Kajian komprehensif mengenai Surah ke-111 dalam Al-Qur'an, yang dikenal juga sebagai Surah Al-Masad, fokus pada bacaan Latin, konteks sejarah, dan implikasi teologisnya.
Visualisasi metaforis dari konsep 'Lahab' (api yang membakar) yang menjadi inti Surah ini.
Surah Al-Lahab, yang juga dikenal dengan nama Surah Al-Masad (tali atau sabut), adalah surah ke-111 dalam susunan mushaf Al-Qur’an. Surah ini terdiri dari lima ayat yang sangat ringkas namun memiliki kekuatan retorika dan nubuat yang luar biasa. Surah ini tergolong Makkiyah, yang berarti diturunkan di Makkah sebelum peristiwa Hijrah. Penempatannya di juz terakhir (Juz Amma) menempatkannya bersama surah-surah pendek lainnya yang sering dibaca dalam salat harian.
Keunikan Surah Al-Lahab terletak pada penamaannya yang secara eksplisit menyebut salah satu musuh terbesar Nabi Muhammad ﷺ, yaitu Abu Lahab. Tidak ada surah lain dalam Al-Qur’an yang secara langsung menyebut nama seseorang yang dikutuk. Ini menegaskan bahwa Al-Qur’an adalah wahyu yang berisi kebenaran mutlak dan pengetahuan tentang masa depan, sebab Surah ini diturunkan ketika Abu Lahab masih hidup, meramalkan takdirnya yang celaka.
Bagi umat Islam di seluruh dunia, khususnya yang tidak familiar dengan aksara Arab, transliterasi Latin menjadi jembatan penting untuk memastikan akurasi pelafalan. Penting dicatat bahwa transliterasi adalah upaya mendekati bunyi asli, dan pembaca dianjurkan tetap merujuk kepada teks Arab untuk kesempurnaan tajwid.
Berikut adalah terjemahan makna per ayat, berdasarkan interpretasi Kementerian Agama Republik Indonesia:
Memahami Surah Al-Lahab tidak lengkap tanpa mengkaji Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya). Surah ini adalah respons langsung dari Allah SWT terhadap permusuhan terbuka yang ditunjukkan oleh Abu Lahab, paman kandung Nabi Muhammad ﷺ.
Awal mula perseteruan ini terjadi ketika Nabi Muhammad ﷺ pertama kali diperintahkan untuk menyampaikan dakwah secara terang-terangan kepada kaumnya. Nabi berdiri di atas Bukit Safa, tempat yang strategis untuk mengumpulkan seluruh suku Quraisy. Setelah mereka berkumpul, Nabi ﷺ bertanya, "Jika aku beritahu kalian bahwa di balik bukit ini ada pasukan berkuda yang siap menyerang kalian, apakah kalian akan mempercayaiku?" Mereka semua menjawab, "Ya, kami tidak pernah mendengar darimu kecuali kejujuran."
Kemudian, Rasulullah ﷺ menyatakan bahwa beliau adalah utusan Allah dan memperingatkan mereka tentang siksaan yang pedih. Saat itulah, paman Nabi, Abdul Uzza bin Abdul Muttalib (yang dijuluki Abu Lahab karena wajahnya yang kemerahan seperti api), berdiri dan melontarkan kata-kata yang penuh kebencian dan penghinaan. Ia berkata, "Celakalah engkau! Apakah untuk ini engkau kumpulkan kami?"
Kalimat kasar Abu Lahab tersebut, yang mengandung sumpah serapah, adalah provokasi yang sangat menyakitkan, bukan hanya karena ia paman Nabi, tetapi juga karena ia seharusnya menjadi pelindung terdekat Rasulullah di masa-masa awal dakwah yang penuh tekanan. Dalam sistem suku Arab saat itu, paman memainkan peran kunci dalam melindungi keponakan. Dengan penghinaan ini, Abu Lahab secara efektif mencabut perlindungan suku terhadap Nabi Muhammad ﷺ.
Tidak lama setelah kejadian tersebut, Allah SWT menurunkan Surah Al-Lahab sebagai jawaban langsung dan pengumuman takdir yang definitif. Surah ini bukan sekadar kutukan biasa, melainkan sebuah proklamasi ilahi yang membalikkan kutukan Abu Lahab. Abu Lahab berkata, "Celakalah engkau (Muhammad)," dan Allah menjawab, "Celakalah (binasalah) kedua tangan Abu Lahab."
