Analisis mendalam terhadap kitab suci Islam dan upaya universal untuk mendekatkan pesannya kepada seluruh umat manusia.
Al-Qur'an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ sebagai petunjuk bagi umat manusia. Ia merupakan sumber hukum, pedoman etika, dan fondasi peradaban Islam. Namun, teks asli Al-Qur'an diwahyukan dalam bahasa Arab klasik yang kaya, mendalam, dan memiliki karakteristik linguistik yang unik, dikenal sebagai I'jaz (kemukjizatan linguistik).
Bagi miliaran Muslim yang tidak berbahasa Arab, akses langsung terhadap makna literal dan spiritual Al-Qur'an merupakan tantangan besar. Di sinilah peran terjemahan menjadi krusial. Terjemahan bukan sekadar konversi kata dari satu bahasa ke bahasa lain, melainkan sebuah jembatan yang menghubungkan hati pembaca dengan pesan Ilahi, memungkinkan mereka untuk mengamalkan ajaran agama secara benar dan komprehensif.
Urgensi penerjemahan muncul dari dua aspek utama:
Oleh karena itu, penerjemahan Al-Qur'an adalah sebuah proyek keilmuan dan keagamaan yang masif, melibatkan upaya teologis, linguistik, historis, dan sosiologis yang kompleks, menjadikannya salah satu usaha intelektual terbesar dalam sejarah Islam.
Sebelum membahas proses penerjemahan, penting untuk memahami sifat dasar teks yang diterjemahkan. Teks Al-Qur'an bersifat sakral dan terpelihara (mahfuzh), dijamin keotentikannya melalui transmisi lisan (mutawatir) dan kodifikasi Utsmani.
Bahasa Arab yang digunakan dalam Al-Qur'an adalah bahasa yang sangat kaya. Keunikan ini menimbulkan tantangan yang hampir mustahil untuk dipindahkan secara sempurna ke dalam bahasa lain:
Al-Qur'an dianggap mukjizat karena struktur linguistiknya yang tak tertandingi, yang mencakup ritme, nada, pemilihan kata, dan susunan sintaksis. Kemukjizatan ini hilang total dalam terjemahan. Terjemahan hanya dapat menyampaikan *makna*, bukan *gaya bahasa* atau *estetika* Ilahi.
Satu kata Arab Qur'ani seringkali memiliki banyak makna yang kaya (polisemik) tergantung pada konteksnya (misalnya, kata huda, qalb, atau fitnah). Penerjemah harus memilih salah satu makna yang paling sesuai, sehingga mengorbankan nuansa makna yang lain.
Contoh paling terkenal adalah kata Taqwa. Kata ini dapat diterjemahkan sebagai 'takut', 'kesadaran', 'menjaga diri', 'kesalehan', atau 'ketaatan'. Penerjemah harus bergulat dengan pilihan: apakah memilih terjemahan yang sederhana namun kurang lengkap (misalnya, 'takut kepada Allah') atau terjemahan deskriptif yang panjang ('kesadaran penuh akan kehadiran Allah dan berusaha menghindari murka-Nya').
Bahkan partikel kecil (seperti min, fi, 'ala) dalam bahasa Arab Qur'ani dapat mengubah makna sebuah kalimat secara drastis, yang seringkali sulit direplikasi secara tepat dalam bahasa lain tanpa menjadi kaku atau canggung.
Secara teologis, terjemahan Al-Qur'an bukanlah Al-Qur'an itu sendiri. Al-Qur'an yang autentik harus dalam bahasa Arab aslinya. Oleh karena itu, para ulama sering menekankan:
Karena kerumitan yang melekat, penerjemahan Al-Qur'an tidak dapat dilakukan dengan metode tunggal. Terdapat beberapa pendekatan utama yang digunakan oleh para penerjemah sepanjang sejarah, masing-masing dengan kelebihan dan kekurangannya:
Pendekatan ini mencoba mempertahankan urutan kata dan struktur kalimat Arab sebisa mungkin. Tujuannya adalah kesamaan bentuk. Meskipun pendekatan ini sangat setia pada leksikon asli, hasilnya seringkali kaku, sulit dipahami, dan bahkan menyesatkan pembaca non-Arab karena perbedaan idiom dan sintaksis.
