Surat Al Fatihah, yang berarti 'Pembukaan', adalah permata mahkota dari Al-Qur’an. Meskipun merupakan surah terpendek dalam hal jumlah ayat, yakni tujuh ayat, kedudukannya jauh melampaui ukurannya. Ia bukan hanya pintu gerbang menuju 113 surah berikutnya, tetapi juga merupakan ringkasan filosofis dan teologis seluruh pesan ilahi. Al Fatihah adalah doa utama yang diulang oleh setiap Muslim setidaknya tujuh belas kali sehari dalam shalat fardhu.
Surah ini berfungsi sebagai dialog intensif antara hamba dan Penciptanya, membagi dirinya menjadi dua bagian utama: puji-pujian kepada Allah (tiga setengah ayat pertama) dan permohonan dari hamba (tiga setengah ayat terakhir). Memahami makna mendalam Al Fatihah adalah kunci untuk membuka kekayaan spiritual shalat dan menjalani kehidupan yang berorientasi pada ketuhanan.
Keagungan surah ini tercermin dari banyaknya nama yang disandangnya, yang masing-masing menyoroti aspek spesifik dari keutamaan dan fungsinya:
Memahami Al Fatihah memerlukan penggalian makna setiap kata dan frasa, merangkai hubungan antara pujian, pengakuan, dan permohonan yang terkandung di dalamnya.
بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
(Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.)Meskipun terdapat perbedaan pendapat ulama mengenai status Basmalah (apakah ia ayat pertama Al Fatihah atau hanya pembuka), konsensus menunjukkan bahwa ia adalah gerbang untuk setiap tindakan baik, dan wajib dibaca dalam shalat menurut pandangan sebagian mazhab (seperti Syafi'i).
Frasa 'Bismi' (dengan nama) menyiratkan bahwa setiap perbuatan, ucapan, atau niat yang akan dilakukan oleh hamba harus dimulai dan diiringi dengan penyebutan Nama Allah. Ini adalah deklarasi penyerahan diri dan pencarian berkah. Ketika seorang Muslim berkata ‘Bismillah’, ia sedang mengumumkan bahwa dia tidak bertindak berdasarkan kekuatannya sendiri, melainkan bertumpu pada pertolongan dan pengakuan terhadap Tuhan semesta alam.
Dua nama agung ini selalu disebut bersama. Para ulama tafsir membedakan keduanya secara semantik:
Pengulangan kedua sifat ini segera setelah penyebutan Nama Allah menunjukkan bahwa dasar utama hubungan hamba dengan Tuhan adalah rahmat dan kasih sayang yang tak terbatas, bukan semata-mata kemarahan atau pembalasan.
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ
(Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam.)Kata Alhamd memiliki makna yang lebih dalam daripada sekadar 'syukur' (asy-syukr). Syukur biasanya hanya ditujukan atas kebaikan yang diterima, sedangkan Alhamd adalah pujian dan sanjungan yang diberikan kepada Dzat yang terpuji, baik karena kebaikan yang diberikan kepada kita maupun karena sifat-sifat keagungan-Nya yang mutlak. Dengan Al-Fatihah, kita mengakui bahwa setiap pujian (mutlak) dan setiap keindahan (sempurna) hanya berhak disandang oleh Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kesempurnaan tersebut.
Kata Rabb (Tuhan/Pemelihara) adalah konsep sentral dalam Islam. Rabb memiliki tiga makna inti yang membentuk doktrin tauhid rububiyyah:
Frasa 'Al-'Alamin' (seluruh alam) mencakup segala sesuatu selain Allah: manusia, jin, malaikat, tumbuhan, benda mati, dan dimensi waktu serta ruang. Pengakuan terhadap Allah sebagai Rabbul 'Alamin adalah fondasi dari seluruh ibadah kita. Jika Dia adalah Pemelihara kita, maka wajar jika hanya kepada-Nya kita beribadah.
ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
(Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.)Pengulangan nama Ar-Rahman dan Ar-Rahim setelah menyebut 'Rabbul 'Alamin' memiliki makna retoris yang sangat kuat. Setelah mengakui kekuasaan dan kepemilikan mutlak Allah (sebagai Rabb), hamba mungkin merasa takut. Namun, pengulangan sifat Rahmat ini berfungsi sebagai penghibur dan penenang. Ini menegaskan bahwa kekuasaan Allah tidak didasarkan pada tirani, melainkan diiringi oleh kasih sayang yang mendominasi segala hal. Rahmat-Nya mendahului murka-Nya. Hal ini memotivasi hamba untuk mendekat, bukan menjauh, dari kekuasaan ilahi tersebut.
مَٰلِكِ يَوْمِ ٱلدِّينِ
(Pemilik Hari Pembalasan.)Ayat ini memperkenalkan dimensi Tauhid Asma’ wa Sifat dan Tauhid Rububiyyah yang berkaitan dengan masa depan, yaitu Hari Akhir. Allah adalah Malik (Raja/Pemilik) pada Hari Kiamat. Meskipun Dia adalah Raja di dunia, kepemilikan manusia di dunia bersifat nisbi dan sementara. Namun, pada Hari Pembalasan, seluruh kepemilikan fana akan hilang, dan hanya kekuasaan Allah yang mutlak yang akan nyata bagi semua makhluk. Semua urusan dan hukum pada hari itu mutlak di tangan-Nya.
Kata 'Ad-Din' memiliki beberapa makna, termasuk agama (cara hidup) dan pembalasan (hisab). Dalam konteks ini, ia merujuk pada hari penghakiman. Pengakuan ini memiliki dampak psikologis dan moral yang besar bagi hamba. Keyakinan bahwa ada Hari Perhitungan mutlak dan adil menjadi motivasi terbesar untuk menjalankan ibadah dan menjauhi maksiat di dunia.
Hubungan Tiga Ayat Pertama: Tiga ayat pertama (Pujian, Rabbul 'Alamin, Ar-Rahmanir Rahim, Maliki Yaumiddin) mengajarkan kita tentang siapa Allah, sifat-sifat-Nya, dan kekuasaan-Nya. Ini adalah persiapan hati sebelum kita mengajukan permohonan. Seorang hamba harus mengenal Dzat yang ia mintai pertolongan.
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
(Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.)Ayat ini adalah inti dari Tauhid Uluhiyyah (keesaan dalam ibadah). Penggunaan kata 'Iyyaka' (hanya kepada Engkau) yang diletakkan di awal kalimat (disebut taqdimul ma’mul dalam bahasa Arab) memberikan penekanan dan pembatasan: Ibadah tidak boleh ditujukan kepada siapapun selain Allah. Ibadah adalah ketaatan yang sempurna yang didasari oleh kecintaan, rasa takut, dan harapan.
Kata Na'budu (kami menyembah) menunjukkan bahwa ibadah dalam Islam bersifat kolektif dan komunal. Muslim tidak beribadah sendirian, melainkan bergabung dengan jamaah umat yang lebih besar, mengingatkan kita pada tanggung jawab bersama sebagai khalifah di bumi.
Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa ayat ini mengajarkan keseimbangan sempurna. Manusia tidak dapat beribadah tanpa pertolongan Allah (Isti'anah). Sebaliknya, pertolongan tidak akan datang tanpa upaya ibadah. Keseimbangan antara 'ubudiyyah (peribadatan) dan isti'anah (meminta pertolongan) adalah resep untuk kehidupan spiritual yang sukses.
Pertolongan yang diminta di sini mencakup segala aspek: pertolongan untuk bisa beribadah dengan benar, pertolongan dalam urusan duniawi, dan pertolongan dalam menghadapi kesulitan. Namun, dasar dari segala pertolongan adalah pertolongan untuk tetap teguh di atas syariat-Nya.
ٱهْدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ
(Tunjukilah kami jalan yang lurus.)Setelah menyatakan janji ibadah dan memohon pertolongan (Ayat 5), hamba kini mengajukan permohonan spesifik yang paling penting, yaitu hidayah (petunjuk). Permintaan ini adalah yang paling mendasar karena tanpanya, seluruh ibadah dan niat baik akan tersesat.
