Mengeluh dalam Islam: Batasan dan Adabnya
Dalam kehidupan sehari-hari, rasa tidak puas, kecewa, atau kesulitan kerap kali menimbulkan keinginan untuk mengeluh. Manusia adalah makhluk yang memiliki perasaan, dan merasakan beban adalah hal yang wajar. Namun, bagaimana pandangan Islam terhadap praktik mengeluh ini? Apakah semua bentuk keluhan dilarang, atau ada batasan dan adab yang perlu diperhatikan?
Islam mengajarkan umatnya untuk memiliki kesabaran (sabr) dan rasa syukur (syukr) dalam menghadapi segala kondisi. Namun, bukan berarti Islam melarang umatnya untuk mengungkapkan kesulitan. Perbedaannya terletak pada esensi dan cara penyampaian keluhan tersebut. Mengeluh dalam artian berprasangka buruk terhadap takdir Allah, meratapi nasib tanpa berusaha, atau bahkan menuding Allah sebagai penyebab penderitaan, tentu saja sangat tidak dianjurkan dan dapat membawa dampak negatif pada keimanan.
Bentuk Keluhan yang Tercela dalam Islam
Ada beberapa bentuk keluhan yang dianggap tercela dan perlu dihindari dalam ajaran Islam:
- Mengeluh Karena Merasa Allah Tidak Adil: Ini adalah bentuk keluhan paling berbahaya. Meragukan keadilan Allah berarti meragukan sifat-sifat-Nya yang Maha Sempurna. Setiap musibah dan kesulitan yang menimpa seorang mukmin, sejatinya memiliki hikmah di baliknya, meskipun tidak langsung terlihat. Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 216: "Boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui."
- Mengeluh Karena Berputus Asa dari Rahmat Allah: Kehidupan dunia selalu dinamis, ada kalanya di atas, ada kalanya di bawah. Mengeluh secara berlebihan hingga menimbulkan keputusasaan dari rahmat Allah adalah tanda lemahnya keyakinan. Allah SWT berfirman dalam QS. Az-Zumar ayat 53: "Katakanlah: ‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’"
- Mengeluh sebagai Kebiasaan dan Mengganggu Orang Lain: Jika mengeluh menjadi kebiasaan yang tiada henti, sering kali akan berdampak negatif pada lingkungan sekitar. Keluhan yang terus menerus dapat menurunkan semangat orang lain, bahkan bisa dianggap sebagai bentuk ghibah (menggunjing) terhadap keadaan atau orang yang menyebabkan kesulitannya.
Keluhan yang Diperbolehkan dan Adabnya
Namun, bukan berarti kita harus membungkam diri sepenuhnya. Ada kalanya, menceritakan kesulitan kepada orang yang dipercaya atau kepada Allah SWT dalam bentuk doa adalah cara yang sehat untuk melepaskan beban. Bentuk keluhan yang diperbolehkan ini memiliki adab:
- Mengadu Kepada Allah SWT (Berdoa): Ini adalah bentuk "mengeluh" yang paling utama dan mulia. Ketika kita merasa terbebani, mengangkat tangan, dan memohon pertolongan kepada Allah melalui doa, itu adalah bentuk ibadah dan penyerahan diri. Nabi Ya'qub AS pernah berkata, sebagaimana diceritakan dalam QS. Yusuf ayat 86: "Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui."
- Berkonsultasi dengan Orang yang Dipercaya: Menceritakan masalah kepada orang tua, pasangan, sahabat, atau ulama yang bijaksana bukanlah bentuk keluhan yang tercela, melainkan mencari solusi, nasihat, atau sekadar meluapkan beban agar tidak menumpuk. Penting untuk memilih orang yang tepat, yang mampu memberikan dukungan positif dan tidak memperkeruh suasana.
- Mengungkapkan Kesulitan untuk Mencari Pertolongan: Jika kesulitan yang dihadapi membutuhkan bantuan orang lain, maka mengungkapkannya adalah hal yang wajar. Misalnya, memberitahu atasan tentang hambatan pekerjaan, atau memberitahu kerabat tentang kebutuhan mendesak.
Kunci utamanya adalah niat dan cara penyampaian. Mengeluh yang didasari keyakinan akan pertolongan Allah, rasa syukur atas nikmat yang masih ada, dan disampaikan dengan cara yang santun serta konstruktif, jauh berbeda dengan keluhan yang didasari keputusasaan dan prasangka buruk.
Dalam menghadapi cobaan, seorang mukmin diajak untuk senantiasa mengintrospeksi diri, bersabar, dan berdoa. Jika memang perlu "mengeluh", maka hendaknya keluhan itu diarahkan kepada Sang Pencipta, sumber segala kekuatan dan pertolongan. Mengadopsi sikap tawakkal (berserah diri) kepada Allah setelah berusaha maksimal, adalah sikap terbaik dalam menjalani lika-liku kehidupan.
Mari kita jadikan setiap ujian sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan malah menjauh karena keluhan yang tidak berujung. Dengan begitu, setiap kesulitan akan terasa lebih ringan, dan hati akan senantiasa dipenuhi ketenangan dan keyakinan.