Fokus utama adalah pada makna dan dampaknya terhadap pembaca (dynamic equivalence). Penerjemah mengutamakan kelancaran dan keterbacaan dalam bahasa target, bahkan jika harus mengubah struktur kalimat secara drastis dari teks aslinya. Pendekatan ini sangat populer untuk tujuan da’wah dan pembaca awam, namun dikritik karena dikhawatirkan terlalu jauh dari teks asli atau memasukkan interpretasi pribadi secara berlebihan.
Metode ini menggabungkan terjemahan dengan penjelasan singkat (tafsir). Penerjemah menambahkan kata atau frasa dalam kurung siku atau catatan kaki untuk menjelaskan konteks, makna teologis yang lebih dalam, atau interpretasi yang disepakati ulama. Inilah pendekatan yang paling umum digunakan dalam terjemahan resmi, termasuk Al-Qur'an dan Terjemahan keluaran Kementerian Agama Republik Indonesia.
Fokus pada konteks historis, sosial, dan kultural (Asbabun Nuzul – sebab-sebab turunnya ayat). Pendekatan ini berupaya memastikan bahwa pembaca memahami ayat dalam kerangka waktu dan situasi ketika ia diwahyukan, mencegah penafsiran yang ahistoris atau terlepas dari konteks awal.
Upaya penerjemahan Al-Qur'an telah dimulai sejak periode awal Islam, didorong oleh kebutuhan komunitas Muslim di wilayah non-Arab yang baru masuk Islam.
Terjemahan paling awal yang diketahui dilakukan dalam bahasa Persia. Salman Al-Farisi, salah seorang Sahabat Nabi, disebut-sebut menerjemahkan Surat Al-Fatihah ke dalam bahasa Persia atas permintaan Muslim Persia yang kesulitan mengucapkan bahasa Arab. Namun, terjemahan penuh dan sistematis muncul belakangan.
Pada abad ke-10, terjemahan penuh pertama yang terdokumentasi muncul, juga dalam bahasa Persia, digunakan sebagai alat untuk memahami dasar-dasar fiqih dan akidah di Asia Tengah.
Penerjemahan ke bahasa Latin dimulai pada abad ke-12 di Toledo, Spanyol, yang saat itu menjadi pusat penerjemahan besar. Terjemahan Latin oleh Robert of Ketton (dikenal sebagai Lex Mahumet pseudoprophetae) adalah upaya terjemahan yang seringkali bias dan digunakan untuk tujuan polemik, bukan untuk pemahaman internal umat Islam.
Periode ini ditandai oleh kurangnya akurasi dan konteks, karena tujuan utama penerjemah Barat adalah untuk memahami (dan sering kali menyerang) lawan ideologis mereka, bukan untuk menyampaikan pesan Ilahi yang autentik.
Dengan runtuhnya kekhalifahan dan munculnya kolonialisme, kebutuhan akan terjemahan yang akurat dan berbasis otoritas menjadi mendesak. Muslim di India, Mesir, dan Indonesia mulai memimpin proyek penerjemahan massal:
Terjemahan-terjemahan modern ini umumnya didasarkan pada tradisi tafsir klasik (seperti Tafsir Jalalain atau Tafsir Ibn Katsir) untuk memastikan keotentikan interpretatif.
Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, peran terjemahan Al-Qur'an di Indonesia sangat sentral, bukan hanya sebagai alat ibadah tetapi juga sebagai instrumen pendidikan nasional dan pemersatu umat.
