Pelajaran Abadi dari Empat Kisah Utama
Cahaya Petunjuk (Surat Al-Kahfi)
Surat Al-Kahfi (Gua) adalah surat Makkiyah yang memiliki 110 ayat. Surat ini dikenal luas karena keutamaannya dibaca pada hari Jumat. Surat ini berfungsi sebagai perlindungan spiritual, khususnya dari fitnah Dajjal, yang merupakan fitnah terbesar akhir zaman. Al-Kahfi memuat empat tema utama atau fitnah yang harus diwaspadai manusia, beserta solusi spiritualnya:
Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al-Kitab (Al-Qur'an) dan Dia tidak menjadikan padanya kebengkokan (kontradiksi).
Surat Al-Kahfi dibuka dengan pujian total (Alhamdulillah) kepada Allah SWT. Pujian ini merujuk secara spesifik pada tindakan-Nya menurunkan Al-Qur'an kepada Nabi Muhammad SAW (hamba-Nya). Penekanan utama dalam ayat ini adalah sifat Al-Qur'an: لَمْ يَجْعَل لَّهُۥ عِوَجَا (tidak dijadikan padanya kebengkokan). Kata ‘iwajan berarti penyimpangan, kontradiksi, atau kekurangan. Ini menegaskan bahwa hukum, kisah, dan petunjuk dalam Al-Qur'an adalah lurus, benar, adil, dan sempurna, serta tidak memerlukan koreksi dari akal atau hawa nafsu manusia. Ini adalah fondasi kebenaran yang akan menangkal semua jenis fitnah yang dibahas dalam surat ini.
Sebagai ajaran yang lurus, untuk memperingatkan (manusia) akan siksa yang sangat pedih dari sisi-Nya dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan kebajikan, bahwa mereka akan mendapat balasan yang baik.
Al-Qur'an disebut Qayyimā, artinya penegak atau penjaga kebenaran. Fungsinya adalah ganda: (1) Peringatan (Inżar): Untuk menakut-nakuti orang yang ingkar terhadap siksa yang sangat keras dari Allah. Siksa ini disebut ba'san syadīdan, menekankan kepastian dan intensitasnya. (2) Kabar Gembira (Tabsyir): Ditujukan kepada al-mu’minīn yang konsisten dalam amal saleh. Balasan yang baik (ajran ḥasanā) yang dijanjikan adalah Surga, tempat tinggal abadi.
Hubungan antara iman dan amal saleh ditekankan; iman tanpa tindakan nyata tidak cukup, dan tindakan tanpa iman yang benar adalah sia-sia. Struktur ayat ini menetapkan metodologi dakwah Islam: menggabungkan harapan dan ketakutan, kabar gembira dan peringatan.
Ayat 3 menjelaskan bahwa balasan baik itu adalah Surga yang mereka diami kekal selamanya. Ayat 4 dan 5 secara spesifik menyerang orang-orang yang mengatakan bahwa Allah mempunyai anak, sebuah klaim yang keji dan tanpa dasar ilmu. Ini menyinggung kelompok musyrikin Makkah dan juga kaum Nasrani yang tersesat dari ajaran tauhid. Pelajaran di sini adalah bahaya penyimpangan akidah yang merupakan pangkal dari segala fitnah.
Ayat 6 menenangkan hati Nabi Muhammad SAW yang bersedih melihat penolakan kaumnya. Allah berfirman, "Maka, barangkali engkau akan membinasakan dirimu karena bersedih hati mengikuti jejak mereka, jika mereka tidak beriman kepada keterangan ini." Ayat ini menunjukkan betapa besar rasa kasih dan keinginan Nabi agar kaumnya mendapat petunjuk.
Ayat 7 dan 8 menjelaskan tujuan penciptaan alam semesta dan isinya: "Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, untuk Kami uji mereka, siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya." Dunia ini adalah panggung ujian; perhiasan (harta, kekuasaan, keindahan) dimaksudkan untuk menguji komitmen kita. Pada akhirnya, semua perhiasan itu akan Kami jadikan tanah yang tandus (ṣa‘īdan juruzā), menunjukkan bahwa keindahan dunia ini bersifat fana dan tidak kekal.
