Surah Al-Kahfi adalah salah satu surah yang paling agung dalam Al-Qur'an, seringkali dibaca pada hari Jumat karena mengandung pelajaran mendalam mengenai fitnah, kesabaran, kekuasaan Allah, dan ilmu ghaib. Kisah Ashabul Kahfi (Para Penghuni Gua) merupakan inti sentral surah ini, sebuah narasi yang menegaskan kembali kebangkitan dan kekuasaan mutlak Tuhan atas dimensi waktu.
Fokus utama dalam pembahasan ini adalah ayat ke-25. Ayat ini bukanlah sekadar catatan sejarah, melainkan sebuah pernyataan definitif dari Dzat Yang Maha Mengetahui, yang mengakhiri spekulasi dan perdebatan mengenai berapa lama persisnya sekelompok pemuda beriman itu ditidurkan dalam gua. Ayat ini mengandung keunikan linguistik dan matematis yang menjadi sumber pelajaran tak terbatas bagi para mufassir dan ahli ilmu.
"Dan mereka tinggal di dalam gua mereka selama tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun lagi." (QS. Al-Kahfi: 25)
Ayat yang ringkas ini memberikan dua angka yang terlihat berbeda — 300 tahun dan tambahan 9 tahun, sehingga total menjadi 309 tahun. Perbedaan angka inilah yang melahirkan pembahasan tafsir yang sangat mendalam dan terperinci, terutama yang berkaitan dengan perbedaan perhitungan waktu antar kalender yang digunakan oleh manusia dan perhitungan waktu yang digunakan oleh ketetapan Ilahi.
Untuk memahami kedalaman ayat 25, kita perlu membedah makna setiap komponen kata Arabnya:
Kata ini berasal dari akar kata لَبِثَ (labitsa), yang berarti 'tinggal', 'menetap', atau 'berdiam'. Dalam konteks ayat ini, ia merujuk pada periode di mana pemuda-pemuda tersebut berada dalam kondisi tidur yang menyerupai kematian (hibernasi total) di dalam gua. Penggunaan kata ini menunjukkan penetapan waktu yang pasti, bukan sekadar perkiraan atau tebakan, melainkan ketetapan yang diinformasikan langsung oleh Allah SWT.
Berarti 'di dalam gua mereka'. Ini menegaskan lokasi kejadian. Gua itu menjadi saksi bisu keajaiban, tempat perlindungan fisik, dan juga tempat di mana hukum alam (waktu, penuaan, dan kebutuhan biologis) ditangguhkan atas kehendak-Nya. Penyebutan 'mereka' (him) menunjukkan kepemilikan atau keterikatan mereka pada tempat tersebut selama masa penantian.
Ini adalah bagian pertama dari perhitungan waktu, yang diterjemahkan sebagai 'tiga ratus tahun'. Para mufassir sepakat bahwa angka 300 ini merupakan referensi eksplisit terhadap perhitungan waktu yang dikenal oleh masyarakat umum atau perhitungan kalender Matahari (Syamsiyyah/Gregorian).
Penyebutan 300 tahun secara terpisah menunjukkan adanya suatu konteks pemahaman yang ingin disampaikan kepada para pendengar Al-Qur'an pada masa Nabi Muhammad SAW. Pada masa itu, perhitungan kalender Matahari (yang digunakan oleh Romawi) merupakan sistem yang dominan di kawasan Timur Tengah, khususnya bagi kaum ahli kitab.
Ini adalah bagian kedua yang paling menarik, berarti 'dan mereka ditambah sembilan (tahun) lagi'. Tambahan 9 tahun ini bukanlah angka acak, melainkan hasil koreksi matematis yang dilakukan oleh Allah SWT untuk menyesuaikan perhitungan Syamsiyyah (Matahari) menjadi Qamariyyah (Bulan/Hijriyah).
Penyebutan kedua angka ini secara berturut-turut adalah penegasan bahwa perhitungan waktu yang paling akurat adalah perhitungan Ilahi. Allah menggunakan perhitungan yang dikenal manusia (300 tahun solar) dan kemudian memperbaikinya dengan perhitungan absolut (309 tahun lunar), menunjukkan validitas kedua sistem namun menetapkan keunggulan sistem Ilahi.
Inti keajaiban ilmiah dan teologis dari ayat 25 terletak pada perbedaan antara tahun Matahari dan tahun Bulan. Ini adalah titik di mana tafsir bertemu dengan astronomi dan matematika.
