Surat Al-Fatihah, yang secara harfiah berarti "Pembukaan" atau "Induk Kitab" (Ummul Kitab), adalah permata pembuka dalam Al-Qur'an. Meskipun hanya terdiri dari tujuh ayat yang ringkas, kedudukannya dalam teologi Islam tidak tertandingi. Tidak ada ibadah salat (sembahyang) yang sah tanpa membacanya, menjadikannya rukun yang fundamental.
Namun, di balik keagungan dan urgensinya dalam ritual harian, terdapat sebuah pertanyaan penting yang sering menjadi subjek kajian Ulama: di kota manakah Surat Al-Fatihah diturunkan? Jawaban atas pertanyaan ini membawa kita pada klasifikasi dasar dalam ilmu-ilmu Al-Qur'an, yaitu pembedaan antara surat Makkiyah dan Madaniyah.
Klasifikasi Makkiyah dan Madaniyah bukan sekadar penanda geografis, tetapi juga mengindikasikan tahapan dakwah Nabi Muhammad ﷺ, gaya bahasa, fokus tema, dan kondisi sosial masyarakat yang menjadi audiens saat wahyu tersebut turun.
Menentukan apakah Al-Fatihah tergolong Makkiyah atau Madaniyah adalah kunci untuk memahami konteks turunnya. Mayoritas ulama sepakat bahwa Al-Fatihah termasuk golongan Makkiyah. Namun, sebagaimana dalam kajian ilmu tafsir, selalu ada pendapat minoritas yang perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif.
Pendapat yang paling kuat dan dipegang oleh jumhur (mayoritas) ulama, termasuk para mufassir klasik seperti Ibnu Katsir dan Al-Qurtubi, adalah bahwa Surat Al-Fatihah diturunkan di kota Makkah, pada periode awal dakwah Nabi Muhammad ﷺ. Ini didasarkan pada beberapa indikasi kuat:
Al-Fatihah secara substansial memenuhi kriteria surat Makkiyah:
Beberapa riwayat menunjukkan bahwa Al-Fatihah telah dibaca sejak permulaan kewajiban salat. Imam Az-Zuhri meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, "Tiada salat bagi siapa pun yang tidak membaca Fatihatul Kitab (Pembukaan Kitab)." Jika salat telah wajib di Mekkah, maka Fatihah harus sudah ada.
Lebih lanjut, terdapat riwayat yang sering dijadikan argumen Makkiyah, yaitu hadis tentang Isra' Mi'raj. Meskipun perjalanan itu sendiri terjadi di Mekkah, riwayat tentang salat yang diwajibkan pada saat itu secara implisit membutuhkan keberadaan Fatihah sebagai syarat sahnya.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyatakan, "Surah ini (Al-Fatihah) adalah Makkiyah menurut mayoritas ulama. Malik, Mujahid, dan lainnya meriwayatkan bahwa ia diturunkan di Mekkah." Kenyataan bahwa surat ini merupakan fondasi dasar keimanan menguatkan posisinya sebagai wahyu yang datang pada fase pembentukan akidah di Mekkah.
Meskipun minoritas, beberapa ulama, termasuk Abu Hurairah dan Mujahid (dalam salah satu riwayatnya), berpendapat bahwa Surat Al-Fatihah tergolong Madaniyah, atau setidaknya diturunkan dua kali (teori *tanazul marratain*).
Pendukung teori Madaniyah mendasarkan argumen mereka pada Hadis yang merujuk pada keutamaan Al-Fatihah, khususnya hadis yang menyebutkan bahwa Al-Fatihah diberikan kepada Nabi Muhammad ﷺ sebagai cahaya yang belum pernah diberikan kepada Nabi sebelumnya.
Sebagian mufassir berpendapat bahwa Al-Fatihah diturunkan sebagai respons terhadap kewajiban salat yang lebih terorganisir, atau bahwa penamaan resminya sebagai Sab’ul Matsani (Tujuh Ayat yang Diulang-ulang) baru terjadi di Madinah.
Hadis dari Ubay bin Ka'ab dan beberapa riwayat lain menyebutkan bahwa surat ini baru ditetapkan sebagai bagian fundamental salat di Madinah. Namun, ulama mayoritas menanggapi hal ini dengan perbedaan antara:
Untuk mendamaikan kedua pandangan ini, beberapa ulama seperti Imam Az-Zarkasyi mengajukan teori Tanazul Marratain (Diturunkan Dua Kali). Menurut teori ini, Al-Fatihah:
Meskipun demikian, dalam kajian ilmu Al-Qur'an, penentuan lokasi wahyu selalu merujuk pada kali pertama wahyu tersebut disampaikan. Oleh karena itu, kesimpulan dominan tetap mengarah pada kota Makkah sebagai tempat diturunkannya Al-Fatihah.
