Mengenal Doa Setelah Al-Fatihah dalam Tradisi NU: Panduan Fiqh dan Spiritualitas

Surah Al-Fatihah adalah inti dari shalat, sebuah rukun yang tidak sah shalat tanpanya. Namun, setelah pembacaan surah pembuka ini, terdapat jeda atau momen diam (sukut) yang memiliki fungsi mendalam, terutama dalam shalat berjamaah. Dalam tradisi Nahdlatul Ulama (NU), yang teguh berpegang pada Mazhab Syafi’i, momen setelah mengucap ‘amin’ bukanlah sekadar transisi. Ini adalah kesempatan emas untuk berdoa, mengukuhkan kekhusyukan, dan menerapkan sunnah yang sering terabaikan. Kajian ini akan membahas secara mendalam posisi fiqh NU terhadap jeda dan doa setelah Al-Fatihah, menelusuri dalil, praktik, dan signifikansi spiritualnya yang melampaui sekadar rutinitas gerakan shalat.

Praktik yang dianut oleh mayoritas umat Islam Indonesia, khususnya mereka yang berafiliasi dengan NU dan mengikuti tradisi *Ahlussunnah wal Jama'ah*, menekankan pada kesempurnaan setiap detail dalam shalat. Kesempurnaan ini mencakup tidak hanya rukun-rukun yang wajib, tetapi juga sunnah-sunnah *ab'adh* (sunnah yang dianjurkan) dan *hai'at* (sunnah ringan) yang mengisi kekosongan antara rukun. Jeda setelah Al-Fatihah, diiringi dengan doa pribadi atau *sukut* (diam), merupakan salah satu sunnah yang memperkaya nilai ibadah seorang hamba di hadapan Tuhannya.

I. Kedudukan Al-Fatihah dan Jeda dalam Shalat Jamaah

Al-Fatihah, atau *Ummul Kitab*, adalah bacaan wajib dalam setiap rakaat shalat. Setelah imam selesai membaca Al-Fatihah, makmum diwajibkan untuk mengucapkan ‘amin’ secara bersamaan atau sesaat setelahnya. Menurut fiqh Mazhab Syafi’i, momen setelah ‘amin’ inilah yang menjadi fokus diskusi. Imam Syafi’i, sebagaimana dinukilkan oleh para ulama NU, menganjurkan adanya dua jeda (sukut) dalam shalat: satu jeda sebelum membaca Al-Fatihah (setelah takbiratul ihram), dan satu jeda lagi setelah Al-Fatihah selesai, sebelum imam memulai surah pendek atau ayat Al-Qur'an lainnya.

Jeda setelah Al-Fatihah, atau *Saktah al-Muta'akhkhirah*, memiliki beberapa hikmah fiqhiyyah dan ruhiyyah. Secara fiqh, jeda ini memberikan ruang bagi makmum untuk menyelesaikan pembacaan Al-Fatihah mereka (bagi yang meyakini wajibnya makmum membaca Fatihah), serta memberikan waktu bagi makmum untuk mengucap ‘amin’ bersamaan dengan malaikat. Praktik ini mencegah bentrokan bacaan antara imam dan makmum, menjaga ketertiban, dan memastikan setiap orang mendapatkan haknya untuk menyempurnakan rukun shalatnya.

Para ulama NU, seperti yang termaktub dalam kitab-kitab kuning yang menjadi rujukan pondok pesantren, sering merujuk pada hadis-hadis yang menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ terkadang berdiam sejenak. Keberdiaman ini ditafsirkan sebagai kesempatan bagi makmum untuk menyambungkan ibadah mereka. Oleh karena itu, dalam jeda yang singkat namun bermakna ini, seorang muslim dianjurkan untuk mengisi waktu tersebut dengan munajat atau doa khusus.

Ilustrasi Tangan Berdoa AMIN
Momen jeda setelah Al-Fatihah, waktu yang tepat untuk beristighfar dan berdoa.

II. Bentuk Doa yang Dianjurkan dalam Tradisi NU

Meskipun jeda tersebut bersifat sunnah *hai’at* (ringan) yang tidak memerlukan sujud sahwi jika ditinggalkan, mengisi jeda dengan doa adalah praktik yang sangat dianjurkan. Doa yang diucapkan pada momen ini haruslah singkat, tidak mengganggu rangkaian shalat, dan idealnya bersifat permohonan ampunan atau penegasan niat.

