Surah Al-Masad, yang juga dikenal dengan nama Surah Al-Lahab, merupakan salah satu surah terpendek namun paling dramatis dalam Al-Quran. Surah ke-111 ini terdiri dari lima ayat yang diturunkan di Mekah, dan secara eksplisit ditujukan kepada salah satu musuh utama Rasulullah ﷺ, Abu Lahab, beserta istrinya. Nama Abi Lahab sendiri, yang berarti 'Bapak Api yang Berkobar,' menjadi petunjuk tentang azab yang akan menimpanya.
Kata kunci yang mengawali surah ini, "تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ" (Tabbat yada Abi Lahabiw watab), adalah sebuah pernyataan kutukan ilahi yang sangat kuat. Ia bukan sekadar prediksi, melainkan sebuah penegasan mutlak terhadap kehancuran duniawi dan akhirat bagi individu yang secara terang-terangan menentang kebenaran. Kajian mendalam mengenai surah ini memerlukan pemahaman konteks sejarah masa awal Islam, linguistik Arab klasik, dan implikasi teologisnya yang abadi.
Surah Al-Masad diturunkan pada fase awal dakwah di Mekah, ketika Rasulullah ﷺ diperintahkan untuk memulai dakwah secara terbuka, setelah sebelumnya dilakukan secara rahasia. Peristiwa penurunan surah ini terkait erat dengan momen penegasan kenabian yang paling awal, yang melibatkan konflik keluarga dan permusuhan yang intens.
Menurut riwayat yang masyhur, termasuk yang dicatat oleh Imam Bukhari dan Muslim, peristiwa ini dimulai ketika Allah menurunkan firman-Nya: "Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat." (QS. Asy-Syu'ara: 214). Rasulullah ﷺ kemudian menaiki Bukit Safa, sebuah tempat yang tinggi di Mekah, dan memanggil seluruh suku Quraisy untuk berkumpul, sesuai tradisi kuno Arab jika ada berita penting atau bahaya besar.
Ketika seluruh kabilah Quraisy, termasuk Bani Hasyim, Bani Abdul Muththalib, dan Bani Zuhrah, telah berkumpul, Rasulullah ﷺ bertanya: "Bagaimana pendapat kalian, seandainya aku memberitahu bahwa ada pasukan berkuda di balik lembah ini yang siap menyerang kalian, apakah kalian akan percaya kepadaku?" Mereka serentak menjawab, "Tentu saja, kami tidak pernah mendengar engkau berbohong."
Setelah mendapatkan pengakuan atas kejujurannya, Nabi Muhammad ﷺ menyampaikan inti risalah: "Sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan bagi kalian di hadapan azab yang pedih."
Di antara kerumunan tersebut, hadirlah paman Rasulullah ﷺ sendiri, Abu Lahab bin Abdul Muththalib, yang nama aslinya adalah Abdul Uzza. Ia adalah satu-satunya paman Nabi yang secara vokal dan ekstrem menentang dakwah Islam. Mendengar seruan kenabian tersebut, Abi Lahab langsung berdiri dan berteriak dengan penuh kebencian, melontarkan kutukan yang memicu respons ilahi:
"Celakalah engkau! Apakah hanya untuk ini engkau mengumpulkan kami?"
Kutukan dan penolakan langsung dari kerabat terdekat ini sangat menyakitkan bagi Rasulullah ﷺ dan menjadi batu sandungan besar bagi dakwah. Sebagai respons langsung terhadap penghinaan dan kutukan Abi Lahab, Allah menurunkan Surah Al-Masad, membalikkan kutukan tersebut kembali kepada Abi Lahab sendiri, menegaskan bahwa tangan dialah yang akan celaka.
Surah Al-Masad adalah satu-satunya surah dalam Al-Quran yang secara eksplisit menyebut nama musuh Islam dan secara tegas menjamin azabnya di dunia dan di akhirat. Berikut adalah analisis linguistik dan tafsir mendalam untuk setiap ayat.
"Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa!"
