I. Profil Agung Penyusun Ratib: Al-Imam Abdullah bin Alawi Al-Haddad
Untuk memahami kedalaman sebuah karya, kita harus terlebih dahulu mengenal penciptanya. Ratib Al-Haddad adalah buah dari kearifan spiritual seorang ulama besar yang bergelar Qutb Al-Irshad (Pusat Petunjuk), yaitu Al-Imam Al-Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad. Beliau adalah sosok reformis (mujaddid) yang hidup di abad ke-11 dan ke-12 Hijriyah di Hadramaut, Yaman.
Asal Usul dan Masa Kecil
Imam Al-Haddad lahir di Tarim, Hadramaut, pada tahun 1044 H (1634 M). Garis keturunan beliau bersambung langsung kepada Nabi Muhammad ﷺ melalui jalur Sayyidina Husain bin Ali. Tragedi besar menimpanya pada usia empat tahun ketika beliau kehilangan penglihatan akibat sakit cacar. Namun, kehilangan pandangan fisik ini justru membuka pandangan batin yang luar biasa, memungkinkannya mencapai maqam spiritual yang tinggi dan mendalam.
Meskipun buta secara fisik, beliau menghafal Al-Qur’an dan mempelajari ilmu-ilmu syariat secara komprehensif. Beliau dikenal memiliki ingatan yang tajam dan kefasihan yang luar biasa dalam menyampaikan ilmu. Guru-guru beliau adalah para ulama terkemuka Hadramaut saat itu, yang melihat potensi spiritual yang unik dalam diri muridnya.
Kontribusi dan Karya Monumental
Imam Al-Haddad adalah salah satu ulama yang paling produktif. Karya-karya beliau berfokus pada penyederhanaan ajaran tasawuf agar dapat diakses oleh masyarakat awam tanpa mengurangi kedalaman maknanya. Beliau menekankan pentingnya amal lahiriah (syariat) yang harus sejalan dengan perbaikan batiniah (hakikat).
Di antara karya-karya beliau yang paling masyhur adalah:
- *An-Nasha’ih Ad-Diniyyah* (Nasihat-Nasihat Agama).
- *Ad-Da’wah At-Tammah wa At-Tadzkirah Al-Ammah* (Seruan Sempurna dan Peringatan Umum).
- *Risalah Adab Suluk Al-Murid* (Risalah Etika bagi Pencari Kebenaran).
- Ratib Al-Haddad dan Ratib Al-Aththas (Ratib-ratib yang disusun untuk mempermudah dzikir harian).
Ratib Al-Haddad disusun atas permintaan seorang muridnya yang tinggal di kota Shibam, Hadramaut, yang ingin memiliki amalan ringkas namun padat yang dapat diamalkan secara rutin untuk benteng pertahanan dari musibah dan kejahatan. Ratib ini selesai disusun pada malam ke-27 Ramadhan 1071 H.
II. Komposisi dan Struktur Ratib Al-Haddad
Ratib Al-Haddad adalah sebuah rangkaian doa dan dzikir yang disusun secara sistematis, terdiri dari sekitar 17 hingga 25 bagian (tergantung versi penutupnya). Seluruh rangkaian ini dirancang untuk dibaca setelah shalat Isya atau Maghrib, atau antara Ashar dan Maghrib, guna mengumpulkan berkah dan perlindungan spiritual sepanjang malam dan hari.
Prinsip Dasar Penyusunan
Prinsip utama Ratib ini adalah ‘at-takhliyah’ (pengosongan diri dari sifat buruk) dan ‘at-tahliyah’ (pengisian diri dengan sifat mulia). Struktur Ratib dimulai dengan permohonan ampun dan diakhiri dengan pujian serta permohonan hidayah, mencakup tiga poros utama:
- Tawhid (Pengesaan Allah): Dzikir inti seperti La ilaha illallah.
- Istighfar (Permohonan Ampun): Membersihkan hati dari dosa-dosa.
- Perlindungan (Al-Hifzh): Menggunakan ayat-ayat dan doa perlindungan yang kuat.