Tahun Matahari (Solar Year), seperti Kalender Gregorian atau Romawi kuno, dihitung berdasarkan satu siklus bumi mengelilingi matahari, yang berlangsung sekitar 365.25 hari.
Tahun Bulan (Lunar Year), seperti Kalender Hijriyah, dihitung berdasarkan 12 siklus bulan mengelilingi bumi, yang totalnya sekitar 354 hari. Ini berarti tahun Qamariyyah rata-rata 11 hingga 12 hari lebih pendek daripada tahun Syamsiyyah.
Jika perbedaan antara tahun Syamsiyyah dan Qamariyyah adalah sekitar 11 hari per tahun, maka dalam periode waktu yang panjang, akumulasi perbedaan ini akan menghasilkan angka yang signifikan. Allah SWT menyatakan bahwa mereka tinggal 300 tahun (Syamsiyyah) ditambah 9 tahun (untuk menjadi Qamariyyah).
Mari kita hitung secara matematis bagaimana 300 tahun Matahari dapat sama persis dengan 309 tahun Bulan:
Hasil perhitungan ini, 309 tahun dan sekitar seperlima tahun, menunjukkan betapa tepatnya formulasi yang digunakan oleh Al-Qur'an. Dengan menyebutkan 300 tahun dan ditambah 9 tahun, Al-Qur'an secara definitif memberikan perhitungan total 309 tahun Qamariyyah. Ini adalah mukjizat ilmu pengetahuan yang tersembunyi di balik susunan kata yang sederhana.
Mengapa Allah tidak langsung menyebutkan 309 tahun? Para ulama tafsir menjelaskan:
Ayat 25 adalah titik fokus interpretasi, dan para mufassir terkemuka telah memberikan pandangan yang kaya mengenai maknanya, memperkuat pemahaman kita tentang keutamaan perhitungan Ilahi.
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa Allah SWT memberikan informasi ini sebagai penentu akhir. Beliau menyoroti bahwa sebelum ayat 25, terdapat ayat 22 yang menyebutkan spekulasi manusia tentang jumlah pemuda dan durasi tinggal mereka. Namun, ayat 25 datang untuk menghapus keraguan tersebut.
Ibnu Katsir menegaskan bahwa perhitungan 309 tahun adalah perhitungan yang pasti dan tidak dapat dibantah, karena ia berasal langsung dari pengetahuan Allah. Beliau juga cenderung mendukung interpretasi matematis, bahwa 300 tahun Syamsiyyah setara dengan 309 tahun Qamariyyah, menekankan bahwa pengetahuan mutlak berada di sisi Allah.
Imam Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, dalam Jami' al-Bayan, berfokus pada sisi penegasan Ilahi. Beliau menafsirkan bahwa penyebutan angka 300 tahun diikuti dengan penambahan 9 tahun adalah sebuah jawaban yang menghentikan perdebatan di antara manusia yang mungkin memiliki perhitungan yang berbeda.
Ath-Thabari berpendapat bahwa tambahan 9 tahun adalah untuk melengkapi perhitungan Qamariyyah. Ini bukan sekadar perkiraan, melainkan angka yang pasti, yang menunjukkan bahwa tidak ada satu momen pun dari waktu tidur mereka yang luput dari pengetahuan dan perhitungan Allah SWT. Beliau menekankan bahwa kepastian angka ini lebih penting daripada detail kalender yang digunakan.
Fakhruddin Ar-Razi membahas aspek filosofis dan linguistik yang sangat mendalam. Ia melihat penyebutan ganda ini sebagai bentuk ketinggian bahasa Al-Qur'an.
Ar-Razi mengajukan beberapa hipotesis, salah satunya adalah bahwa masyarakat saat itu (atau kelompok ahli kitab yang bertanya) hanya mengakui kalender matahari. Dengan menyebutkan 300 tahun (sesuai persepsi mereka) lalu mengoreksinya dengan 9 tahun tambahan (sesuai realitas Qamariyyah), Al-Qur'an mendidik mereka bahwa waktu yang sejati (yang dihitung secara Ilahi) adalah berdasarkan peredaran bulan.
Selain itu, Ar-Razi mencatat bahwa penambahan 9 tahun menunjukkan bahwa perhitungan yang dilakukan manusia tidak sempurna. Hanya Allah yang memiliki hitungan yang mutlak dan akurat.
