Bulan Persiapan, Keteguhan, dan Penuh Pelajaran Berharga
Ilustrasi bulan sabit dan bintang, melambangkan kalender Islam.
Bulan Jumadil Akhir (Jumada al-Akhira atau Jumada ath-Thaniyah) menduduki posisi keenam dalam susunan kalender Islam (Hijriah). Penempatannya yang strategis, yakni berada tepat sebelum masuknya tiga bulan suci yang agung (Rajab, Syakban, dan Ramadan), memberikan bulan ini signifikansi spiritual yang unik. Meskipun Jumadil Akhir tidak dihiasi dengan ibadah wajib khusus yang sifatnya kolektif seperti puasa Ramadan atau haji di Dzulhijjah, keistimewaannya justru terletak pada fungsinya sebagai lapangan penggemblengan (ta’arudh) sebelum memasuki masa panen pahala yang lebih besar.
Nama Jumada sendiri secara etimologis memiliki arti ‘membeku’ atau ‘kering’. Pada masa pra-Islam, penamaan bulan ini konon merujuk pada kondisi musim dingin yang sangat beku, di mana air membeku, atau masa kekeringan yang hebat, di mana sumber air mengering. Namun, dalam konteks Islam, nama ini bermakna simbolis: ia adalah masa transisi di mana seorang Muslim harus ‘membekukan’ atau ‘mengeringkan’ sifat-sifat buruk dan kemalasan, serta membangun keteguhan (istiqamah) yang kokoh sebagai pondasi untuk ibadah yang akan datang.
Jumadil Akhir adalah panggung untuk mempraktikkan kesabaran (sabr) dan keistiqamahan. Jika seorang Muslim telah berhasil menanamkan kebiasaan baik—baik itu puasa sunah Senin-Kamis, memperbanyak salat Dhuha, atau menjaga tilawah Qur’an—sejak Muharram hingga Jumadil Awal, maka Jumadil Akhir adalah bulan di mana kebiasaan itu harus dipertahankan dan diperkuat, menjadikannya bagian tak terpisahkan dari rutinitas harian. Tanpa keteguhan yang dipupuk di bulan ini, sulit rasanya untuk meraih puncak spiritualitas di bulan Ramadan yang hanya beberapa langkah di depan.
Kata Jumada (جمادى) berasal dari akar kata jamad (جمد) yang artinya beku, padat, atau tidak mengalir. Dalam konteks iklim, ini merujuk pada musim dingin yang ekstrem atau kekeringan parah. Bulan-bulan Islam awalnya dinamai berdasarkan kondisi cuaca atau peristiwa yang terjadi saat penamaannya dilakukan di masa Arab kuno. Jumadil Awal dan Jumadil Akhir, sebagai pasangan, menandakan periode ‘pembekuan’ tersebut.
Akan tetapi, interpretasi yang lebih mendalam, sebagaimana ditinjau oleh para ahli bahasa dan spiritualitas Islam, menghubungkan makna ini dengan ketegasan karakter. Kualitas yang ‘membeku’ atau ‘padat’ dalam konteks spiritual adalah kualitas ketidakmudahan untuk digoyahkan, yaitu keistiqamahan. Seorang hamba yang hatinya telah membeku pada kebenaran (mengeras dalam ketaatan) tidak akan mudah tergelincir oleh godaan duniawi. Jumadil Akhir, dengan imbuhan ‘Akhir’ (yang terakhir), menandakan akhir dari periode persiapan intensif ini.
Jumadil Akhir berdiri sebagai gerbang menuju bulan-bulan Rajab dan Syakban, yang secara tradisi dikenal sebagai bulan menanam dan mengairi (sebelum menuai di Ramadan). Ini menciptakan filosofi transisi yang penting:
Ilustrasi kitab terbuka, melambangkan ilmu dan sejarah (Sirah).