Rangkaian Pembuka (Istiftaah)
Ratib dibuka dengan ayat-ayat Qur’an yang menekankan kekuasaan dan keesaan Allah, yang berfungsi sebagai benteng awal dan penguat niat.
1. Pembacaan Al-Fatihah dan Ayat Kursi
Amalan dimulai dengan membaca surah Al-Fatihah yang dipersembahkan kepada Nabi Muhammad ﷺ, para Sahabat, dan khususnya kepada penyusun Ratib, Imam Al-Haddad. Kemudian dilanjutkan dengan membaca Ayat Kursi (Surah Al-Baqarah ayat 255). Ayat Kursi dikenal sebagai ayat teragung dalam Al-Qur’an yang merupakan sumber perlindungan mutlak.
2. Penutup Surah Al-Baqarah
Membaca dua ayat terakhir dari Surah Al-Baqarah (Aamana ar-Rasulu...) yang berfungsi sebagai penjamin keamanan dari segala keburukan dan kecukupan dalam segala urusan. Rasulullah ﷺ bersabda bahwa dua ayat ini cukup bagi seseorang.
Inti Dzikir Ratib (Al-Adzkar Al-Asasiyyah)
Bagian ini adalah jantung Ratib yang terdiri dari rangkaian kalimat-kalimat dzikir dengan jumlah ulangan yang spesifik, biasanya 3 atau 7 kali, yang memiliki rahasia matematis dan spiritual.
3. Tawhid dan Penghambaan (100 Kali)
Inti dari Ratib Al-Haddad adalah kalimat tauhid yang dibagi menjadi dua bagian dengan tujuan yang berbeda. Bagian pertama dibaca 50 kali dan bagian kedua dibaca 50 kali.
لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِي وَيُمِيتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
(Laa ilaha illallah wahdahu la syarika lah, lahul mulku wa lahul hamdu yuhyi wa yumiitu wa huwa 'alaa kulli syai-in qadiir)
Kalimat ini menegaskan kekuasaan mutlak Allah. Pengulangan sebanyak 100 kali ini membawa keutamaan yang luar biasa, sebanding dengan membebaskan budak dan melindungi dari godaan setan. Pengulangan yang intensif ini mengikis noda syirik khafi (tersembunyi) di dalam hati, memantapkan keimanan sejati.
4. Istighfar (Permintaan Ampun) (3 Kali)
اَسْتَغْفِرُ اللّٰهَ الْعَظِيْمَ
(Astaghfirullahal 'Azhim)
Memohon ampunan adalah langkah penting untuk menyucikan jiwa sebelum memanjatkan permohonan lebih lanjut.
5. Kalimat Syahadat (3 Kali)
اَشْهَدُ اَنْ لَا اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
(Asyhadu an laa ilaha illallah wahdahu la syarika lah, wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa Rasuluh)
Pembaharuan janji keimanan dan risalah kenabian.
6. Dzikir Tasbih dan Tahmid (3 Kali)
سُبْحَانَ اللّٰهِ وَالْحَمْدُ لِلّٰهِ وَلَا إِلَٰهَ إِلَّا اللّٰهُ وَاللّٰهُ أَكْبَرُ
(Subhanallahi walhamdulillahi wa laa ilaha illallahu wallahu akbar)
Dzikir ini adalah empat kalimat yang paling disukai oleh Allah dan merupakan harta karun dari Surga.
7. Istighfar untuk Para Wali (3 Kali)
يَا عَلِيْمُ يَا كَبِيْرُ، يَا قَادِرُ يَا قَدِيْرُ، يَا سَمِيْعُ يَا بَصِيْرُ، يَا لَطِيْفُ يَا خَبِيْرُ
(Yaa 'Aliimu yaa Kabiiru, yaa Qadiru yaa Qadiiru, yaa Samii'u yaa Bashiiru, yaa Lathiifu yaa Khobiiru)
Mengulang nama-nama agung Allah yang berhubungan dengan pengetahuan, kekuasaan, pendengaran, penglihatan, kelembutan, dan pengetahuan tersembunyi, memohon agar kita senantiasa dibimbing oleh sifat-sifat-Nya yang sempurna.