A. Istighfar dan Permohonan Rahmat

Doa yang paling umum dan sering dipraktikkan oleh para ulama dan santri NU adalah doa yang berkaitan dengan pengampunan (istighfar) atau permohonan rahmat. Mengingat bahwa seluruh Surah Al-Fatihah adalah dialog antara hamba dan Allah, ditutup dengan permohonan jalan yang lurus dan perlindungan dari kesesatan, istighfar adalah penutup yang paling relevan.

رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ

Meskipun doa di atas sering dikaitkan dengan duduk di antara dua sujud, esensi permohonan ampunan sangat cocok diucapkan dalam jeda shalat. Bagi yang memilih doa yang lebih singkat, cukup dengan mengucap istighfar secara lisan atau dalam hati: *Astaghfirullah*, atau doa yang berasal dari hadis *sharih* (jelas) yang berkaitan dengan ampunan dosa.

B. Doa Tambahan yang Menguatkan Kekhusyukan

Para ahli fiqh dalam lingkungan NU juga membolehkan doa-doa yang bersifat *ma'tsur* (berasal dari riwayat Nabi) yang pendek, asalkan tujuannya adalah memperkuat kekhusyukan dan tidak melanggar batasan shalat (misalnya, doa yang terlalu panjang atau menyerupai perkataan manusia biasa). Tujuan utama jeda ini adalah untuk mengembalikan fokus spiritual sebelum memulai bacaan surah berikutnya, yang merupakan bagian dari *qiyam* (berdiri) yang panjang.

Inti dari praktik NU dalam hal ini adalah *tawassuth* (moderat). Jeda harus ada, tapi tidak boleh berlebihan. Doa harus dilakukan, tapi tidak boleh menggantikan sunnah-sunnah shalat lainnya. Ia adalah ‘bumbu’ yang menyempurnakan hidangan rukun.

III. Dalil Fiqh Mazhab Syafi’i dan Pandangan NU

Mengapa NU sangat menekankan adanya jeda ini? Jawabannya terletak pada interpretasi hadis-hadis Nabi yang dilakukan oleh Imam Syafi’i dan kemudian diperkuat oleh ulama-ulama *muta’akhirin* (belakangan), seperti Imam Nawawi dan Imam Rafi’i, yang menjadi rujukan utama pesantren di Indonesia.

A. Hadis-Hadis Tentang Sukut (Jeda)

Beberapa hadis yang menjadi landasan adalah riwayat dari Qatadah, yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad ﷺ biasa berdiam sejenak setelah takbiratul ihram dan juga setelah selesai membaca Al-Fatihah. Hadis ini, meskipun memiliki beragam interpretasi mengenai durasinya, secara jelas menunjukkan adanya *saktah* (diam/jeda).

Dalam konteks shalat jahr (bersuara), jeda ini sangat krusial. Imam Syafi’i berpendapat, jeda setelah Al-Fatihah berfungsi sebagai waktu bagi makmum yang terlambat (masbuq) atau yang perlu menyelesaikan Fatihahnya, dan sekaligus sebagai penanda bagi imam sebelum melanjutkan ke surah pendek. NU mengambil pandangan ini, menafsirkan jeda tersebut sebagai waktu yang diisi dengan zikir atau doa, bukan sekadar diam kosong.

B. Peran Fiqh dalam Konteks Indonesia

Bagi NU, praktik ini adalah bagian dari menjaga tradisi keilmuan yang berkelanjutan (*sanad*). Ketika para ulama terdahulu mengajarkan bahwa di momen tersebut adalah waktu yang baik untuk berdoa, hal itu menjadi warisan yang harus dijaga. Praktik ini sekaligus membedakan metodologi NU yang sangat hati-hati dalam menjaga rincian ibadah (fiqh) dari kelompok lain yang mungkin cenderung menyederhanakan rangkaian shalat hanya pada rukun wajib semata.

Penting untuk dipahami bahwa NU tidak mewajibkan doa spesifik dalam jeda tersebut; yang ditekankan adalah sunnahnya jeda itu sendiri, dan mengisi jeda dengan doa atau istighfar adalah bentuk *ihtiyat* (kehati-hatian) dan upaya maksimalisasi pahala. Jika imam melanjutkan bacaan surah pendek tanpa jeda, shalat tetap sah, namun sunnah yang sangat dianjurkan terlewatkan.

