Teks Arab, Transliterasi Latin, Terjemah, dan Kajian Tafsir Mendalam
Surah Al Kahfi adalah surah ke-18 dalam Al-Qur'an, terdiri dari 110 ayat, dan termasuk golongan surah Makkiyah. Surah ini memiliki kedudukan yang sangat istimewa, terutama karena berisi empat kisah utama yang menjadi perlambang empat jenis fitnah (ujian) terbesar yang akan dihadapi manusia di dunia: Fitnah Keimanan, Fitnah Harta, Fitnah Ilmu, dan Fitnah Kekuasaan.
Membaca Surah Al Kahfi, khususnya pada malam atau hari Jumat, merupakan amalan yang sangat ditekankan dalam sunnah Rasulullah ﷺ. Keutamaan membaca surah ini tidak hanya terbatas pada pahala spiritual, tetapi juga sebagai benteng perlindungan, terutama dari fitnah Dajjal di akhir zaman.
Empat kisah inti dalam Surah Al Kahfi adalah kunci untuk memahami cara menghadapi berbagai ujian kehidupan:
Berikut adalah pembacaan surah Al Kahfi secara lengkap, disajikan per segmen ayat untuk memudahkan penghayatan dan pemahaman tafsirnya. Kami menyertakan teks Arab yang jelas, transliterasi Latin sebagai bantuan bacaan, serta terjemahan dan ulasan tafsir yang fokus pada pelajaran yang terkandung di dalamnya.
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنزَلَ عَلَىٰ عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَل لَّهُ عِوَجًا ۜ (1)
Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepada hamba-Nya dan Dia tidak menjadikannya bengkok;
Pembukaan Surah Al Kahfi langsung menegaskan sumber kebenaran: Al-Qur'an adalah Kitab yang lurus (tidak bengkok/kontradiktif). Ini adalah pondasi, terutama karena surah ini membahas keraguan dan penyimpangan yang muncul dari empat fitnah besar. Klaim ketidak-bengkokan ini berfungsi sebagai penangkal awal bagi siapapun yang berusaha mencari kelemahan dalam syariat atau wahyu. Al-Qur'an datang sebagai penegak kebenaran mutlak, yang tidak terpengaruh oleh perubahan waktu, hawa nafsu, atau filsafat manusiawi. Pujian ini juga mengisyaratkan bahwa dalam menghadapi fitnah, pegangan terbaik adalah Kitabullah.
قَيِّمًا لِّيُنذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِّن لَّدُنْهُ وَيُبَشِّرَ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا حَسَنًا (2)
Qayyimal liyunżira ba'san syadīdam mil ladunhu wa yubasysyiral-mu'minīnallażīna ya'malụnaṣ-ṣāliḥāti anna lahum ajran ḥasanā.sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan (manusia) akan siksa yang sangat pedih dari sisi-Nya dan memberikan kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan kebajikan, bahwa mereka akan mendapat balasan yang baik,
Kata 'Qayyiman' (lurus dan tegak) menekankan bahwa Al-Qur'an tidak hanya bebas dari penyimpangan (‘iwajan) tetapi juga merupakan standar hukum dan moral yang sempurna. Fungsi Kitab ini dua: peringatan (indzar) terhadap azab yang keras dan kabar gembira (tabsyir) bagi orang mukmin yang beramal saleh. Keseimbangan antara harapan dan ketakutan (khauf dan raja') adalah inti dari pesan ini, membentuk pola pikir yang diperlukan agar seseorang tidak terjerumus dalam fitnah harta atau kekuasaan, di mana kesenangan duniawi sering kali membutakan dari azab yang kekal.
Ayat 3-8 membahas bahwa balasan yang baik itu adalah surga, tempat mereka kekal di dalamnya. Ayat-ayat ini juga memperingatkan orang-orang yang mengatakan Allah memiliki anak (klaim Trinitas atau klaim pagan lainnya), sebuah fitnah keimanan yang parah. Surah ini menetapkan bahwa segala sesuatu di bumi, termasuk harta dan kemegahan, hanyalah perhiasan sementara yang pada akhirnya akan menjadi tanah yang kering dan gersang. Hal ini mempersiapkan pembaca untuk kisah Fitnah Harta (Kisah Dua Kebun).