Rangkaian Perlindungan dan Permohonan (Al-Hifzh)
Bagian ini sangat fokus pada perlindungan dari segala jenis kejahatan, baik yang bersifat fisik maupun spiritual. Imam Al-Haddad memilih doa-doa yang terbukti memiliki kekuatan luar biasa dalam menjaga diri dan keluarga.
8. Perlindungan dari Makhluk Ciptaan (3 Kali)
أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللّٰهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ
(A'uudzu bikalimaatillahit taammaati min syarri maa khalaq)
Dzikir ini adalah doa perlindungan Nabi Muhammad ﷺ yang sangat mujarab untuk melindungi dari racun, gigitan, dan kejahatan makhluk di darat dan laut, serta dari jin dan manusia.
9. Permohonan Bantuan dan Kekuatan (7 Kali)
بِسْمِ اللّٰهِ الَّذِيْ لَا يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْئٌ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
(Bismillaahilladzi laa yadhurru ma'asmihi syai’un fil ardhi wa laa fis samaa’i wa huwas samii'ul 'aliim)
Doa yang menjamin keselamatan dari bencana yang datang tiba-tiba. Pengulangan 7 kali diyakini sebagai angka perlindungan penuh.
10. Ridha kepada Allah dan Islam (3 Kali)
رَضِيْنَا بِاللّٰهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِيْنًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا
(Radhiina billahi Rabban, wa bil Islaami diinan, wa bi Muhammadin Nabiyyan)
Siapa yang mengucapkannya dengan jujur, Allah SWT menjamin keridhaan-Nya di hari Kiamat.
11. Tawakal kepada Allah (7 Kali)
حَسْبُنَا اللّٰهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ
(Hasbunallah wa ni’mal wakil)
Dzikir ini adalah pernyataan totalitas berserah diri kepada Allah, sebagaimana yang diucapkan oleh Nabi Ibrahim AS ketika dilemparkan ke dalam api. Ini adalah senjata bagi orang yang tertindas atau menghadapi kesulitan besar.
III. Makna Mendalam dalam Pengulangan dan Jumlah Dzikir
Banyak ulama tasawuf menekankan bahwa jumlah pengulangan (bilangan) dalam wirid bukanlah sekadar angka acak, melainkan memiliki rahasia spiritual (asrar al-adad) yang dipilih berdasarkan petunjuk ilahiah atau pengalaman spiritual penyusunnya. Imam Al-Haddad sangat hati-hati dalam menentukan jumlah ulangan, yang biasanya 3, 7, atau 100 kali.
Rahasia Angka Tiga (3)
Angka tiga sering digunakan untuk doa yang bersifat penguatan dan penetapan. Setelah membaca dzikir pertama kali, orang mungkin melakukannya secara sengaja. Kali kedua adalah penguatan niat. Kali ketiga adalah penetapan di dalam hati, menjadikannya tertanam kuat dalam jiwa dan pikiran. Contohnya adalah Istighfar dan Kalimat Syahadat.
Rahasia Angka Tujuh (7)
Dalam tradisi Islam, angka tujuh memiliki konotasi kosmik dan perlindungan yang kuat. Ada tujuh lapis langit, tujuh hari dalam seminggu, dan thawaf mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali. Angka tujuh dalam Ratib, seperti pada doa "Bismillaahilladzi laa yadhurru...", melambangkan perlindungan yang sempurna dan menyeluruh dari enam arah mata angin, ditambah perlindungan dari dalam diri sendiri.
Penegasan Tauhid Seratus (100) Kali
Dzikir Laa ilaha illallah wahdahu la syarika lah dibaca 100 kali. Angka ini adalah bilangan yang menguatkan pahala, seperti janji Nabi ﷺ yang menyebutkan bahwa membaca dzikir ini 100 kali akan mendapatkan pahala seperti membebaskan 10 budak, dituliskan 100 kebaikan, dihapuskan 100 keburukan, dan menjadi perisai dari setan sepanjang hari.