Jika kita menerima bahwa Al-Fatihah diturunkan di Makkah, kita harus melihat bagaimana strukturnya mencerminkan tujuan dakwah di masa-masa sulit tersebut. Surat ini terbagi menjadi tiga bagian utama yang mencerminkan hubungan antara Allah dan Hamba-Nya (Tawassul dan Talab).
Empat ayat pertama adalah pengakuan absolut terhadap keagungan Allah. Ini adalah fondasi tauhid yang mutlak diperlukan bagi masyarakat Mekkah yang masih terlibat dalam praktik syirik.
Dimulai dengan dua sifat rahmat yang fundamental. Di Mekkah, Nabi mengajarkan bahwa Tuhan yang mereka sembah bukan Tuhan yang kejam atau eksklusif, melainkan Tuhan yang rahmat-Nya meliputi segala sesuatu (Rahman) dan yang bersifat spesifik (Rahim).
Ayat 2: Alhamdulillahi Rabbil Alamin. (Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam).Pujian mutlak yang menyangkal segala bentuk pujian bagi berhala. Konsep Rabbul Alamin (Tuhan semesta alam) mencakup seluruh eksistensi, menantang kepercayaan politeistik bahwa setiap berhala menguasai domain tertentu.
Ayat 3 & 4: Ar-Rahmani Ar-Rahim. Maliki Yawmiddin. (Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Pemilik Hari Pembalasan).Pengulangan rahmat disandingkan dengan konsep Hari Pembalasan. Ini adalah ciri khas Makkiyah: menyeimbangkan harapan (Rahmat) dengan peringatan (Akhirat). Pengakuan Maliki Yawmiddin adalah penegasan kedaulatan absolut Allah di hari perhitungan, sebuah peringatan keras bagi para penentang di Mekkah.
Ayat kelima adalah inti dari seluruh ibadah, sebuah deklarasi ketaatan yang total.
Ayat ini adalah sumpah perjanjian (‘Ahd). Didahului oleh kata ganti ‘Hanya kepada Engkau’ (Iyyaka) menunjukkan pembatasan total—tiada ibadah, tiada permohonan, kecuali kepada Allah. Ini adalah esensi Tauhid Uluhiyyah yang menjadi fokus perjuangan di Mekkah, menolak praktik isti'anah (meminta pertolongan) kepada selain Allah.
Setelah memuji dan bersumpah taat, hamba baru mengajukan permohonan fundamental.
Permintaan akan hidayah, yang merupakan kebutuhan terbesar manusia. Di tengah kekacauan moral dan sosial Mekkah, jalan lurus (Shirathal Mustaqim) adalah kejelasan ajaran Islam yang membedakannya dari jalan kesesatan.
Ayat 7: Shiratal ladzina an'amta 'alaihim ghairil maghdubi 'alaihim waladh-dhallin. (Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat).Ini adalah permintaan untuk kejelasan dalam bimbingan, sekaligus doa agar dijauhkan dari dua kelompok: yang dimurkai (sering diartikan sebagai mereka yang tahu kebenaran tetapi menolaknya, seperti sebagian kaum Bani Israil) dan yang sesat (mereka yang beribadah tetapi tanpa ilmu, seperti sebagian kaum Nasrani). Penegasan ini menjadi rambu-rambu penting saat Islam baru mulai membedakan dirinya secara ideologis dari agama-agama lain di sekitar Mekkah.
Melalui analisis struktur ini, sangat jelas bahwa tema, urgensi, dan gaya bahasa Al-Fatihah sangat sesuai dengan periode Makkiyah, yang bertumpu pada pembangunan akidah dan penegasan keesaan Allah sebelum pembentukan hukum syariat yang lebih detail di Madinah.
Kajian mengenai kedudukan Al-Fatihah tidak akan lengkap tanpa meninjau berbagai nama yang diberikan oleh Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabat kepadanya. Nama-nama ini menegaskan betapa sentralnya surat ini dalam kerangka Islam, dan sebagian besar penamaan ini telah dikenal di Mekkah.
Nama ini adalah yang paling umum. Ia membuka mushaf dan membuka salat. Dalam konteks Mekkah, ia adalah pembukaan pesan kenabian secara keseluruhan, yang menggarisbawahi isi Al-Qur'an secara ringkas: Tauhid, janji, ancaman, ibadah, dan permohonan.