Kisah Ashabul Kahfi adalah narasi tentang sekelompok pemuda yang hidup di tengah masyarakat kafir yang memaksa mereka menyembah berhala. Demi mempertahankan tauhid (keimanan), mereka memilih meninggalkan segala kemewahan dan mencari perlindungan di dalam gua. Kisah ini adalah representasi utama dari Fitnah Keimanan, di mana seseorang dihadapkan pada pilihan sulit: mengorbankan keyakinan demi keselamatan duniawi atau mengorbankan duniawi demi keyakinan.
أَمْ حَسِبْتَ أَنَّ أَصْحَابَ الْكَهْفِ وَالرَّقِيمِ كَانُوا مِنْ آيَاتِنَا عَجَبًا (9)
Am ḥasibta anna aṣ-ḥābal-kahfi war-raqīmi kānū min āyātinā ‘ajabā.Apakah engkau mengira bahwa sesungguhnya penghuni gua dan (lembaran) yang tertulis itu, termasuk sebagian di antara tanda-tanda kebesaran Kami yang menakjubkan?
Allah memulai kisah ini dengan pertanyaan retoris, menegaskan bahwa mukjizat Ashabul Kahfi hanyalah salah satu dari banyak tanda kebesaran-Nya. Kisah ini diceritakan bukan karena keunikannya, melainkan karena pelajarannya yang universal. Para pemuda tersebut bersembunyi (Ayat 10), berdoa dengan tulus, memohon rahmat dan petunjuk dalam urusan mereka. Tindakan mereka menunjukkan bahwa ketika fitnah keimanan datang, langkah terbaik adalah isolasi, hijrah, dan penyerahan total kepada Allah (Rabbana atina milladunka rahmah). Mereka mencari perlindungan vertikal (dari Allah), bukan horizontal (dari manusia).
Kisah ini mengajarkan prinsip-prinsip Tauhid yang kokoh. Para pemuda tersebut, meskipun minoritas dan lemah, menolak untuk berkompromi dengan keimanan. Tidur mereka selama 309 tahun adalah metafora tentang bagaimana Allah melindungi keimanan hamba-Nya dari kerusakan waktu dan lingkungan yang korup. Durasi tidur yang panjang juga menegaskan kekuasaan Allah atas waktu dan kematian. Ketika mereka bangun, tantangan yang mereka hadapi bukanlah lagi penganiayaan fisik, melainkan masalah interaksi dengan dunia yang telah berubah (Ayat 19). Hal ini menunjukkan bahwa mempertahankan keimanan memerlukan kewaspadaan bahkan setelah cobaan besar berlalu. Pelajaran terpenting: ketika menghadapi tekanan agama, berpegang teguh pada tauhid, dan carilah perlindungan Allah, yang akan memberi jalan keluar di mana pun kita berada.
Ayat 23-24, yang menyinggung pentingnya mengucapkan Insha Allah (jika Allah menghendaki), disisipkan di tengah kisah ini. Ini adalah teguran langsung kepada Nabi Muhammad ﷺ (yang diriwayatkan lupa mengatakannya saat ditanya tentang kisah ini) dan juga pelajaran universal: bahkan ketika berencana lari dari fitnah keimanan, manusia tidak boleh lupa bahwa segala urusan berada di bawah kehendak Allah. Kekuatan para pemuda gua bukanlah pada rencana mereka, melainkan pada kehendak Ilahi yang bekerja melalui mereka.
Setelah membahas fitnah keimanan, surah ini beralih ke Fitnah Harta, yang sering kali menjadi sebab utama kehancuran moral seseorang setelah imannya teruji. Kisah Dua Kebun adalah perumpamaan tentang seorang kaya raya yang sombong dan temannya yang miskin tetapi bersyukur dan beriman.