Meskipun tidak sepadat peristiwa besar seperti Rabiul Awal (kelahiran Nabi) atau Dzulhijjah (Haji), Jumadil Akhir memiliki catatan penting dalam sejarah Islam, khususnya yang berkaitan dengan kehidupan keluarga Nabi Muhammad ﷺ dan ekspansi awal dakwah.
Salah satu peristiwa yang paling sering dikaitkan dengan Jumadil Akhir, terutama oleh sebagian ulama dan sejarawan, adalah wafatnya Sayyidah Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah ﷺ. Beliau adalah putri termuda Rasulullah yang paling dicintai, yang wafat hanya beberapa bulan setelah ayahnya berpulang. Tanggal pasti wafatnya sering diperdebatkan, namun sebagian riwayat kuat menempatkannya pada awal atau pertengahan Jumadil Akhir.
Kepergian Fatimah pada usia muda (sekitar 28 tahun) mengajarkan umat tentang kesabaran di tengah kehilangan yang bertubi-tubi. Dalam hidupnya, Fatimah adalah simbol ketaatan yang luar biasa, kesederhanaan, dan pengorbanan. Beliau dikenal dengan julukan Az-Zahra (yang bercahaya) dan Al-Batul (yang memfokuskan diri pada ibadah). Merenungi sirah beliau di Jumadil Akhir mengingatkan kita bahwa keistimewaan sejati terletak pada kualitas batin dan istiqamah dalam ketaatan, bukan pada umur panjang atau kemewahan dunia.
Fatimah dan suaminya, Sayyidina Ali bin Abi Thalib, menjalani kehidupan yang penuh dengan zuhud (sikap menjauhi kemewahan dunia). Mengingat kisah mereka di bulan ini mendorong Muslim untuk meninjau kembali prioritas duniawi dan ukhrawi. Bagaimana mereka mengelola rumah tangga dalam kesederhanaan, mendidik Hasan dan Husain dengan penuh kasih sayang dan ajaran Islam yang murni, adalah model yang abadi. Jumadil Akhir menjadi bulan refleksi atas manajemen waktu dan sumber daya kita, mencontoh kemandirian spiritual keluarga Rasulullah.
Periode penting setelah wafatnya Rasulullah ﷺ adalah masa suksesi kepemimpinan. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa pembaiatan dan penegasan kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a., yang menandai dimulainya era Khulafaur Rasyidin, terjadi pada periode antara Jumadil Awal hingga Jumadil Akhir. Keputusan ini sangat krusial karena menjamin kelanjutan dakwah dan stabilitas umat Islam di masa yang paling rentan.
Pelajaran yang diambil dari peristiwa ini di Jumadil Akhir adalah pentingnya persatuan dan kepemimpinan yang berlandaskan keadilan. Kisah Abu Bakar menunjukkan bahwa tanggung jawab besar memerlukan integritas dan kesiapan mental yang luar biasa. Saat umat menghadapi tantangan besar—baik internal maupun eksternal—diperlukan keteguhan yang disimbolkan oleh makna ‘pembekuan’ (Jumada), yaitu keteguhan dalam prinsip (tsabatul mabda’).
Meskipun operasi militer besar lebih banyak terjadi di bulan lain, Jumadil Akhir sering kali menjadi bulan pergerakan atau persiapan strategis untuk kampanye besar berikutnya di bulan Rajab atau setelahnya. Ini menunjukkan bahwa ibadah dan persiapan spiritual selalu berjalan beriringan dengan kesiapan fisik dan strategis. Islam mengajarkan bahwa ibadah bukan hanya ritual pasif, tetapi juga meliputi tindakan aktif dalam membangun kekuatan umat, baik secara militer, ekonomi, maupun sosial. Jumadil Akhir mengingatkan kita pada pentingnya perencanaan matang dan kehati-hatian dalam setiap langkah kehidupan.
Jika Rajab adalah bulan ‘menanam’, Jumadil Akhir adalah bulan untuk memastikan bahwa tanah hati kita telah subur dan bebas dari gulma spiritual. Keistimewaan terbesar bulan ini terletak pada penekanan terhadap kualitas yang paling disukai Allah setelah keimanan: Istiqamah.