Ayat 25 memberikan pelajaran mendasar tentang konsep waktu dari perspektif tauhid. Jika manusia, dengan segala perangkat canggihnya, masih berdebat mengenai detik dan hari, Al-Qur'an mengajukan perhitungan yang sempurna dan definitif untuk sebuah peristiwa yang terjadi berabad-abad sebelumnya, dan itu dilakukan saat Rasulullah SAW sendiri belum lahir.
Salah satu pelajaran terbesar dari Surah Al-Kahfi ayat 25 adalah bahwa waktu (zaman) bukanlah entitas yang berdiri sendiri, melainkan ciptaan Allah. Allah mampu menangguhkan, memampatkan, atau meregangkan waktu sesuka-Nya. Tidur selama 309 tahun adalah penangguhan biologis. Bagi Ashabul Kahfi, rasanya hanya seperti sehari atau setengah hari (sebagaimana disebutkan dalam ayat sebelumnya), tetapi bagi dunia luar, tiga abad telah berlalu.
Keajaiban ini menantang pemahaman fisik manusia. Ini menegaskan bahwa hukum-hukum biologi (penuaan, pembusukan, kebutuhan nutrisi) dapat dinetralisir oleh iradah (kehendak) Ilahi. Tubuh mereka tetap utuh, mereka tidak menua sesuai hitungan waktu fisik, namun waktu kosmik terus berjalan.
Kisah Ashabul Kahfi, yang diakhiri dengan penetapan durasi tidur 309 tahun, merupakan bukti nyata bagi manusia mengenai Qudrah (Kekuasaan) Allah untuk membangkitkan yang mati. Jika Allah mampu menghidupkan kembali sekelompok pemuda setelah lebih dari tiga abad tidur nyenyak, maka kebangkitan seluruh umat manusia pada Hari Kiamat adalah perkara yang jauh lebih mudah bagi-Nya.
Angka 309 bukan hanya tentang akurasi kalender, tetapi juga tentang penguatan iman (akidah). Ketika manusia ragu tentang Hari Kebangkitan, kisah ini menjadi dalil yang kuat: jika Allah bisa ‘mencatat’ setiap hari dari 309 tahun tidur mereka, Dia pasti mampu menghidupkan dan menghisab setiap amal perbuatan manusia di akhirat kelak.
Ayat 25 adalah bagian dari ilmu ghaib (pengetahuan tentang hal yang tersembunyi) yang hanya dimiliki oleh Allah. Sebelumnya, ayat 22 menyatakan, "Katakanlah (Muhammad), 'Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka.'" Kemudian ayat 25 memberikan jawaban yang definitif tentang durasi waktu mereka. Ini mengajarkan adab kepada umat Muslim agar tidak berdebat atau berspekulasi tentang hal-hal ghaib yang sudah dijawab tuntas oleh Al-Qur'an. Setelah Allah berfirman 309 tahun, maka tidak ada lagi ruang untuk perdebatan mengenai durasinya.
Pemahaman yang komprehensif terhadap ayat 25 Surah Al-Kahfi menuntut kita untuk merenungkan berbagai aspek hikmah yang terkandung di dalamnya, khususnya mengenai manajemen waktu dan ketepatan Ilahiah. Ini adalah pelajaran yang relevan bagi setiap individu dalam mengatur kehidupan spiritual dan duniawi.
Ayat 25 menunjukkan bahwa Allah SWT tidak hanya mengetahui setiap peristiwa, tetapi juga setiap detail yang melingkupinya. Hitungan 309 tahun yang sangat presisi menunjukkan bahwa tidak ada satu pun detak jantung, hembusan napas, atau pergeseran posisi matahari dan bulan yang luput dari pengawasan-Nya selama masa penangguhan itu.
Konsep ini memberi pelajaran spiritual yang mendalam: jika Allah begitu teliti dalam menghitung durasi tidur beberapa pemuda di masa lalu, betapa lebih telitinya Dia dalam menghitung amal perbuatan kita, niat kita, dan penggunaan waktu hidup kita yang singkat di dunia ini.
Ketepatan ini adalah fondasi bagi keimanan akan pertanggungjawaban di Hari Akhir. Seluruh catatan amal, yang terbagi dalam hitungan tahun, bulan, hari, bahkan detik, dicatat dengan sempurna, sebagaimana 300 tahun ditambah 9 tahun dicatat secara sempurna dalam Al-Qur'an.
