Surah ke-92 dalam Al-Qur'an: Dualitas Amal dan Peringatan Keseimbangan Hidup
Surah Al-Lail, yang berarti ‘Malam’, adalah surah ke-92 dalam mushaf Al-Qur’an. Terdiri dari 21 ayat yang padat, surah ini tergolong dalam kelompok surah-surah Makkiyyah, yang diturunkan sebelum hijrah Nabi Muhammad ﷺ ke Madinah. Periode Makkiyyah dikenal dengan penekanan kuat pada fondasi tauhid (keesaan Allah), hari akhir, dan moralitas dasar.
Al-Lail datang untuk menggarisbawahi sebuah konsep fundamental dalam Islam: dualitas atau pasangan segala sesuatu, yang tercermin dalam perbuatan manusia. Jika ada malam, ada siang; jika ada kebaikan, pasti ada keburukan. Surah ini secara eksplisit membandingkan dua jalur utama kehidupan manusia—jalan kedermawanan dan ketakwaan, serta jalan kekikiran dan pengabaian—dan menjelaskan konsekuensi abadi dari masing-masing pilihan tersebut.
Kontekstualisasi sejarah menunjukkan bahwa surah ini diturunkan di tengah masyarakat Mekah yang didominasi oleh sistem nilai materialistik dan keangkuhan sosial. Ayat-ayatnya berfungsi sebagai janji dan peringatan: janji kebahagiaan bagi mereka yang berinfak dan bertakwa, serta peringatan keras bagi mereka yang bakhil dan sombong terhadap kebenaran.
Mari kita telaah 21 ayat Surah Al-Lail, mencermati makna harfiah, konteks penurunannya (Asbabun Nuzul), serta interpretasi para ulama tafsir.
(1) وَالَّيْلِ إِذَا يَغْشَىٰ
1. Demi malam apabila menutupi (cahaya siang),
(2) وَالنَّهَارِ إِذَا تَجَلَّىٰ
2. Dan demi siang apabila terang benderang,
(3) وَمَا خَلَقَ الذَّكَرَ وَالْأُنثَىٰ
3. Dan demi penciptaan laki-laki dan perempuan,
(4) إِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّىٰ
4. Sungguh, usaha kamu memang beraneka ragam.
Allah Swt. memulai surah ini dengan tiga sumpah agung. Sumpah ini dimaksudkan untuk menarik perhatian luar biasa terhadap pernyataan yang akan datang. Malam (*Al-Lail*) dan siang (*An-Nahar*) adalah manifestasi dari dualitas di alam semesta, sebuah ritme kehidupan yang tidak pernah berhenti. Kata يَغْشَىٰ (yaghsha) berarti menutupi atau melingkupi, menggambarkan bagaimana malam datang menyelimuti siang dengan kegelapannya. Sebaliknya, تَجَلَّىٰ (tajalla) berarti terang benderang atau menampakkan diri, merujuk pada terbukanya siang.
Sumpah ketiga, demi penciptaan laki-laki dan perempuan, menekankan dualitas yang sama dalam spesies manusia. Dualitas ini—malam/siang, laki-laki/perempuan—bukan hanya ciptaan yang berpasangan, tetapi juga simbol dari perbedaan amal dan konsekuensinya.
Jawab dari ketiga sumpah tersebut adalah: إِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّىٰ (Inna sa'yakum lashatta), yang berarti "Sungguh, usaha kamu memang beraneka ragam." Kata شَتَّىٰ (shattaa) secara harfiah berarti berbeda, beragam, atau berlawanan. Ini adalah inti pesan surah. Walaupun kita semua diciptakan dari pasangan yang sama (laki-laki dan perempuan), amal perbuatan kita terbelah menjadi dua jalur yang kontras: kebaikan atau keburukan, yang membawa pada takdir yang berbeda (Surga atau Neraka).
Setelah menetapkan adanya dualitas amal, surah ini kemudian merinci ciri-ciri dari dua kelompok manusia yang berbeda tersebut.