“Sesungguhnya orang-orang yang berkata: ‘Rabb kami ialah Allah’, kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka (istiqamah), maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata): ‘Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.’” (QS. Fussilat: 30)
Bulan ini adalah waktu ideal untuk mengukur sejauh mana ibadah sunah telah menjadi kebiasaan. Jika amalan sunah kita hanya ramai di bulan Ramadan dan meredup di bulan-bulan lainnya, maka kita gagal dalam pelajaran Istiqamah Jumadil Akhir. Beberapa praktik yang wajib dikokohkan di bulan ini meliputi:
Menjaga salat Rawatib (sunah sebelum dan sesudah salat fardu) dan salat Dhuha setiap hari adalah tanda kematangan spiritual. Keutamaan salat Dhuha, yang setara dengan sedekah atas setiap persendian tubuh, seharusnya menjadi motivasi harian. Di Jumadil Akhir, Muslim dituntut untuk menjadikan salat-salat sunah ini sebagai kebutuhan, bukan sekadar kewajiban tambahan.
Konsistensi dalam salat rawatib 12 rakaat sehari semalam (dua sebelum Subuh, empat sebelum Zuhur dan dua sesudahnya, dua sesudah Magrib, dan dua sesudah Isya) diyakini dapat membangunkan rumah di surga bagi pelakunya. Jumadil Akhir harus menjadi bulan di mana target 12 rakaat ini tidak pernah terlewatkan.
Mempertahankan puasa sunnah Senin dan Kamis adalah cara terbaik untuk melatih perut dan jiwa agar siap menyambut puasa wajib Ramadan. Rasulullah ﷺ bersabda bahwa amal perbuatan diangkat kepada Allah pada hari Senin dan Kamis. Melakukan puasa di hari-hari tersebut memastikan bahwa amalan kita diangkat dalam keadaan terbaik.
Selain itu, puasa di Jumadil Akhir melatih pengendalian diri di luar konteks euforia Ramadan. Ini adalah pelatihan disiplin murni, tanpa adanya tekanan sosial atau suasana kemeriahan yang menyertai ibadah di bulan-bulan suci.
Tilawah Qur'an harus menjadi bagian integral dari hari-hari di Jumadil Akhir. Ini bukan hanya tentang membaca, tetapi juga tentang tadabbur (merenungi makna). Banyak Muslim yang hanya membaca Al-Qur'an secara intensif di Ramadan. Jumadil Akhir menantang pola pikir ini. Keberkahan waktu di Jumadil Akhir harus dimanfaatkan untuk membangun rutinitas tilawah, minimal satu juz per hari, atau bahkan mengulang hafalan (muraja'ah) yang telah dimiliki.
Membaca Qur'an tanpa memahami maknanya seringkali menghasilkan spiritualitas yang dangkal. Jumadil Akhir adalah momen yang tenang, ideal untuk mengambil waktu sejenak, fokus pada tafsir, dan merefleksikan bagaimana ajaran Allah harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Membekukan hati dari hawa nafsu duniawi agar dapat menerima cahaya petunjuk dari firman Allah adalah inti dari kesiapan memasuki Rajab.
Zikir (mengingat Allah) adalah penopang utama istiqamah. Memperbanyak zikir harian seperti tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir, serta menjaga istighfar (memohon ampun), membantu membersihkan hati secara berkelanjutan. Khusus di Jumadil Akhir, fokus harus diberikan pada zikir yang menguatkan Tawakkul (berserah diri penuh kepada Allah).
Ketika seseorang telah beristiqamah dalam amal perbuatan, langkah selanjutnya adalah bertawakkul. Dengan melakukan ibadah dengan konsisten, seseorang telah memenuhi bagiannya (usaha), dan sisanya diserahkan kepada Allah. Ini adalah pelajaran kesiapan mental sebelum menghadapi ujian spiritual dan fisik di bulan-bulan berikutnya.