وَاضْرِبْ لَهُم مَّثَلًا رَّجُلَيْنِ جَعَلْنَا لِأَحَدِهِمَا جَنَّتَيْنِ مِنْ أَعْنَابٍ وَحَفَفْنَاهُمَا بِنَخْلٍ وَجَعَلْنَا بَيْنَهُمَا زَرْعًا (32)
Waḍrib lahum maṡalar rajulaini ja‘alnā li’aḥadihimā jannataini min a‘nābiw wa ḥafafnāhumā binakhliw wa ja‘alnā bainahumā zar‘ā.Dan berikanlah kepada mereka perumpamaan dua orang laki-laki, Kami jadikan bagi salah seorang di antara keduanya dua kebun anggur dan Kami kelilingi keduanya dengan pohon-pohon kurma dan di antara keduanya (kebun) Kami buatkan ladang.
Laki-laki kaya itu diberikan kekayaan yang luar biasa—dua kebun yang subur, dikelilingi kurma, dialiri sungai. Ini melambangkan puncak kemewahan duniawi. Namun, kekayaan ini justru menumbuhkan kesombongan dan kekafiran. Ia berkata, “Hartaku lebih banyak dan pengikutku lebih kuat.” Inilah manifestasi dari fitnah harta: kekayaan yang seharusnya menjadi alat untuk bersyukur, malah menjadi sumber keangkuhan dan penolakan terhadap Hari Kiamat. Ayat ini mengajarkan bahwa fitnah harta tidak terletak pada banyaknya harta itu sendiri, melainkan pada pandangan bahwa harta tersebut didapatkan murni karena kemampuan pribadi, bukan anugerah Ilahi.
Dialog antara kedua pria ini sangat instruktif. Pria yang beriman mengingatkan temannya untuk mengucapkan ‘Mā shā’ Allāh lā quwwata illā billāh’ (Sungguh, atas kehendak Allah, semua ini terjadi; tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah) setiap kali melihat kebunnya. Ini adalah doa penangkal kesombongan (Ayat 39). Ketika kesombongan itu mencapai puncaknya (Ayat 35: klaim bahwa kebunnya tidak akan pernah binasa dan Hari Kiamat tidak akan terjadi), maka kehancuran datang seketika (Ayat 42).
Harta itu binasa dalam semalam. Penyesalan datang terlambat, dan ia hanya bisa membolak-balikkan telapak tangannya. Pelajaran penting dari segmen ini adalah mengenai konsep istidrāj (penangguhan hukuman): Allah memberikan kelapangan rezeki kepada seseorang, namun ia menggunakannya untuk menentang-Nya, hingga tiba-tiba azab datang tanpa peringatan. Ayat 45 kemudian menyajikan perumpamaan air hujan yang menumbuhkan tanaman lalu mengeringkannya kembali, menegaskan bahwa kehidupan dunia fana, secepat kilat. Ini adalah persiapan psikologis bagi orang mukmin agar hatinya tidak tertambat pada perhiasan dunia.
Jika Fitnah Harta adalah tentang kesombongan atas apa yang dimiliki, Fitnah Ilmu adalah tentang kesombongan atas apa yang diketahui. Kisah ini mengajarkan bahwa ilmu Allah jauh melampaui pengetahuan manusia, bahkan pengetahuan para nabi. Nabi Musa, salah satu nabi Ulul Azmi, diperintahkan untuk mencari seorang hamba Allah (Khidir) yang dianugerahi ilmu khusus dari sisi-Nya.
وَإِذْ قَالَ مُوسَىٰ لِفَتَاهُ لَا أَبْرَحُ حَتَّىٰ أَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ أَوْ أَمْضِيَ حُقُبًا (60)
Wa iż qāla mūsā lifatāhu lā abraḥu ḥattā abluġa majma‘al-baḥraini au amḍiya ḥuqubā.Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada pembantunya, “Aku tidak akan berhenti berjalan sebelum sampai ke pertemuan dua laut; atau aku akan berjalan terus hingga bertahun-tahun.”