Sebelum abad ke-20, pemahaman Al-Qur'an di Nusantara seringkali bersifat lisan, melalui pengajian kitab kuning, atau dalam bentuk terjemahan interlinear (kata per kata) yang ditulis di sela-sela mushaf Arab. Mushaf yang disertai terjemahan interlinear sering disebut Mushaf Berguru.
Terjemahan tertulis pertama yang tercatat adalah dalam bahasa Melayu, yang merupakan bahasa lingua franca, namun ini seringkali berupa terjemahan parsial atau tafsir yang diselipkan dalam karya-karya tasawuf.
Organisasi seperti Muhammadiyah dan tokoh-tokoh seperti K.H. Ahmad Dahlan mulai menekankan pentingnya terjemahan untuk melawan kejumudan dan memahami Islam secara rasional. Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) adalah tokoh kunci yang memulai proyek tafsir dan terjemahan yang sangat populer: Tafsir Al-Azhar. Meskipun Tafsir Al-Azhar bukanlah terjemahan murni, ia berfungsi sebagai terjemahan kontekstual yang sangat kuat bagi masyarakat Melayu.
Titik balik terbesar dalam sejarah terjemahan di Indonesia terjadi pada masa Orde Baru. Pemerintah melalui Kementerian Agama (saat itu bernama Departemen Agama) menyadari perlunya terjemahan yang seragam, otoritatif, dan bebas dari bias kelompok tertentu. Proyek ini dimulai pada tahun 1965 dan dirilis secara bertahap, akhirnya dikenal sebagai Al-Qur'an dan Terjemahan.
Ciri khas Terjemahan Kemenag:
Era reformasi membawa kebebasan yang lebih besar dalam penerbitan, memunculkan terjemahan dengan pendekatan yang lebih beragam, seperti:
Meskipun upaya telah dilakukan secara ekstensif, penerjemah bahasa Indonesia menghadapi tantangan spesifik, terutama dalam menangani terminologi teologis dan isu-isu sensitif.
Beberapa konsep inti akidah Islam sangat sulit dipindahkan ke dalam bahasa Indonesia tanpa kehilangan kekuatan aslinya:
Sebagian ulama merasa bahwa kata 'Allah' harus dipertahankan karena ia adalah nama diri yang unik, sementara 'Tuhan' adalah nama umum yang bisa berarti dewa atau ilah dalam konteks non-Islam. Namun, demi komunikasi yang lebih luas (termasuk komunikasi antaragama), mayoritas terjemahan Kemenag menggunakan 'Allah' dalam teks Arabnya dan 'Tuhan' atau 'Allah' dalam terjemahan, seringkali disertai penjelasan.
Istilah yang mencakup seluruh alam yang tidak terlihat oleh indra manusia. Terjemahan sederhana seperti 'yang gaib' terasa kurang memadai. Penerjemah harus memastikan bahwa makna 'ghaib' mencakup dimensi metafisik yang luas, termasuk keberadaan malaikat, surga, dan neraka.
Ketika menerjemahkan ayat-ayat hukum, penerjemah harus sangat berhati-hati agar terjemahan tidak bertentangan dengan hasil ijtihad ulama. Misalnya, ayat-ayat yang berkaitan dengan warisan, poligami, atau hukuman pidana memerlukan ketelitian maksimal.
Contoh: Ayat tentang pencurian. Terjemahan literal mungkin menyerukan pemotongan tangan, tetapi terjemahan tafsiriah harus menjelaskan kondisi, ambang batas (nisab), dan konteks hukum yang harus dipenuhi sebelum hukuman tersebut dapat dilaksanakan, sesuai dengan mazhab fiqih yang dominan.
Pilihan kata dalam terjemahan sering kali mencerminkan orientasi teologis penerjemah atau tim penerjemah. Misalnya, cara menerjemahkan ayat-ayat mutashabihat (ayat-ayat yang samar maknanya, seperti sifat-sifat Allah – 'tangan Allah', 'wajah Allah'):
Perbedaan ini membuat pembaca menemukan sedikit variasi dalam terjemahan yang berbeda, yang menunjukkan bahwa terjemahan adalah upaya pemahaman manusia yang terbatas.