IV. Analisis Mendalam: Mengapa Jeda Setelah Al-Fatihah Adalah Momen Doa Paling Tepat

Setelah seorang hamba menyelesaikan dialognya dengan Allah melalui Al-Fatihah—memuji-Nya (*Alhamdulillahi Rabbil 'Alamin*), menetapkan ibadah (*Iyyaka Na'budu*), dan memohon petunjuk (*Ihdinash Shirathal Mustaqim*)—saat itulah hati berada dalam keadaan paling siap menerima rahmat. Momen ini adalah puncaknya *munajat* (perbincangan rahasia).

A. Hubungan antara ‘Amin’ dan Pengabulan Doa

Ketika makmum mengucap ‘amin’ (yang berarti: Ya Allah, kabulkanlah), mereka menutup permohonan besar yang terkandung dalam Al-Fatihah. Hadis riwayat Bukhari dan Muslim menyebutkan bahwa barangsiapa yang ucapan aminnya berbarengan dengan ucapan amin malaikat, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni. Momen jeda setelah ‘amin’ adalah kelanjutan langsung dari pengabulan tersebut.

Jika ‘amin’ adalah penutup permohonan agung, maka doa setelahnya berfungsi sebagai permohonan pribadi yang memanfaatkan aura spiritual yang sangat kuat. Ini adalah kesempatan bagi hamba untuk memasukkan hajat pribadinya, seperti ampunan dosa orang tua (*rabbighfirli waliwalidayya*), ke dalam bingkai shalat yang suci.

B. Fungsi Jeda dalam Membangun Kekhusyukan (*Khusyu'*)

Dalam shalat yang cepat atau padat, seringkali seorang muslim kehilangan fokus spiritualnya. Jeda setelah Al-Fatihah bertindak sebagai ‘titik reset’ spiritual. Ia memaksa hamba untuk bernapas, menenangkan pikiran, dan mengingat kembali bahwa ia sedang berdiri di hadapan Sang Pencipta. Bagi NU, kekhusyukan adalah ruh shalat, dan sunnah-sunnah seperti jeda ini adalah alat bantu untuk mencapai ruh tersebut.

Sebagian ulama NU bahkan menyamakan fungsi jeda ini dengan fungsi *tuma’ninah* (diam sejenak dalam setiap gerakan rukun). Jika *tuma’ninah* adalah pilar fisik shalat, maka jeda setelah Fatihah adalah *tuma’ninah* mental dan spiritual, memastikan transisi dari satu rukun ke rukun berikutnya dilakukan dengan kesadaran penuh, bukan sekadar kecepatan mekanis.

Ilustrasi Kitab dan Pengetahuan FIQH
Tradisi keilmuan NU yang merujuk pada kitab fiqh Mazhab Syafi'i.

V. Penerapan Praktis Doa Setelah Al-Fatihah dalam Berbagai Kondisi

Praktik jeda dan doa ini perlu disesuaikan tergantung pada posisi seseorang dalam shalat (imam, makmum, atau *munfarid*).

A. Bagi Imam

Imam memiliki tanggung jawab terbesar untuk menerapkan sunnah jeda ini. Ia harus memberikan jeda yang cukup (sekitar tiga kali tasbih, atau sekadar waktu yang cukup untuk makmum menyelesaikan ‘amin’ dan mengucapkan istighfar singkat). Jeda ini disunnahkan untuk diam (sukut), namun jika imam mengisi jeda ini dengan istighfar atau doa secara lirih (sirr), hal itu diperbolehkan dan dianggap sebagai penyempurna ibadahnya.

Namun, jika imam khawatir jedanya terlalu lama sehingga menimbulkan keraguan di kalangan makmum yang tidak terbiasa, imam bisa memilih jeda yang sangat singkat dan segera melanjutkan bacaan surah berikutnya, meskipun sunnah *saktah al-muta'akhkhirah* (jeda akhir) yang panjang lebih utama dalam Mazhab Syafi’i.