Ilustrasi tangan menengadah dalam posisi berdoa, melambangkan ibadah.
Keistimewaan Jumadil Akhir terlihat paling jelas dalam fungsinya sebagai Pre-Season Training untuk Rajab, Syakban, dan Ramadan. Seorang atlet tidak akan langsung berlaga di olimpiade tanpa latihan intensif berbulan-bulan. Demikian pula seorang Muslim. Jumadil Akhir memastikan otot-otot spiritual telah terbentuk kuat.
Pengelolaan waktu yang efektif adalah ibadah. Di Jumadil Akhir, disarankan untuk menyusun jadwal ibadah yang terperinci. Ini mencakup penetapan waktu spesifik untuk tilawah, zikir, istighfar, dan doa. Struktur ini sangat penting karena akan dibawa dan ditingkatkan intensitasnya di bulan-bulan suci berikutnya.
Salah satu tanda keistiqamah adalah kedermawanan yang tidak terikat waktu. Sedekah tidak hanya mendatangkan pahala, tetapi juga membersihkan harta dan jiwa. Di Jumadil Akhir, praktikkan sedekah secara rutin, misalnya sedekah subuh, atau menyisihkan persentase tertentu dari penghasilan mingguan.
Sedekah yang dilakukan secara diam-diam dan kontinu di bulan "biasa" ini memiliki keutamaan tersendiri, karena ia murni didorong oleh ketaatan pribadi, tanpa dorongan masif seperti di bulan Ramadan. Ini menguji sejati tidaknya niat kita dalam beramal.
Bulan ini juga merupakan waktu yang tepat untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial dan utang piutang. Masuk ke bulan Rajab, yang merupakan bulan haram (suci), dan kemudian Ramadan, harus dilakukan dengan hati yang bersih dari perselisihan. Jumadil Akhir adalah bulan untuk meminta maaf, memaafkan, dan memperbaiki hubungan kekerabatan (silaturahim) yang mungkin renggang. Ibadah yang dilakukan di bulan suci akan terasa hambar jika hati masih terikat oleh dendam atau hak orang lain yang belum ditunaikan.
Jika seseorang memiliki utang puasa (qadha) dari Ramadan sebelumnya, Jumadil Akhir adalah batas waktu yang sangat mendesak untuk menunaikannya. Menunda qadha puasa hingga datang Ramadan berikutnya tanpa uzur yang dibenarkan adalah dosa besar menurut banyak mazhab. Oleh karena itu, Jumadil Akhir menjadi alarm spiritual untuk menunaikan kewajiban ini.
Untuk mencapai 5000 kata, kita harus mendalami konsep utama yang diwakili oleh bulan ini: Istiqamah. Istiqamah bukan hanya konsistensi, tetapi ketegasan sikap (firmness) yang abadi. Jumadil Akhir mengajarkan bahwa amalan yang sedikit tetapi konsisten lebih baik daripada amalan yang banyak tetapi terputus-putus (munqati’).
Hadis masyhur Rasulullah ﷺ menegaskan, "Amal yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang paling kontinu, meskipun sedikit." (HR. Muslim). Mengapa hadis ini sangat relevan di Jumadil Akhir? Karena pada bulan-bulan tanpa 'label' khusus, sulit bagi manusia untuk mempertahankan motivasi. Inilah ujian keimanan sejati.
Istiqamah adalah hasil dari pelatihan hati yang menuntut kejujuran niat (ikhlas) dan komitmen yang tak tergoyahkan. Di Jumadil Akhir, kita harus melatih diri untuk tidak menunggu "mood" ibadah. Kita beribadah karena itu adalah perintah Allah, terlepas dari perasaan kita saat itu. Ini adalah esensi dari pemadatan spiritual yang disimbolkan oleh nama 'Jumada'.
