di sini adalah menzalimi diri sendiri dengan kesyirikan dan kufur nikmat.
Temannya yang miskin memberikan nasihat berharga, mengingatkannya pada asal-usulnya dari tanah dan bahwa semua kekayaan ini adalah pinjaman dari Allah. Nasihat tersebut mengandung dua poin utama:
فَأَصۡبَحَ يُقَلِّبُ كَفَّيۡهِ عَلَىٰ مَآ أَنفَقَ فِيهَا وَهِىَ خَاوِيَةٌ عَلَىٰ عُرُوشِهَا
Maka kebun itu dibinasakan, lalu dia mulai membalik-balikkan kedua telapak tangannya (menyesali) terhadap apa yang telah dia belanjakan untuk kebun itu, sedang kebun itu roboh bersama penyanggah-penyanggahnya.
Seketika, hukuman Allah datang berupa badai dan air yang meluap, menghancurkan kebun tersebut hingga rata dengan tanah (Ayat 42). Penyesalan terjadi ketika sudah terlambat. Penyesalan ini bukan sekadar sedih kehilangan harta, tetapi penyesalan karena menyadari bahwa ia telah menolak kebenaran yang disampaikan temannya.
Kisah ini ditutup dengan kesimpulan tegas mengenai hakikat kekuasaan dan pertolongan: Kekuasaan yang hakiki hanyalah milik Allah, dan hanya Dia yang memberikan pertolongan yang terbaik (Ayat 44). Harta (al-malu) dan anak-anak (al-banun) hanyalah perhiasan dunia yang fana, dan amal saleh yang kekal jauh lebih baik nilainya di sisi Allah.
Pelajaran Utama Fitnah Harta: Harta dapat menghancurkan iman jika menghasilkan kesombongan (kufur nikmat) dan melupakan Hari Kebangkitan. Solusinya adalah selalu menyandarkan segala pencapaian kepada Allah dan mengingat bahwa segala sesuatu di dunia ini akan hancur dan menjadi tanah kering.
Setelah dua kisah perumpamaan tentang ujian hidup, Allah menyajikan perumpamaan universal tentang kefanaan dunia, yang berfungsi sebagai jembatan menuju kisah-kisah selanjutnya yang berfokus pada fitnah ilmu dan kekuasaan.
وَٱضۡرِبۡ لَهُم مَّثَلَ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا كَمَآءٍ أَنزَلۡنَٰهُ مِنَ ٱلسَّمَآءِ... فَأَصۡبَحَ هَشِيمٗا تَذۡرُوهُ ٱلرِّيَٰحُۗ
Dan berikanlah (Muhammad) kepada mereka perumpamaan kehidupan dunia, seperti air hujan yang Kami turunkan dari langit, sehingga menyuburkan tumbuh-tumbuhan di bumi, kemudian (tumbuh-tumbuhan itu) menjadi kering yang diterbangkan oleh angin.
Perumpamaan air hujan menggambarkan siklus kehidupan: kemakmuran sesaat (kebun yang subur) diikuti oleh kehancuran total (kering dan diterbangkan angin). Ini adalah gambaran yang sangat kuat mengenai kefanaan dunia (Ayat 45), kontras dengan keabadian akhirat.
Ayat-ayat berikutnya secara eksplisit menggambarkan Hari Kiamat, menyoroti kekecewaan orang-orang yang ingkar. Mereka akan melihat Kitab Catatan Amal mereka (Ayat 49) dan merasa takut karena tidak ada satu pun dosa kecil atau besar yang terlewat. Iblis juga disorot di sini sebagai musuh abadi manusia, yang berhasil menyesatkan sebagian besar umat manusia.
وَيَوۡمَ نُسَيِّرُ ٱلۡجِبَالَ وَتَرَى ٱلۡأَرۡضَ بَارِزَةٗ...