Di era digital dan globalisasi, terjemahan Al-Qur'an memiliki peran yang jauh melampaui sekadar sarana ibadah. Ia menjadi alat penting dalam da’wah, pendidikan, dan dialog antaragama.
Terjemahan memfasilitasi da’wah yang efektif di tengah masyarakat yang majemuk. Melalui terjemahan yang mudah diakses (seperti aplikasi digital dan situs web), pesan Islam dapat disampaikan kepada jutaan orang non-Arab.
Dalam konteks pendidikan, terjemahan berfungsi sebagai dasar pengajaran agama Islam sejak dini. Kurikulum madrasah dan sekolah umum di Indonesia sangat bergantung pada terjemahan Kemenag untuk mengajarkan konsep-konsep Al-Qur'an secara terstruktur.
Penggunaan teknologi dalam penerjemahan—seperti integrasi terjemahan dengan audio tilawah dan fitur pencarian konteks—telah mengubah cara umat berinteraksi dengan wahyu, menjadikannya lebih interaktif dan personal.
Terjemahan yang baik dan bertanggung jawab dapat memainkan peran penting dalam melawan ekstremisme dan mempromosikan citra Islam yang damai (wasathiyyah).
Dalam dialog antaragama, terjemahan yang akurat memungkinkan non-Muslim untuk memahami sumber primer Islam, menghilangkan kesalahpahaman yang sering timbul dari interpretasi dangkal atau terjemahan yang bias.
Namun, hal ini menuntut terjemahan yang menekankan nilai-nilai universal Al-Qur'an, seperti keadilan (al-adl), kebajikan (al-ihsan), dan penghargaan terhadap kehidupan.
Revolusi digital telah membuat terjemahan menjadi sangat mudah diakses. Proyek seperti Tanzil atau Quran.com menyediakan terjemahan dalam puluhan bahasa, termasuk fitur perbandingan terjemahan (misalnya, membandingkan terjemahan Indonesia Kemenag dengan terjemahan Inggris Yusuf Ali atau Pickthall).
Aksesibilitas ini menimbulkan tantangan baru: Bagaimana memastikan bahwa pembaca awam, yang membaca terjemahan di ponsel mereka tanpa bimbingan guru, tidak salah menafsirkan ayat-ayat kompleks?
Oleh karena itu, penerjemahan digital modern sering menyertakan tautan langsung ke tafsir klasik, mengingatkan pembaca bahwa terjemahan harus dipandang sebagai pintu gerbang menuju ilmu tafsir, bukan sebagai tujuan akhir pemahaman.
Untuk mencapai pemahaman komprehensif, penting untuk menggali lebih jauh bagaimana penerjemah bergulat dengan istilah yang mengandung bobot historis dan teologis yang sangat besar. Berikut adalah beberapa contoh mendalam dalam konteks terjemahan ke bahasa Indonesia:
Di Indonesia, terjemahan kata Jihad seringkali menimbulkan polemik. Dalam terjemahan Kemenag, kata ini umumnya diterjemahkan sebagai 'bersungguh-sungguh di jalan Allah' atau 'berjuang'. Penerjemah harus secara eksplisit memisahkan makna Jihad yang luas (perjuangan diri, perjuangan intelektual, perjuangan ekonomi) dari makna Qital (perang bersenjata) yang sempit, meskipun keduanya adalah bentuk dari jihad. Kegagalan dalam membedakan ini dapat menyebabkan misinterpretasi yang berujung pada radikalisme.