Dalam Ratib Al-Haddad, 100 kali dzikir tauhid ini dibagi menjadi 50 kali di awal dan 50 kali di akhir (setelah Ratib selesai). Pembagian ini memiliki makna:
- 50 Pertama: Mengikrarkan tauhid sebagai pembuka dan fondasi yang membersihkan hati sebelum memohon perlindungan dan kebaikan.
- 50 Kedua: Mengikrarkan tauhid sebagai penutup dan puncak amalan, menegaskan kembali bahwa segala perlindungan dan kebaikan hanya berasal dari Allah semata.
Pengulangan yang masif ini sangat penting untuk melawan sifat materialisme dan ketergantungan pada dunia fana, mengembalikan fokus hati sepenuhnya kepada Sang Pencipta.
Analisis Mendalam Kalimat Inti (Laa ilaaha illallaah)
Imam Al-Haddad sangat menekankan kalimat tauhid ini karena merupakan kunci surga dan inti dari seluruh ajaran. Setiap pengulangan membawa makna penghancuran berhala (baik fisik maupun dalam hati, seperti kesombongan dan riya’).
Aspek Teologis dalam Pengulangan
Dalam pandangan tasawuf Al-Haddad, ketika seorang hamba mengucapkan Laa ilaha illallah:
- LAA ILAHA: Hamba menafikan (meniadakan) semua yang disembah selain Allah, meniadakan segala kekuasaan dan kekuatan yang tidak berasal dari-Nya. Ini adalah penghapusan diri (fana’) dari kesadaran terhadap makhluk.
- ILLALLAH: Hamba menetapkan (itsbat) bahwa hanya Allah yang berhak disembah, menetapkan bahwa hanya Dia yang memiliki kekuatan, kehendak, dan kekuasaan mutlak. Ini adalah penetapan kesadaran (baqa’) terhadap realitas Ilahi.
Pengulangan 100 kali memastikan bahwa hati mengalami proses penafian dan penetapan ini secara berkelanjutan, sehingga ketika Ratib selesai, jiwa berada dalam keadaan 'bersaksi' secara murni.
IV. Faedah dan Keutamaan Mengamalkan Ratib Al-Haddad
Ratib Al-Haddad dikenal sebagai amalan yang cepat terasa manfaatnya (mujarrab), memberikan manfaat di dunia dan akhirat. Para ulama Salaf sering menyebut Ratib ini sebagai “Benteng Kaum Muslimin” dan “Harta Karun Orang-Orang Shalih”.
1. Perlindungan Spiritual dan Fisik (Al-Hifzh)
Salah satu faedah utama Ratib ini adalah perlindungan total. Imam Al-Haddad menyusunnya dengan niat untuk membentengi pengamalnya dari berbagai keburukan.
- Keamanan dari Bencana: Dikatakan bahwa rumah atau tempat yang dibacakan Ratib Al-Haddad akan dilindungi dari musibah tak terduga seperti kebakaran, banjir, dan perampokan.
- Penangkal Sihir dan Kejahatan: Kalimat A’uudzu bikalimaatillahit taammaat dan Ayat Kursi berfungsi sebagai tameng dari gangguan jin, sihir, dan pandangan hasad (mata jahat).
- Kematian Husnul Khatimah: Ulama menjamin, siapa yang istiqamah membaca Ratib Al-Haddad, niscaya Allah akan memberikan kemudahan baginya untuk mengucap kalimat tauhid di akhir hayatnya, menjamin husnul khatimah.
2. Pembukaan Rezeki dan Kemudahan Urusan
Meskipun Ratib ini berfokus pada dzikir dan perlindungan, istiqamah dalam pengamalannya seringkali membuka pintu-pintu rezeki yang tidak terduga (futuh ar-rizq). Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor:
- Tawakal yang Kuat: Dzikir Hasbunallah wa ni’mal wakil (cukuplah Allah sebagai penolong) menciptakan ketenangan hati dan tawakal yang sempurna, sehingga menghilangkan kecemasan berlebihan terhadap dunia.
- Keberkahan Waktu: Dzikir pagi dan petang, yang merupakan waktu-waktu emas, menjadikan seluruh hari dipenuhi keberkahan, mempermudah urusan dan mendatangkan rezeki dari arah yang tak disangka.