B. Bagi Makmum

Bagi makmum, jeda ini adalah waktu terbaik untuk menunaikan hak mereka dalam shalat: mengucapkan ‘amin’ dengan khusyuk dan kemudian memanfaatkan sisa waktu jeda imam untuk berdoa atau beristighfar. Makmum dianjurkan membaca doa tersebut secara *sirr* (lirih) agar tidak mengganggu kekhusyukan makmum lain atau bacaan imam jika ia sudah memulai surah pendek.

Apabila makmum masih dalam proses menyelesaikan Al-Fatihah, jeda ini sangat vital. Ia memungkinkannya untuk mengejar ketertinggalan tanpa terburu-buru, yang berpotensi menghilangkan *tuma’ninah*. NU sangat menjunjung tinggi prinsip *tahqiq* (verifikasi) dalam setiap rukun, termasuk pembacaan Fatihah yang sempurna.

C. Bagi Munfarid (Shalat Sendiri)

Ketika shalat sendiri, jeda ini adalah sunnah yang lebih mudah diterapkan dan diisi. Seorang *munfarid* memiliki kebebasan penuh untuk berdiam sejenak setelah ‘amin’, merenungkan makna Al-Fatihah, dan memasukkan doa-doa singkat yang ia hafal. Ini adalah momen personalisasi ibadah, di mana standar minimal fiqh dipenuhi dan ditingkatkan dengan sunnah spiritual.

VI. Perbandingan Fiqh: Mengapa Fokus NU Berbeda?

Dalam dunia fiqh Islam, pandangan mengenai jeda setelah Al-Fatihah memang beragam. Mazhab Hanafi, misalnya, memiliki pandangan yang berbeda mengenai kewajiban makmum membaca Al-Fatihah, yang secara otomatis mengurangi urgensi jeda bagi makmum. Namun, NU, sebagai representasi kuat Mazhab Syafi’i di Asia Tenggara, memiliki alasan teologis yang kuat untuk mempertahankan jeda dan doa setelah Al-Fatihah.

A. Konsistensi dengan Rujukan Utama

Kitab-kitab fiqh Syafi’i standar seperti *Fathul Mu'in* dan *Tuhfatul Muhtaj* secara eksplisit membahas *saktatain* (dua jeda) dalam shalat. Menghilangkan salah satu jeda dianggap meninggalkan sunnah *hai’at* yang mulia. Ulama NU merasa berkewajiban untuk mempertahankan praktik ini sebagai bentuk kesetiaan kepada metodologi Imam Syafi’i.

B. Menghindari Kekeringan Spiritual

Pendekatan NU seringkali menggabungkan fiqh (hukum) dengan tasawuf (spiritualitas). Fiqh memberikan kerangka, sementara tasawuf memberikan isi. Doa dalam jeda berfungsi sebagai penghubung tasawuf dalam kerangka fiqh. Tanpa momen jeda, shalat terancam menjadi serangkaian gerakan dan bacaan yang cepat dan kering, kehilangan esensi komunikasi personal dengan Allah.

Oleh karena itu, ketika membahas “doa setelah Al-Fatihah NU,” kita tidak hanya membahas sebuah bacaan, melainkan sebuah filosofi ibadah: memanfaatkan setiap detik shalat untuk meraih pahala maksimal, menggenapkan sunnah, dan mempererat ikatan dengan Allah.

VII. Rincian Teknis Doa dan Jeda: Durasi dan Batasan

Untuk menghindari kebingungan, penting untuk menetapkan batasan praktis mengenai jeda ini, khususnya bagi imam.

A. Batasan Waktu

Jeda yang dianjurkan tidak boleh terlalu panjang sehingga makmum mengira shalat telah selesai atau imam lupa. Batasan yang disepakati adalah seukuran waktu yang dibutuhkan untuk mengucapkan doa singkat atau istighfar, atau sekitar tiga kali ucapan *Subhanallah*. Ini memastikan bahwa jeda tersebut berfungsi sebagai *faslun* (pemisah) yang jelas antara rukun (Al-Fatihah) dan sunnah (Surah Pendek) tanpa melanggar *muwalat* (kesinambungan) shalat.