Para ulama tafsir membagi Hidayah menjadi beberapa tingkatan, dan seorang hamba memohon semua tingkatan ini ketika ia membaca Al Fatihah:
Karena manusia senantiasa berada dalam risiko penyimpangan dan godaan, permintaan petunjuk ini harus diulang-ulang. Bahkan para nabi dan orang-orang saleh pun memerlukan petunjuk keteguhan ini.
Shirath adalah jalan yang lebar, jelas, dan mudah dilalui. Mustaqim berarti lurus, tidak bengkok, dan langsung menuju tujuan. Secara teologis, Shiratal Mustaqim diartikan sebagai:
Jalan yang lurus adalah jalan tengah, yang menghindari ekstremitas. Ia adalah jalan yang menyatukan ilmu yang benar dengan amal yang benar.
صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ ٱلْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ
(Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.)Ayat ini menjelaskan lebih lanjut apa itu Shiratal Mustaqim dengan memberikan contoh nyata. Siapakah 'orang-orang yang diberi nikmat' ini? Al-Qur'an menjelaskan dalam Surah An-Nisa’ (4:69) bahwa mereka adalah:
Jalan yang lurus adalah jalan yang diwariskan oleh empat kelompok agung ini. Ketika kita meminta petunjuk, kita meminta agar jalan hidup kita serupa dengan teladan mereka yang telah sukses mencapai ridha Allah.
Bagian kedua ayat ini adalah penolakan terhadap dua bentuk kesesatan yang bertolak belakang dengan Jalan yang Lurus. Secara umum, 'Al-Maghdub' (yang dimurkai) adalah mereka yang memiliki ilmu tentang kebenaran tetapi tidak mengamalkannya atau menolaknya karena kesombongan, kedengkian, atau kepentingan duniawi. Mereka tahu kebenaran, tetapi secara sengaja menentangnya.
Dalam tradisi tafsir, kelompok ini seringkali dikaitkan dengan kaum Yahudi atau mereka yang hanya fokus pada hukum formal tanpa substansi spiritual dan keikhlasan.
'Adh-Dhaallin' (yang sesat) adalah kebalikan dari Maghdub. Mereka adalah orang-orang yang beribadah dan berusaha, tetapi mereka melakukannya tanpa ilmu yang benar. Mereka tersesat karena kebodohan atau karena mengikuti hawa nafsu tanpa dasar petunjuk ilahi. Mereka memiliki niat beramal, tetapi amalan mereka salah atau bid'ah.
Kelompok ini seringkali dikaitkan dengan kaum Nasrani, atau mereka yang menekankan spiritualitas dan ritual tanpa berpegang pada syariat yang jelas dari wahyu.
Pelajaran Utama Ayat 7: Ayat terakhir Al Fatihah mengajarkan bahwa untuk mencapai Shiratal Mustaqim, seorang hamba harus memiliki dua sayap yang seimbang: Ilmu yang Benar (menghindari kesesatan Dhaallin) dan Amal yang Tulus berdasarkan ilmu tersebut (menghindari kemurkaan Maghdub). Kegagalan salah satunya akan menjerumuskan manusia ke salah satu penyimpangan tersebut.
Al Fatihah bukan sekadar kumpulan doa, melainkan cetak biru teologi Islam yang merangkum tiga pilar utama Tauhid, yang merupakan inti dari seluruh ajaran agama.
Tauhid Rububiyyah dipegang teguh pada Ayat 2: Alhamdulillahi Rabbil 'Alamin. Ayat ini menetapkan bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta, Pemilik, dan Pengatur (Rabb) seluruh alam. Pengakuan ini meluas hingga mencakup Ayat 4, Maliki Yaumiddin, yang mengakui kekuasaan mutlak-Nya atas masa depan dan Hari Perhitungan. Seluruh umat manusia secara fitrah mengakui Tauhid ini (bahkan kaum musyrikin Mekah mengakui Allah sebagai pencipta), namun penerapannya harus sempurna.