Ini adalah penamaan paling mulia, yang berarti fondasi atau ibu dari segala isi Al-Qur'an. Jika seluruh Al-Qur'an adalah penjelasan detail tentang tiga hal (Tauhid, Ibadah, dan Janji/Ancaman), maka Al-Fatihah adalah ringkasan padat dari ketiga hal tersebut. Ia adalah induk yang melahirkan seluruh makna kitab suci, dan konsep ini harus sudah mapan sejak awal dakwah.
Nama ini berasal dari firman Allah dalam Surah Al-Hijr ayat 87: “Dan sungguh, Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang diulang-ulang (Al-Fatihah) dan Al-Qur'an yang agung.” Pengulangan ini merujuk pada wajibnya pembacaan Al-Fatihah dalam setiap rakaat salat. Penggunaan nama ini dalam Al-Qur'an sendiri menunjukkan betapa pentingnya pemisahan dan pengagungan surat ini.
Nabi Muhammad ﷺ dalam sebuah hadis qudsi menyebutkan bahwa Allah berfirman: “Aku membagi salat menjadi dua bagian antara Aku dan hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta.” Kata ‘Salat’ di sini merujuk pada Al-Fatihah, karena Al-Fatihah adalah bagian esensial dari ritual salat itu sendiri. Pembagian tersebut merujuk pada empat ayat pertama yang berisi pujian (untuk Allah) dan tiga ayat terakhir yang berisi permintaan (dari hamba).
Untuk mencapai kedalaman pemahaman yang required dan menghormati keagungan surat ini, kita perlu merenungkan setiap frase, menegaskan bagaimana konteks Makkiyah memperkuat interpretasi.
بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
Dalam konteks Mekkah, Basmalah (yang oleh sebagian ulama dianggap ayat pertama dari Al-Fatihah) adalah pernyataan identitas. Saat berhala-berhala disembah dengan nama yang berbeda, Basmalah menegaskan bahwa setiap tindakan dimulai hanya atas Nama Allah. Penegasan sifat Ar-Rahman (kasih sayang umum) dan Ar-Rahim (kasih sayang spesifik bagi mukminin) adalah strategi dakwah di Mekkah untuk menarik hati yang keras dan menolak citra Tuhan yang kaku atau menuntut.
Mufassir klasik menekankan bahwa mengawali segala sesuatu dengan Basmalah adalah pengakuan bahwa Allah adalah sumber segala kekuatan, sebuah konsep yang sangat dibutuhkan para sahabat yang minoritas dan tertindas di Mekkah.
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ
Alhamdulillah: Segala puji hanya milik Allah. Ini berarti setiap keindahan, kebaikan, dan kesempurnaan di alam semesta bersumber dari-Nya. Ini adalah pukulan telak terhadap praktik syirik, karena pujian tidak layak diberikan kepada ciptaan.
Rabbil Alamin: Tuhan semesta alam. Kata Rabb mencakup makna Pencipta, Pemelihara, Pengatur, dan Pemberi rezeki. Di Mekkah, konsep ini melawan kepercayaan bahwa entitas lain selain Allah memiliki kekuatan mengatur. Alamin (semesta alam) mencakup manusia, jin, malaikat, dan seluruh makhluk. Ini adalah pernyataan kosmologis yang menolak keterbatasan tuhan-tuhan lokal bangsa Quraisy.
Pengulangan dan penekanan pada Tauhid Rububiyyah (Ketuhanan dalam Penciptaan dan Pengaturan) sangat kental pada periode Makkiyah karena ini adalah prasyarat untuk menerima Tauhid Uluhiyyah (Ketuhanan dalam Peribadatan).
ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ (3) مَٰلِكِ يَوْمِ ٱلدِّينِ (4)
Pengulangan sifat Rahman dan Rahim setelah Rabbil Alamin berfungsi sebagai pengingat akan kasih sayang Allah yang abadi. Namun, segera diikuti oleh Maliki Yawmiddin (Pemilik Hari Pembalasan).
Fase Mekkah sangat intens dalam menyeru pada Akhirat (Hari Kiamat) karena kaum musyrikin menolaknya. Ayat ini menetapkan bahwa meskipun Allah Maha Penyayang, Dia juga adalah Hakim Yang Maha Adil. Ketakutan akan Hari Pembalasan adalah motivator utama bagi perubahan perilaku. Di Mekkah, di mana hukum syariat belum detail, pengingat akan balasan abadi menjadi pengikat utama moralitas dan akidah.
Konsep *Yawmiddin* mengajarkan bahwa seluruh otoritas duniawi yang dimiliki oleh para penentang Nabi di Mekkah akan sirna di Hari itu, dan hanya kedaulatan Allah yang tersisa.