Konteks penutupan delapan ayat pertama ini sangat penting: fondasi Al-Kahfi adalah Tauhid murni, penolakan syirik, dan kesadaran bahwa dunia adalah ujian sementara, yang merupakan penawar terhadap empat fitnah besar yang akan dijelaskan selanjutnya.
Allah membuka kisah ini dengan pertanyaan retoris, "Apakah engkau mengira bahwa sesungguhnya Ashabul Kahf dan Ar-Raqīm itu termasuk tanda-tanda kebesaran Kami yang menakjubkan?" Ini menunjukkan bahwa meskipun kisah ini luar biasa, itu bukanlah mukjizat terbesar Allah—mukjizat terbesar tetaplah Al-Qur'an itu sendiri. Ashabul Kahf adalah sekelompok pemuda yang hidup di tengah masyarakat kafir yang memaksa mereka menyembah berhala atau penguasa. Mereka menghadapi fitnah terbesar: fitnah iman.
Ayat 10 merekam doa ikhlas mereka saat memasuki gua: "Ya Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami ini." Doa ini mengajarkan prinsip penting: dalam menghadapi ancaman iman, kita harus berlindung kepada Allah, memohon rahmat-Nya, dan memohon kelurusan jalan (rusydā).
Kisah ini menjadi simbol perlawanan spiritual. Daripada mengorbankan iman, mereka memilih memisahkan diri dari masyarakat yang korup, membuktikan bahwa isolasi sementara demi menjaga akidah lebih utama daripada kompromi sosial yang merusak tauhid.
Ayat 11 menjelaskan bagaimana Allah menidurkan mereka di dalam gua selama bertahun-tahun (309 tahun). Ini adalah bukti kekuasaan Allah yang mampu menghentikan proses biologis. Ayat 13-14 menceritakan keberanian mereka dalam menolak kemusyrikan raja mereka. Mereka berdiri dan berkata, "Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru tuhan selain Dia. Sesungguhnya jika kami berbuat demikian, sungguh kami telah mengucapkan perkataan yang melampaui batas." Inilah pengakuan tauhid yang kuat di hadapan tirani.
Ayat 17 adalah salah satu ayat paling mendalam mengenai perlindungan fisik: "Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan apabila ia terbenam, ia menjauhi mereka ke sebelah kiri, sedang mereka berada dalam tempat yang lapang di dalamnya." Ini menunjukkan pengaturan kosmik mikro oleh Allah untuk melindungi tubuh mereka dari panas dan kelembaban, memastikan lingkungan yang steril dan ideal untuk tidur panjang tanpa membusuk. Anjing mereka (Qithmir) yang menjulurkan kedua kaki depan di ambang pintu (Ayat 18) juga menjadi bagian dari keajaiban tersebut, memberikan kesan menakutkan bagi siapa pun yang mendekat, sekaligus menjadi pelajaran tentang kesetiaan. Allah membolak-balikkan tubuh mereka saat tidur (walau tidak dijelaskan bagaimana), agar tanah tidak melahap daging mereka—semua ini adalah bukti pertolongan total Allah bagi hamba-Nya yang beriman.
Setelah 309 tahun, mereka dibangunkan. Mereka merasa hanya tidur sehari atau setengah hari (Ayat 19). Perubahan zaman dan mata uang yang mereka bawa adalah bukti nyata perubahan besar. Ini mengajarkan bahwa waktu dan peradaban manusia adalah relatif di hadapan kekuasaan Allah.
Ayat 22 membahas perselisihan orang-orang mengenai jumlah pemuda di gua: tiga (yang keempat anjingnya), lima (yang keenam anjingnya), atau tujuh (yang kedelapan anjingnya). Allah menutup perselisihan ini dengan kaidah agung: "Katakanlah: 'Tuhanku lebih mengetahui bilangan mereka.'" Pelajaran di sini adalah fokus pada substansi kisah (iman dan perlindungan) daripada detail numerik yang tidak penting, mengajarkan umat Islam untuk menjauhi perdebatan yang tidak membawa manfaat.