Perjalanan Musa adalah perjalanan kerendahan hati dalam mencari ilmu. Dia bersedia menempuh jarak yang sangat jauh (sampai persimpangan dua laut) dan waktu yang lama. Ini adalah pelajaran bagi setiap penuntut ilmu (thalibul ‘ilm): ilmu sejati memerlukan pengorbanan, kesabaran, dan pengakuan bahwa masih ada ilmu yang belum kita ketahui. Pertemuan dengan Khidir (Ayat 65) terjadi setelah mereka kehilangan ikan yang membawa pertanda. Khidir memiliki ‘ilman milladunna’ (ilmu dari sisi Kami), yaitu ilmu yang bersumber langsung dari wahyu, bukan melalui proses belajar rasional.
Kesabaran Musa diuji melalui tiga peristiwa yang dilakukan Khidir, yang secara lahiriah tampak salah dan tidak adil:
Khidir melubangi perahu milik orang-orang miskin. Musa protes karena ini merugikan mereka. Tafsirnya: Khidir merusak perahu itu agar perahu tersebut tidak dirampas oleh raja zalim yang akan datang. Kerusakan kecil mencegah kerugian besar. Pelajaran: Musibah yang menimpa kita mungkin adalah perlindungan dari bencana yang lebih besar. Ini mengajarkan bahwa keburukan yang kita saksikan bisa jadi adalah kebaikan yang tersembunyi (al-khairul khafiy).
Khidir membunuh anak muda tanpa alasan yang jelas bagi Musa. Tafsirnya: Anak itu kelak akan tumbuh menjadi durhaka dan menyesatkan kedua orang tuanya yang saleh. Allah menggantinya dengan anak yang lebih baik. Pelajaran: Ujian ini adalah yang paling sulit diterima akal manusia. Menghadapi fitnah ilmu, kita harus mengakui bahwa Allah memiliki rencana yang melampaui logika dan etika kasat mata kita. Kebaikan yang datang dari takdir Ilahi mungkin memerlukan pengorbanan yang menyakitkan di permukaan.
Khidir memperbaiki dinding yang hampir roboh di sebuah kota di mana penduduknya menolak memberi mereka makan. Tafsirnya: Dinding itu milik dua anak yatim, dan di bawahnya tersembunyi harta. Dinding harus diperbaiki sebelum anak-anak itu dewasa, sebagai bentuk rahmat dari ayah mereka yang saleh. Pelajaran: Amal kebajikan seseorang (kesalehan ayah) dapat memberikan manfaat kepada keturunannya bahkan setelah ia meninggal. Ilmu sejati mengajarkan tentang keadilan Allah yang menjangkau generasi.
Kisah ini adalah penawar utama bagi Fitnah Ilmu, yaitu anggapan bahwa ilmu yang kita miliki sudah mencukupi atau superior. Musa, meskipun seorang Nabi dan pembawa risalah besar, diperintahkan untuk tunduk dan belajar dari Khidir, hamba Allah yang representasi ilmunya adalah ilmu hikmah (kebijaksanaan) dan takdir. Khidir menekankan (Ayat 78) bahwa ia tidak melakukan hal itu atas kehendaknya sendiri, melainkan atas perintah Allah. Ini mengajarkan bahwa hikmah Ilahi sering kali tersembunyi di balik peristiwa yang kita anggap buruk atau tidak adil.
Setiap tindakan Khidir terkait dengan perlindungan (perlindungan harta orang miskin, perlindungan iman orang tua saleh, dan perlindungan harta anak yatim). Surah Al Kahfi mengajarkan bahwa ilmu tertinggi adalah ilmu yang memahami bagaimana takdir Allah bekerja demi kebaikan hamba-Nya yang beriman, meskipun jalannya penuh teka-teki. Sikap yang diperlukan dalam menghadapi fitnah ilmu adalah kerendahan hati (tawadhu') dan pengakuan bahwa "Ilmu Allah meliputi segala sesuatu." Siapa pun yang sombong dengan ilmunya akan mudah terjebak dalam kesesatan karena ia menolak kemungkinan adanya kebenaran yang tidak dapat ia jangkau.