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Ini adalah titik balik dari pujian ke praktik. Ayat ini mengajarkan bahwa ibadah (na’budu) harus mendahului permohonan bantuan (nasta’in). Seseorang harus memenuhi hak Allah terlebih dahulu (ibadah) sebelum menuntut bantuan-Nya (pertolongan).
Iyyaka Na’budu: Kami menyembah Engkau. Ini adalah penolakan terhadap semua bentuk ibadah kepada berhala atau perantara. Ibadah yang murni (ikhlas) adalah tujuan utama dakwah di Mekkah. Ayat ini merangkum hakikat risalah Nabi Muhammad ﷺ.
Iyyaka Nasta’in: Kami memohon pertolongan Engkau. Kaum Muslimin di Mekkah menghadapi penganiayaan dan kesulitan ekonomi. Ayat ini memberikan jaminan bahwa sumber pertolongan sejati hanya datang dari Allah, memberikan kekuatan mental dan spiritual untuk bertahan di tengah tekanan sosial.
ٱهْدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ (6) صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ ٱلْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ (7)
Permohonan hidayah adalah permohonan paling mendesak di Mekkah. Ketika masyarakat berada dalam kegelapan moral dan ideologi, hidayah (Shirathal Mustaqim) adalah cahaya yang membedakan kebenaran dan kebatilan.
Shirathal Mustaqim: Jalan yang lurus. Para mufassir menafsirkan ini sebagai jalan Islam, yang tidak bengkok, jelas, dan mengarah langsung kepada Allah. Permintaan ini berulang-ulang dalam setiap salat, menandakan bahwa hidayah bukanlah pencapaian statis, melainkan kebutuhan berkelanjutan.
Ayat terakhir memberikan definisi jalan lurus tersebut, yaitu jalan para nabi, shiddiqin, syuhada, dan shalihin (sebagaimana dijelaskan dalam Surah An-Nisa). Ini adalah kerangka referensi moral dan spiritual di Mekkah.
Penyebutan "yang dimurkai" dan "yang sesat" sejak dini dalam Al-Qur'an (periode Mekkah) menunjukkan bahwa Islam segera memposisikan dirinya sebagai jalan tengah, berbeda dari penyimpangan yang ada dalam tradisi agama monoteistik sebelumnya yang telah rusak atau terdistorsi (meskipun konflik dengan kelompok-kelompok ini memuncak di Madinah, peringatan akan penyimpangan mereka sudah ada sejak awal).
Salah satu bukti terkuat bahwa Al-Fatihah adalah Makkiyah adalah perannya yang tak terpisahkan dari ritual Shalat. Shalat diwajibkan lima kali sehari pada malam Isra' Mi'raj di Mekkah, jauh sebelum Hijrah ke Madinah.
Riwayat yang shahih menunjukkan bahwa Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabatnya telah melaksanakan salat sejak tahun-tahun awal kenabian di Mekkah. Bahkan sebelum Isra’ Mi’raj, salat sudah dilakukan dalam bentuk yang berbeda, namun kewajiban salat lima waktu dengan rukun-rukunnya ditetapkan di Mekkah.
Jika Al-Fatihah tidak diturunkan di Mekkah, maka salat lima waktu yang diwajibkan di sana akan kehilangan salah satu rukun terpentingnya. Ini tidak masuk akal secara teologis, karena Allah tidak akan mewajibkan suatu ibadah tanpa menyediakan syarat sahnya.
Sabda Nabi ﷺ: "Tidak sah salat seseorang kecuali dengan Ummul Qur'an (Al-Fatihah)." (HR. Bukhari dan Muslim). Penentuan status rukun (pilar) bagi Al-Fatihah menunjukkan bahwa surat ini harus ada sejak awal pembentukan ibadah salat di Mekkah.
Di Madinah, fokus wahyu beralih ke rincian hukum seperti zakat, puasa, dan haji, serta pengaturan masyarakat dan peperangan. Jika Al-Fatihah adalah Madaniyah, berarti umat Islam menghabiskan masa 13 tahun di Mekkah melaksanakan salat tanpa Ummul Kitab, sebuah premis yang kontradiktif dengan kedudukannya sebagai fondasi iman.
Kesimpulannya, urgensi Al-Fatihah dalam ritual Shalat menjadi konfirmasi kuat bahwa surat ini diturunkan di kota Makkah, pada fase awal, sebagai landasan akidah dan ibadah sebelum hijrah.