Kata kunci dalam ayat pertama adalah 'Tabbat' (تَبَّتْ) yang berasal dari akar kata *Tabb* (تب), berarti kehancuran, kerugian, kekeringan, atau kerugian abadi. Ini adalah bentuk doa atau pernyataan kutukan dari Allah. Frasa 'Tabbat yada' berarti "kedua tangan telah celaka" atau "celakalah pekerjaan kedua tangannya."
Penyebutan 'kedua tangan' (yada) memiliki dua makna:
Yang menjadikan ayat ini sangat kuat adalah pengulangan dan penegasan di akhir kalimat: 'watab' (وَتَبَّ). Tafsir klasik membedakan dua kata kerja ini:
Maka, ayat ini menjadi respons simetris terhadap kutukan Abi Lahab: Allah menimpakan kehancuran total kepadanya, di dunia dan akhirat, sebagai balasan atas penolakan dan permusuhannya yang brutal terhadap Rasul-Nya.
"Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang ia usahakan."
Abi Lahab, sebagai paman Rasulullah dan salah satu tokoh terkemuka Quraisy, memiliki kekayaan dan kedudukan sosial yang tinggi. Pada masa itu, kekayaan dipandang sebagai simbol kekuatan, perlindungan, dan bahkan restu ilahi. Abi Lahab menggunakan hartanya untuk melawan Nabi, termasuk mendanai upaya boikot dan menyebarkan fitnah.
Ayat kedua ini menepis ilusi kekuasaan material. Allah menegaskan bahwa semua harta benda (maluhu) yang ia miliki, dan semua hasil usahanya (wama kasab) seperti anak-anak, pengikut, atau posisi sosial, sama sekali tidak akan menyelamatkannya dari takdir kehancuran yang telah ditetapkan Allah.
Para mufassir berbeda pendapat mengenai makna 'wama kasab':
Pesan sentral ayat ini adalah bahwa kekerabatan, status sosial, dan kekayaan tidak memiliki nilai sedikit pun di hadapan keadilan dan kehendak Tuhan jika hati dipenuhi kekafiran dan permusuhan.
"Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (Lahab)."
Ayat ini adalah inti dari hukuman akhiratnya. Kata 'Sa yasla' (سَيَصْلَى) adalah bentuk masa depan yang mengindikasikan kepastian yang tak terhindarkan. Dia pasti akan merasakan panasnya api neraka.
Pilihan kata 'Naran dhata lahab' (نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ), yang berarti "Api yang memiliki nyala api yang bergejolak," sangat puitis dan mengikat hukuman dengan nama pelakunya. Nama asli Abi Lahab adalah Abdul Uzza, namun ia dipanggil Abu Lahab (Bapak Api) karena wajahnya yang rupawan dan berkilauan (atau karena kemarahannya yang membara). Allah menggunakan nama panggilannya untuk menggambarkan azabnya: ia akan dilemparkan ke dalam api yang berkobar-kobar, api yang sesuai dengan julukan yang ia banggakan di dunia.
Dalam Tafsir Al-Qurtubi dan lainnya, dijelaskan bahwa keindahan atau status duniawi yang disimbolkan oleh namanya akan berubah menjadi sumber siksaan abadi di akhirat.
"Demikian pula istrinya, pembawa kayu bakar."
Tidak hanya Abi Lahab yang dikutuk, istrinya, Ummu Jamil binti Harb (saudari Abu Sufyan sebelum ia masuk Islam), juga dikutuk secara eksplisit. Keterlibatannya dalam permusuhan terhadap Nabi ﷺ begitu ekstrem sehingga ia layak mendapatkan porsi azabnya sendiri.
Ummu Jamil dikenal sebagai wanita yang sangat licik dan kejam dalam menyebarkan fitnah. Dia menggunakan kekayaan keluarganya untuk membiayai penyair-penyair yang mencerca Nabi. Selain itu, ia juga melakukan perbuatan fisik yang jahat di lingkungan sekitar Nabi Muhammad ﷺ.