Implementasi Rububiyyah secara praktis berarti menerima dan bersabar terhadap takdir Allah, menyadari bahwa setiap kejadian, baik menyenangkan maupun menyusahkan, berada dalam kendali dan hikmah ilahi yang sempurna. Seorang Muslim yang memahami Tauhid Rububiyyah tidak akan mencari penyebab atau solusi akhir pada selain Allah.
Ini adalah jantung dari Al Fatihah, terwujud dalam Ayat 5: Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in. Tauhid Uluhiyyah adalah tujuan utama diutusnya para Nabi. Ibadah (Uluhiyyah) adalah konsekuensi logis dari pengakuan Rububiyyah. Karena Allah adalah satu-satunya Rabb, maka Dia jugalah satu-satunya yang berhak disembah.
Ibadah mencakup semua tindakan, lahir maupun batin, yang dicintai dan diridhai oleh Allah. Ini adalah penolakan terhadap syirik (menyekutukan Allah) dalam bentuk apapun. Penekanan 'Iyyaka' memastikan bahwa tidak ada perantara yang boleh ditempatkan di antara hamba dan Penciptanya dalam hal ibadah dan doa.
Tauhid ini dijelaskan melalui Ayat 1 dan 3: Ar-Rahmanir Rahim. Mengimani Asma' wa Sifat berarti meyakini bahwa Allah memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang sempurna, dan kita harus menetapkan bagi-Nya sifat-sifat tersebut sebagaimana yang Dia tetapkan untuk diri-Nya sendiri dalam Al-Qur’an dan Sunnah, tanpa melakukan takyif (mempertanyakan bagaimana), tahrif (mengubah makna), ta'til (meniadakan), atau tasybih (menyamakan dengan makhluk).
Pemahaman yang benar tentang sifat Rahmat, Kekuasaan (Malik), dan Ketuhanan (Rabb) mendorong rasa cinta dan harap (Raja') sekaligus rasa takut ('Khauf'), menghasilkan keseimbangan emosional yang optimal bagi seorang mukmin dalam menjalankan hidupnya.
Para ulama sepakat bahwa membaca Al Fatihah adalah rukun (pilar) shalat. Shalat seseorang tidak sah jika surah ini tidak dibaca. Nabi Muhammad ﷺ bersabda, "Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (pembukaan kitab)."
Hadits Qudsi menjelaskan dialog yang terjadi saat seorang hamba membaca Al Fatihah dalam shalat, memperjelas hubungan timbal balik antara pujian dan permintaan:
Struktur dialogis ini mengajarkan bahwa shalat bukanlah sekadar ritual mekanis, melainkan pertemuan intim dengan Sang Pencipta. Kehadiran hati (khusyuk) saat membaca Al Fatihah sangat vital, karena kita secara harfiah sedang berbicara dengan Allah.
Kekuatan Al Fatihah juga terletak pada pilihan kata-katanya yang sangat spesifik dan sarat makna dalam Bahasa Arab klasik. Analisis kata kunci membantu menggali kekayaan surah ini.
Kita telah membahas Alhamd, tetapi penting untuk membedakannya dari kata-kata pujian lain:
Karena itu, penggunaan Alhamd (dengan 'Al' yang berarti keseluruhan) menunjukkan bahwa semua bentuk pujian tertinggi hanya pantas bagi Allah.
Kata Rabb (Tuhan) berasal dari akar kata yang mengandung makna pertumbuhan, pendidikan, pemeliharaan, dan penguasaan. Ketika kita menyebut Allah sebagai Rabbul 'Alamin, kita mengakui bahwa Dia adalah pendidik kita. Dia tidak hanya menciptakan kita, tetapi Dia juga menyediakan sistem (agama, hukum, moral) yang diperlukan agar kita dapat tumbuh secara spiritual dan mencapai potensi tertinggi kita. Ini menuntut ketaatan total terhadap perintah dan larangan-Nya, sebagai bentuk kepatuhan terhadap 'Pendidik Terbaik'.