Untuk lebih memahami mengapa Al-Fatihah diklasifikasikan sebagai Makkiyah, mari kita bandingkan temanya dengan ciri khas kedua periode wahyu:
| Ciri Khas | Periode Makkiyah (Fokus Al-Fatihah) | Periode Madaniyah (Fokus Berbeda) |
|---|---|---|
| Akidah | Penegasan Tauhid Rububiyyah, Uluhiyyah, dan hari kiamat. | Bantahan terhadap orang munafik dan Ahlul Kitab. |
| Hukum | Hukum dasar (salat, larangan syirik). | Hukum detail (warisan, puasa, sanksi pidana, pernikahan). |
| Gaya Bahasa | Ringkas, berirama kuat, menggunakan sumpah (untuk menarik perhatian). | Panjang, bertele-tele (untuk menjelaskan hukum dan peraturan). |
| Audiens Utama | Kaum Musyrikin Quraisy. | Komunitas Muslim, Yahudi, Nasrani, dan Munafik. |
| Al-Fatihah | Fokus pada Tauhid dan Doa Inti (Makkiyah). | Tidak membahas hukum komunitas atau konflik politik (Bukan Madaniyah). |
Analisis tematik ini menegaskan bahwa keseluruhan tema Al-Fatihah, dari pengakuan keesaan (Rabbil Alamin) hingga komitmen ibadah (Iyyaka Na’budu) dan permintaan hidayah (Shiratal Mustaqim), adalah topik fundamental yang harus disampaikan pada tahap pertama pembentukan iman, yaitu di kota Makkah.
Kedudukan Al-Fatihah sebagai Ummul Kitab (Induk Kitab) yang diturunkan di Mekkah memberikan implikasi teologis yang mendalam bagi seluruh ajaran Islam.
Karena Al-Fatihah adalah ringkasan dari seluruh Al-Qur'an, dan ia diturunkan paling awal, ini menunjukkan bahwa pesan inti Islam adalah universal dan tidak berubah: pengakuan akan keesaan Allah dan komitmen untuk menyembah-Nya. Segala aturan dan hukum yang datang di Madinah adalah detail dan cabang dari prinsip dasar ini.
Jika seseorang memahami sepenuhnya Al-Fatihah, ia telah menggenggam seluruh kerangka berpikir Islam. Sebagai contoh, Surah Al-Baqarah (Madaniyah) adalah penjelasan panjang lebar mengenai Shirathal Mustaqim (Jalan Lurus) yang diminta dalam Al-Fatihah, dengan membandingkan jalan orang yang diberi nikmat (mukminin), yang dimurkai (Yahudi), dan yang sesat (Nasrani). Dengan kata lain, Al-Fatihah adalah tesis, dan seluruh Al-Qur'an adalah antitesis dan sintesisnya.
Periode Mekkah berfokus pada reformasi individu. Al-Fatihah adalah doa yang sangat pribadi ("Tunjukkanilah kami" – menggunakan kata jamak untuk menunjukkan komunitas, namun permohonan yang harus diucapkan oleh setiap individu). Ini memprioritaskan pembangunan spiritual internal sebelum pembangunan negara dan masyarakat eksternal di Madinah.
Kewajiban membaca Al-Fatihah dalam setiap rakaat menekankan bahwa setiap saat seorang Muslim berinteraksi dengan Tuhannya, ia harus memperbaharui pengakuan akan Tauhid (ayat 2-4) dan ikrar ketaatan (ayat 5), serta kebutuhan akan bimbingan yang berkelanjutan (ayat 6-7). Ini adalah pengisian ulang spiritual yang esensial.
Setelah menimbang bukti-bukti filologis, teologis, dan historis yang berasal dari hadis dan tafsir klasik, dapat disimpulkan dengan keyakinan yang kuat bahwa Surat Al-Fatihah diturunkan di kota Makkah.
Al-Fatihah bukan hanya sebuah surat pembuka, melainkan pondasi yang diletakkan pada masa-masa paling awal dan paling sulit dalam sejarah Islam. Ia adalah cetak biru untuk akidah (kepercayaan), ibadah (ritual), dan manhaj (metodologi kehidupan). Diturunkannya surat ini di Makkah menegaskan bahwa sebelum kaum Muslimin diperintahkan untuk membangun peradaban (di Madinah), mereka terlebih dahulu harus membangun hubungan yang murni dan tak terbagi dengan Allah SWT melalui Tauhid yang terkandung dalam Ummul Kitab ini.
Keagungan Al-Fatihah melampaui dimensi ruang dan waktu; ia berfungsi sebagai jembatan antara hamba dan Pencipta, memastikan bahwa setiap Muslim, di mana pun ia berada, selalu kembali pada sumber dan tujuan dari segala sesuatu: memuji Allah, mengesakan-Nya, dan memohon petunjuk-Nya menuju jalan yang lurus.