Dalam kitab suci Al-Qur'an, terdapat banyak ayat yang menjadi panduan hidup bagi umat Muslim. Salah satu ayat yang sering menjadi rujukan, terutama terkait pelaksanaan ibadah haji dan umrah, adalah Surat Al-Baqarah ayat 196. Ayat ini tidak hanya mengatur aspek formalitas ibadah, tetapi juga menekankan esensi kekhusyukan dan kelengkapan dalam menjalankan perintah Allah SWT. Mari kita selami makna mendalam dari ayat ini untuk memperkaya pemahaman kita tentang ketaatan.
وَأَتِمُّوا۟ ٱلْحَجَّ وَٱلْعُمْرَةَ لِلَّهِ ۚ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا ٱسْتَيْسَرَ مِنَ ٱلْهَدْىِ ۖ وَلَا تَحْلِقُوٓا۟ رُءُوسَكُمْ حَتَّىٰ يَبْلُغَ ٱلْهَدْىُ مَحِلَّهُۥ ۚ فَمَنْ كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ بِهِۦٓ أَذًى مِّن رَّأْسِهِۦ فَفِدْيَةٌ مِّن صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ ۚ فَإِذَآ أَمِنتُمْ ۖ فَمَن تَمَتَّعَ بِٱلْعُمْرَةِ إِلَى ٱلْحَجِّ فَمَا ٱسْتَيْسَرَ مِنَ ٱلْهَدْىِ ۚ وَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَـٰثَةِ أَيَّامٍ حَـٰجٍّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ ۗ تِلْكَ لِأُمَّةٍ ٱللَّهُ أَعْلَمُ بِهَا ۚ ذَٰلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ حُرُمَـٰتِ ٱللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُۥ ۚ وَأُحِلَّتْ لَكُمُ ٱلْأَنْعَـٰمُ إِلَّا مَا يُتْلَىٰ عَلَيْكُمْ ۚ فَٱجْتَنِبُوا۟ ٱلرِّجْسَ مِنَ ٱلْأَوْثَانِ وَٱجْتَنِبُوا۟ قَوْلَ ٱلزُّورِ ﴿١٩٦﴾
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Jika kamuempêrtárung, maka sembelihlah hewan korban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu hingga hewan korban itu sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antara kamu yang sakit atau mempunyai luka di kepalanya (sehingga terpaksa bercukur), maka wajiblah dia menebusnya dengan berpuasa atau bersedekah atau berkorban binatang. Apabila kamu dalam keadaan aman dan bertempat tinggal, maka barangsiapa mendapat keuntungan (dengan bertawaf dan sa'i dua kali lalu dia mukim) karena (mengerjakan) umrah hingga (waktu mengerjakan) haji, maka wajiblah atasnya menyembelih korban yang mudah didapat. Maka barangsiapa tidak menemukan binatang korban, maka wajiblah dia berpuasa tiga hari ketika haji dan tujuh hari (apabila) kamu telah pulang. Itulah sebabnya bagi orang yang tidak bertempat tinggal di Masjidil Haram; dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.”
Ayat 196 Surat Al-Baqarah diawali dengan perintah tegas untuk menyempurnakan ibadah haji dan umrah karena Allah. Kata "sempurnakan" (أَتِمُّوا۟ - atimmu) memiliki makna yang sangat dalam. Ini bukan sekadar menjalankan rangkaian ritualnya, tetapi juga memastikan setiap aspek ibadah dilakukan dengan penuh kekhusyukan, ketulusan niat, dan sesuai dengan tuntunan syariat. Kesempurnaan ini mencakup kesiapan fisik, mental, finansial, serta menjaga adab dan etika selama menjalankan ibadah.
Perintah untuk melakukan ibadah "karena Allah" (لِلَّهِ - lillah) menegaskan bahwa tujuan utama dari setiap amal ibadah adalah mencari ridha-Nya semata, bukan pujian atau pengakuan dari manusia. Niat yang ikhlas inilah yang akan menentukan kualitas dan nilai ibadah di sisi-Nya.