Dan (ingatlah) pada hari (ketika) Kami perjalankan gunung-gunung dan engkau akan melihat bumi itu rata (tidak ada bukit dan gunung), dan Kami kumpulkan mereka (seluruh manusia), dan tidak Kami tinggalkan seorang pun dari mereka.
Ayat 47 memberikan deskripsi kosmik tentang kehancuran dunia lama, di mana gunung-gunung dihancurkan dan bumi diratakan. Ini menekankan keadilan mutlak Allah di Hari Penghakiman, di mana semua manusia, dari masa ke masa, akan dikumpulkan tanpa terkecuali.
Kisah ketiga adalah tentang Nabi Musa AS dan perjalanannya mencari ilmu hakikat dari seorang hamba Allah yang saleh, yang dikenal sebagai Khidr (atau Khadir). Kisah ini berfungsi sebagai ujian fitnah ilmu pengetahuan. Musa, yang dikenal sebagai nabi yang paling berilmu di zamannya, diperintahkan Allah untuk mencari sumber ilmu yang lebih tinggi, mengajarkan bahwa bahkan seorang Nabi pun memiliki batasan dalam pengetahuannya.
Perjalanan Musa dan muridnya (Yusya bin Nun) dimulai menuju pertemuan dua lautan (Majma'ul Bahrain), lokasi yang ditetapkan Allah. Khidr memiliki "Ilmu Ladunni," yaitu ilmu yang langsung diberikan oleh Allah, berbeda dengan ilmu syariat yang dikuasai Musa. Syarat yang diajukan Khidr adalah kesabaran total dan keheningan, tanpa mempertanyakan tindakannya (Ayat 70).
Khidr melubangi perahu milik nelayan miskin. Musa protes karena tindakan tersebut dianggap merugikan orang yang berbuat baik kepada mereka. Khidr menjelaskan bahwa tindakan tersebut untuk mencegah perahu itu dirampas oleh raja zalim yang akan mengambil setiap perahu yang utuh. Kerusakan kecil mencegah kerugian besar. Ini mengajarkan bahwa apa yang tampak buruk secara lahiriah mungkin mengandung kebaikan tersembunyi (Ayat 79).
Mereka bertemu seorang anak muda dan Khidr membunuhnya. Musa terkejut dan kembali protes, karena ini adalah tindakan kejahatan yang jelas. Khidr menjelaskan bahwa anak itu di masa depan akan membawa kesusahan dan kekafiran bagi kedua orang tuanya yang saleh. Allah berkehendak menggantikan anak itu dengan yang lebih baik, lebih suci, dan lebih menyayangi. Ini mengajarkan kompleksitas takdir Allah yang melibatkan masa depan. Perlindungan terhadap iman orang tua lebih diutamakan daripada kehidupan anak yang ditakdirkan sesat.
Di suatu desa yang kikir dan menolak menjamu mereka, Khidr memperbaiki dinding yang hampir roboh tanpa meminta upah. Musa kembali protes mengapa Khidr tidak meminta bayaran di tempat yang jelas-jelas tidak ramah. Khidr menjelaskan bahwa di bawah dinding tersebut terdapat harta milik dua anak yatim. Jika dinding itu roboh sekarang, harta itu akan diambil penduduk desa. Dengan diperbaiki, harta itu akan terlindungi hingga mereka dewasa. Ini dilakukan sebagai rahmat dari ayah mereka yang saleh. Ini menunjukkan bahwa amal kebaikan seorang ayah dapat memberikan manfaat dan perlindungan bagi anak cucunya setelah ia meninggal.
Kisah Musa dan Khidr mengajarkan kerendahan hati dalam ilmu. Apa yang kita ketahui hanyalah sedikit dari lautan ilmu Allah. Ilmu syariat (hukum) harus sejalan dengan ilmu hakikat (hikmah tersembunyi). Manusia sering mengukur kebaikan berdasarkan hasil segera, sementara Allah melihat hikmah jangka panjang dan takdir yang tersembunyi. Khidr menutup perpisahan mereka dengan menyatakan: "Itulah keterangan tentang sesuatu yang engkau tidak mampu bersabar terhadapnya."