Dalam tata bahasa Arab, kata kerja jamak 'kami menyembah' (na'budu) dan 'kami memohon pertolongan' (nasta'in) menunjukkan solidaritas umat. Ini mengingatkan kita bahwa ibadah adalah tanggung jawab komunal. Bahkan dalam shalat sendirian, kita mengucapkan 'kami' (kami menyembah), menghubungkan diri kita dengan seluruh umat Islam dari masa ke masa. Ini menekankan pentingnya persatuan dan menjauhkan kita dari kesombongan individualistik.
Penyatuan kedua kata kerja ini juga mengajarkan bahwa ketaatan (ibadah) harus selalu diiringi dengan kesadaran akan kelemahan diri dan kebutuhan akan bantuan ilahi. Seorang hamba tidak boleh merasa cukup dengan amalannya sendiri (kesombongan) dan harus selalu bersandar pada pertolongan Allah, meski ia telah berbuat maksimal.
Selain menjadi pilar shalat, Al Fatihah memiliki keutamaan praktis dan spiritual yang luar biasa dalam kehidupan sehari-hari seorang Muslim.
Salah satu nama Al Fatihah adalah Asy-Syifa (Penyembuh). Terdapat riwayat shahih yang menceritakan bagaimana beberapa Sahabat menggunakan Al Fatihah untuk mengobati seseorang yang disengat kalajengking, dan ternyata berhasil dengan izin Allah. Rasulullah ﷺ membenarkan tindakan mereka dan menyatakan, "Bagaimana kalian tahu bahwa ia adalah ruqyah?"
Ini menunjukkan bahwa Al Fatihah mengandung energi penyembuhan spiritual yang luar biasa. Ketika dibaca dengan keyakinan penuh (yaqin) dan dengan pemahaman makna keagungan Allah yang terkandung di dalamnya, ia dapat berfungsi sebagai benteng perlindungan dan sarana penyembuhan dari berbagai penyakit, baik fisik maupun hati.
Al Fatihah dikenal sebagai Jawami’ul Kalim (kumpulan kata-kata yang padat makna). Tidak ada doa lain yang begitu ringkas namun mencakup semua kebutuhan spiritual dan duniawi manusia. Dalam tujuh ayatnya, kita memuji Allah, mengakui kedaulatan-Nya, berjanji untuk beribadah hanya kepada-Nya, memohon kekuatan (isti'anah), dan akhirnya memohon petunjuk (hidayah) menuju kesuksesan abadi, sambil meminta perlindungan dari segala bentuk penyimpangan.
Ketika seorang hamba membaca Al Fatihah, ia sedang mengajukan permohonan yang paling mendasar: bukan kekayaan atau jabatan, melainkan petunjuk agar seluruh hidupnya selaras dengan kehendak ilahi. Ini adalah doa yang menjamin kesuksesan di dunia dan akhirat.
Ayat terakhir (penolakan terhadap Maghdub dan Dhaallin) mengajarkan seorang Muslim untuk memiliki ketegasan dalam membedakan kebenaran dari kesesatan. Islam tidak mengajarkan ambiguitas; ia mendefinisikan Jalan yang Lurus dengan jelas dan secara eksplisit menolak jalan yang bertentangan dengannya.
Di sisi lain, seluruh surah ini memupuk kerendahan hati. Ketika hamba berkata, "Kami menyembah... kami memohon pertolongan," ia mengakui bahwa ia adalah makhluk yang lemah, yang hidupnya, ibadahnya, dan kesuksesannya mutlak bergantung pada Rahmat dan Petunjuk dari Rabbul 'Alamin.
Untuk benar-benar memahami Shiratal Mustaqim, kita harus memahami secara mendalam sifat dari dua jalan yang ditolak, Maghdub dan Dhaallin. Mereka adalah dua kutub penyimpangan yang mengancam umat Islam.