(5) فَأَمَّا مَن أَعْطَىٰ وَاتَّقَىٰ
5. Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa,
(6) وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَىٰ
6. Dan membenarkan (adanya pahala) yang terbaik (Surga),
(7) فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَىٰ
7. Maka Kami akan melapangkan baginya jalan kemudahan (kesuksesan).
Ayat ini menggambarkan profil seorang Mukmin yang sejati, yang menggabungkan tiga pilar utama:
Janji Balasan: Allah menjanjikan فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَىٰ (Fasanuyassiruhu lil Yusraa), yang berarti Allah akan memudahkan jalannya menuju kemudahan. Kemudahan ini diinterpretasikan sebagai taufik untuk melakukan amal saleh di dunia dan kemudahan memasuki Surga di akhirat. Jalan ketaatan menjadi mudah, walaupun secara fisik mungkin sulit, karena hatinya telah ditenangkan oleh iman.
Diriwayatkan bahwa ayat 5-10 ini diturunkan berkaitan dengan kontras antara dua individu di Mekah: Abu Bakar Ash-Shiddiq (sebagai prototipe golongan pertama) dan seorang yang kikir (sebagai prototipe golongan kedua). Abu Bakar dikenal sangat dermawan, sering membebaskan budak-budak Muslim yang lemah demi mencari keridaan Allah. Surah ini memuji sifat-sifatnya yang mengedepankan akhirat di atas harta.
(8) وَأَمَّا مَن بَخِلَ وَاسْتَغْنَىٰ
8. Dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (tidak membutuhkan Tuhan),
(9) وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَىٰ
9. Serta mendustakan (pahala) yang terbaik,
(10) فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَىٰ
10. Maka Kami akan melapangkan baginya jalan kesukaran (kehancuran).
(11) وَمَا يُغْنِي عَنْهُ مَالُهُ إِذَا تَرَدَّىٰ
11. Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila dia telah binasa.
Kelompok kedua memiliki sifat yang berkebalikan:
Janji Balasan Negatif: Untuk kelompok ini, Allah menjanjikan فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَىٰ (Fasanuyassiruhu lil ‘Usraa), yaitu jalan kesukaran. Kesukaran ini bukan hanya berarti kesulitan hidup, tetapi kesulitan dalam beramal dan beribadah. Mereka merasa tertekan untuk berbuat baik, dan di akhirat, mereka akan kesulitan menghadapi perhitungan Allah.
Ayat 11 menegaskan ketidakbergunaan harta saat kematian tiba (*taráddaa* - binasa atau jatuh ke jurang). Semua kekayaan yang dikumpulkan dengan susah payah dan kekikiran tidak akan menyelamatkan mereka sedikit pun dari azab Allah.
Visualisasi Keseimbangan: Amal manusia terbagi dua, masing-masing membawa konsekuensi yang berbeda.
(12) إِنَّ عَلَيْنَا لَلْهُدَىٰ
12. Sesungguhnya kewajiban Kami-lah memberi petunjuk,
(13) وَإِنَّ لَنَا لَلْآخِرَةَ وَالْأُولَىٰ
13. Dan sesungguhnya milik Kami-lah akhirat dan dunia.
Ayat 12 dan 13 berfungsi sebagai interupsi yang menegaskan kedaulatan Allah. Allah menjelaskan bahwa tugas-Nya adalah menunjukkan jalan yang benar (*Al-Huda*). Dia telah menyediakan petunjuk melalui wahyu dan utusan. Setelah petunjuk diberikan, manusia bebas memilih, namun pilihan tersebut berada di bawah pengawasan-Nya.
Pernyataan وَإِنَّ لَنَا لَلْآخِرَةَ وَالْأُولَىٰ mengingatkan bahwa Allah adalah penguasa mutlak, baik di dunia maupun di akhirat. Ini mematahkan anggapan orang kikir yang merasa hartanya di dunia dapat menyelamatkannya. Jika Allah menguasai keduanya, maka kekuasaan-Nya atas balasan akhirat jauh lebih besar daripada kekuasaan sementara manusia atas harta dunia.
(14) فَأَنذَرْتُكُمْ نَارًا تَلَظَّىٰ
14. Maka Aku memperingatkan kamu dengan api yang menyala-nyala (Neraka),
(15) لَا يَصْلَاهَا إِلَّا الْأَشْقَى
15. Yang tidak akan memasukinya kecuali orang yang paling celaka,
(16) الَّذِي كَذَّبَ وَتَوَلَّىٰ
16. Yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari keimanan).
Ayat 14 adalah peringatan tegas. Neraka disebut تَلَظَّىٰ (talaẓẓā), yang berarti membara atau menyala-nyala dengan hebat. Ini menunjukkan intensitas azab yang menanti.
