Menelisik Jantung Al-Qur'an: Surah Al Fatihah

Simbol Bismillah BISMILLAH (Awal Pembukaan)

Surah Al Fatihah adalah pembuka dan pondasi utama Al-Qur'an.

Surah Al Fatihah, yang secara harfiah berarti ‘Pembukaan’, merupakan surah pertama dalam susunan (tertib) mushaf Al-Qur'an. Meskipun demikian, ia bukanlah surah pertama yang diturunkan secara kronologis. Kedudukannya yang unik membuatnya mendapatkan julukan agung, seperti Ummul Kitab (Induk Kitab), Ummul Qur'an (Induk Al-Qur'an), dan As-Sab’ul Matsani (Tujuh Ayat yang Diulang-ulang). Memahami bagaimana surah Al Fatihah terdiri atas komponen-komponen yang lengkap adalah kunci untuk memahami seluruh peta jalan ajaran Islam. Surah ini bukan sekadar tujuh ayat; ia adalah ringkasan sempurna dari Tauhid, Ibadah, janji, peringatan, dan permohonan yang mendalam.

Kepadatan makna Al Fatihah menjadikannya wajib dibaca dalam setiap rakaat salat, menjadikannya rukun yang jika ditinggalkan, salat seseorang dianggap tidak sah. Struktur Al Fatihah yang terdiri dari tujuh ayat adalah representasi yang luar biasa dari keseimbangan antara hak Allah (Ketuhanan) dan kebutuhan hamba (permohonan dan janji).

I. Komposisi Struktural Dasar Surah Al Fatihah

Secara definitif, surah Al Fatihah terdiri atas tujuh ayat (berdasarkan mayoritas ulama, termasuk mazhab Syafi'i, yang menghitung Bismillahirrohmanirrohim sebagai ayat pertama), satu kali basmalah (yang menjadi kontroversi ulama apakah ia ayat pertama atau sekadar pemisah), dan dua puluh sembilan kata, serta seratus tiga puluh sembilan huruf (menurut perhitungan populer). Namun, pembagian paling fundamental adalah pembagian tematik yang mencerminkan dialog antara Allah dan hamba-Nya.

A. Pembagian Tujuh Ayat (As-Sab’ul Matsani)

Surah ini disebut As-Sab’ul Matsani karena ia terdiri dari tujuh ayat yang secara rutin diulang-ulang, khususnya dalam salat. Tujuh ayat ini terbagi menjadi dua bagian besar, sebagaimana dijelaskan dalam hadis Qudsi, yang menunjukkan bahwa surah ini adalah pembagian antara Allah dan hamba-Nya:

  1. Bagian untuk Allah (Tiga Ayat Pertama): Berisi pujian, sanjungan, dan pengakuan akan keesaan, rahmat, dan kekuasaan Allah.
  2. Bagian Bersama (Ayat Keempat): Mengandung perpaduan antara ikrar ibadah dan permohonan pertolongan.
  3. Bagian untuk Hamba (Tiga Ayat Terakhir): Berisi permohonan dan doa petunjuk, serta perlindungan dari kesesatan.

Struktur yang ringkas ini memastikan bahwa seorang Muslim, setiap kali ia berdiri dalam salat, menegaskan kembali seluruh dasar-dasar keyakinannya. Keterpaduan antara Tauhid Uluhiyah (peribadatan), Tauhid Rububiyah (penciptaan dan pengaturan), dan Tauhid Asma wa Sifat (nama dan sifat Allah) adalah inti dari apa yang terkandung dalam tujuh ayat ini.

B. Nama-Nama Mulia yang Menegaskan Kedudukannya

Selain Al Fatihah, ulama memberikan banyak nama lain untuk surah ini, yang masing-masing menyoroti aspek khusus dari komposisinya yang sempurna:

Dengan banyaknya nama ini, kita dapat menyimpulkan bahwa surah Al Fatihah terdiri atas sebuah sistem teologis yang sangat padat dan komprehensif, jauh melampaui sekadar urutan kata-kata Arab.