Frasa "pembawa kayu bakar" memiliki dua interpretasi utama:
Di akhirat, ia akan dipaksa membawa kayu bakar (atau duri) yang akan digunakan untuk menyalakan api yang menyiksa suaminya, atau kayu bakar itu sendiri akan menjadi beban siksaannya.
"Di lehernya ada tali dari sabut (ijuk/serabut yang dipintal)."
Ayat terakhir ini secara spesifik menggambarkan bentuk siksaan Ummu Jamil di neraka. Kata 'Jidiha' berarti lehernya, dan 'Hablum mim masad' berarti tali yang terbuat dari *masad*.
Masad (مَّسَدٍ) adalah jenis tali yang kuat, kasar, dan menyakitkan, biasanya dipintal dari serat pohon kurma atau serat besi. Tali ini digunakan oleh para budak atau orang miskin untuk mengikat beban berat di punggung atau leher mereka saat membawa kayu bakar.
Kutukan ini membalikkan citra Ummu Jamil di dunia. Di dunia, ia adalah wanita bangsawan kaya yang mengenakan perhiasan mahal di lehernya. Di akhirat, semua perhiasan dan kemewahan itu digantikan oleh tali masad yang kasar dan menyiksa. Tali ini tidak hanya berfungsi sebagai beban yang menghukum, tetapi juga sebagai rantai yang mengikatnya, sesuai dengan perannya sebagai 'pembawa kayu bakar' penderitaan di dunia.
Surah Al-Masad memiliki posisi unik dalam Al-Quran karena mengandung sebuah mukjizat kenabian yang sangat jelas (I'jaz Ghaibi). Mukjizat ini bukan hanya terletak pada kekayaan bahasanya, tetapi pada kepastian prediksinya.
Surah ini turun sebelum Abi Lahab meninggal. Surah ini secara mutlak menyatakan bahwa Abi Lahab *akan* binasa (watab) dan *akan* masuk ke dalam api neraka (sa yasla). Ini berarti surah tersebut memprediksi bahwa Abi Lahab tidak akan pernah menerima Islam.
Selama periode antara penurunan surah ini dan kematian Abi Lahab (sekitar 7 hingga 10 tahun), Abi Lahab memiliki kesempatan penuh untuk membuktikan Al-Quran salah. Jika saja ia mengucapkan dua kalimat syahadat di depan umum, seluruh Surah Al-Masad akan terbantahkan. Namun, ia tidak pernah melakukannya.
Para ulama tafsir menegaskan bahwa kepastian ini menunjukkan bahwa Allah telah menutup hati Abi Lahab karena tingkat permusuhannya yang sangat ekstrem. Kenyataan bahwa ia meninggal dalam kekafiran, tak lama setelah Perang Badar (bukan karena ikut perang, tetapi karena penyakit menular yang menjijikkan, yang bahkan membuat keluarganya takut mendekatinya), menegaskan ketepatan mutlak dari wahyu ilahi ini.
Surah ini menjadi tantangan terbuka bagi Abi Lahab. Jika ia ingin menyelamatkan dirinya dari celaan dan membuktikan kenabian Muhammad palsu, ia hanya perlu bersyahadat. Namun, kesombongan, kedengkian, dan kekafiran yang mengakar mencegahnya mengambil jalan keluar yang paling sederhana. Mukjizat ini menjadi bukti nyata bagi generasi Muslim selanjutnya bahwa Al-Quran adalah firman Tuhan Yang Maha Mengetahui, yang mengetahui akhir dari setiap perkara sebelum ia terjadi.
Untuk memahami sepenuhnya dampak Surah Al-Masad, kita harus melihat status Abi Lahab dalam masyarakat Mekah dan bagaimana surah ini merusak kredibilitasnya.
Abi Lahab adalah paman kandung Nabi Muhammad ﷺ dan saudara kandung dari ayah Nabi, Abdullah. Dalam struktur suku Arab, paman memiliki kedudukan yang sangat tinggi, berfungsi sebagai pelindung (wali) keponakannya. Keterlibatan Abi Lahab dalam menentang Nabi Muhammad ﷺ adalah pengkhianatan terhadap nilai-nilai kekeluargaan yang dijunjung tinggi oleh bangsa Arab.