Neraka ini, menurut ayat 15, hanya akan dimasuki oleh الْأَشْقَى (al-ashqaa), yaitu orang yang paling celaka atau paling merugi. Siapa mereka? Ayat 16 mendefinisikan mereka sebagai orang yang كَذَّبَ وَتَوَلَّىٰ (kadzdzaba wa tawallaa): mendustakan ajaran Nabi dan berpaling dari perintah Allah setelah kebenaran disampaikan kepada mereka. Ini adalah puncak kekafiran: bukan hanya menolak dengan lisan, tetapi menolak dengan perbuatan (kekikiran dan keangkuhan).
Keterkaitan antara kekikiran (Ayat 8) dan kecelakaan (Ayat 15-16) sangat jelas. Kekikiran bukanlah sekadar masalah finansial; ia adalah manifestasi dari penolakan terhadap kebenaran yang lebih besar, yaitu bahwa semua harta berasal dari Allah dan harus digunakan sesuai kehendak-Nya.
Setelah ancaman, surah ditutup dengan janji manis bagi golongan pertama, golongan yang bertakwa dan dermawan.
(17) وَسَيُجَنَّبُهَا الْأَتْقَى
17. Dan akan dijauhkan darinya (Neraka) orang yang paling bertakwa,
(18) الَّذِي يُؤْتِي مَالَهُ يَتَزَكَّىٰ
18. Yang menginfakkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkan dirinya,
(19) وَمَا لِأَحَدٍ عِندَهُ مِن نِّعْمَةٍ تُجْزَىٰ
19. Padahal tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya,
(20) إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَىٰ
20. Melainkan (dia berinfak itu) hanyalah mencari keridaan Tuhannya Yang Mahatinggi.
(21) وَلَسَوْفَ يَرْضَىٰ
21. Dan sungguh, kelak dia akan mendapatkan keridaan(-Nya).
Sebagaimana Neraka diperuntukkan bagi *Al-Ashqaa* (yang paling celaka), Surga dijanjikan bagi الْأَتْقَى (Al-Atqaa), orang yang paling bertakwa. Ciri utama ketakwaan ini adalah: يُؤْتِي مَالَهُ يَتَزَكَّىٰ (yu'ti maalahu yatazakkaa) – menginfakkan harta untuk mensucikan diri.
Kata يَتَزَكَّىٰ (yatazakkaa) berarti mensucikan. Infak dalam konteks ini bukan hanya pemberian materi, tetapi juga proses pembersihan jiwa dari sifat kikir, cinta dunia yang berlebihan, dan kesombongan.
Dua ayat terakhir ini merupakan puncak ajaran Surah Al-Lail tentang keikhlasan. Mengapa infak mereka begitu bernilai? Karena: وَمَا لِأَحَدٍ عِندَهُ مِن نِّعْمَةٍ تُجْزَىٰ. Artinya, mereka memberi bukan karena utang budi atau mengharapkan balasan dari manusia yang pernah berbuat baik kepada mereka.
Satu-satunya motivasi mereka adalah إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَىٰ—hanya mencari Wajah (keridaan) Allah Yang Mahatinggi. Ini membedakan infak *Al-Atqaa* dari sekadar filantropi atau amal untuk reputasi. Ini adalah tindakan murni ibadah dan pengorbanan yang dibalut keikhlasan total.
Penutup Janji (Ayat 21): Allah mengakhiri surah dengan janji yang pasti: وَلَسَوْفَ يَرْضَىٰ (Wa lasawfa yardhaa). Mereka akan mendapatkan keridaan Allah yang mutlak, yang merupakan balasan tertinggi di Surga, melebihi segala kenikmatan materi.
Surah Al-Lail menjadikan cara seseorang berinteraksi dengan hartanya sebagai tolok ukur utama ketakwaannya. Harta (dunia) dan agama (akhirat) adalah dua hal yang sering bertentangan dalam diri manusia. Surah ini mengajarkan bahwa infak yang tulus adalah jalan untuk mengatasi konflik ini dan memprioritaskan akhirat. Kekikiran (*bakhil*) diposisikan sejajar dengan pendustaan terhadap kebenaran, karena menahan harta adalah bukti bahwa seseorang lebih percaya pada kekuatan materi daripada janji Allah.