Kisah keempat memperkenalkan Dhul Qarnain (Pemilik Dua Tanduk, ditafsirkan sebagai Raja dengan kekuasaan di Timur dan Barat, atau dua zaman). Kisah ini adalah perumpamaan tentang fitnah kekuasaan dan kedudukan. Dhul Qarnain adalah seorang raja adil yang diberi kekuasaan, sumber daya, dan sarana untuk melakukan perjalanan di bumi.
وَيَسۡـَٔلُونَكَ عَن ذِي ٱلۡقَرۡنَيۡنِۖ قُلۡ سَأَتۡلُواْ عَلَيۡكُم مِّنۡهُ ذِكۡرًا
Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Zulkarnain. Katakanlah, "Akan kubacakan kepadamu kisahnya."
Kisah ini turun sebagai jawaban atas pertanyaan kaum Quraisy dan Yahudi tentang raja besar di masa lampau. Kisah ini menunjukkan bagaimana seorang yang diberikan kekuasaan duniawi yang masif seharusnya menggunakannya: bukan untuk menindas, melainkan untuk menegakkan keadilan dan membantu yang lemah.
Dhul Qarnain mencapai tempat matahari terbenam (secara geografis adalah batas akhir yang dapat dicapai). Di sana ia mendapati suatu kaum. Allah memberikan kepadanya pilihan: menghukum mereka atau berbuat baik kepada mereka. Dhul Qarnain menunjukkan keadilannya dengan memisahkan antara yang berbuat zalim (yang akan dihukum di dunia dan akhirat) dan yang beriman (yang akan diperlakukan baik).
قَالَ أَمَّا مَن ظَلَمَ فَسَوۡفَ نُعَذِّبُهُۥ ثُمَّ يُرَدُّ إِلَىٰ رَبِّهِۦ فَيُعَذِّبُهُۥ عَذَابٗا نُّكۡرٗا
Dia (Zulkarnain) berkata, "Barang siapa berbuat zalim, kami akan menghukumnya, kemudian dia dikembalikan kepada Tuhannya, lalu Dia mengazabnya dengan azab yang sangat pedih."
Ayat 87 ini menunjukkan kesadaran Dhul Qarnain bahwa kekuasaan duniawi adalah sementara dan harus digunakan sesuai syariat. Ia menjalankan hukum dunia, tetapi menyadari bahwa hukuman akhirat jauh lebih berat.
Di timur, ia menemukan kaum yang tidak memiliki pelindung atau atap yang menaungi mereka dari panas matahari. Dhul Qarnain tidak mengganggu mereka, karena mereka hidup dalam kesederhanaan. Ini menunjukkan prinsip non-intervensi kecuali ada kezaliman yang harus diatasi. Tindakan Dhul Qarnain selalu didasarkan pada pengetahuan penuh dari Allah.
Perjalanan ini adalah puncaknya. Ia mencapai celah di antara dua gunung dan menemukan suatu kaum yang kesulitan berkomunikasi. Kaum itu mengeluhkan gangguan dari Yajuj dan Majuj (Gog dan Magog), dua suku perusak. Mereka menawarkan upah kepada Dhul Qarnain untuk membangun penghalang.
قَالَ مَا مَكَّنِّي فِيهِ رَبِّي خَيۡرٌ فَأَعِينُونِي بِقُوَّةٍ أَجۡعَلۡ بَيۡنَكُمۡ وَبَيۡنَهُمۡ رَدۡمٗا
Dia (Zulkarnain) berkata, "Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku lebih baik (dari upahmu), tetapi bantulah aku dengan kekuatan (tenaga manusia), agar aku membuatkan dinding penghalang antara kamu dan mereka."