II. Tafsir Mendalam dan Kandungan Tematik Per Ayat

Untuk memahami kedalaman Surah Al Fatihah, kita harus membedah setiap ayat, melihat bagaimana setiap kata dan frasa membentuk pilar-pilar keimanan yang kokoh. Inilah bagian utama dari apa yang surah Al Fatihah terdiri atas secara substansial.

Ayat 1: Basmalah – Pembuka Rahmat Universal

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ

(Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.)

Kontroversi mengenai apakah Basmalah adalah ayat pertama Al Fatihah atau sekadar pembuka telah lama dibahas. Namun, mayoritas ahli qira’ah di Hijaz dan Kufah, serta Imam Syafi’i dan mayoritas fuqaha, menganggapnya sebagai ayat pertama. Kandungan ayat ini meletakkan fondasi setiap tindakan seorang Muslim, yaitu harus dimulai dengan nama Allah. Ini bukan sekadar formalitas, tetapi pengakuan akan kekuasaan dan ketergantungan penuh pada Dzat yang memiliki dua sifat rahmat yang agung:

Penyebutan kedua sifat ini secara bersamaan menunjukkan bahwa kekuasaan Allah bersifat mutlak, tetapi ia dilaksanakan dengan kasih sayang yang tak terhingga, menegaskan bahwa segala sesuatu yang kita raih dan lakukan, bermula dari limpahan Rahmat-Nya.

Ayat 2: Pengakuan dan Pujian Mutlak

ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ

(Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam.)

Kata Al-Hamdu (Pujian) berbeda dengan kata Asy-Syukru (Syukur). Pujian (Hamdu) diberikan atas sifat-sifat keindahan dan keagungan (Jamal wa Jalal), terlepas dari apakah kita mendapatkan manfaat langsung darinya atau tidak. Ayat ini menetapkan bahwa semua bentuk pujian, sanjungan, dan kemuliaan adalah hak eksklusif Allah semata. Syaikh Abdurrahman As-Sa’di menjelaskan bahwa pujian ini mencakup:

  1. Pengakuan atas sifat-sifat kesempurnaan-Nya.
  2. Pengakuan atas perbuatan-perbuatan-Nya yang penuh hikmah dan keadilan.

Frasa Rabbil 'Alamin (Tuhan seluruh alam) adalah penegasan Tauhid Rububiyah (Ketuhanan dalam Penciptaan). Kata Rabb berarti Pemilik, Penguasa, dan Pengatur. Ini mencakup semua jenis alam, termasuk alam manusia, jin, malaikat, dan alam semesta yang tak terhitung jumlahnya. Dengan mengucapkan ayat ini, hamba mengakui bahwa hanya Dia yang menciptakan, memelihara, dan mengatur segala urusan.

Ayat 3: Penegasan Sifat Rahmat yang Abadi

ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ

(Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.)

Pengulangan Ar-Rahmanir Rahim di ayat ketiga ini memiliki fungsi retoris (balaghah) yang sangat penting dalam struktur Surah Al Fatihah. Setelah memuji Allah sebagai Rabb semesta alam (otoritas dan kekuasaan), pengulangan ini berfungsi untuk menenangkan hati hamba, memastikan bahwa kekuasaan mutlak itu diliputi oleh rahmat yang agung. Pengulangan ini juga menekankan bahwa rahmat adalah sifat abadi Allah, bukan sifat yang berubah-ubah. Ulama tafsir menyebutkan bahwa pengulangan ini adalah semacam penarik perhatian agar hamba tidak merasa gentar dengan keagungan ‘Rabbil 'Alamin’, tetapi juga berharap atas ‘Ar-Rahmanir Rahim’.

Ayat 4: Kedaulatan Mutlak di Hari Pembalasan

مَٰلِكِ يَوْمِ ٱلدِّينِ

(Pemilik Hari Pembalasan.)

Ayat ini adalah fondasi aqidah tentang Hari Akhir. Ada dua qira’ah (cara baca) utama untuk kata ini: Maliki (Pemilik) dan Maaliki (Penguasa/Raja). Kedua bacaan ini saling melengkapi:

Yawmiddin (Hari Pembalasan) adalah hari di mana setiap amal perbuatan akan dihisab dan dibalas dengan adil. Penempatan ayat ini setelah ayat rahmat (Ayat 2 & 3) adalah sebuah keseimbangan yang indah: pujian dan rahmat diikuti oleh peringatan akan pertanggungjawaban. Surah Al Fatihah terdiri atas kombinasi antara at-Targhib (harapan/motivasi) dan at-Tarhib (ketakutan/peringatan).