Pentingnya Asbabun Nuzul ini adalah untuk menunjukkan bagaimana Allah melindungi hamba-Nya dan bahwa perlakuan buruk terhadap utusan-Nya akan dibalas dengan konsekuensi yang kekal. Surah ini menjadi bukti kenabian karena memprediksi secara mutlak bahwa Abu Lahab dan istrinya tidak akan pernah beriman, sebuah ramalan yang terwujud sebelum kematian mereka.
Analisis rinci lima ayat ini mengungkap kedalaman ancaman ilahi dan keadilan Allah SWT terhadap mereka yang menentang kebenaran dengan kesombongan dan kekuasaan.
Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar binasa dia!
Kata kunci di sini adalah Tabbat (تَبَّتْ), yang berarti binasa, merugi, atau celaka. Penggunaan kata ini sangat kuat. Ketika Allah mengutuk 'kedua tangan' (yadā), ini merujuk pada segala usaha dan perbuatan yang dilakukan Abu Lahab untuk menentang Islam. Tangan adalah simbol tindakan, kerja keras, dan kekuatan fisik.
Kutukan ini diulang dengan penekanan, wa tabb (dan benar-benar binasa). Pengulangan ini (ta’kid) menunjukkan kepastian dan totalitas kebinasaan tersebut. Para mufasir menjelaskan, ayat pertama adalah nubuat tentang kegagalan total Abu Lahab di dunia, baik dalam usahanya memerangi Nabi maupun dalam kepemimpinan sosialnya. Segala upaya fisik dan materiilnya akan sia-sia di mata Allah. Ayat ini juga secara linguistik membalas ucapan Abu Lahab sendiri, menegaskan bahwa kutukan itu justru kembali kepadanya.
Lebih jauh, para ahli bahasa Arab mencatat bahwa frasa ini bisa berarti kerugian yang terjadi sekarang dan juga kerugian yang akan datang. Ini mencakup kerugian duniawi (reputasi, kekuasaan) dan kerugian akhirat (siksaan neraka). Ini adalah kebinasaan multidimensi yang tak terhindarkan, sebuah takdir yang telah ditetapkan oleh Yang Maha Kuasa.
Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan.
Ayat kedua menargetkan sumber kesombongan utama Abu Lahab: kekayaan dan status sosialnya. Abu Lahab adalah salah satu orang terkaya di Makkah. Dalam masyarakat jahiliah, harta dan keturunan (kasab) adalah penentu kehormatan. Abu Lahab sangat mengandalkan kekayaan dan anak-anaknya (kasab juga bisa diartikan keturunan atau usaha) untuk melawan Muhammad ﷺ.
Allah SWT menjelaskan bahwa di hadapan kebenaran Ilahi, semua aset material tersebut tidak akan mampu menyelamatkan dirinya dari hukuman. Bahkan, hartanya sering kali justru digunakan untuk membiayai fitnah dan permusuhan terhadap Islam. Ayat ini merupakan prinsip universal bahwa kekayaan duniawi tidak dapat membeli keselamatan spiritual.
Kekuatan ayat ini terletak pada penolakan terhadap pemikiran jahiliah yang menganggap harta dan kekuasaan sebagai jaminan kebahagiaan abadi. Untuk Abu Lahab, harta yang ia banggakan menjadi beban yang akan memberatkannya di Hari Perhitungan.
Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (neraka).
Ayat ketiga ini adalah puncak dari kutukan tersebut. Kata Sayaṣlā (سَيَصْلٰى) menunjukkan kepastian masa depan yang segera. Ia akan 'memasuki' atau 'dibakar' oleh api neraka. Uniknya, api neraka tersebut digambarkan sebagai nāran dzāta lahab, api yang memiliki 'lahab'—api yang bergejolak atau menjilat-jilat.
Pilihan kata ini sangat puitis dan mengena. Nama panggilannya, Abu Lahab (Bapak Api/Jilatan Api), kini menjadi takdirnya. Ia dijuluki demikian di dunia karena wajahnya yang cerah atau tempramennya yang panas, namun di akhirat, julukan tersebut menjadi realitas hukuman yang abadi. Ini adalah ironi kosmik: ia yang disebut 'Bapak Api' akan menjadi korban abadi dari api yang sama.