Kedermawanan di sini bukan sekadar transfer uang, tetapi penyerahan diri. Ketika seseorang dengan mudah memberikan apa yang ia cintai (harta), ia menunjukkan bahwa ikatan hatinya dengan dunia telah dilepaskan demi menggapai cinta Ilahi.
Konsep kemudahan dan kesukaran dalam Al-Lail memiliki dimensi psikologis dan spiritual yang mendalam, melebihi sekadar kemudahan hidup sehari-hari:
Ayat 19 dan 20 menegaskan bahwa amal tidak sah kecuali didasarkan pada keikhlasan total. Syarat infak yang menyelamatkan adalah infak yang dilakukan:
Kedermawanan (Infak) adalah cerminan dari pensucian diri (Yatazakka).
Surah Al-Lail, meskipun singkat, memberikan kritik tajam terhadap pandangan hidup yang didominasi oleh materialisme, yang ditandai oleh sifat Istaghnaa (merasa cukup dan tidak butuh Tuhan). Dalam masyarakat modern, di mana kekayaan sering dijadikan ukuran kesuksesan tunggal, ayat-ayat ini berfungsi sebagai pengingat keras. Orang yang sombong karena harta dan mengabaikan kewajiban sosial dan spiritualnya adalah orang yang paling celaka, meskipun ia mungkin tampak paling sukses di dunia.
Pesan ini relevan bagi kaum Muslim yang hidup di tengah kapitalisme global. Surah ini menantang kita untuk bertanya: Apakah kita mengumpulkan harta untuk memenuhi kebutuhan kita, ataukah kita mengumpulkan harta karena kita mendustakan Yang Terbaik (akhirat)?
Pensucian jiwa adalah tujuan utama ibadah dalam Islam. Al-Lail menunjukkan bahwa infak yang ikhlas adalah salah satu alat utama untuk mencapai *tazkiyatun nafs*. Dengan memberi, seseorang membersihkan dirinya dari:
Orang yang berinfak untuk *yatazakkaa* menyadari bahwa harta adalah ujian, dan cara terbaik untuk lulus adalah dengan melepaskan sebagian darinya demi mencari keridaan Sang Pemberi Rezeki.
Walaupun Surah Al-Lail membahas amal pribadi (infak), dampaknya meluas ke ranah sosial. Kedermawanan orang bertakwa (seperti Abu Bakar yang membebaskan budak) menunjukkan bahwa ketakwaan yang sejati harus memiliki dimensi sosial. Ketika harta didistribusikan secara adil dan tulus, hal itu menciptakan kemudahan (*Al-Yusraa*) tidak hanya bagi si pemberi, tetapi juga bagi masyarakat yang lebih luas.
Sebaliknya, kekikiran yang dicela oleh Allah menciptakan kesukaran (*Al-Usraa*) bagi masyarakat, memicu ketidakadilan dan kesenjangan ekonomi, serta mengerasnya hati individu.
Ulama Tafsir mendiskusikan tiga makna utama dari *Al-Husnaa* (Yang Terbaik) yang harus dibenarkan oleh kelompok pertama dan didustakan oleh kelompok kedua:
Membenarkan *Al-Husnaa* berarti sepenuhnya yakin bahwa investasi terbaik adalah investasi spiritual di jalan Allah, sementara mendustakannya berarti menganggap dunia adalah satu-satunya realitas dan keuntungan materi adalah satu-satunya tujuan.
Pilihan kata dalam Surah Al-Lail sangat disengaja untuk menciptakan kontras yang tajam antara kebaikan dan keburukan.
Pemilihan kata kerja ini menciptakan gambaran visual yang dinamis. Malam digambarkan sebagai sesuatu yang aktif, menutupi, dan menyembunyikan (*yaghsha*), melambangkan misteri, kesulitan, dan mungkin juga kesembunyian amal (ikhlas). Siang, sebaliknya, digambarkan sebagai sesuatu yang menampakkan dan menerangi (*tajalla*), melambangkan kejelasan, keterbukaan, dan Hari Kiamat (Hari Penampakan segala amal).