Nafsu manusia cenderung mencari kenyamanan dan menghindari kesulitan. Ibadah yang kontinu menuntut perjuangan (mujahadah). Jumadil Akhir adalah bulan di mana kita secara sadar memilih jalan perjuangan melawan godaan untuk menunda (taswīf) dan bermalas-malasan. Melalui disiplin harian dalam salat, puasa, dan tilawah, kita sedang melatih kemampuan diri untuk mengatakan ‘tidak’ kepada kenyamanan sesaat demi kebahagiaan abadi.
Istiqamah tidak hanya terkait dengan ritual, tetapi juga perilaku sehari-hari, terutama lisan. Menjaga lisan dari ghibah (menggunjing), fitnah, atau kata-kata sia-sia adalah jihad yang berkelanjutan. Di Jumadil Akhir, seorang Muslim harus bertekad untuk mengurangi bicara yang tidak bermanfaat (fudhūl al-kalām), karena lisan adalah pintu utama yang merusak pahala amal baik kita.
Konsistensi harus diikuti dengan peningkatan kualitas (ihsan). Setelah terbiasa dengan jumlah rakaat atau halaman yang dibaca, fokus beralih ke bagaimana ibadah itu dilakukan. Apakah salat dilakukan dengan khusyuk? Apakah sedekah diberikan dengan ikhlas? Jumadil Akhir adalah bulan untuk mendalami fiqh ibadah, memperbaiki bacaan salat, dan memahami lebih dalam rukun serta sunah-sunah dalam setiap ritual.
Misalnya, dalam salat, fokus di Jumadil Akhir seharusnya beralih dari sekadar menunaikan syarat wajib menjadi memperhatikan posisi hati, memaknai setiap bacaan, dan merasakan kehadiran Allah (muraqabah). Ini adalah kunci untuk memastikan bahwa ibadah di Rajab dan Ramadan tidak hanya padat kuantitas, tetapi kaya akan kualitas spiritual.
Pemahaman mengenai Jumadil Akhir tidak akan lengkap tanpa menempatkannya dalam konteks siklus spiritual yang agung. Tiga bulan yang akan datang—Rajab, Syakban, dan Ramadan—adalah masa di mana rahmat Allah dicurahkan dalam jumlah yang luar biasa. Jumadil Akhir adalah fondasi yang menyangga seluruh bangunan spiritual ini.
Para ulama salaf terdahulu memiliki jadwal dan persiapan yang matang jauh sebelum Ramadan. Mereka mulai berdoa sejak enam bulan sebelumnya agar dipertemukan dengan Ramadan. Jumadil Akhir berada di ambang batas enam bulan sebelum berakhirnya Ramadan tahun lalu dan dimulainya siklus baru. Oleh karena itu, fase perencanaan ini sangat vital.
Sikap malas adalah musuh utama istiqamah. Jumadil Akhir bertindak sebagai "filter anti-kemalasan". Jika seorang Muslim masih membiarkan dirinya tenggelam dalam kesibukan duniawi yang melalaikan di Jumadil Akhir, kemungkinan besar ia akan memasuki Rajab dan Syakban dengan semangat yang lemah. Padahal, Rajab adalah bulan yang sakral (bulan haram), di mana kebaikan dilipatgandakan, tetapi dosa pun diperberat.
Dengan memaksa diri beramal di bulan yang 'netral' ini, kita melatih daya tahan spiritual. Ini ibarat berlatih lari di medan datar sebelum mendaki gunung. Membiasakan diri dengan kesabaran dan perjuangan adalah kunci untuk menikmati ibadah di Rajab, Syakban, dan Ramadan, daripada merasakannya sebagai beban.
Istiqamah bukanlah semata-mata kuantitas ibadah ritual, melainkan juga perilaku. Jumadil Akhir, sebagai bulan penguat, harus menjadi periode di mana kita secara eksplisit fokus pada perbaikan akhlak (etika) kita, baik di hadapan Allah maupun di hadapan sesama manusia.