Meskipun keduanya terkait dengan pengeluaran harta, terjemahan harus membedakan dengan jelas. Zakat diterjemahkan sebagai 'zakat' (dengan definisi teknisnya sebagai kewajiban harta tertentu), sementara Infaq diterjemahkan sebagai 'nafkah' atau 'infak/sedekah' (bersifat sukarela). Konsistensi dalam membedakan istilah ini sangat penting untuk pemahaman syariat ekonomi Islam.
Dua konsep takdir ini sering diterjemahkan secara tumpang tindih sebagai 'ketentuan' atau 'takdir' secara umum. Dalam kajian teologis, Qadha adalah penetapan umum oleh Allah, sementara Qadar adalah realisasi atau perincian penetapan tersebut. Penerjemah harus menggunakan kata tambahan atau catatan kaki untuk memperjelas nuansa ini, khususnya dalam ayat-ayat yang membahas kehendak bebas manusia (ikhtiyar) versus ketetapan Ilahi.
Ayat-ayat ini, yang bisa berupa sumpah, huruf-huruf tunggal di awal surat (huruf muqatta'ah, seperti Alif Lam Mim), atau deskripsi surga/neraka, seringkali diterjemahkan secara langsung (harfiah) diikuti dengan pernyataan bahwa "hanya Allah yang mengetahui maknanya." Ini adalah solusi terbaik dalam penerjemahan, karena upaya tafsir terlalu dalam atau takwil yang berlebihan akan melampaui fungsi terjemahan.
Di masa depan, penerjemahan Al-Qur'an akan semakin dipengaruhi oleh teknologi dan perubahan sosial-budaya. Beberapa tren yang akan menentukan arah penerjemahan meliputi:
Penelitian di bidang linguistik kognitif dapat membantu penerjemah memahami bagaimana struktur bahasa Arab mempengaruhi pemahaman pembaca. Ini memungkinkan pembuatan terjemahan yang tidak hanya akurat secara teologis, tetapi juga optimal secara kognitif bagi pembaca non-Arab.
Proyek penerjemahan di masa depan tidak lagi hanya melibatkan ulama dan linguis Arab, tetapi juga antropolog, sosiolog, dan ahli psikologi. Hal ini penting untuk memastikan terjemahan dapat berbicara efektif kepada audiens yang berbeda (misalnya, kaum muda, profesional, atau komunitas adat).
Meskipun sulit dicapai, ada harapan untuk menciptakan pedoman penerjemahan global yang memastikan konsistensi dalam penyampaian istilah-istilah inti, untuk meminimalkan perbedaan signifikan antara terjemahan yang satu dengan yang lain, terutama dalam bahasa-bahasa mayoritas.
Upaya ini bertujuan untuk mengatasi masalah hyper-fragmentation, di mana setiap kelompok atau individu menghasilkan terjemahan mereka sendiri yang terkadang dipenuhi bias interpretatif, sehingga mengaburkan makna tunggal wahyu.
Proyek penerjemahan Al-Qur'an adalah sebuah usaha spiritual dan intelektual yang tak pernah usai. Ia adalah penanda keindahan dan sekaligus tantangan dari wahyu Ilahi yang unik. Terjemahan, khususnya terjemahan Qur'an dan terjemahan dalam bahasa Indonesia, berfungsi sebagai jembatan yang tak tergantikan, memungkinkan miliaran Muslim di Nusantara dan seluruh dunia untuk berinteraksi langsung dengan firman Allah.
Setiap terjemahan adalah interpretasi, sebuah cerminan terbaik dari pemahaman manusia pada suatu waktu. Ini menegaskan kembali pentingnya bagi Muslim non-Arab untuk tidak berhenti pada terjemahan, melainkan menggunakannya sebagai pijakan untuk mempelajari bahasa Arab dan ilmu tafsir klasik, demi mencapai pemahaman yang paling otentik terhadap pesan Al-Qur'an.
Penerjemahan adalah bukti nyata bahwa Islam, dengan kitab sucinya Al-Qur'an, ditujukan kepada seluruh umat manusia, melampaui batas bahasa, budaya, dan geografi.