Ayat 23 dan 24 memberikan perintah fundamental terkait fitnah kekuasaan dan ilmu: Jangan pernah berkata, "Aku pasti akan melakukan itu besok," tanpa mengucapkan "Insya Allah." Lupa mengucap Insya Allah adalah lupa kepada Allah, dan inilah yang dapat menarik kita pada kesombongan dan fitnah. Ayat 26 menutup kisah Ashabul Kahf dengan menegaskan bahwa Allah adalah Pengatur Mutlak alam semesta.
Sebelum kisah pemilik kebun, Allah memberikan perintah langsung kepada Nabi Muhammad SAW (dan umatnya) untuk mengikuti wahyu (Ayat 27) dan tidak mengusir orang-orang fakir yang beriman, meskipun mereka miskin secara duniawi (Ayat 28). Perintah ini merupakan penawar spiritual terhadap fitnah harta; kita harus memilih persahabatan dengan orang yang hatinya tertuju pada Allah (yad'ūna Rabbahum bil-ghadāti wal-'asyiyy), bukan kepada orang kaya yang sombong.
Ayat 29 menegaskan kembali bahwa Kebenaran berasal dari Allah, dan barang siapa yang ingin beriman, silakan beriman; barang siapa yang ingin kafir, silakan kafir. Tetapi, bagi orang kafir, Allah telah menyiapkan api neraka yang akan mengepung mereka. Ayat-ayat ini memberikan kontras tajam antara kenikmatan sementara dunia dan balasan abadi di Akhirat (Ayat 31).
Kisah ini menggambarkan dua orang: yang satu diberi kekayaan luar biasa (dua kebun anggur yang dikelilingi kurma dan dialiri sungai) dan yang satu diberi sedikit kekayaan duniawi tetapi kaya iman. Fitnah dimulai ketika pemilik kebun menjadi sombong dan berkata kepada temannya (Ayat 35): "Aku lebih banyak hartanya dan lebih kuat pengikutnya." Kesombongan ini puncaknya ketika ia meragukan hari kiamat (Ayat 36): "Dan aku kira hari Kiamat itu tidak akan datang, dan sekiranya aku dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada kebun ini." Ini adalah gabungan fitnah harta dan fitnah keangkuhan.
Temannya yang miskin namun beriman menasihatinya (Ayat 38) dengan mengingatkannya pada asal-usulnya dari tanah dan pentingnya ucapan "Mā shā’ Allāh, lā quwwata illā billāh" (Apa yang dikehendaki Allah, maka itulah yang terjadi. Tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Ini adalah zikir penawar fitnah harta: menyadari bahwa semua nikmat adalah pinjaman dan datang dari kehendak Allah semata.
Ayat 42 menggambarkan kehancuran yang tiba-tiba. Kebunnya, yang ia banggakan, hancur lebur hanya dalam satu malam. Penyesalan datang terlambat, ia memukul-mukul kedua telapak tangannya karena kerugian besar. Ayat 44 menutup dengan kesimpulan: "Di tempat itu, pertolongan itu hanya dari Allah, Yang Maha Benar. Dia adalah sebaik-baik pemberi pahala, dan sebaik-baik pemberi balasan." Kekuasaan dan pertolongan sejati hanya milik Allah, bukan milik harta fana.
Ayat 45 memberikan perumpamaan yang sangat kuat untuk kehidupan duniawi, membandingkannya dengan air hujan yang menumbuhkan tanaman subur, namun segera setelah itu mengering dan diterbangkan angin. Ini menekankan kecepatan lenyapnya kenikmatan dunia, sebuah penegasan ulang dari Ayat 7-8. Obat fitnah harta adalah kesadaran akan kefanaan (faṇā’).
Ayat 46 menjelaskan bahwa harta benda dan anak-anak hanyalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amal kebajikan yang kekal (al-bāqiyātuṣ-ṣāliḥāt) lebih baik pahalanya di sisi Tuhan. Inilah investasi sejati yang tidak bisa dihancurkan seperti kebun anggur.