- Penyucian Dosa: Istighfar di awal Ratib membersihkan dosa yang mungkin menjadi penghalang turunnya rezeki dan rahmat.
Dalam konteks sufistik, rezeki bukan hanya diukur dari harta, tetapi juga kesehatan, ilmu yang bermanfaat, dan ketenangan keluarga. Ratib Al-Haddad memberikan rezeki yang paling berharga: rezeki spiritual (rizq rohani).
3. Peningkatan Maqam dan Kedekatan Spiritual
Ratib adalah tangga menuju kedekatan (qurb) dengan Allah SWT. Struktur Ratib yang sistematis memastikan hati terus menerus tersambung dengan Asmaul Husna (Nama-Nama Allah) dan sifat-sifat-Nya.
- Penguatan Iman: Pengulangan kalimat tauhid secara berirama dan konsisten menumbuhkan kecintaan yang mendalam kepada Allah dan Rasul-Nya.
- Cahaya Batin: Dzikir yang dilakukan secara istiqamah, khususnya pada waktu setelah Maghrib, mengisi hati dengan cahaya (nur) yang membantu pengamal melihat kebenaran (basirah) dan menjauhi kemaksiatan.
- Perlindungan dari Sifat Tercela: Amalan ini secara perlahan mengikis sifat-sifat buruk seperti riya, ujub, dan hasad, karena hati dipenuhi dengan kesadaran akan kebesaran Allah.
4. Faedah Komunal (Majlis Dzikir)
Meskipun dapat diamalkan secara individu, Ratib Al-Haddad sering dibaca berjamaah dalam majelis-majelis dzikir. Keutamaan membaca secara kolektif adalah:
- Rahmat Berlipat Ganda: Majelis dzikir adalah taman-taman surga di dunia, di mana para malaikat turun untuk menyelimuti majelis tersebut dengan rahmat.
- Saling Menguatkan: Ketika seseorang lemah semangat, suara dan energi dari jamaah lain akan membantunya tetap fokus dan konsisten dalam dzikir.
- Warisan Tradisi: Membaca Ratib bersama-sama mempertahankan sanad (rantai transmisi) spiritual yang kuat dari Imam Al-Haddad.
V. Etika dan Tata Cara Mengamalkan Ratib Al-Haddad (Al-Adab)
Kualitas amalan (dzikir) sangat ditentukan oleh adab (etika) pengamalnya. Meskipun Ratib Al-Haddad dirancang untuk mudah diamalkan oleh siapa saja, menjaga adab akan meningkatkan keberkahan dan dampak spiritualnya.
1. Waktu Terbaik (Al-Awqat)
Imam Al-Haddad menyarankan dua waktu utama, mengikuti tuntunan Nabi ﷺ untuk dzikir pagi dan petang:
- Waktu Petang: Setelah shalat Maghrib hingga sebelum shalat Isya. Ini adalah waktu paling populer dan disarankan, berfungsi sebagai pelindung malam.
- Waktu Pagi: Setelah shalat Subuh hingga sebelum terbit matahari. Ini berfungsi sebagai pembuka rezeki dan pelindung siang hari.
Jika terlewat, Ratib tetap boleh dibaca di waktu lain, namun dianjurkan untuk tidak ditinggalkan demi menjaga istiqamah.
2. Kondisi Fisik dan Batin (Hadhiratul Qalb)
Pengamal sebaiknya memastikan telah suci dari hadas (berwudu) dan duduk di tempat yang bersih. Namun, yang terpenting adalah kehadiran hati (hudhur al-qalb). Dzikir tanpa kehadiran hati adalah dzikir yang hampa.
Imam Al-Haddad menekankan bahwa setiap kalimat harus diucapkan dengan pemahaman:
- Ketika mengucapkan Istighfar, hadirkan rasa penyesalan atas dosa.
- Ketika mengucapkan Tauhid, hadirkan keyakinan mutlak bahwa Allah adalah satu-satunya penguasa.
- Ketika mengucapkan doa perlindungan, hadirkan rasa takut dan kepasrahan kepada-Nya.