Ketika Abi Lahab secara terbuka mengutuk Nabi di Bukit Safa, ia tidak hanya menentang dakwah, tetapi juga melepas tanggung jawab perlindungan sukunya (Bani Hasyim) terhadap Muhammad. Namun, Surah Al-Masad datang untuk menanggapi kutukan itu dengan kutukan yang lebih besar dari otoritas tertinggi, yaitu Allah SWT. Ini membalikkan hierarki: bukan Nabi yang direndahkan oleh pamannya, melainkan pamannya yang direndahkan oleh Tuhan Nabi.
Ketika kaum Quraisy memutuskan untuk memboikot total Bani Hasyim dan Bani Muththalib (suku tempat Nabi Muhammad berasal) di lembah Syi'ib Abi Thalib, Abi Lahab adalah satu-satunya anggota Bani Hasyim yang memilih memihak musuh. Ia ikut serta dalam penandatanganan perjanjian boikot dan menolak masuk ke lembah bersama kerabatnya. Tindakan ini menunjukkan bahwa permusuhannya bersifat personal, politik, dan teologis.
Surah Al-Masad, dengan mengutuk kekayaannya (Ayat 2), menunjukkan bahwa meskipun ia memilih untuk bersekutu dengan orang-orang kaya dan berkuasa di Quraisy demi menjaga status sosialnya, kekayaan itu tidak akan memberinya manfaat apa pun di hari perhitungan. Keputusannya untuk meninggalkan kerabatnya demi status material akan berbalik menjadi kehancuran totalnya.
Meskipun surah ini sangat spesifik ditujukan kepada Abi Lahab dan istrinya, pesan dan hikmah yang terkandung di dalamnya bersifat universal dan abadi bagi umat Islam.
Pelajaran utama adalah bahwa permusuhan dan upaya untuk menghalangi kebenaran tidak akan pernah berhasil. "Tabbat yada Abi Lahab" adalah peringatan bagi semua penentang risalah di setiap zaman. Siapa pun yang mengerahkan tenaga, waktu, dan kekuasaan (tangan) untuk memadamkan cahaya Islam, pada akhirnya, merekalah yang akan binasa dan sia-sia usahanya.
Hikmahnya adalah keyakinan mutlak bagi umat Islam: jangan takut terhadap kekuatan material musuh, karena kekayaan dan pengaruh tidak dapat menandingi kehendak ilahi. Kehancuran telah ditetapkan bagi mereka yang memilih jalan permusuhan.
Surah ini mengajarkan bahwa ikatan spiritual dan iman jauh lebih penting daripada ikatan darah. Abi Lahab adalah paman Nabi, namun ia dikutuk. Sementara Bilal, seorang budak dari Habasyah, dihormati. Salman Al-Farisi, seorang Persia, diakui. Islam memutus korelasi antara keselamatan dan garis keturunan.
Ini adalah prinsip fundamental: keselamatan di akhirat tidak diperoleh dari siapa kakek atau paman kita, melainkan dari amal dan keimanan kita sendiri. Jika bahkan kerabat terdekat Nabi pun tidak luput dari azab karena kekafiran mereka, maka tidak ada orang lain yang memiliki kekebalan.
Penyebutan Ummu Jamil bersama suaminya menunjukkan pentingnya peran pasangan dalam keberagamaan (atau kekafiran). Ummu Jamil bukanlah pelaku utama, tetapi perannya sebagai 'pembawa kayu bakar' (penyebar fitnah) menunjukkan bahwa mendukung kejahatan, bahkan dengan perkataan atau intrik, adalah dosa besar yang layak mendapat hukuman yang setara.
Dalam konteks modern, ini memperingatkan kita tentang bahaya menjadi agen penyebar kebohongan, gosip, atau fitnah (kayu bakar) yang dapat memicu konflik dan permusuhan (api) dalam masyarakat Muslim.