Ayat 47 dan 48 menggambarkan hari Kiamat, ketika bumi diratakan, manusia dikumpulkan, dan tidak ada yang tersembunyi. Ayat 49 menggambarkan momen ketika buku catatan amal (kitab) dibentangkan. Orang-orang yang berdosa akan ketakutan melihat catatan mereka, bertanya, "Mengapa kitab ini tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan mencatat semuanya?" Ini adalah penekanan pada keadilan absolut di hari perhitungan.
Ayat 50 memasukkan kisah Iblis, yang merupakan asal muasal segala fitnah dan godaan. Iblis diperintahkan bersujud kepada Adam, tetapi ia menolak karena kesombongan (fitnah kekuasaan/asal usul), dan ia berasal dari golongan jin. Allah menegur manusia yang mengambil Iblis dan keturunannya sebagai pelindung selain Allah. Ini mengingatkan kita bahwa sumber segala penyimpangan adalah mengikuti bisikan setan.
Ayat 54 menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah (aksara syai'in jadalan). Meskipun Al-Qur'an berisi setiap jenis perumpamaan dan argumen, manusia cenderung membantah kebenaran, terutama jika kebenaran itu bertentangan dengan kepentingan atau tradisi mereka.
Ayat 59 menjadi penutup segmen ini dengan memperingatkan tentang kehancuran umat-umat sebelum mereka yang zalim karena kekafiran. Allah memberikan waktu, tetapi ketika azab datang, tidak ada yang dapat menolong. Ini adalah peringatan bagi Makkah yang menolak pesan Nabi.
Kisah ini dimulai ketika Nabi Musa, seorang nabi yang dikenal memiliki pengetahuan luas dan diberi Taurat, merasa dirinya adalah orang yang paling berilmu di bumi. Allah kemudian menegurnya dengan menunjukkan bahwa ada hamba Allah yang lain (Khidr, atau Al-Khidr) yang memiliki ilmu khusus (ilmu laduni) yang tidak diberikan kepada Musa. Ini adalah penawar terhadap fitnah ilmu: kesadaran bahwa selalu ada yang lebih tahu (Ayat 60).
Musa melakukan perjalanan untuk bertemu Khidr, yang titik pertemuannya adalah Majma'ul Bahrain (tempat bertemunya dua lautan). Hilangnya ikan yang mereka bawa (yang hidup kembali dan melompat ke laut) menjadi tanda lokasi pertemuan (Ayat 63). Khidr setuju untuk mengajarkan Musa, tetapi dengan satu syarat: Musa harus bersabar dan tidak boleh bertanya sebelum Khidr sendiri yang menjelaskan (Ayat 67-68). Ini mengajarkan adab menuntut ilmu: sabar, tunduk, dan tidak terburu-buru menghakimi.
Tindakan pertama Khidr adalah melubangi perahu milik penduduk desa yang baik (Ayat 71). Musa langsung protes (Ayat 71): "Mengapa engkau melubangi perahu itu yang akibatnya engkau menenggelamkan penumpangnya?" Khidr mengingatkan janji Musa untuk sabar.
Penjelasan Khidr (Ayat 79): Alasan Khidr adalah terdapat raja zalim di belakang mereka yang akan merampas setiap perahu yang utuh. Dengan melubanginya, perahu itu akan terlihat cacat dan tidak akan dirampas. Setelah raja pergi, perahu tersebut bisa diperbaiki. Pelajaran: Kerusakan kecil (yang terlihat buruk) terkadang adalah bentuk pencegahan terhadap bahaya yang jauh lebih besar. Kebijaksanaan Ilahi seringkali tersembunyi di balik musibah yang tidak kita pahami.
Tindakan kedua Khidr adalah membunuh seorang anak muda yang sedang bermain (Ayat 74). Musa lebih terkejut lagi, "Sungguh, engkau telah melakukan perbuatan yang sangat mungkar!"