Kisah terakhir, tentang Dzulqarnain (Pemilik Dua Tanduk/Dua Masa), membahas Fitnah Kekuasaan. Ia adalah seorang penguasa adil yang dianugerahi kekuasaan, sumber daya, dan kemampuan untuk melakukan perjalanan ke ujung timur dan barat bumi. Berbeda dengan Fir'aun atau raja-raja zalim lainnya, Dzulqarnain menggunakan kekuasaannya semata-mata untuk menegakkan keadilan dan membantu orang-orang yang tertindas.
وَيَسْأَلُونَكَ عَن ذِي الْقَرْنَيْنِ ۖ قُلْ سَأَتْلُو عَلَيْكُم مِّنْهُ ذِكْرًا (83)
Wa yas'alụnaka ‘an żil-qarnain; qul sa'atlụ ‘alaikum minhu żikrā.Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulqarnain. Katakanlah: "Aku akan bacakan kepadamu cerita tentangnya."
Dzulqarnain adalah contoh teladan bagaimana seharusnya kekuasaan dijalankan. Ayat 84 menyatakan bahwa Kami (Allah) yang telah memberikan kepadanya kekuasaan di bumi dan memberikan jalan (sarana) baginya untuk mencapai segala sesuatu. Dzulqarnain selalu mengaitkan keberhasilannya pada karunia Allah. Ini adalah pembeda utama antara penguasa yang adil dan yang zalim: penguasa adil sadar bahwa kekuasaannya adalah pinjaman dan ujian dari Allah.
Dzulqarnain tiba di tempat terbenamnya matahari (secara visual, bukan geografis). Di sana, ia menemukan kaum yang zalim. Ia diberi pilihan untuk menghukum atau memperlakukan mereka dengan baik. Dzulqarnain menegaskan bahwa ia akan menghukum yang zalim, sementara yang beriman dan beramal saleh akan diperlakukan dengan baik dan diberi kemudahan. Kekuasaan digunakan untuk menegakkan hukum Allah, bukan nafsu pribadi.
Dzulqarnain tiba di tempat terbitnya matahari, menemukan kaum yang tidak memiliki penutup dari matahari (mungkin secara kiasan, kaum yang sangat primitif atau tertinggal). Ia tidak mengeksploitasi mereka, melainkan melewati mereka. Ini menunjukkan penggunaan kekuasaan dengan kebijaksanaan, menghormati kondisi masyarakat setempat tanpa memaksakan perubahan drastis, kecuali untuk kebaikan fundamental.
Ini adalah klimaks kisah Dzulqarnain. Ia bertemu dengan kaum yang mengadu tentang Ya'juj dan Ma'juj, yang membuat kerusakan di bumi. Mereka menawarkan upah agar Dzulqarnain membangun benteng. Dzulqarnain menolak upah (Ayat 95), menegaskan bahwa karunia Allah sudah cukup baginya. Ia hanya meminta bantuan fisik. Ini adalah puncak dari integritas kekuasaan: menolak suap dan menggunakan kekuasaan murni untuk kemaslahatan umat.
Benteng tersebut dibangun menggunakan potongan besi dan tembaga cair (Ayat 96), sebuah konstruksi yang sangat kokoh. Dzulqarnain menutup celah kerusakan dengan benteng. Ketika selesai, ia berkata: “Ini adalah rahmat dari Tuhanku.” (Ayat 98). Ia tidak mengambil pujian atas dirinya sendiri, tetapi mengembalikannya kepada Allah, dan ia mengingatkan bahwa benteng itu hanya bersifat sementara; ia akan dihancurkan pada Hari Kiamat. Kekuasaan yang hakiki dan kekal hanyalah milik Allah.
Dzulqarnain memberikan pelajaran fundamental tentang cara menangani Fitnah Kekuasaan. Kekuasaan adalah ujian terbesar karena ia menyediakan sarana untuk memuaskan semua keinginan ego. Dzulqarnain menunjukkan empat karakter kunci penguasa adil:
Kisah ini menjadi sangat relevan dalam konteks akhir zaman, di mana fitnah kekuasaan dan ambisi politik merajalela. Dzulqarnain mengajarkan bahwa pemimpin sejati menggunakan kekuasaan untuk meredakan kekacauan (Ya'juj dan Ma'juj), bukan menciptakannya. Ia adalah penangkal ideal bagi kesombongan kekuasaan yang sering menjadi ciri khas pemimpin duniawi.