3. Kontinuitas (Istiqamah)
Istiqamah adalah kunci keberhasilan dalam dzikir ini. Lebih baik membaca Ratib dengan jumlah yang sedikit namun rutin setiap hari, daripada membaca dengan jumlah banyak namun terputus-putus. Keajegan dalam wirid harian menciptakan kebiasaan spiritual yang meresap ke dalam jiwa, membentuk karakter yang lebih baik.
4. Sanad dan Ijazah
Dalam tradisi ulama salaf, Ratib biasanya diamalkan setelah mendapatkan ijazah (izin) dari seorang guru yang memiliki sanad yang bersambung kepada Imam Al-Haddad. Ijazah bukan berarti amalan menjadi sah, tetapi ijazah membawa berkah sanad dan memastikan amalan dilakukan sesuai tata cara yang benar (tidak ditambah atau dikurangi). Mencari sanad amalan adalah bentuk penghormatan terhadap tradisi keilmuan Islam.
VI. Kontemplasi atas Dzikir-Dzikir Pilihan dalam Ratib
Untuk mencapai target spiritual Ratib Al-Haddad, kontemplasi (tafakkur) terhadap makna setiap kalimat adalah suatu keharusan. Berikut adalah beberapa poin kontemplatif pada dzikir yang kurang lebih mencapai 1.500 kata untuk memperdalam pemahaman dan pengamalan Ratib ini.
Mendalami Hasbunallah Wa Ni’mal Wakil (7 Kali)
Frasa ini merupakan puncak dari tawakal. Dzikir ini adalah pengakuan bahwa Allah sendirilah yang mencukupi kebutuhan hamba-Nya, baik dalam menghadapi musuh, ketakutan, maupun kesulitan hidup. Mengulangi frasa ini tujuh kali berfungsi sebagai afirmasi mental dan spiritual yang menghapus kecemasan dan ketergantungan pada makhluk.
Aspek Psikologis dan Spiritual
Secara psikologis, di zaman modern yang penuh tekanan, kalimat ini berfungsi sebagai jangkar. Ketika seseorang merasa terpojok oleh masalah ekonomi, kesehatan, atau hubungan, mengucapkan kalimat ini secara sadar adalah pengalihan fokus dari masalah (yang diciptakan oleh makhluk) menuju Penyelesaian Mutlak (Allah). Tujuh kali pengulangan bertujuan untuk mengunci hati dari bisikan keputusasaan.
Kisah Nabi Ibrahim A.S.
Kekuatan dzikir ini didasarkan pada penggunaannya oleh Nabi Ibrahim AS ketika menghadapi ancaman api. Ketika beliau diikat dan dilempar ke dalam kobaran, beliau tidak meminta pertolongan Jibril, melainkan berseru: "Hasbunallah wa ni’mal wakil." Kisah ini mengajarkan bahwa ketika tawakal telah mencapai tingkat tertinggi, alam semesta tunduk pada kehendak Allah. Api pun menjadi dingin. Dengan mengamalkan dzikir ini, kita meneladani keteguhan iman para Nabi.
Mengupas Subhanallahi Wa Bihamdihi (3 Kali)
Dzikir ini adalah kombinasi dari penyucian (tasbih) dan pujian (tahmid). Subhanallah berarti membersihkan Allah dari segala kekurangan dan sifat yang tidak layak bagi keagungan-Nya. Walhamdulillah berarti menetapkan segala pujian dan kesempurnaan hanya bagi-Nya.
Para ulama menjelaskan bahwa hati manusia cenderung terjebak pada hal-hal materi dan kekurangan duniawi. Dengan mengucapkan Subhanallah, kita mengarahkan pikiran kita menjauh dari kekurangan makhluk dan menuju kesempurnaan Khaliq (Pencipta).
Dalam Ratib Al-Haddad, dzikir ini muncul setelah dzikir tauhid yang masif, berfungsi sebagai pemurnian lebih lanjut. Ini adalah langkah kerendahan hati: setelah mengikrarkan keesaan-Nya, kita memuji dan menyucikan-Nya karena kita menyadari bahwa upaya dzikir kita sendiri pun adalah kelemahan dan membutuhkan ampunan.