Penjelasan Khidr (Ayat 80-81): Anak itu ditakdirkan menjadi seorang kafir yang zalim dan akan menyusahkan orang tuanya yang saleh. Allah berkehendak mengganti anak itu dengan yang lebih suci dan lebih berbakti. Pelajaran: Keputusan tentang jiwa dan takdir berada sepenuhnya di tangan Allah. Apa yang kita lihat sebagai tragedi (kematian) mungkin adalah rahmat yang mencegah bencana spiritual yang lebih besar bagi orang tuanya.
Tindakan ketiga adalah membangun kembali dinding yang hampir roboh di desa yang sebelumnya menolak memberi mereka makan (Ayat 77). Musa protes karena seharusnya mereka meminta upah dari orang-orang yang kikir itu.
Penjelasan Khidr (Ayat 82): Dinding itu milik dua anak yatim di kota itu, dan di bawahnya terdapat harta karun yang dititipkan oleh ayah mereka yang saleh. Dinding itu harus diperbaiki agar harta itu aman sampai anak-anak itu dewasa. Khidr menegaskan bahwa semua perbuatannya itu ia lakukan BUKAN atas kehendaknya sendiri, melainkan atas perintah Allah. Pelajaran: Amal kebaikan seorang ayah (kesalehan) dapat melindungi keturunannya, bahkan setelah ia meninggal. Kesalehan memiliki dampak yang kekal dan luas.
Ayat 82 menutup kisah ini dengan Khidr berpisah dari Musa, mengingatkan bahwa ilmu Khidr adalah implementasi langsung dari rahasia Ilahi, sesuatu yang melampaui kemampuan akal manusia untuk memahaminya secara instan. Ini mengatasi fitnah ilmu dengan mengajarkan kerendahan hati mutlak.
Para musyrikin Makkah bertanya kepada Nabi Muhammad tentang Dzulqarnain, seorang raja yang diberi kekuasaan besar dan sarana (sabab) untuk mencapai segala sesuatu. Ini adalah kisah tentang bagaimana seorang raja yang beriman menggunakan kekuasaannya untuk keadilan. Ayat 84 menegaskan bahwa Allah-lah yang memberi kekuasaan tersebut. Ini adalah kunci mengatasi fitnah kekuasaan: pengakuan bahwa kekuasaan adalah anugerah dan ujian dari Allah.
Perjalanan pertama Dzulqarnain adalah ke arah Barat, hingga ia mendapati matahari terbenam di ‘aini hami’atin (mata air yang berlumpur hitam). Ini adalah deskripsi visual dari perspektif pengamat di tepi laut. Di sana, Dzulqarnain diuji bagaimana ia memperlakukan penduduk yang ia taklukkan (Ayat 86). Ia berkata, "Barangsiapa berbuat zalim, kami akan menghukumnya, kemudian dia dikembalikan kepada Tuhannya, lalu Dia mengazabnya dengan azab yang sangat keras. Adapun orang yang beriman dan beramal saleh, baginya balasan yang terbaik, dan akan Kami mudahkan baginya urusannya." Ini adalah hukum kepemimpinan yang adil: keadilan di dunia dan janji balasan di akhirat.
Perjalanan kedua Dzulqarnain adalah ke Timur, hingga ia sampai di tempat terbitnya matahari, menemukan kaum yang belum memiliki pelindung dari sinar matahari yang terik (hidup secara primitif). Allah menegaskan, "Sesungguhnya Kami mengetahui semua yang ada padanya." Dzulqarnain tidak mengeksploitasi kaum tersebut, ia hanya menjalankan kekuasaan yang telah diizinkan Allah. Ini mengajarkan bahwa penguasa yang benar tidak memanfaatkan yang lemah, tetapi melindungi dan mengatur mereka sesuai hukum Allah.
Perjalanan ketiga Dzulqarnain membawanya ke antara dua gunung (as-saddain), di mana ia bertemu kaum yang mengeluhkan gangguan Ya'juj dan Ma'juj, suku perusak yang sering membuat kerusakan di bumi. Mereka meminta Dzulqarnain membuatkan benteng dengan imbalan upah.