Penggambaran api yang bergejolak menunjukkan intensitas dan keparahan siksaan, memastikan bahwa neraka yang menantinya bukanlah sekadar api, melainkan api yang paling ganas, sesuai dengan besarnya permusuhannya terhadap Rasulullah ﷺ dan Islam.
Dan (begitu juga) istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah).
Hukuman tidak hanya menimpa Abu Lahab, tetapi juga istrinya, Ummu Jamil binti Harb bin Umayyah, saudara perempuan Abu Sufyan. Ia adalah rekan sejati suaminya dalam permusuhan terhadap Nabi ﷺ. Julukannya yang diberikan oleh Al-Qur'an adalah Ḥammālatal-ḥaṭab, 'pembawa kayu bakar'.
Tafsir mengenai 'pembawa kayu bakar' memiliki dua makna utama yang saling melengkapi:
Keterlibatan Ummu Jamil menunjukkan bahwa permusuhan terhadap Islam di masa itu adalah upaya timbal balik suami-istri. Ia tidak hanya mendukung suaminya secara moral, tetapi aktif terlibat dalam upaya merusak reputasi dan moral Nabi ﷺ. Hukuman ini menegaskan prinsip keadilan Ilahi bahwa setiap individu bertanggung jawab atas tindakannya, terlepas dari jabatannya atau hubungannya.
Di lehernya ada tali dari sabut yang dipintal.
Ayat penutup ini memberikan gambaran siksaan yang menghinakan bagi Ummu Jamil. Masad (مَسَدٍ) berarti sabut, atau serat kasar dari pohon palem atau kurma. Tali sabut ini sangat kasar dan tidak nyaman.
Interpretasi ayat ini juga memiliki dualitas:
Ayat ini menutup surah dengan gambaran yang jelas dan menyentuh tentang siksaan, menunjukkan bahwa kehinaan Ummu Jamil di akhirat akan setara dengan kerugian dan kebinasaan yang menimpa suaminya, Abu Lahab.
Surah Al-Lahab memiliki kedudukan unik dalam Al-Qur’an karena ia berfungsi sebagai salah satu bukti kenabian Muhammad ﷺ yang paling kuat dan konkret. Surah ini secara eksplisit meramalkan takdir kekal bagi Abu Lahab dan istrinya.
Surah ini diturunkan di Makkah, bertahun-tahun sebelum Abu Lahab meninggal. Isinya menyatakan secara pasti bahwa Abu Lahab dan istrinya akan masuk neraka, sebuah pernyataan yang secara teologis setara dengan menyatakan bahwa mereka tidak akan pernah beriman kepada Islam. Abu Lahab hanya perlu melakukan satu hal untuk membuktikan Al-Qur’an salah: mengucapkan dua kalimat syahadat, bahkan jika hanya pura-pura (munafik).
Namun, sepanjang hidupnya—yang berlanjut beberapa tahun setelah penurunan Surah ini—Abu Lahab tetap teguh dalam kekafiran dan permusuhannya. Dia tidak pernah memeluk Islam, bahkan tidak pernah mencoba berpura-pura menjadi Muslim untuk merusak kredibilitas wahyu. Kematiannya dalam keadaan kafir (dikisahkan meninggal karena penyakit menular yang menjijikkan, 'Adasah', setelah Perang Badar) menggenapi nubuat Al-Qur’an secara sempurna.
Jika Muhammad ﷺ hanya mengarang Al-Qur’an, ia tidak akan pernah berani mengeluarkan ramalan yang begitu berisiko terhadap musuh yang kuat dan masih hidup. Adalah sangat mungkin bagi Abu Lahab untuk memeluk Islam di saat-saat terakhir demi merusak Surah tersebut. Kenyataan bahwa Allah SWT begitu yakin akan takdir mereka menunjukkan bahwa ini adalah ucapan dari Zat yang memiliki pengetahuan mutlak atas hati dan masa depan manusia.
Penyebutan Ummu Jamil secara spesifik memperkuat pesan tersebut. Al-Qur’an tidak hanya menghukum individu yang kuat (Abu Lahab) tetapi juga rekan jahatnya yang menggunakan pengaruh sosialnya untuk memfitnah. Ini mengajarkan bahwa kejahatan yang dilakukan bersama-sama akan dibalas dengan hukuman yang juga dibagi bersama.