Penggunaan pola *af’al* (superlatif) dalam bahasa Arab, yaitu *Al-Ashqaa* dan *Al-Atqaa*, menekankan bahwa konsekuensi amal perbuatan tidak main-main; ini bukan sekadar orang celaka atau orang bertakwa, melainkan yang paling ekstrim di antara golongan masing-masing. Ini menunjukkan bahwa pilihan jalan hidup yang diuraikan dalam surah ini akan membawa seseorang ke puncak kebahagiaan atau ke dasar kehancuran.
Ayat 8 menggabungkan dua sifat buruk yang saling terkait: kekikiran hati dan keangkuhan spiritual. Orang kikir tidak hanya menahan hartanya, tetapi juga secara mental dan spiritual meyakini bahwa ia tidak memerlukan pertolongan atau rahmat Allah (*Istaghnaa*). Kombinasi ini adalah resep sempurna untuk kebinasaan, karena ia menolak Allah dan juga menolak kewajiban sosial.
Surah Al-Lail menyajikan sebuah pelajaran universal yang abadi mengenai pilihan dan konsekuensi. Dimulai dengan sumpah demi dualitas alam semesta—malam dan siang—surah ini menegaskan bahwa setiap individu memiliki dualitas amal yang akan menentukan nasibnya di hari akhir.
Pilihan ada pada kita: menjadi Al-Atqaa (yang paling bertakwa) yang menggunakan harta bendanya sebagai alat untuk pensucian diri dan mencari keridaan Allah semata, sehingga jalannya menuju kebaikan dimudahkan (*Al-Yusraa*); atau menjadi Al-Ashqaa (yang paling celaka) yang dikuasai kekikiran dan keangkuhan, sehingga jalannya menuju kesukaran diperlapang (*Al-Usraa*).
Surah ini mendorong setiap Muslim untuk merenungkan kembali motivasi di balik setiap pemberian dan setiap usaha. Kunci keselamatan terletak pada keikhlasan mutlak, membebaskan diri dari mengharapkan balasan manusia, dan sepenuhnya beriman pada janji Allah Yang Mahatinggi. Hanya dengan menempuh jalan kedermawanan yang tulus inilah kita dapat dijamin dijauhkan dari api yang menyala-nyala dan mendapatkan keridaan abadi dari Sang Pencipta.
Al-Lail sering kali dipelajari bersama surah-surah Makkiyyah lainnya, seperti Ad-Dhuha (Waktu Dhuha) dan Al-Insyirah (Melapangkan). Ketiga surah ini menggunakan sumpah kosmik (waktu/fenomena alam) untuk memberikan jaminan kepada Nabi ﷺ dan umatnya.
Keterkaitan ini menunjukkan tema umum dalam periode Makkiyyah: meyakinkan para pengikut awal bahwa di balik perjuangan (malam/kesulitan), pasti ada balasan dan kemudahan (siang/pertolongan), asalkan mereka tetap teguh pada tauhid dan kedermawanan yang tulus.
Kata *Yatazakkaa* (membersihkan diri) berasal dari akar kata yang sama dengan *Zakat*. Ini menunjukkan bahwa zakat, sedekah, dan infak, bukanlah sekadar kewajiban ekonomi, melainkan ritual pensucian diri. Para mufassir menekankan bahwa tindakan memberi adalah proses dekonstruksi ego. Ketika ego terdominasi oleh harta, jiwa menjadi kotor. Dengan memberi, jiwa disucikan, dan seseorang menjadi layak menerima taufik (kemudahan) dan akhirnya keridaan Allah.
Jika infak dilakukan dengan motif yang tidak murni (misalnya untuk popularitas), maka ia gagal dalam fungsi *tazkiyah* ini dan hanya menjadi pengeluaran belaka yang tidak memiliki bobot spiritual di sisi Allah.
Semoga kajian mendalam tentang Surah Al-Lail ini dapat mendorong kita semua untuk senantiasa memilih jalan kemudahan yang disukai Allah: jalan kedermawanan yang murni dan ketakwaan yang teguh, sehingga kita termasuk golongan *Al-Atqaa* yang dijanjikan keridaan abadi.