Ayat 5: Kontrak Ibadah dan Pertolongan

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

(Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.)

Ayat ini adalah titik tengah dan jantung dari Al Fatihah. Ini adalah janji (kontrak) yang dibuat hamba kepada Tuhannya, sekaligus inti dari Tauhid Uluhiyah (Ketuhanan dalam Peribadatan). Urutan kata dalam bahasa Arab di sini sangat signifikan. Mendahulukan objek (Iyyaka – Hanya kepada Engkau) daripada kata kerja (kami sembah/kami mohon) memberikan makna pembatasan (hashr), yaitu eksklusivitas.

Penggabungan ibadah dan pertolongan menunjukkan bahwa manusia harus menggabungkan dua hal fundamental: usaha manusia untuk taat, dan pengakuan bahwa keberhasilan usaha itu sepenuhnya bergantung pada izin dan pertolongan Ilahi. Ayat ini adalah transisi dari pujian (untuk Allah) menuju permohonan (untuk hamba).

Ayat 6: Permohonan Petunjuk Jalan Lurus

ٱهْدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ

(Tunjukilah kami jalan yang lurus.)

Setelah menyatakan janji ibadah (Ayat 5), hamba menyadari kebutuhannya yang mendesak akan petunjuk. Permintaan ini adalah permintaan yang paling vital. Ash-Shirotol Mustaqim (Jalan yang Lurus) adalah jalan yang jelas dan mudah ditempuh, yang tidak berbelok ke kiri atau ke kanan, yaitu jalan Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.

Permintaan ini mencakup beberapa tingkat petunjuk (hidayah):

  1. Hidayah Irsyad wa Dalalah: Petunjuk berupa bimbingan dan penjelasan (yang telah diberikan melalui Al-Qur'an dan Sunnah).
  2. Hidayah Taufiq: Petunjuk berupa kemampuan untuk mengamalkan dan mengikuti jalan tersebut.

Bahkan seorang Muslim yang sudah taat tetap diwajibkan meminta petunjuk ini dalam setiap salatnya. Mengapa? Karena petunjuk bukan hanya tentang permulaan, tetapi juga tentang keteguhan (istiqamah) dan peningkatan kualitas iman hingga akhir hayat. Surah Al Fatihah terdiri atas permintaan yang sifatnya berkelanjutan, bukan sekali jadi.

Ayat 7: Membedakan Jalan Orang yang Diberi Nikmat dan yang Sesat

صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ ٱلْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ

(Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.)

Ayat terakhir ini berfungsi sebagai penjelasan rinci (tafsir) dari Ash-Shirotol Mustaqim. Jalan yang lurus adalah jalan yang diidentifikasi melalui para penghuninya, yaitu mereka yang telah diberi nikmat oleh Allah. Menurut Surah An-Nisa ayat 69, mereka yang diberi nikmat terdiri dari:

Kemudian, ayat ini memberikan dua batasan yang harus dihindari, yang merupakan dua bentuk penyimpangan utama dari jalan lurus:

  1. Al-Maghdhubi 'Alaihim (Mereka yang dimurkai): Mereka yang mengetahui kebenaran (ilmu) tetapi meninggalkannya karena kesombongan atau hawa nafsu. Secara umum, ulama tafsir merujuk ini kepada kaum Yahudi.
  2. Adh-Dhaallin (Mereka yang sesat): Mereka yang beribadah atau beramal tanpa didasari ilmu yang benar. Mereka beramal dengan niat baik tetapi menyimpang dari syariat. Secara umum, ulama tafsir merujuk ini kepada kaum Nasrani.

Dengan demikian, Al Fatihah mengajarkan bahwa jalan lurus adalah jalan yang menggabungkan *ilmu* dan *amal*. Kekurangan ilmu menjerumuskan kepada kesesatan (dhalaal), sedangkan memiliki ilmu tetapi tidak mengamalkannya mengundang kemurkaan (ghadb).