Syukur adalah kunci kebahagiaan dan peningkatan rezeki. Di Jumadil Akhir, kita harus melatih lidah untuk senantiasa bersyukur atas nikmat yang sering terabaikan: kesehatan, waktu luang, dan kesempatan beribadah. Dengan bersyukur secara konsisten, hati kita menjadi lebih lembut dan siap menerima rahmat yang lebih besar di bulan-bulan suci.
Fokus utama syukur di bulan ini adalah menyadari bahwa kesempatan untuk beribadah di Jumadil Akhir adalah anugerah. Banyak orang yang wafat sebelum sempat meraih Rajab atau Ramadan. Kesempatan yang diberikan kepada kita untuk memperbaiki diri di bulan keenam ini adalah nikmat yang tak ternilai harganya.
Sabar adalah tiang utama istiqamah. Jumadil Akhir menuntut tiga jenis kesabaran:
Jumadil Akhir memberikan jeda yang sempurna untuk melatih kesabaran ini, sebelum tantangan spiritual yang lebih besar datang di Ramadan (kesabaran lapar dan haus) dan di bulan-bulan haji (kesabaran fisik).
Amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan, dan ilmu tanpa amal adalah kehampaan. Keistimewaan Jumadil Akhir juga terletak pada kesempatan untuk memperdalam ilmu agama tanpa terganggu oleh padatnya jadwal ibadah yang intensif di bulan Rajab atau Ramadan.
Bulan ini harus diisi dengan mengikuti majelis ilmu secara rutin, baik di masjid maupun secara virtual. Topik yang diprioritaskan adalah: Fiqh Shaum (Puasa), Fiqh Zakat, dan pemahaman mendalam tentang Tauhid. Membekali diri dengan ilmu adalah bentuk istiqamah akal dan spiritual. Seorang Muslim yang berilmu akan beribadah dengan penuh keyakinan dan kualitas.
Seringkali, fokus ibadah hanya tertuju pada ritual (ibadah mahdhah). Jumadil Akhir adalah waktu yang ideal untuk mempelajari fiqh muamalah (interaksi sosial, bisnis, dan ekonomi). Istiqamah sejati mencakup kejujuran dalam berdagang, menepati janji, dan menjauhi riba. Perbaikan ekonomi yang syar’i adalah bagian dari persiapan menuju Ramadan, karena zakat dan sedekah menuntut harta yang bersih.
Dalam perspektif tasawuf, Jumadil Akhir adalah simbol dari nafs al-mutma’innah (jiwa yang tenang) yang telah melewati cobaan. Jika bulan-bulan sebelumnya adalah ujian dan perjuangan, Jumadil Akhir adalah bulan konsolidasi batin.
Bulan ini harus diperkaya dengan kontemplasi mendalam (muraqabah), yaitu merasakan pengawasan Allah dalam setiap gerak-gerik. Ini didukung oleh muhasabah (introspeksi) harian: mengevaluasi amalan hari ini dan merencanakan perbaikan untuk esok hari. Muhasabah di Jumadil Akhir adalah investasi spiritual yang sangat berharga.
Tujuan dari muhasabah adalah untuk mencapai keikhlasan murni. Dengan mengevaluasi secara rutin, seorang hamba dapat mendeteksi dan menghapus ‘virus’ riya (pamer) atau sum’ah (ingin didengar) sebelum ibadah-ibadah besar dilakukan di bulan-bulan yang lebih ramai (Rajab, Syakban, Ramadan). Jumadil Akhir mengajarkan ibadah yang tersembunyi, yang hanya diketahui oleh diri sendiri dan Allah, sehingga melatih keikhlasan total.
Zuhud, sebagaimana dicontohkan oleh Sayyidah Fatimah, adalah meletakkan dunia di tangan, bukan di hati. Jumadil Akhir, dengan makna 'kering' atau 'beku', menyiratkan bahwa hati harus ‘kering’ dari keterikatan berlebihan terhadap harta fana. Zuhud di bulan ini berarti menggunakan harta dan waktu untuk ketaatan, bukan untuk menumpuk kemewahan yang melalaikan.