Durasi 309 tahun adalah simbol dari kesabaran yang luar biasa. Ashabul Kahfi memilih untuk meninggalkan dunia fana dan berlindung kepada Allah demi mempertahankan iman mereka. Penantian mereka yang sangat panjang di dalam gua adalah metafora bagi kesulitan yang dihadapi oleh setiap mukmin dalam menanti pertolongan Allah atau dalam menghadapi fitnah zaman.
Dalam konteks modern, ketika ujian (fitnah) datang bertubi-tubi, ayat ini mengingatkan bahwa pertolongan Allah mungkin memerlukan waktu yang panjang, bahkan waktu yang melampaui rentang hidup manusia normal. Namun, bagi Allah, waktu itu singkat, dan janji-Nya pasti. Pemuda-pemuda itu tidur dalam ketenangan, dan mereka dibangunkan ketika zaman tirani telah berakhir dan iman telah kembali bersinar.
Oleh karena itu, perhitungan waktu yang rinci ini menenangkan jiwa, mengajarkan bahwa meskipun penantian terasa lama, ia sudah tertulis dan terukur dengan ketepatan ilahiah.
Penegasan angka 309 tahun (mengacu pada Kalender Qamariyyah) memperkuat kedudukan kalender Bulan sebagai acuan waktu yang utama dalam ibadah Islam. Meskipun kalender Syamsiyyah berguna dalam urusan duniawi, puasa, haji, dan penentuan hari-hari besar Islam didasarkan pada Kalender Hijriyah.
Ayat 25 secara halus menunjukkan bahwa waktu yang benar-benar akurat di hadapan Allah, dan yang paling konsisten dalam perputarannya tanpa perlu koreksi seperti tahun kabisat, adalah perhitungan berdasarkan bulan. Hal ini memberi nilai spiritual tersendiri bagi setiap Muslim yang menghitung usianya atau melaksanakan ibadahnya berdasarkan peredaran bulan.
Kisah Ashabul Kahfi ditempatkan dalam Surah Al-Kahfi sebagai salah satu dari empat pelajaran utama untuk menghadapi empat fitnah besar (fitnah harta, fitnah ilmu, fitnah kekuasaan, dan fitnah agama). Ayat 25, sebagai penutup dari kisah Ashabul Kahfi, memiliki koneksi kuat dengan fitnah waktu dan kepastian takdir.
Manusia cenderung melupakan sejarah atau mempersingkat durasi peristiwa masa lalu. Dengan menyebutkan durasi 309 tahun secara eksplisit, Al-Qur'an mencegah umat Islam dari menyepelekan atau mendistorsi fakta sejarah ilahiah. Ini adalah fitnah waktu: ketika generasi baru melupakan perjuangan yang diperlukan untuk mempertahankan iman di masa lalu.
Ayat 25 memastikan bahwa perjuangan pemuda-pemuda itu bukanlah cerita singkat, melainkan penantian tiga abad. Penekanan pada panjangnya durasi ini membuat kita menghargai betapa berharganya iman yang mereka pertahankan, bahkan ketika hal itu membutuhkan pengorbanan waktu yang melampaui batas nalar.
Jika kita kembali ke ayat 22, ada perdebatan di antara ahli kitab tentang jumlah pemuda tersebut. "Sebagian mengatakan, '(Jumlah mereka) tiga orang, yang keempat adalah anjingnya.' Dan (sebagian lagi) mengatakan, '(Jumlah mereka) lima orang, yang keenam adalah anjingnya,' sebagai terkaan terhadap yang ghaib. Dan (sebagian lagi) mengatakan, '(Jumlah mereka) tujuh orang, yang kedelapan adalah anjingnya.'"
Allah kemudian menanggapi hal ini dengan berfirman: "Katakanlah (Muhammad), 'Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka.'"
Pola yang sama terjadi pada perhitungan waktu. Manusia mungkin berspekulasi tentang durasinya, tetapi Al-Qur'an datang dengan jawaban yang tegas pada ayat 25. Ini adalah pelajaran etik dalam mencari ilmu: dalam hal ghaib yang sudah dijawab oleh wahyu, tugas manusia adalah menerima dan mengimani, bukan lagi berspekulasi. Ini adalah tameng dari fitnah ilmu yang mendorong manusia untuk merasa bisa mengetahui segalanya tanpa batas.