B. Perkara Makruh dalam Jeda

Ulama fiqh Syafi'i memperingatkan agar tidak mengisi jeda dengan bacaan yang terlalu panjang atau zikir yang tidak relevan dengan konteks shalat. Hal ini dapat menghilangkan sifat *saktah* (jeda diam) yang menjadi inti dari sunnah tersebut. Tujuan utamanya adalah *tarkiz* (fokus), bukan perpanjangan waktu berdiri yang tidak perlu. Doa yang pendek, pribadi, dan berhubungan dengan ampunan adalah pilihan terbaik.

Dalam kitab-kitab referensi NU, dijelaskan bahwa *saktah* adalah sarana, bukan tujuan. Jika pengisian jeda justru mengganggu konsentrasi, lebih baik memilih diam total. Namun, jika ia mampu mengisi jeda dengan doa *rabbighfirli* secara khusyuk, maka ia telah mengumpulkan dua kebaikan: menunaikan sunnah jeda dan memohon ampunan di waktu yang mustajab.

VIII. Spiritualitas Al-Fatihah dan Hubungannya dengan Doa Setelahnya

Untuk memahami kedalaman doa setelah Al-Fatihah, kita harus kembali ke makna Surah Al-Fatihah itu sendiri. Surah ini dibagi menjadi dua bagian: pujian hamba kepada Allah dan permohonan hamba kepada Allah.

Tiga ayat pertama adalah pujian: *Alhamdulillah, Ar-Rahman, Maliki Yawmiddin*. Ayat keempat adalah penetapan ikrar: *Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in*. Tiga ayat terakhir adalah permohonan: *Ihdina ash-Shirathal Mustaqim...*

Doa setelah Al-Fatihah adalah manifestasi praktis dari ayat-ayat terakhir. Setelah kita memohon jalan lurus dan berlindung dari jalan orang yang dimurkai dan sesat, kita menyempurnakannya dengan ucapan ‘amin’ (kabulkanlah!). Apa yang kemudian kita panjatkan setelah ‘amin’? Kita memohon pengampunan, karena hanya dengan ampunan dosa, kita layak berjalan di jalan yang lurus itu.

Dalam pandangan tasawuf NU, momen jeda adalah waktu yang ideal untuk *muhasabah* (introspeksi). Setelah mengikrarkan diri sebagai hamba yang meminta petunjuk, jeda memberikan ruang untuk menyadari betapa seringnya kita menyimpang, dan betapa mendesaknya kita membutuhkan ampunan (istighfar). Dengan demikian, doa *rabbighfirli* dalam jeda ini bukan sekadar bacaan, tetapi penyesalan yang tulus di tengah shalat.

IX. Menjaga Tradisi NU: Konservasi Amaliah Shalat

Nahdlatul Ulama memiliki peran historis sebagai penjaga tradisi *fiqh* klasik di Indonesia. Salah satu bentuk penjagaan ini adalah mempertahankan detail-detail sunnah dalam shalat, termasuk doa dan jeda setelah Al-Fatihah.

A. Pendidikan Pesantren dan Kitab Kuning

Di lingkungan pesantren yang berafiliasi dengan NU, para santri diajarkan shalat sesuai dengan rujukan *matan* fiqh Syafi’i yang baku. Dalam pengajaran praktik shalat, penekanan pada *saktah* (jeda) diajarkan secara eksplisit. Hal ini memastikan bahwa praktik shalat yang dilakukan masyarakat luas memiliki dasar keilmuan yang kuat dan bersambung sanadnya kepada ulama-ulama besar Syafi’iyyah.

Konservasi amaliah ini penting karena menjaga shalat dari upaya penyederhanaan yang berlebihan yang dikhawatirkan dapat mengurangi nilai ibadah. Bagi NU, shalat adalah ibadah yang bersifat *tawqifiyyah* (berdasarkan petunjuk), dan setiap detailnya, baik rukun maupun sunnah, harus dipraktikkan sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah dan diinterpretasikan oleh ulama mazhab.

B. Ihtiyat (Kehati-hatian) dalam Ibadah

Pendekatan NU terhadap fiqh selalu didasarkan pada prinsip *ihtiyat*. Jika ada keraguan, ambil pendapat yang paling aman atau yang paling menyempurnakan ibadah. Dalam kasus jeda ini, meskipun meninggalkan jeda tidak membatalkan shalat, melaksanakannya akan menyempurnakan shalat dan mendatangkan pahala sunnah. Doa yang diucapkan dalam jeda adalah bentuk *ihtiyat* untuk memastikan bahwa waktu luang dalam shalat diisi dengan hal-hal yang bermanfaat di sisi Allah.