Selanjutnya, ayat ini memberikan solusi ketika seorang jamaah menghadapi hambatan atau halangan saat menunaikan ibadah haji atau umrah. Frasa "Jika kamuempêrtárung" (فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ - fa in uhshirtum) merujuk pada kondisi terhalangnya seseorang untuk menyelesaikan ibadah, baik karena sakit, terhalang oleh musuh, atau kendala lainnya.
Dalam kondisi seperti ini, Allah memberikan keringanan. Jamaah diwajibkan menyembelih hewan kurban (الهَدْيِ - al-hadyi) yang mudah didapat sebagai gantinya. Penting untuk dicatat bahwa mencukur rambut kepala, yang merupakan bagian dari tahallul (penyelesaian ibadah), tidak boleh dilakukan sebelum hewan kurban disembelih atau sampai di tempat yang telah ditentukan. Hal ini menunjukkan adanya aturan dan tahapan yang harus diikuti meskipun dalam kondisi kendala.
Jika hambatan tersebut berkaitan dengan kondisi kesehatan, seperti luka di kepala yang mengharuskan bercukur, maka ada opsi denda (fidyah) yang bisa dipilih: berpuasa, bersedekah, atau menyembelih hewan kurban. Keringanan ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang moderat dan selalu mempertimbangkan kondisi umatnya.
Ketika kondisi sudah aman, ayat ini kembali berbicara tentang tata cara pelaksanaan bagi yang tidak mengalami hambatan. Frasa "maka barangsiapa mendapat keuntungan (dengan bertawaf dan sa'i dua kali lalu dia mukim) karena (mengerjakan) umrah hingga (waktu mengerjakan) haji" merujuk pada praktik tamattu', yaitu mengerjakan umrah terlebih dahulu lalu bertahan di Mekkah hingga datang waktu haji.
Bagi mereka yang melakukan tamattu', diwajibkan menyembelih hewan kurban yang mudah didapat. Namun, jika tidak menemukan hewan kurban, terdapat alternatif lain yaitu berpuasa tiga hari selama masa haji dan tujuh hari setelah kembali ke tempat asal. Ini adalah ketentuan yang berlaku bagi mereka yang tidak berdomisili di Mekkah.
Ayat ini ditutup dengan penegasan bahwa ketentuan-ketentuan tersebut adalah bagi umat yang tidak berdomisili di Masjidil Haram, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu mengenai umat-Nya. Kemudian, Allah memerintahkan untuk senantiasa bertakwa dan menekankan bahwa barangsiapa mengagungkan hal-hal yang dihormati Allah (hurumâtillah), maka itu lebih baik baginya. Mengagungkan larangan Allah dan perintah-Nya merupakan wujud ketaatan tertinggi.
Selain itu, ayat ini juga secara spesifik menyebutkan kehalalan hewan ternak, kecuali yang disebutkan dalam ayat lain. Namun, yang lebih penting adalah peringatan untuk menjauhi "kekejian berhala" (الرِّجْسَ مِنَ ٱلْأَوْثَانِ - ar-rijsa minal authaan) dan "perkataan dusta" (قَوْلَ ٱلزُّورِ - qaulaz zoor).
Menjauhi berhala dan perkataan dusta merupakan bagian integral dari kesempurnaan ibadah dan ketakwaan. Berhala melambangkan segala bentuk penyekutuan terhadap Allah, baik yang bersifat fisik maupun spiritual. Perkataan dusta mencakup kebohongan, fitnah, ghibah, dan segala ucapan yang tidak benar serta merusak.
Dengan demikian, Surat Al-Baqarah ayat 196 mengajarkan kita bahwa ibadah haji dan umrah bukan sekadar ritual fisik, melainkan sebuah perjalanan spiritual yang menuntut kesempurnaan, ketulusan, ketaatan pada aturan-Nya, serta menjauhi segala bentuk kesyirikan dan kedustaan. Pemahaman mendalam terhadap ayat ini akan membimbing kita untuk senantiasa memperbaiki diri dalam menjalankan perintah Allah.