Dhul Qarnain menolak upah (fitnah harta), menunjukkan bahwa kekuasaan sejati tidak bertujuan mencari keuntungan pribadi, tetapi menjalankan tugas yang diberikan Allah. Ia meminta bantuan tenaga rakyat untuk membangun dinding dari besi dan tembaga, menggunakan ilmu metalurgi canggih yang diberikan Allah kepadanya.
Setelah pembangunan dinding selesai, Dhul Qarnain tidak sombong. Ia segera mengembalikan pujian kepada Allah. Ia berkata bahwa dinding ini adalah rahmat dari Tuhannya, dan ia memprediksi bahwa pada waktu yang telah ditetapkan, dinding ini akan hancur dan itulah tanda mendekatnya Hari Kiamat.
قَالَ هَٰذَا رَحۡمَةٌ مِّن رَّبِّيۖ فَإِذَا جَآءَ وَعۡدُ رَبِّي جَعَلَهُۥ دَكَّآءَۖ وَكَانَ وَعۡدُ رَبِّي حَقّٗا
Dia (Zulkarnain) berkata, "(Dinding) ini adalah rahmat dari Tuhanku, maka apabila janji Tuhanku datang, Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Tuhanku itu benar."
Ayat 98 ini menutup kisah keempat dengan pelajaran terpenting: Kekuasaan hanya sementara. Sekuat apa pun benteng yang dibangun manusia, ia akan hancur sesuai janji Allah. Yajuj dan Majuj adalah tanda-tanda Kiamat besar yang kemunculannya akan menjadi kehancuran bagi tatanan dunia. Dhul Qarnain mewakili model pemimpin adil yang rendah hati dan berorientasi pada ketuhanan.
Ayat-ayat penutup Surah Al Kahfi merangkum semua pelajaran dari empat kisah dan memberikan resep praktis bagi kaum mukmin untuk menghadapi fitnah di akhir zaman, khususnya fitnah Dajjal.
Allah memperingatkan tentang kelompok yang paling merugi amalnya (Ayat 103-104). Mereka adalah orang-orang yang giat beramal dan berusaha keras di dunia, tetapi amalnya tidak didasari oleh keimanan yang benar dan keikhlasan (niat yang lurus). Mereka menyangka telah berbuat baik, padahal semua usahanya sia-sia karena mendustakan pertemuan dengan Tuhan dan ayat-ayat-Nya.
أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ بِـَٔايَٰتِ رَبِّهِمۡ وَلِقَآئِهِۦ فَحَبِطَتۡ أَعۡمَٰلُهُمۡ فَلَا نُقِيمُ لَهُمۡ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ وَزۡنٗا
Mereka itu adalah orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Tuhan mereka dan (mengingkari) pertemuan dengan Dia. Maka sia-sia amal mereka, dan Kami tidak memberikan penimbangan (nilai) sedikit pun bagi (amal) mereka pada hari Kiamat.
Ayat 105 menunjukkan bahwa amalan tanpa landasan tauhid dan keyakinan akan hari Akhirat tidak bernilai. Ini menanggapi secara implisit tiga fitnah pertama: jika orang kaya (fitnah harta) beramal tetapi tidak beriman, amalnya hangus. Jika orang berilmu (fitnah ilmu) beramal tanpa iman, amalnya pun sia-sia.
Kontras dengan kerugian total, Allah menjelaskan ganjaran bagi orang-orang mukmin yang beramal saleh: Surga Firdaus, kekal abadi, tanpa keinginan untuk pindah tempat (Ayat 107-108). Ini adalah kebalikan dari sifat sementara dunia yang dibahas di awal surah.
Ayat 109 kembali menekankan keterbatasan ilmu manusia, mengulang tema dari kisah Musa dan Khidr.
قُل لَّوۡ كَانَ ٱلۡبَحۡرُ مِدَادٗا لِّكَلِمَٰتِ رَبِّي لَنَفِدَ ٱلۡبَحۡرُ قَبۡلَ أَن تَنفَدَ كَلِمَٰتُ رَبِّي وَلَوۡ جِئۡنَا بِمِثۡلِهِۦ مَدَدٗا
Katakanlah (Muhammad), "Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, pasti habislah lautan itu sebelum selesai (tertulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)."