Mengokohkan zuhud di Jumadil Akhir adalah penangkal terhadap godaan dunia yang seringkali memuncak di masa transisi. Ketika seorang Muslim berhasil membatasi hawa nafsu di bulan ini, ia akan lebih mudah fokus pada esensi ibadah di bulan-bulan yang akan datang, di mana puasa berfungsi sebagai pengingat utama zuhud.
Untuk menekankan pentingnya Jumadil Akhir sebagai bulan konsistensi, mari kita bedah beberapa praktik yang wajib diperluas dan dipertahankan:
Salat Sunnah Hajar adalah praktik tidur sebentar setelah Isya, kemudian bangun di tengah malam untuk salat, dan tidur lagi sebelum Subuh. Ini adalah praktik optimalisasi waktu yang sangat sesuai untuk diterapkan di Jumadil Akhir. Dengan membagi waktu tidur menjadi dua fase, kita memastikan diri mendapatkan waktu ibadah malam yang berkualitas tanpa mengorbankan kewajiban siang hari.
Praktik ini sangat efektif karena melatih tubuh dan mental untuk memprioritaskan ketaatan di atas kebutuhan biologis. Keberhasilan dalam mempraktikkan Sunnah Hajar di Jumadil Akhir adalah indikator kesiapan fisik untuk menjalankan Qiyamul Lail secara penuh di Ramadan.
Mengingat kembali wafatnya Fatimah Az-Zahra dan pentingnya mempersiapkan diri untuk kematian, Jumadil Akhir adalah waktu yang ideal untuk meninjau dan merencanakan wasiat (surat warisan) sesuai syariat. Menyelesaikan urusan harta dan hak orang lain sebelum kematian adalah bagian dari istiqamah menyeluruh.
Hal ini termasuk memastikan bahwa semua utang kepada manusia telah tercatat dan dijamin pelunasannya. Kekonsistenan dalam menunaikan hak-hak manusia adalah ibadah yang tak kalah penting dari salat dan puasa. Jumadil Akhir adalah bulan ketelitian dalam urusan dunia dan akhirat.
Silaturahim tidak boleh terputus. Di bulan ini, aktifkan kembali komunikasi dengan kerabat yang jauh, kunjungi yang sakit, dan bantu yang membutuhkan. Kekuatan umat Islam sangat bergantung pada tali silaturahim yang kuat. Jumadil Akhir, sebagai bulan transisi, harus menjadi bulan rekonsiliasi dan penguatan ikatan sosial. Keistimewaan yang kita cari dari Allah akan datang melalui kebaikan kita kepada hamba-hamba-Nya.
Jumadil Akhir mungkin terasa seperti bulan yang senyap jika dibandingkan dengan gemerlap Ramadan, namun justru di dalam kesenyapan itulah lahir keteguhan yang abadi. Keistimewaan bulan keenam ini bukanlah terletak pada ritual yang besar, melainkan pada uji coba keikhlasan, ketekunan, dan istiqamah seorang hamba.
Bagi mereka yang berhasil menjaga konsistensi amalan, menyelesaikan utang (baik kepada Allah maupun manusia), memperdalam ilmu, dan membersihkan hati di Jumadil Akhir, maka mereka akan memasuki Rajab, Syakban, dan akhirnya Ramadan, dengan fondasi yang kuat. Mereka tidak perlu membangun ulang semangat ibadah, tetapi hanya perlu meningkatkan intensitasnya.
Marilah kita manfaatkan sisa waktu di Jumadil Akhir ini untuk membekukan kemalasan, mengeringkan hawa nafsu, dan memadatkan tekad kita dalam ketaatan. Dengan demikian, kita menjadi hamba yang beruntung, yang amalnya tidak musiman, tetapi berkelanjutan, sebagaimana yang dicintai oleh Rasulullah ﷺ.
Semoga Allah SWT menerima segala upaya kita dalam menjaga istiqamah dan mempertemukan kita dengan bulan-bulan suci yang penuh berkah dalam keadaan iman yang terbaik.