III. Pilar-Pilar Utama yang Terkandung dalam Al Fatihah

Kepadatan Surah Al Fatihah tidak hanya terletak pada tujuh ayatnya, tetapi pada keseluruhan prinsip (ushul) agama yang disajikan dalam miniatur. Inilah mengapa ia dijuluki Ummul Qur'an; seluruh kitab suci seolah-olah diringkas dalam beberapa baris ini.

A. Prinsip Tauhid (Keesaan Allah)

Tauhid adalah inti dari Surah Al Fatihah dan surah Al Fatihah terdiri atas manifestasi ketiga jenis Tauhid:

  1. Tauhid Rububiyah: Pengakuan bahwa Allah adalah Rabbil 'Alamin (Ayat 2), yang menciptakan dan mengatur segala sesuatu.
  2. Tauhid Asma wa Sifat: Pengakuan akan nama-nama dan sifat-sifat Allah yang sempurna (Ar-Rahmanir Rahim, Ayat 1 dan 3).
  3. Tauhid Uluhiyah: Pengkhususan ibadah hanya kepada-Nya (Iyyaka Na’budu, Ayat 5).

Dengan mengikrarkan ketiga aspek Tauhid ini, seorang Muslim memulai salatnya dengan fondasi keimanan yang paling murni dan kokoh. Tidak ada ruang bagi syirik atau penyimpangan dalam pengakuan yang mendalam ini.

B. Prinsip Janji dan Hukum (Al-Waqi’ Wal Hukm)

Al Fatihah memuat prinsip-prinsip syariah yang universal. Janji ibadah (Iyyaka Na’budu) adalah kontrak komitmen kepada hukum-hukum Allah. Pengakuan akan Hari Pembalasan (Maliki Yawmiddin) menetapkan dasar bagi pertanggungjawaban moral dan syariat. Ini menunjukkan bahwa segala hukum yang diturunkan dalam Al-Qur'an memiliki tujuan akhir: pembalasan di hari kiamat. Tanpa kesadaran akan hari pembalasan, janji ibadah akan kehilangan daya dorongnya.

C. Prinsip Kenabian dan Petunjuk (Hidayah)

Permintaan Ihdinas Shirotol Mustaqim secara implisit adalah permintaan untuk mengikuti jalan para Nabi. Jalan yang lurus hanya bisa diketahui melalui wahyu yang dibawa oleh Rasul. Surah ini secara elegan menghubungkan Tauhid (Ayat 1-5) dengan kebutuhan akan Risalah (Kenabian/Petunjuk) untuk mencapai kesempurnaan ibadah. Tanpa petunjuk Nabi, hamba akan jatuh ke dalam salah satu dari dua kelompok yang menyimpang (yang dimurkai atau yang sesat).

IV. Analisis Linguistik dan Retorika (Balaghah) Al Fatihah

Keagungan Al Fatihah terletak pada kesempurnaan bahasanya. Para ulama Balaghah (ilmu retorika Arab) sering mengutip Surah ini sebagai contoh puncak kesempurnaan bahasa. Surah Al Fatihah terdiri atas keindahan susunan kata dan transisi makna yang harmonis.

A. Transisi dari Ghaib ke Mukhatab (Orang Ketiga ke Orang Kedua)

Salah satu fenomena retoris paling mencolok dalam Al Fatihah adalah transisi tiba-tiba pada Ayat 5.
Ayat 1-4 berbicara tentang Allah dalam bentuk orang ketiga (Ghaib):
*“Segala puji bagi Allah (Dia), Tuhan seluruh alam. Maha Pengasih (Dia), Maha Penyayang (Dia). Pemilik Hari Pembalasan (Dia).”*
Tiba-tiba, pada Ayat 5, hamba berhadapan langsung dengan Allah (Mukhatab/Orang Kedua):
*“Hanya Engkaulah (Iyyaka) yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.”*

Pergeseran ini dikenal sebagai Iltifat (pengalihan gaya bahasa). Makna spiritualnya adalah: Setelah hati hamba dipenuhi dengan pengenalan dan pujian terhadap sifat-sifat Allah yang agung, keagungan itu menarik hamba sedemikian rupa sehingga ia merasa dekat, dan kini berani untuk berbicara langsung kepada-Nya, mengikrarkan janji dan permohonan. Ini menandakan puncak pengenalan (ma’rifah) yang berujung pada keintiman ibadah.