Rahasia Keberkahan Lisan
Nabi ﷺ menyebutkan bahwa kalimat ini adalah "dua kalimat yang ringan di lisan, berat di timbangan, disukai oleh Ar-Rahman." Dengan mengucapkannya secara rutin, Ratib Al-Haddad memastikan bahwa lidah hamba senantiasa dibasahi dengan kalimat yang disukai Allah, yang pada gilirannya mendatangkan rahmat dan keberkahan dalam setiap perkataan dan tindakan sehari-hari.
Ya Dzal Jalali wal Ikram (3 Kali)
يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
(Yaa Dzal Jalaali wal Ikraam)
Dzikir ini meminta kepada Allah yang memiliki "Keagungan (Jalal)" dan "Kemuliaan (Ikram)".
Jalal dan Ikram: Keseimbangan Sifat Ilahi
Para sufi membagi sifat-sifat Allah menjadi Sifat Jalal (sifat kebesaran, kekuasaan, dan keagungan yang menimbulkan rasa takut) dan Sifat Jamal/Ikram (sifat keindahan, kasih sayang, dan kemuliaan yang menimbulkan rasa cinta dan harap). Menggabungkan keduanya dalam satu dzikir mengajarkan keseimbangan dalam penghambaan: kita harus takut akan adzab-Nya (Jalal) sekaligus berharap akan rahmat dan karunia-Nya (Ikram).
Pengucapan ini di Ratib Al-Haddad berfungsi sebagai doa penutup yang komprehensif, memohon agar Allah memperlakukan kita dengan keagungan-Nya (memberi kekuatan) dan dengan kemuliaan-Nya (memberi ampunan dan kehormatan di dunia dan akhirat). Dengan memohon melalui nama ini, kita mengakui totalitas sifat-sifat-Nya.
Filosofi Doa Perlindungan (A’uudzu bikalimaatillahit taammaat)
Dzikir ini adalah bentuk mencari perlindungan pada "Kalimat-Kalimat Allah yang Sempurna." Pertanyaannya, apa yang dimaksud dengan Kalimat Allah yang Sempurna?
- Tafsir Pertama (Al-Qur’an): Kalimat yang sempurna dapat merujuk pada Al-Qur’an itu sendiri, yang merupakan Kalam Allah. Dengan berlindung dengannya, kita berlindung di bawah naungan wahyu-Nya yang tak dapat ditembus oleh kejahatan.
- Tafsir Kedua (Takdir): Kalimat yang sempurna merujuk pada ketetapan dan takdir Allah yang telah dituliskan. Ini berarti kita berlindung pada kehendak mutlak Allah, yang tidak ada satu kejahatan pun dapat menembus atau melawan ketetapan-Nya.
- Tafsir Ketiga (Asmaul Husna): Merujuk pada nama-nama Allah yang tidak memiliki kekurangan (sempurna).
Dalam konteks Ratib Al-Haddad, pengulangan kalimat ini sebanyak tiga kali pada waktu petang sangat penting karena pada malam hari, banyak makhluk (termasuk jin dan hewan berbisa) yang aktif. Pengamal Ratib menegaskan bahwa di mana pun ia berada, di darat maupun di lautan, ia berada di bawah payung perlindungan mutlak Kalimat Allah yang sempurna, sehingga segala kejahatan makhluk tidak akan mampu menyentuhnya. Ini adalah deklarasi keyakinan yang menjamin ketenangan di tengah gelapnya malam.
Rangkaian Penutup: Salawat dan Doa Kesejahteraan
Ratib Al-Haddad selalu ditutup dengan membaca Salawat kepada Nabi Muhammad ﷺ, biasanya Salawat Al-Fatih atau Salawat yang umum. Penutupan ini memastikan bahwa amalan kita diangkat dan diterima, karena Salawat kepada Nabi ﷺ adalah amalan yang pasti diterima di sisi Allah.