Kekuatan Surah Al-Masad juga terletak pada kedalaman pilihan kata yang digunakan, yang menciptakan gema (assonansi) dan ironi linguistik yang luar biasa, sesuai dengan tradisi sastra Arab kuno.
Seperti yang telah dibahas, nama 'Abi Lahab' sudah mengandung elemen api. Allah tidak menggunakan nama aslinya, Abdul Uzza (Hamba Uzza), tetapi menggunakan julukannya. Ini adalah bentuk hukuman linguistik. Ketika orang Arab mendengar Surah ini, mereka segera menyadari ironi yang menusuk: 'Bapak Api' dijanjikan ‘api yang bergejolak’.
Ini juga berfungsi sebagai sindiran tajam. Julukan 'Lahab' mungkin diberikan karena pesonanya. Allah mengubah pesona duniawi itu menjadi deskripsi azabnya, menegaskan bahwa apa pun yang ia banggakan di dunia akan menjadi sumber kehinaannya di akhirat.
Pemilihan kata 'Masad' (sabut/serabut kasar) pada ayat terakhir sangat spesifik. Dalam puisi Arab, tali atau rantai yang digunakan untuk siksaan biasanya adalah rantai besi yang sangat berat dan panas. Namun, Allah memilih tali dari serat kasar, yang biasanya digunakan untuk pekerjaan rendahan.
Penggunaan 'masad' oleh Ummu Jamil di neraka menghadirkan tiga tingkat penghinaan:
Seluruh Surah ini adalah mahakarya peringatan yang menggunakan bahasa yang paling tepat untuk menghancurkan citra dan reputasi musuh-musuh utama Nabi Muhammad ﷺ.
Walaupun inti Surah Al-Masad telah disepakati oleh seluruh ulama, terdapat perincian kisah dan tafsir yang menambah kekayaan pemahaman kita terhadap surah ini.
Ulama seperti Imam Fakhruddin Ar-Razi membahas secara rinci perdebatan mengenai apakah 'wama kasab' merujuk kepada anak-anak Abi Lahab atau hanya amal perbuatannya. Ar-Razi menyimpulkan bahwa penafsiran yang mencakup anak-anaknya lebih kuat, karena dalam konteks masyarakat Arab, anak adalah kekayaan yang paling diharapkan untuk membela orang tua. Namun, dalam kasus Abi Lahab, anak-anaknya tidak hanya gagal membelanya, tetapi beberapa di antaranya malah masuk Islam, sehingga semakin mempermalukan dirinya.
Pengajaran di sini adalah bahwa tidak ada kekayaan, baik material maupun keturunan, yang dapat menggantikan amal saleh dan keimanan di hadapan Allah.
Abi Lahab tidak hadir dalam Perang Badar karena ia sakit parah. Menurut riwayat, ia menderita penyakit menular yang mengerikan yang disebut Al-Adasah (semacam bisul ganas atau wabah). Penyakit ini sangat menular dan dianggap memalukan pada masa itu, menyebabkan keluarganya menjauhinya.
Setelah ia meninggal, tubuhnya dibiarkan selama tiga hari tanpa ada yang berani mendekat untuk menguburkannya, karena takut tertular. Akhirnya, orang-orang menyuruh beberapa budak untuk mendorong tubuhnya dengan tongkat panjang ke dalam sebuah lubang, lalu menimpanya dengan batu. Kematiannya yang hina dan terisolasi ini dianggap sebagai pemenuhan kutukan 'Tabbat' (kehinaan) di dunia, sebelum azab api yang dijanjikan di akhirat.
Kisah kematian ini, yang terjadi tak lama setelah kemenangan Muslim di Badar (walaupun ia tidak hadir), berfungsi sebagai penutup sejarah yang dramatis bagi musuh utama Nabi, menguatkan keyakinan para sahabat bahwa Allah benar-benar membela Rasul-Nya.
Al-Quran sering mengutuk atau memberi peringatan kepada orang-orang kafir, tetapi tidak ada surah lain yang secara eksplisit menyebutkan nama individu yang hidup pada saat penurunan wahyu, kecuali Surah Al-Masad.