B. Penggunaan Jamak (Kami)

Dalam Ayat 5 dan 6, hamba tidak menggunakan kata ganti tunggal ("Hanya Engkaulah yang aku sembah," "Tunjukilah aku"), melainkan kata ganti jamak ("kami sembah," "tunjukilah kami").

Penggunaan kata jamak (Kami/Kita) ini menunjukkan beberapa hikmah mendalam:

  1. Rasa Kolektivitas: Ibadah dalam Islam bersifat kolektif dan berjamaah. Meskipun salat dilakukan sendiri, hamba beribadah sebagai bagian dari umat Nabi Muhammad SAW.
  2. Rendah Hati: Ketika berdoa, seorang hamba merasa dirinya terlalu kecil dan penuh dosa untuk meminta sendirian, sehingga ia bergabung dengan barisan orang-orang saleh dan Nabi, berharap doanya diterima bersama doa mereka.
  3. Kesatuan Tujuan: Semua umat Muslim, dari waktu ke waktu, berbagi tujuan dan permintaan yang sama: petunjuk di Jalan Lurus.

Ini menambah dimensi sosial dan spiritual pada surah yang sangat pribadi ini.

Simbol Doa Istiqamah Ihdinas Shirotol Mustaqim (Jalan Lurus)

Inti permohonan dalam Al Fatihah adalah Istiqamah dan petunjuk di jalan lurus.

V. Al Fatihah sebagai Rukun dalam Salat

Kedudukan Al Fatihah sangat tinggi sehingga ia menjadi rukun salat yang fundamental. Rasulullah ﷺ bersabda, "Tidak ada salat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (pembukaan kitab)." Kedudukan ini menjelaskan betapa vitalnya pemahaman tentang apa yang surah Al Fatihah terdiri atas, karena ia dibaca minimal tujuh belas kali dalam salat fardhu sehari semalam.

A. Dialog antara Hamba dan Rabb

Hadis Qudsi yang masyhur menjelaskan bahwa Allah membagi Al Fatihah menjadi dua bagian: tiga ayat untuk-Nya, tiga ayat untuk hamba, dan satu ayat (Ayat 5) sebagai bagian bersama. Setiap kali hamba membaca satu ayat, terjadi respons langsung dari Allah:

  1. Ketika hamba berkata: Alhamdulillahi Rabbil 'Alamin, Allah menjawab: "Hamba-Ku telah memuji-Ku."
  2. Ketika hamba berkata: Ar-Rahmanir Rahim, Allah menjawab: "Hamba-Ku telah menyanjung-Ku."
  3. Ketika hamba berkata: Maliki Yawmiddin, Allah menjawab: "Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku."
  4. Ketika hamba berkata: Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in, Allah menjawab: "Ini antara Aku dan hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta."
  5. Ketika hamba melanjutkan doa petunjuk (Ayat 6-7), Allah berfirman: "Ini untuk hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta."

Ini menunjukkan bahwa setiap pembacaan Al Fatihah dalam salat adalah momen komunikasi langsung, bukan sekadar pembacaan teks mati. Surah ini disusun secara sempurna untuk memastikan hati dan lisan hamba terlibat dalam percakapan transenden.

B. Perlindungan dari Penyakit Hati

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa surah Al Fatihah terdiri atas obat untuk penyakit-penyakit hati. Penyakit hati yang paling utama adalah:

VI. Perbandingan dan Analisis Lanjutan Komponen Surah

Untuk melengkapi pemahaman tentang komposisi Surah Al Fatihah, penting untuk menganalisis bagaimana tujuh ayat ini mengikat seluruh pesan Al-Qur'an secara keseluruhan, menempatkan Al Fatihah sebagai matriks tematik.