Ini adalah perumpamaan hiperbolik yang menegaskan bahwa ilmu dan kekuasaan Allah (Kalimatullah) tidak terbatas. Ayat ini penting untuk menanamkan kerendahan hati mutlak, melawan kesombongan ilmu yang menjadi salah satu fitnah Dajjal.
Surah ini ditutup dengan perintah Allah kepada Nabi Muhammad ﷺ untuk menegaskan dua poin sentral kepada umat manusia.
قُلۡ إِنَّمَآ أَنَا۠ بَشَرٌ مِّثۡلُكُمۡ يُوحَىٰٓ إِلَيَّ أَنَّمَآ إِلَٰهُكُمۡ إِلَٰهٌ وَٰحِدٞۖ
Katakanlah (Muhammad), "Sesungguhnya aku ini hanyalah manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa."
Pernyataan ini menekankan kemanusiaan Nabi, menolak segala bentuk pengkultusan, dan menegaskan kembali pondasi tauhid: Tuhan itu Esa.
فَمَن كَانَ يَرۡجُواْ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلۡيَعۡمَلۡ عَمَلٗا صَٰلِحٗا وَلَا يُشۡرِكۡ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدَۢا
"Maka barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan amal saleh dan tidak mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya."
Ini adalah kesimpulan dan resep mutlak Surah Al Kahfi untuk sukses di akhirat. Syaratnya dua: Amal Saleh (harus benar dan sesuai tuntunan) dan Ikhlas/Tauhid (tidak menyekutukan Allah dalam ibadah). Kedua syarat ini adalah penangkal paling efektif terhadap semua fitnah yang digambarkan dalam surah ini.
Surah Al Kahfi adalah kurikulum lengkap untuk bertahan hidup di akhir zaman, terutama saat Dajjal muncul. Setiap kisah menyediakan penawar terhadap fitnah yang dibawa oleh Dajjal.
| Ujian (Fitnah) | Kisah/Perumpamaan | Penangkal (Solusi) |
|---|---|---|
| Fitnah Agama (Syubhat) | Ashabul Kahf | Ketaatan (Tauhid), Doa Istiqamah, Hijrah (Menjaga Lingkungan) |
| Fitnah Harta (Syahwat) | Pemilik Dua Kebun | Kerendahan Hati, Bersyukur (Maa shaa Allah), Mengingat Kefanaan Dunia |
| Fitnah Ilmu (Kesombongan) | Musa dan Khidr | Kesabaran, Rendah Hati (Mengakui Keterbatasan Ilmu), Memahami Hikmah Takdir |
| Fitnah Kekuasaan (Kedudukan) | Dhul Qarnain | Keadilan, Keikhlasan (Tidak Minta Upah), Mengembalikan Segala Kekuatan kepada Allah |
Dajjal akan datang menawarkan empat godaan: kekuasaan (menawarkan surga dan neraka palsu), harta (menurunkan hujan dan mengeluarkan harta terpendam), ilmu (menguasai teknologi dan sihir), dan memaksa keyakinan (klaim ketuhanan). Dengan menghafal dan memahami sepuluh ayat pertama dan sepuluh ayat terakhir Al Kahfi, seorang Muslim dipersenjatai dengan petunjuk ilahi untuk menanggapi setiap fitnah yang dihadirkan oleh musuh terbesar umat manusia tersebut.
Surah Al Kahfi dan terjemahannya, ketika dipelajari secara mendalam, berfungsi sebagai peta jalan menuju perlindungan, memastikan bahwa seorang mukmin tetap berada dalam cahaya, lurus dalam perbuatan, dan ikhlas dalam niat, hingga ia bertemu kembali dengan Tuhannya.