Selanjutnya, pembacaan Surah Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas (Al-Mu'awwidzatain) tiga kali melengkapi benteng perlindungan, mencakup perlindungan dari sifat-sifat negatif, kejahatan penyihir, dan bisikan setan. Akhir dari Ratib adalah permohonan kebaikan menyeluruh (doa Ratib), yang secara khusus memohon kebaikan bagi seluruh umat Islam, bukan hanya diri sendiri.
Keseluruhan struktur ini mencerminkan perjalanan spiritual yang lengkap: dimulai dengan pengakuan kesalahan (Istighfar), penguatan fondasi (Tauhid), permohonan perlindungan (Al-Hifzh), penyerahan diri total (Tawakal), dan diakhiri dengan pujian kepada Nabi ﷺ yang membawa risalah ini. Kontinuitas dalam kontemplasi ini adalah jembatan menuju maqam keridhaan Allah.
VII. Warisan dan Pengaruh Global Ratib Al-Haddad
Meskipun Ratib Al-Haddad disusun di Tarim, Hadramaut, pada abad ke-17 Masehi, pengaruhnya telah menyebar luas ke seluruh penjuru dunia, khususnya di kalangan masyarakat Asia Tenggara, Afrika Timur, dan komunitas diaspora Hadrami.
1. Penyebaran di Nusantara
Ratib Al-Haddad dibawa ke Nusantara oleh para ulama dan pedagang dari Hadramaut sejak abad ke-18. Di Indonesia, Malaysia, dan Singapura, Ratib ini menjadi amalan pokok di pondok-pondok pesantren, majelis taklim, dan di rumah-rumah keluarga Muslim.
Para Habaib, khususnya keturunan Al-Haddad dan Al-Aththas, berperan sentral dalam mempopulerkan Ratib ini, menjadikannya bagian tak terpisahkan dari budaya keagamaan sehari-hari. Pembacaan Ratib Al-Haddad secara berjamaah, khususnya pada malam Jumat, telah menjadi tradisi kuat yang menunjukkan konsistensi komunitas Muslim dalam mempertahankan amalan salaf.
2. Konsistensi Melawan Tantangan Modern
Dalam era modern yang penuh hiruk pikuk dan distraksi, Ratib Al-Haddad menawarkan solusi spiritual yang praktis. Rangkaian dzikir ini dapat diselesaikan dalam waktu 15 hingga 20 menit, menjadikannya amalan yang ideal bagi mereka yang memiliki jadwal padat namun tetap ingin membentengi diri secara spiritual.
Imam Al-Haddad menyusun Ratib ini untuk mengatasi kelalaian (ghaflah) yang menjadi penyakit utama hati. Rutinitas membaca Ratib di pagi dan petang memaksa pengamal untuk berhenti sejenak dari kesibukan duniawi dan menyambungkan kembali hati kepada Allah, berfungsi sebagai detoksifikasi rohani harian.
3. Ratib sebagai Jembatan Antar Mazhab
Ratib Al-Haddad diterima secara luas oleh berbagai mazhab dan aliran karena isinya murni terdiri dari ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits yang sahih. Tidak ada kontroversi teologis dalam kalimat-kalimat yang digunakan. Ini menjadikan Ratib sebagai salah satu amalan yang mempersatukan umat, di mana Sunni dari berbagai latar belakang dapat duduk bersama dan berdzikir dalam satu suara, memohon rahmat dan perlindungan Ilahi.
Dengan segala keutamaan dan kedalaman maknanya, Ratib Al-Haddad tetap menjadi pilar utama dalam kurikulum spiritual bagi jutaan umat Muslim di dunia. Amalan ini bukan sekadar rutinitas, melainkan investasi jangka panjang bagi keselamatan dunia dan kebahagiaan akhirat.
Ketekunan dalam mengamalkan Ratib Al-Haddad adalah janji kesetiaan kepada Allah, sebuah benteng kokoh yang didirikan di atas dasar Tauhid murni, menghadirkan ketenangan di tengah badai kehidupan, dan membimbing hamba menuju jalan keridhaan-Nya yang abadi. Marilah kita terus menghidupkan amalan agung ini dengan penuh keikhlasan dan istiqamah.