A. Al Fatihah dan Makna Seluruh Kitab

Para ulama tafsir menyatakan bahwa seluruh isi Al-Qur'an terbagi menjadi tiga kategori utama, dan ketiganya terkandung dalam Al Fatihah:

  1. Tauhid (Keesaan Allah): Tercakup dalam Ayat 1-4 dan Ayat 5 bagian pertama.
  2. Hukum-hukum (Syariat dan Perintah): Tercakup dalam Ayat 5, yaitu janji untuk beribadah dan mematuhi perintah-Nya.
  3. Kisah dan Berita (Kisah Umat Terdahulu): Tercakup secara ringkas dalam Ayat 7, yang menyebutkan kisah orang-orang yang diberi nikmat, dimurkai, dan sesat, sebagai pelajaran bagi umat.

Oleh karena itu, ketika kita mempertimbangkan apa yang surah Al Fatihah terdiri atas, jawabannya adalah: seluruh inti ajaran Islam, yang kemudian diperluas dan dirinci dalam 113 surah berikutnya.

B. Perbedaan Konsep Rahmat dalam Ayat 1 dan 3

Pengulangan Ar-Rahmanir Rahim menunjukkan pentingnya konsep Rahmat dalam Tauhid. Beberapa ulama, seperti Az-Zamakhsyari, menjelaskan bahwa pengulangan ini adalah strategi untuk merangkul hamba. Ayat pertama (Basmalah) adalah gerbang menuju kitab, sementara Ayat ketiga adalah bagian integral dari pujian (hamd) itu sendiri.

Rahmat yang melekat pada Basmalah (Ayat 1) berfungsi sebagai izin untuk memulai. Sementara Rahmat yang melekat pada pujian (Ayat 3) adalah sifat yang dipuji, yang membenarkan mengapa Allah berhak menerima Al-Hamdu dari seluruh alam. Tanpa Rahmat-Nya, segala sesuatu hanyalah kekuasaan tanpa keindahan.

C. Kontradiksi yang Dihindari: Al-Maghdhub dan Adh-Dhaallin

Ayat terakhir menyajikan peta jalan yang harus dihindari, yang dapat disimpulkan sebagai dualitas antara ekstremisme amal dan ekstremisme ilmu tanpa amal:

Jalan Lurus (Ash-Shirotol Mustaqim) adalah keseimbangan sempurna di tengah dua penyimpangan ini, sebuah jalan yang memadukan ilmu yang benar (syariat) dengan amal yang ikhlas (ibadah).

Kajian mendalam tentang komposisi Surah Al Fatihah menunjukkan bahwa setiap elemen—dari penamaan Allah hingga penutup doa—dirancang dengan presisi ilahiah. Surah Al Fatihah terdiri atas ringkasan doktrin, ritual, dan etika Islam yang tiada bandingnya dalam literatur agama mana pun.

VII. Penutup dan Kekuatan Penyembuhan (Ruqyah)

Kepadatan dan kekayaan makna yang terkandung dalam Al Fatihah memberikannya kekuatan spiritual yang unik. Al-Qur’an secara umum adalah penyembuh (Syifaa’), dan Al Fatihah disebut secara khusus sebagai Asy-Syifaa’.

Kekuatan penyembuhan Al Fatihah—baik secara fisik maupun spiritual—berasal dari tiga hal utama yang terkandung di dalamnya:

  1. Tauhid Murni: Pengakuan penuh atas keesaan Allah yang menghilangkan ketergantungan pada makhluk atau sebab-sebab lain (musyrik).
  2. Penegasan Kekuasaan: Pengakuan bahwa Allah adalah Rabbil 'Alamin dan Maliki Yawmiddin, yang berarti tidak ada penyakit atau kesulitan yang berada di luar kendali-Nya.
  3. Permintaan Taufiq: Doa untuk Shirotol Mustaqim, yang secara spiritual menenangkan hati dan menjauhkannya dari kegelisahan.

Dengan demikian, Al Fatihah adalah surah yang tidak hanya membuka Al-Qur’an tetapi juga membuka pintu menuju pengenalan Allah yang sempurna, menjadi pijakan utama dalam setiap ibadah, dan menjadi sumber ketenangan jiwa bagi setiap hamba-Nya.

🏠 Homepage