Kutukan ini ditujukan kepada Abi Lahab karena beberapa alasan krusial yang membuatnya berbeda dari musuh-musuh lain seperti Abu Jahal:
Di era informasi dan media sosial, konsep 'Hammalatal-Hatab' (pembawa kayu bakar) menjadi sangat relevan. Seseorang tidak perlu melakukan kejahatan fisik untuk mendapat azab. Menyebarkan berita palsu (hoax), memprovokasi kebencian (ujaran kebencian), atau melakukan fitnah terhadap orang lain—terutama terhadap kebenaran—adalah bentuk modern dari "membawa kayu bakar" yang menyalakan api perselisihan di tengah umat. Peringatan Surah Al-Masad mengajarkan bahwa penyebar fitnah akan membawa beban api mereka sendiri di hari pembalasan.
Surah ini menegaskan bahwa setiap usaha jahat, baik dengan tangan (fisik), dengan harta, maupun dengan lisan (fitnah), akan kembali kepada pelakunya sebagai kehancuran total. Kerugian terbesar bukanlah kerugian harta, melainkan kerugian abadi di akhirat.
Surah Al-Masad berdiri sebagai simbol abadi kehancuran bagi mereka yang secara terang-terangan dan penuh permusuhan menentang risalah Allah SWT. Lima ayat yang ringkas ini memberikan kepastian bagi Rasulullah ﷺ dan para pengikutnya di masa-masa paling sulit di Mekah bahwa meskipun musuh mereka memiliki kekayaan dan kekuasaan, nasib mereka telah ditetapkan untuk kerugian.
Dari ‘Tabbat yada’ yang mengutuk segala upaya duniawi Abi Lahab, hingga ‘Hablum mim masad’ yang menukarkan perhiasan bangsawan Ummu Jamil dengan tali kasar budak, setiap frasa dalam surah ini adalah peringatan yang tegas. Ia mengajarkan bahwa ikatan spiritual jauh lebih kuat daripada ikatan darah, dan bahwa integritas iman adalah satu-satunya mata uang yang sah di hari akhirat.
Pesan penutup yang dapat kita ambil dari Surah Tabbat Yada Abi Lahabiw Watab adalah panggilan untuk refleksi diri: Apakah kita termasuk orang-orang yang menggunakan tangan dan harta kita untuk mendukung kebenaran, ataukah kita secara tidak sengaja menjadi 'pembawa kayu bakar' yang menyalakan api permusuhan dan kejahatan?
Kisah Abi Lahab adalah pengingat bahwa tidak peduli seberapa dekat seseorang dengan sumber kenabian, tanpa keimanan, ia hanyalah kayu bakar yang siap dilemparkan ke dalam api yang telah disiapkan untuknya. Kehinaan duniawi yang dialaminya menjelang kematian, diikuti oleh azab neraka yang dijamin Surah ini, menjadi pelajaran historis yang tidak terbantahkan mengenai konsekuensi penolakan ilahi.
Surah ini juga menghibur setiap mukmin yang menghadapi penindasan. Mereka diingatkan bahwa pembalasan ilahi itu nyata dan pasti. Kekuatan terbesar di alam semesta bukanlah kekayaan kaum Quraisy atau kekejaman seorang paman, melainkan janji Allah SWT yang telah tertulis dalam Surah yang mulia ini.
Setiap huruf dan setiap kata dalam Surah Al-Masad adalah penegasan terhadap keesaan Allah dan kebenaran nubuwah (kenabian) Muhammad ﷺ, yang menjamin bahwa takdir akhir penentang kebenaran adalah kegagalan total, baik di dunia maupun di akhirat.
Dengan demikian, Surah Al-Masad tidak hanya berfungsi sebagai catatan sejarah tentang Abi Lahab, tetapi sebagai prinsip teologis yang berulang: upaya yang dilakukan dalam kekafiran dan permusuhan terhadap Islam adalah usaha yang sia-sia, layu, dan terkutuk, persis seperti kedua tangan Abi Lahab.