Surah Al-Kahfi sering dihubungkan dengan persiapan menghadapi fitnah Dajjal. Dajjal memiliki kekuasaan atas waktu; ia bisa membuat satu hari terasa seperti satu tahun. Pemahaman mendalam tentang ayat 25 membantu seorang mukmin memahami bahwa hanya Allah yang menguasai waktu secara absolut.
Jika Allah bisa membuat 309 tahun berlalu tanpa disadari oleh para pemuda gua, maka mukmin akan memiliki keyakinan penuh bahwa kekuasaan Dajjal atas waktu hanyalah ilusi yang diizinkan sementara. Iman kepada ketepatan 309 tahun memperkuat hati mukmin untuk tidak terpedaya oleh manipulasi waktu di akhir zaman.
Pemilihan kata وَلَبِثُوْا (dan mereka tinggal) daripada sekadar ناموا (mereka tidur) memiliki signifikansi linguistik yang mendalam. 'Labitsū' menyiratkan keadaan yang lebih permanen daripada tidur biasa. Mereka berada dalam keadaan 'berdiam diri' atau 'tertahan' dalam dimensi waktu tersebut, yang menunjukkan intervensi supra-natural.
Susunan ثَلٰثَ مِائَةٍ سِنِيْنَ وَازْدَادُوْا تِسْعًا (Tiga ratus tahun dan mereka ditambah sembilan) adalah struktur yang sangat spesifik. Dalam bahasa Arab, jika tujuannya hanya menyebutkan total, Al-Qur'an bisa saja langsung menggunakan kata 309.
Penggunaan struktur penambahan (wazdādū) menekankan proses. Ini seolah-olah mengatakan: mereka tidur 300 tahun, dan seiring berjalannya waktu, perbedaan antara kalender syamsiyyah dan qamariyyah mengakumulasi selisih yang setara dengan 9 tahun penuh. Struktur ini memaksa pembaca untuk merenungkan mekanisme penghitungan yang terjadi di baliknya, yaitu proses konversi dari satu sistem waktu ke sistem waktu yang lain.
Kekuatan ekspresi ini memastikan bahwa informasi yang disampaikan bukan hanya fakta, melainkan juga pelajaran. Al-Qur'an ingin kita mengetahui bahwa ada dualitas dalam perhitungan waktu yang dikenal manusia, namun pada akhirnya, semua tunduk pada hitungan yang ditetapkan oleh Sang Pencipta Waktu.
Kontras antara 300 dan 309 adalah kontras antara pengetahuan relatif (pengetahuan yang dipengaruhi oleh sistem kalender manusia) dan pengetahuan mutlak (pengetahuan Ilahi). Hanya Allah yang mengetahui secara pasti durasi tidur mereka, dan Dia memilih untuk mengungkapkannya dengan cara yang menyatukan kedua perhitungan tersebut dalam satu frasa pendek. Ini merupakan manifestasi dari sifat Allah sebagai Al-Alīm (Yang Maha Mengetahui) dan Al-Muhsī (Yang Maha Menghitung/Mencatat).
Penelitian dan perenungan mendalam terhadap Surah Al-Kahfi ayat 25 membawa kita pada kesimpulan penting mengenai konsep waktu, iman, dan kekuasaan Allah. Ayat ini berdiri sebagai pilar keyakinan yang menegaskan beberapa poin fundamental:
Oleh karena itu, setiap kali seorang Muslim membaca atau mendengar Surah Al-Kahfi ayat 25, ia tidak hanya membaca sejarah masa lalu. Ia membaca sebuah keajaiban matematis dan teologis yang merangkum pelajaran tentang kosmologi, waktu, dan kekuasaan Sang Pencipta yang abadi.
Pemahaman yang komprehensif terhadap ayat yang ringkas ini menuntut kita untuk selalu menjaga keimanan dan keyakinan, bahwa meskipun kehidupan terasa panjang dan ujian terasa berat, semua terukur dengan presisi Ilahi yang tak tertandingi. Seluruh masa tinggal Ashabul Kahfi, baik 300 tahun Syamsiyyah maupun 309 tahun Qamariyyah, berada dalam genggaman dan perhitungan Allah, Tuhan semesta alam.