Dalam lautan ayat-ayat Al-Qur'an, terdapat kisah-kisah yang sarat makna dan pelajaran berharga bagi umat manusia. Salah satunya adalah Surah Al Baqarah ayat 68, sebuah dialog yang terjalin antara Nabi Musa alaihi salam dengan kaumnya, Bani Israil. Ayat ini, meskipun singkat, menyimpan kekayaan hikmah yang relevan hingga kini, terutama dalam konteks kepatuhan, kejujuran, dan kebijaksanaan dalam menjalankan perintah Ilahi.
Simbol kesederhanaan dan ketegasan perintah dalam ayat.
Ayat ini bermula ketika Bani Israil dihantui oleh sebuah misteri pembunuhan yang tak terpecahkan. Untuk mengungkap pelaku, Allah memerintahkan Nabi Musa untuk menyembelih seekor sapi betina. Perintah ini bukanlah sekadar ritual, melainkan sebuah ujian dan cara untuk mengungkapkan kebenaran yang tersembunyi. Namun, alih-alih segera melaksanakan, Bani Israil justru mengajukan serangkaian pertanyaan yang menunjukkan keraguan dan upaya untuk mengulur waktu.
"Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, ‘Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina.’ Mereka berkata, ‘Apakah engkau hendak menjadikan kami bahan olok-olokan?’ Musa menjawab, ‘Aku berlindung kepada Allah agar tidak termasuk orang-orang yang bodoh.’" (QS. Al Baqarah: 67)
Ayat 68 kemudian melanjutkan dialog tersebut, di mana Bani Israil semakin mempersempit kriteria sapi yang diperintahkan, seolah mencoba mengelak dari kewajiban atau bahkan mencari alasan untuk tidak mengikuti perintah. Ini menunjukkan pola perilaku yang sering kali muncul pada diri manusia ketika dihadapkan pada perintah yang menuntut perubahan atau pengorbanan. Mereka bertanya:
"Mereka berkata, ‘Mohonlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar Dia menjelaskan kepada kami, apa (sifat) sapi betina itu.’ Musa berkata, ‘Sesungguhnya Allah berfirman, bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak perawan, tetapi pertengahan (umur) di antara itu; maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu.’" (QS. Al Baqarah: 68)
Ada beberapa lapisan makna yang dapat digali dari ayat ini:
Perintah menyembelih sapi betina, pada awalnya, mungkin tampak tidak logis atau tidak relevan bagi Bani Israil dalam konteks kasus pembunuhan. Namun, ini adalah ujian mendasar terhadap ketaatan mereka kepada Allah dan Nabi-Nya. Seharusnya, ketika mendengar perintah dari Allah melalui utusan-Nya, respons pertama adalah kepatuhan, bukan pertanyaan yang penuh keraguan.
Bani Israil tidak hanya bertanya sekali, tetapi terus-menerus mempersempit spesifikasi sapi tersebut. Sikap bertanya yang berlebihan dan penuh keengganan dalam melaksanakan perintah sering kali mengarah pada kesulitan yang lebih besar. Semakin rinci pertanyaan mereka, semakin sulit pula mereka menemukan sapi yang dimaksud, yang pada akhirnya justru mempersulit diri mereka sendiri.
Respons Nabi Musa yang menyatakan berlindung kepada Allah dari menjadi orang yang bodoh adalah penegasan pentingnya kejujuran dan menghindari kebodohan yang disengaja. Kebodohan di sini bukan sekadar minimnya pengetahuan, tetapi juga ketidakmauan untuk menerima kebenaran dan menjalankan perintah Ilahi.
Meskipun Bani Israil mempersulit, Allah melalui firman-Nya memberikan deskripsi yang masih memungkinkan untuk ditemukan. Allah tidak memberikan syarat yang mustahil. Ini menunjukkan bahwa syariat Islam dibangun di atas prinsip kemudahan, bukan kesulitan yang tak teratasi. Masalah muncul justru dari cara hamba Allah dalam menyikapinya.
Ayat ini mengajarkan kita untuk merenungkan cara kita menanggapi perintah agama. Apakah kita cenderung mencari celah, bertanya dengan tujuan mengelak, atau justru segera mencari cara untuk melaksanakannya dengan ikhlas? Ketaatan yang tulus sering kali membuka pintu kemudahan yang tidak terduga.
Kisah ini bukan sekadar catatan sejarah umat terdahulu, melainkan sebuah cermin bagi kehidupan kita. Dalam menghadapi ajaran agama atau tugas-tugas penting dalam hidup, seringkali kita menemukan diri kita seperti Bani Israil. Ada kalanya kita merasa ragu, mencoba mencari argumen untuk menunda, atau bahkan mencoba mencari "jalan pintas" yang sebenarnya justru menjauhkan kita dari tujuan utama. Surah Al Baqarah ayat 68 mengingatkan kita untuk selalu mengedepankan ketaatan, kejujuran, dan keberanian dalam menghadapi ujian.
Pada akhirnya, apa yang diperintahkan Allah memiliki hikmah dan kebaikan di dalamnya, meskipun terkadang tidak langsung terlihat oleh akal manusia. Dengan senantiasa memohon petunjuk dan taufik dari Allah, serta menjadikan ayat-ayat-Nya sebagai pedoman, kita dapat menavigasi kehidupan dengan lebih bijaksana dan penuh keberkahan.
Semoga kita termasuk dalam golongan orang-orang yang bersegera dalam kebaikan dan senantiasa taat kepada perintah-Nya.