Dzulqarnain menolak upah (Ayat 95), menunjukkan keikhlasan dan kesadarannya bahwa kekuasaan Allah lebih berharga: "Apa yang Tuhanku kuasakan kepadaku lebih baik (dari upahmu)." Ia hanya meminta bantuan fisik. Ia kemudian menggunakan teknologi dan bahan yang terbaik—besi yang dipanaskan dan tembaga cair—untuk membuat benteng yang kokoh (Ayat 96). Benteng tersebut sangat tinggi dan tebal sehingga Ya'juj dan Ma'juj tidak mampu memanjat atau melubanginya.
Penutupan kisah ini sangat penting (Ayat 98). Setelah benteng selesai, Dzulqarnain berkata: "Ini (benteng) adalah rahmat dari Tuhanku. Apabila janji Tuhanku tiba, Dia akan menjadikannya hancur luluh. Dan janji Tuhanku itu benar." Ini adalah pelajaran pamungkas fitnah kekuasaan: sehebat apapun pencapaian manusia (teknologi, kekuasaan, benteng), semua itu akan hancur dan luluh pada hari Kiamat sesuai kehendak Allah. Kekuatan Dzulqarnain bersifat sementara; kekuatan Allah bersifat abadi.
Ayat 99 dan 100 mengalihkan fokus kembali ke Hari Kiamat setelah kisah Dzulqarnain. Pada hari itu, manusia akan bercampur seperti gelombang lautan yang berdesakan, dan sangkakala ditiup. Neraka akan ditampakkan kepada orang kafir dengan nyata.
Ayat 103 hingga 105 menjelaskan tentang orang yang paling merugi dalam perbuatannya (al-akhsarīna a'mālā). Mereka adalah orang-orang yang beribadah dan beramal di dunia, tetapi ibadah mereka batal karena kemusyrikan atau niat yang salah. Mereka mengira telah berbuat baik (beramal saleh), padahal seluruh usaha mereka sia-sia di mata Allah karena mereka mengingkari ayat-ayat Allah dan pertemuan dengan-Nya.
Orang-orang merugi ini adalah mereka yang menolak empat pelajaran utama dalam surat ini: mereka menyekutukan Allah (menolak Ashabul Kahf), mencintai dunia (menolak pemilik kebun), sombong terhadap ilmu (menolak Musa dan Khidr), dan menolak kekuasaan Allah yang abadi (menolak Dzulqarnain).
Ayat 106 menyatakan bahwa balasan bagi mereka adalah Neraka Jahanam, karena kekafiran, dan karena menjadikan ayat-ayat Allah dan Rasul-Rasul-Nya sebagai bahan ejekan.
Ayat 107 dan 108 memberikan kabar gembira kontras bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Mereka akan mendapatkan Surga Firdaus (tempat tertinggi) sebagai tempat tinggal abadi, tanpa keinginan untuk pindah.
Ayat 109 berisi analogi untuk menunjukkan luasnya ilmu Allah: "Katakanlah, 'Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, pasti habislah lautan itu sebelum selesai (penulisan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu pula.'" Ayat ini menegaskan bahwa pengetahuan manusia, bahkan yang tertinggi (seperti Musa dan Khidr), hanyalah setetes dibandingkan ilmu Allah.
Ayat 110 adalah kesimpulan dan ringkasan seluruh pesan Surat Al-Kahfi, serta merupakan kunci perlindungan dari semua fitnah, termasuk Dajjal:
"Katakanlah (Muhammad): 'Sesungguhnya aku ini hanya manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: 'Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa.' Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan amal saleh dan janganlah dia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya."
Ayat terakhir ini memberikan dua kunci utama keselamatan:
Kedua prinsip ini adalah ringkasan sempurna dari seluruh pesan Al-Kahfi, yang mengajarkan bahwa untuk menghadapi godaan (fitnah) dunia, kuncinya adalah iman yang murni dan tindakan yang benar, yang diakhiri dengan kesadaran akan kefanaan diri di hadapan keagungan Allah SWT.
Al-Qur'an sebagai sumber panduan utama