Bagian penutup surah ini merangkum semua pelajaran dari empat kisah di atas dan mengembalikannya kepada realitas akhirat. Allah mengingatkan tentang Hari Kiamat, di mana semua benteng (kekuasaan), harta, ilmu yang sombong, dan pengorbanan keimanan akan dipertimbangkan.
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُم بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا (103) الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا (104)
Qul hal nunabbi'ukum bil-akhsarīna a'mālā. Allażīna ḍalla sa'yuhum fil-ḥayātid-dun-yā wa hum yaḥsabūna annahum yuḥsinūna ṣun'ā.Katakanlah (Muhammad), "Maukah Kami beritahukan kepadamu tentang orang yang paling rugi perbuatannya?" (Yaitu) orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.
Ayat ini mendefinisikan kerugian terbesar: bekerja keras di dunia, namun usaha tersebut sesat, karena tidak didasari keimanan yang benar, dan mereka merasa telah melakukan kebaikan. Ini adalah cerminan dari Fitnah Ilmu dan Harta; orang kaya yang sombong merasa ia telah sukses, atau orang berilmu yang angkuh merasa ia telah mencapai puncak kebenaran. Mereka gagal karena amal mereka tidak didasari niat tulus (ikhlas) kepada Allah atau sesuai syariat-Nya. Pada hari itu, amal mereka tidak akan memiliki nilai (Ayat 105).
قُل لَّوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِّكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَن تَنفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا (109)
Qul lau kānal-baḥru midādal likalimāti rabbī lanafidāl-baḥru qabla an tanfada kalimātu rabbī walau ji'nā bimiṡlihī madadā.Katakanlah (Muhammad), "Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, pasti habislah lautan itu sebelum selesai (tertulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)."
Ayat ini adalah respons terhadap Fitnah Ilmu dan mengingatkan kembali kisah Musa dan Khidir. Ilmu Allah tak terbatas. Segala ilmu yang kita peroleh di dunia, bahkan jika ditulis menggunakan semua lautan di dunia sebagai tinta, tidak akan pernah bisa mencakup kesempurnaan dan keluasan ilmu Allah SWT. Ini adalah ajakan untuk selalu rendah hati dan haus akan pengetahuan yang bermanfaat, sambil mengakui keterbatasan diri.
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا (110)
Qul innamā ana basyarum miṡlukum yụḥā ilayya annamā ilāhukum ilāhuw wāḥid; fa mang kāna yarjū liqā'a rabbihī falya‘mal ‘amalan ṣāliḥaw wa lā yusyrik bi‘ibādati rabbihī aḥadā.Katakanlah (Muhammad), "Sesungguhnya aku ini hanyalah manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa." Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan amal saleh dan janganlah dia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya."
Ayat penutup ini memberikan kesimpulan sempurna bagi seluruh surah, yang merupakan benteng dari Fitnah Dajjal (fitnah terbesar yang mencakup semua fitnah lainnya: harta, ilmu, kekuasaan, dan keimanan). Kunci untuk selamat dari semua fitnah ini adalah dua pilar amal saleh:
Ayat ini mengajarkan bahwa meskipun kita menghadapi godaan keimanan seperti Ashabul Kahfi, godaan harta seperti kisah Dua Kebun, godaan ilmu seperti Musa, atau godaan kekuasaan seperti Dzulqarnain, jalan keluarnya selalu sama: amal yang benar (saleh) dan niat yang murni (ikhlas). Siapa pun yang menggabungkan kedua hal ini akan menjadi orang yang selamat saat bertemu Tuhannya.
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kita taufik dan hidayah untuk merenungkan dan mengamalkan isi Surah Al Kahfi, serta melindungi kita dari segala bentuk fitnah, khususnya fitnah Dajjal, hingga akhir hayat.