Oleh karena itu, anjuran doa setelah Al-Fatihah dalam konteks NU bukan hanya soal fiqh, melainkan sebuah ajakan untuk selalu berhati-hati dan memaksimalkan setiap peluang kebaikan dalam ibadah yang merupakan tiang agama.

X. Integrasi Doa Setelah Al-Fatihah dengan Bacaan Surah Pendek

Setelah jeda dan doa singkat berakhir, imam akan memulai bacaan surah pendek. Transisi dari jeda ke bacaan surah pendek juga memiliki aturan mainnya dalam tradisi NU.

A. Memulai dengan *Ta’awudz*

Disunnahkan bagi imam untuk membaca *ta’awudz* (*A’udzu billahi minasy-syaithanir-rajim*) secara *sirr* (lirih) sebelum memulai bacaan surah pendek. Jeda yang diisi dengan doa dan istighfar berfungsi sebagai pembersih spiritual, dan *ta’awudz* berfungsi sebagai pembersihan eksternal dari gangguan setan sebelum memasuki inti bacaan Al-Qur'an.

Kombinasi antara doa personal yang lirih (dalam jeda) dan *ta’awudz* yang lirih (sebelum surah) menciptakan lapisan perlindungan spiritual bagi imam, memastikan bahwa bacaannya bebas dari gangguan dan benar-benar fokus pada penyampaian wahyu. Makmum diharapkan menggunakan momen ini untuk mempersiapkan diri mendengarkan bacaan imam dengan penuh *tadabbur* (penghayatan).

B. Pentingnya *Muwalat* (Kesinambungan)

Meskipun ada jeda, *muwalat* (kesinambungan) antara rukun-rukun shalat tetap harus dijaga. Jeda dan doa tidak boleh terlalu lama sehingga shalat tampak terputus. Inilah mengapa doa yang disarankan haruslah singkat dan mudah diucapkan, seperti *rabbighfirli* atau istighfar pendek lainnya. Keseimbangan antara menjaga sunnah jeda dan mempertahankan *muwalat* adalah kunci praktik shalat yang sempurna sesuai Mazhab Syafi’i.

Dalam lingkungan NU, pelatihan kekonsistenan dalam menjaga jeda yang tepat adalah bagian dari pendidikan fiqh. Tidak terlalu cepat, tidak terlalu lambat. Jeda yang ideal mencerminkan kematangan spiritual seorang imam dalam memimpin umat.

XI. Tafsir Mendalam Doa Pilihan: Rabbighfirli waliwalidayya

Meskipun doa setelah Al-Fatihah dapat berupa istighfar umum, mengapa doa permohonan ampunan untuk diri sendiri dan orang tua sering menjadi pilihan? (*Rabbighfirli waliwalidayya*).

A. Pengaruh Doa Nabi Ibrahim

Doa ini adalah penggalan doa Nabi Ibrahim AS yang termaktub dalam Al-Qur'an (QS. Ibrahim: 41). Menggunakan doa para nabi dalam shalat adalah praktik yang sangat dianjurkan. Nabi Ibrahim memohon ampunan pada hari perhitungan (hari Kiamat) untuk dirinya, orang tuanya, dan kaum mukminin.

Mengucapkan doa ini pada momen setelah Al-Fatihah, yang notabene adalah penutup dari *munajat* permohonan petunjuk, menanamkan kesadaran akan Hari Perhitungan (yang juga disebutkan dalam Al-Fatihah: *Maliki Yawmiddin*). Ini adalah kesadaran akan tanggung jawab intergenerasi, bahwa shalat seorang hamba tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk keselamatan orang-orang yang melahirkannya dan seluruh umat Muslim.

B. Konteks Sosial Ke-NU-an

Tradisi NU sangat menekankan pada penghormatan dan pengabdian kepada orang tua (*birrul walidain*) dan ulama. Dengan secara konsisten memasukkan doa bagi orang tua dalam shalat, termasuk saat jeda ini, praktik ini menjadi cerminan dari nilai-nilai *Ahlussunnah wal Jama'ah* yang menjunjung tinggi silaturahmi spiritual dan keberkahan dari generasi pendahulu.

