Surah At-Tin, salah satu permata dalam Al-Qur'an, membuka lembaran tilawahnya dengan sumpah yang penuh makna atas dua buah yang mulia: zaitun dan tin. Sumpah ini mengantarkan kita pada pembahasan mendalam mengenai penciptaan manusia, hakikat kehidupan, dan tujuan akhir eksistensi kita. Fokus utama kita kali ini adalah pada ayat 4 hingga 6, di mana Allah SWT secara gamblang menggambarkan bagaimana manusia diciptakan dalam bentuk yang paling sempurna, namun juga diperingatkan akan potensi jatuh ke dalam kehinaan jika mengingkari nikmat-Nya.
Ayat keempat ini merupakan pernyataan tegas tentang keistimewaan manusia di mata Sang Pencipta. Frasa "bentuk yang sebaik-baiknya" (أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ - ahsani taqwim) tidak hanya merujuk pada kesempurnaan fisik, tetapi juga mencakup potensi intelektual, spiritual, dan moral yang dianugerahkan kepada manusia. Dibandingkan makhluk lain, manusia memiliki akal untuk berpikir, hati untuk merasa, dan kehendak bebas untuk memilih jalan hidupnya. Kesempurnaan ini adalah amanah yang luar biasa, sebuah investasi ilahi yang menuntut tanggung jawab besar dari setiap individu.
Namun, keindahan penciptaan ini tidak datang tanpa syarat. Allah SWT melanjutkan dengan memberikan sebuah peringatan yang sangat penting dalam ayat kelima:
Ayat kelima ini bisa menimbulkan pertanyaan: bagaimana mungkin manusia yang diciptakan dalam bentuk terbaik dapat dikembalikan ke tempat yang paling rendah? Para ulama tafsir menjelaskan bahwa "tempat yang serendah-rendahnya" (أَسْفَلَ سَافِلِينَ - asfala safilin) bukanlah kondisi fisik, melainkan kondisi spiritual dan moral. Ini merujuk pada keadaan seseorang yang terjerumus ke dalam kesesatan, kekufuran, kemaksiatan, dan segala bentuk perbuatan yang jauh dari ajaran agama. Ketika manusia menyalahgunakan akal dan kehendak bebasnya untuk mengingkari nikmat Allah, berpaling dari jalan kebenaran, dan menolak petunjuk-Nya, ia akan terjun ke dalam jurang kehinaan yang lebih dalam daripada binatang sekalipun. Ini adalah konsekuensi logis dari penolakan terhadap kesempurnaan yang telah dianugerahkan.
Simbol keseimbangan dan pilihan.
Menanggapi kondisi potensi kehinaan ini, Allah SWT memberikan solusi dan harapan dalam ayat keenam:
Ayat ini menawarkan jalan keluar yang jelas. Kunci untuk menghindari jurang kehinaan dan meraih predikat "sebaik-baiknya ciptaan" secara hakiki adalah melalui dua pilar utama: keimanan dan amal saleh. Keimanan yang tulus kepada Allah SWT, para nabi, kitab-kitab-Nya, malaikat, hari akhir, dan qada' serta qadar, adalah fondasi utama. Keimanan ini kemudian harus diwujudkan dalam tindakan nyata, yaitu amal saleh. Amal saleh mencakup seluruh perbuatan baik yang dilakukan semata-mata karena Allah, baik itu ibadah vertikal kepada-Nya maupun hubungan baik dengan sesama manusia dan seluruh ciptaan-Nya.
Bagi mereka yang mampu memelihara keimanan dan konsisten dalam beramal saleh, Allah menjanjikan "pahala yang tiada putus-putusnya" (أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ - ajrun ghairu mamnun). Kata "tiada putus-putusnya" dapat diartikan sebagai pahala yang tidak terputus, berkelanjutan, tidak dibatasi, dan tidak pula mengurangi. Ini adalah janji surgawi yang merupakan buah manis dari perjuangan di dunia. Kehormatan dan kesuksesan sejati bukanlah terletak pada status duniawi semata, melainkan pada kesanggupan seseorang untuk menjaga fitrah kesempurnaan penciptaannya melalui ketundukan pada Sang Pencipta.
Dengan memahami Surah At-Tin ayat 4-6, kita diingatkan kembali akan anugerah luar biasa yang telah Allah berikan kepada kita sebagai manusia. Kita diberikan potensi terbaik, namun juga dibebani tanggung jawab untuk menjaganya. Pilihan untuk meraih kesempurnaan hakiki atau terjerumus dalam kehinaan sepenuhnya berada di tangan kita, dibimbing oleh keimanan dan diwujudkan melalui amal saleh. Mari kita jadikan ayat-ayat ini sebagai pengingat abadi untuk terus berjuang di jalan kebaikan.