Ummu Jamil dan Abu Lahab mewakili kemitraan kejahatan: satu dengan kekuatan materi dan yang lain dengan kekuatan propaganda lisan. Kehancuran mereka yang diprediksi menunjukkan bahwa tidak ada kekuasaan, kekayaan, atau status sosial yang dapat berdiri di hadapan kehendak Allah jika digunakan untuk menentang kebenaran yang paling murni.
Meskipun Surah Al-Lahab secara historis merujuk kepada individu tertentu, pelajaran yang dikandungnya bersifat universal dan relevan sepanjang masa, mencakup etika, kekuasaan, dan nasib kejahatan.
Pelajaran utama Surah ini ditekankan dalam ayat kedua: harta, kekuasaan, dan koneksi sosial (māluhū wa mā kasab) tidak akan menyelamatkan seseorang dari murka Allah. Dalam era modern, di mana kekayaan seringkali disembah sebagai dewa, Surah Al-Lahab berfungsi sebagai pengingat keras bahwa nilai sejati seseorang tidak terletak pada aset materialnya, melainkan pada keimanan dan tindakannya.
Orang-orang yang menyalahgunakan kekuasaan dan kekayaan mereka untuk menindas atau menyebarkan kebohongan harus memahami bahwa pertanggungjawaban di hadapan Ilahi tidak dapat dibeli atau dihindari dengan uang.
Surah ini adalah peringatan tegas bagi mereka yang secara terang-terangan dan tanpa malu menentang kebenaran dan dakwah. Permusuhan Abu Lahab bukan hanya ketidakpercayaan, tetapi agresi aktif yang melibatkan intimidasi dan kekerasan verbal. Al-Qur’an mengajarkan bahwa permusuhan yang disengaja terhadap utusan Allah atau terhadap nilai-nilai kebenaran akan menghasilkan konsekuensi yang definitif dan permanen.
Peran Ummu Jamil sebagai 'pembawa kayu bakar' sangat relevan di zaman informasi dan media sosial. Kayu bakar di sini adalah metafora sempurna untuk fitnah, hoaks, dan ucapan provokatif yang bertujuan menyulut api perpecahan atau kebencian. Orang yang menyebarkan kebohongan dan memfitnah (seperti penyebar kebencian online) memikul beban dosa yang setara dengan si pelaku utama kejahatan, karena mereka menyediakan bahan bakar untuk konflik.
Surah Al-Lahab mengajarkan bahwa fitnah lisan dan kebencian yang disampaikan secara publik memiliki bobot kejahatan yang sama besarnya dengan kejahatan fisik atau finansial, dan akan dibalas dengan kehinaan yang sepadan.
Inti teologis Surah ini adalah kepastian janji Allah, baik janji balasan (surga) maupun janji hukuman (neraka). Karena nubuat tentang Abu Lahab terwujud seratus persen, ini memperkuat iman kita bahwa semua janji Allah yang terkandung dalam Al-Qur’an, termasuk tentang Hari Kiamat, surga, dan neraka, adalah kebenaran yang mutlak dan tak terhindarkan.
Meskipun pendek, Surah Al-Lahab adalah mahakarya retorika Arab. Pilihan kata, ritme, dan korelasi antara nama dan takdir sangat mendalam.
Seperti telah disinggung, korelasi antara nama Abu Lahab ('Bapak Jilatan Api') dan takdirnya ('api yang bergejolak', nāran dzāta lahab) adalah contoh tertinggi dari Munasabah (kesesuaian) dalam Al-Qur’an. Hubungan ini tidak mungkin terjadi secara kebetulan; ini adalah permainan kata yang disengaja oleh Zat Yang Maha Tahu untuk mempermalukan dan menghukum Abu Lahab menggunakan identitas yang ia miliki.
Pengulangan kata Tabbat di ayat pertama memberikan efek dramatis. Dalam sastra Arab, pengulangan (ta'kid) digunakan untuk menghilangkan keraguan. Pengulangan ini seolah-olah mengatakan: "Celaka! Tidak hanya celaka tangannya, tetapi seluruh dirinya, dari kepala hingga kaki, di dunia dan di akhirat, benar-benar celaka." Penggunaan bentuk fi’il māḍī (kata kerja lampau/sempurna) pada Tabbat menyiratkan bahwa kebinasaan ini sudah pasti terjadi, seolah-olah sudah terjadi, meskipun pada saat diturunkan Abu Lahab masih hidup.