Praktik ini mengajarkan bahwa bahkan dalam ibadah individual yang paling fundamental seperti shalat, aspek komunal dan familial tidak boleh dilupakan. Doa singkat ini berfungsi sebagai pengingat harian akan kewajiban seorang anak kepada orang tuanya, meskipun orang tua tersebut mungkin telah tiada.

XII. Kesimpulan: Doa Sebagai Penyempurna Sunnah

Doa yang dipanjatkan setelah Al-Fatihah, dalam konteks Nahdlatul Ulama, adalah representasi dari komitmen menjaga kesempurnaan ibadah dan kedalaman spiritual. Ini bukanlah rukun wajib, tetapi merupakan sunnah *hai’at* yang sangat dianjurkan oleh Mazhab Syafi’i, yang memberikan ruang bagi kekhusyukan dan munajat pribadi.

Praktik ini menekankan bahwa setiap jeda dalam shalat, bahkan yang singkat sekalipun, harus diisi dengan kesadaran dan kebaikan, baik itu berupa diam (*sukut*) untuk memberi kesempatan makmum, maupun doa singkat yang memohon ampunan. Dengan memahami dan mengamalkan sunnah ini, seorang muslim tidak hanya menjalankan shalat secara sah, tetapi juga secara *kamil* (sempurna), sebagaimana yang dicita-citakan oleh para ulama *Ahlussunnah wal Jama'ah* Nahdlatul Ulama.

Momen singkat antara 'amin' dan dimulainya surah pendek adalah sebuah anugerah, sebuah waktu mustajab yang tersembunyi. Mengisinya dengan istighfar atau doa *rabbighfirli* adalah cara terbaik untuk memastikan bahwa permohonan petunjuk yang baru saja kita panjatkan melalui Al-Fatihah dikuatkan dengan permohonan ampunan, menjamin diterimanya ibadah di sisi Allah SWT. Ini adalah ciri khas shalat yang kental dengan nuansa fiqh dan tasawuf yang dipegang teguh oleh komunitas muslim tradisional di Nusantara.

Lalu, bagi setiap makmum atau munfarid yang melaksanakan shalat, pertanyaan yang seharusnya muncul bukanlah 'apakah saya harus membaca doa ini?', melainkan 'bagaimana saya dapat memanfaatkan jeda emas ini untuk meningkatkan kualitas dialog saya dengan Tuhan?'. Jawaban yang diberikan oleh tradisi NU adalah: dengan doa yang tulus, singkat, dan terfokus pada ampunan, yang merupakan kunci pembuka gerbang rahmat Allah setelah Al-Fatihah selesai dibaca.

Mendalami dan mengamalkan doa setelah Al-Fatihah adalah manifestasi dari pemahaman yang utuh terhadap shalat; bahwa shalat adalah sebuah orkestrasi spiritual di mana setiap not, setiap jeda, dan setiap perpindahan memiliki nilai dan makna teologis yang mendalam. Nahdlatul Ulama, melalui warisan keilmuannya, telah menyediakan peta jalan yang jelas untuk meraih kesempurnaan ibadah ini, menjadikannya warisan yang terus relevan dan bermanfaat bagi umat hingga kini.

Penting untuk menggarisbawahi kembali bahwa praktik ini bukanlah tambahan bid’ah, melainkan implementasi sunnah yang didasarkan pada *istinbath* (pengambilan hukum) dari hadis-hadis *saktah* (jeda) yang diyakini oleh Imam Syafi’i. Konsistensi dalam menjaga praktik ini adalah wujud nyata dari ketaatan pada *manhaj* (metodologi) ulama salafus shalih.

Oleh karena itu, setiap kali kita mendengar lantunan Al-Fatihah yang diikuti dengan ucapan ‘amin’ yang menggetarkan, kita diingatkan akan kesempatan langka untuk menundukkan hati sejenak, memohon ampunan bagi diri dan orang tua, sebelum melanjutkan episode ibadah yang berikutnya, yaitu bacaan surah pendek. Inilah keindahan dan kedalaman ajaran fiqh NU yang senantiasa menuntun umat menuju kesempurnaan ibadah.

🏠 Homepage