Surah ini mempertahankan rima yang kuat, yang merupakan ciri khas surah Makkiyah awal, yang bertujuan menarik perhatian audiens Arab yang mencintai sastra. Surah ini berakhir dengan rima 'b', khususnya di ayat 1, 2, 3, dan 4, serta rima 'd' di ayat 5 (tabb, kasab, lahab, ḥaṭab, masad). Ritme yang padat ini membuat Surah mudah diingat, dan yang lebih penting, pukulan retorisnya terasa sangat cepat dan mematikan.
Rima yang kuat di Surah ini menunjukkan bahwa ancaman terhadap Abu Lahab datang dengan keindahan dan kesempurnaan sastra, mengalahkan sastra terbaik yang dapat ditawarkan oleh para penyair kafir Quraisy.
Meskipun transliterasi Latin membantu, terdapat beberapa tantangan dan kesalahan umum yang harus diperhatikan agar bacaan tetap mendekati standar tajwid:
Dalam bacaan Latin, sering kali terjadi kerancuan antara huruf sin (س) dan tsa (ث), yang bunyinya diucapkan dengan meletakkan ujung lidah di antara gigi depan (seperti 'th' pada kata Inggris 'think'). Dalam Al-Lahab, ini tidak terlalu masalah, tetapi kesadaran akan perbedaan vokal panjang dan pendek sangat penting.
Kesalahan umum adalah mengabaikan madd (pemanjangan vokal). Contohnya, dalam yadā (يَدَآ), huruf 'a' harus dibaca panjang. Transliterasi yang akurat menggunakan makron (ā) atau pengulangan vokal. Membaca pendek dapat mengubah makna, meskipun dalam surah ini dampaknya pada tata bahasa relatif kecil, penting untuk kesempurnaan tajwid.
Pada ayat pertama, lahabiw wa tabb, terdapat tanwin (kasratain) diikuti oleh huruf wawu, yang memicu hukum idgham bi ghunnah (peleburan dengan dengung). Transliterasi Latin (lahabiw wa) hanya mencoba mewakili bunyinya. Pembaca harus mengingat untuk mendengungkan bunyi 'w' tersebut, sebuah detail yang tidak dapat sepenuhnya ditangkap oleh aksara Latin.
Meskipun tidak muncul di Surah ini, pengetahuan akan perbedaan bunyi huruf tenggorokan (seperti kha, ha, ain, ghain) dan transliterasi yang tepat (misalnya, menggunakan 'kh' untuk خ) adalah kunci untuk semua bacaan Al-Qur’an, termasuk Surah Al-Lahab.
Intinya, transliterasi Latin adalah alat bantu yang sangat baik untuk hafalan dan identifikasi, tetapi ia bukan pengganti untuk belajar membaca Al-Qur’an dari seorang guru yang fasih, memastikan pengucapan yang benar (makhraj) dan hukum tajwid yang tepat.
Surah Al-Lahab terletak di antara Surah An-Nashr (Kemenangan) dan Surah Al-Ikhlas (Keikhlasan). Penempatan ini tidaklah acak, melainkan mengandung makna mendalam tentang siklus perjuangan dan hasil akhirnya.
Surah An-Nashr berbicara tentang kemenangan dan masuknya manusia berbondong-bondong ke dalam Islam. Surah Al-Lahab, yang datang tepat setelahnya, menggambarkan nasib mereka yang menolak kemenangan tersebut dan memilih kekalahan abadi. Hubungan ini menekankan bahwa di saat cahaya kemenangan Islam mulai bersinar di Makkah (yang diramalkan oleh An-Nashr), para penentang utamanya, seperti Abu Lahab, harus menghadapi konsekuensi atas penolakan mereka yang keras kepala.
An-Nashr adalah kabar gembira bagi kaum Mukminin; Al-Lahab adalah peringatan keras bagi kaum kafirin. Kedua surah ini, diletakkan berdampingan, menyajikan kontras antara hasil akhir kesabaran dan kesombongan.
Setelah Surah Al-Lahab, datang Surah Al-Ikhlas, sebuah surah yang berbicara tentang kemurnian tauhid dan keesaan Allah. Kontrasnya jelas: Surah Al-Lahab menunjukkan kegagalan total dari kekuasaan materialistis dan ideologi kesukuan yang dipimpin oleh Abu Lahab, sementara Al-Ikhlas mengarahkan perhatian kepada Kekuatan Sejati, Allah SWT, yang Maha Esa.
Dengan demikian, Surah Al-Lahab berfungsi sebagai jembatan yang menunjukkan kehancuran total ideologi jahiliah (kesombongan, harta, fitnah) sebelum Al-Qur’an menutup dengan inti teologisnya yang paling murni: Tauhid, sebagaimana diajarkan dalam Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas.
Kematian Abu Lahab setelah Perang Badar menjadi peristiwa yang sangat signifikan. Meskipun ia sendiri tidak ikut berperang, kekalahan besar Quraisy di Badar menghancurkan moral dan status sosialnya. Kematiannya, yang disebabkan oleh penyakit menular yang membuat orang lain jijik untuk mendekatinya, dipandang oleh kaum Muslimin sebagai manifestasi langsung dari kutukan Ilahi yang disebutkan dalam Surah Al-Lahab.
Dikisahkan bahwa ia meninggal karena 'Adasah, penyakit seperti bisul yang sangat menular. Karena takut tertular, keluarganya tidak berani mendekat untuk mengurus jenazahnya sesuai tradisi. Mereka meninggalkannya selama beberapa hari hingga bau busuk mulai tercium. Akhirnya, mereka menyuruh budak-budak untuk mendorong jenazahnya menggunakan kayu panjang hingga ke suatu liang, lalu menutupinya dengan batu dari kejauhan.
Kehinaan dalam kematiannya sangat kontras dengan statusnya saat hidup. Ini adalah realisasi akhir dari frasa "Tabbat yadā" (binasa tangannya). Orang yang paling menentang Nabi Muhammad ﷺ berakhir dengan kematian yang paling sepi dan dihindari, sebuah peringatan keras bagi para penentang Islam tentang konsekuensi yang menanti di dunia ini sebelum hukuman akhirat.
Penurunan Surah Al-Lahab juga memberikan dukungan moral yang luar biasa bagi Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabat yang lemah di Makkah. Ketika ancaman dan penganiayaan memuncak, Allah memberikan kepastian mutlak bahwa musuh mereka yang paling kuat akan dikalahkan. Hal ini menanamkan keberanian dan ketabahan dalam menghadapi tekanan, karena mereka tahu bahwa nasib akhir tidak ditentukan oleh kekuatan materi Quraisy, tetapi oleh kehendak Allah SWT.
Surah Al-Lahab, meskipun hanya lima ayat, memberikan pelajaran etika dan teologis yang padat dan komprehensif. Surah ini bukan sekadar cerita sejarah tentang dua musuh Nabi, tetapi cermin bagi setiap generasi umat Islam.
Ketika membaca Surah Al-Lahab, seorang Mukmin harus merenungkan: Apakah saya memiliki sifat-sifat Abu Lahab atau Ummu Jamil dalam kehidupan saya? Apakah saya menggunakan kekayaan atau status sosial untuk menindas kebenaran? Apakah saya, melalui lisan atau tulisan, menjadi ḥammālatal-ḥaṭab (pembawa kayu bakar) dengan menyebarkan fitnah dan kebencian?
Surah ini memaksa kita untuk memeriksa motif di balik setiap tindakan kita (yadā abī lahab) dan setiap ucapan kita (ḥammālatal-ḥaṭab). Jika kita menggunakan tangan kita untuk kejahatan dan lisan kita untuk fitnah, maka kita berisiko berbagi nasib dengan mereka, meskipun kita mengaku beriman.
Transliterasi Surah Al-Lahab (Al-Masad) dalam aksara Latin memungkinkan akses yang lebih luas terhadap pesan vital ini. Dari Tabbat yadā abī lahabiw wa tabb hingga Fī jīdihā ḥablum mim masad, setiap ayat mengukir gambaran tentang konsekuensi kejahatan yang tidak dapat ditawar. Surah ini berdiri sebagai monumen kebenasan Ilahi, menegaskan bahwa kebenaran pada akhirnya akan menang, dan para penentangnya akan binasa, baik di dunia maupun di neraka yang apinya bergejolak, sesuai dengan nama dan takdir yang telah ditentukan.
Semoga kita semua diberikan perlindungan dari sifat kesombongan, penolakan, dan kebiasaan menyebarkan api fitnah, dan diberikan taufik untuk menggunakan setiap rezeki (māluhū wa mā kasab) dalam jalan kebaikan.