Ciri khas kelompok ini adalah memiliki ilmu tetapi tidak beramal. Mereka mengetahui hukum-hukum Allah, menyadari kebenaran, tetapi memilih untuk menolaknya karena mengikuti hawa nafsu, kepentingan pribadi, atau ketakutan kehilangan status duniawi.
Ciri khas kelompok ini adalah beramal tanpa ilmu yang benar. Mereka memiliki semangat ibadah dan niat baik, tetapi metode yang mereka gunakan salah atau bertentangan dengan sunnah Rasulullah ﷺ. Mereka bisa sangat tulus, namun kesesatan mereka berasal dari kebodohan dan mengikuti tradisi yang salah.
Doa Ihdinas Shiratal Mustaqim adalah permohonan agar Allah menyelamatkan kita dari kedua ekstrem ini, menjaga kita dalam keseimbangan antara ilmu yang sahih dan amal yang tulus.
Para ulama tafsir menegaskan bahwa seluruh 114 surah Al-Qur'an dapat diturunkan kembali maknanya ke dalam tujuh ayat Al Fatihah. Bagaimana caranya?
Ayat-ayat awal (Basmalah hingga Maliki Yaumiddin) berisi semua doktrin dasar tentang Allah, sifat-sifat-Nya, nama-nama-Nya, dan keyakinan akan Hari Akhir. Ini adalah fondasi Aqidah (keyakinan).
Ayat Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in adalah landasan bagi semua Fiqh (hukum Islam) dan ibadah (muamalah dan ubudiyyah). Seluruh pembahasan tentang shalat, puasa, zakat, haji, dan etika bisnis bermuara pada prinsip bahwa semua harus ditujukan untuk menyembah dan mencari pertolongan Allah semata.
Ayat terakhir (Shiratal Mustaqim, Maghdub, Dhaallin) merangkum semua Kisah Para Nabi dan Umat Terdahulu dalam Al-Qur'an. Kisah-kisah tersebut disajikan bukan sebagai hiburan, melainkan sebagai contoh nyata dari orang-orang yang diberi nikmat (Nabi Yusuf, Nabi Musa, dll.) dan contoh dari mereka yang dimurkai atau sesat (Fir’aun, kaum 'Ad, dll.). Kisah-kisah ini berfungsi sebagai pelajaran dalam mencari hidayah dan menjauhi penyimpangan.
Pujian (Alhamd) dan penyebutan sifat Rahmat (Ar-Rahmanir Rahim) mengajarkan Akhlak yang seharusnya dimiliki oleh seorang Muslim: bersyukur (syukr), berbuat baik (ihsan), dan menunjukkan kerendahan hati kepada Allah dan sesama.
Oleh karena itu, ketika seorang Muslim membaca Al Fatihah, ia sedang membaca ringkasan dari semua petunjuk, hukum, sejarah, dan nilai-nilai yang terkandung dalam Kitab Suci-Nya yang agung.
Pembacaan Al Fatihah yang berulang harus menghasilkan perubahan nyata dalam perilaku dan kesadaran kita. Penghayatan ini memiliki beberapa dimensi penting:
Ketika mengucapkan Alhamdulillahi Rabbil 'Alamin, kita harus melatih diri untuk selalu mencari kebaikan dan nikmat Allah dalam setiap situasi, bahkan di tengah kesulitan. Jika kita mengakui-Nya sebagai Rabbul 'Alamin, kita harus menerima bahwa pengaturan-Nya adalah yang terbaik.
Penyebutan sifat Ar-Rahmanir Rahim harus menghilangkan keputusasaan (ya'is) dari hati. Sebesar apapun dosa kita, Rahmat Allah jauh lebih besar dan luas. Ini membangun optimisme dan kepercayaan diri untuk bertaubat dan kembali ke jalan yang benar.
Ayat Iyyaka Na'budu menuntut kita untuk memeriksa niat (niyyah) dalam setiap ibadah. Apakah shalat, sedekah, atau puasa kita murni karena Allah? Jika kita mengatakan 'hanya kepada Engkau kami menyembah', maka semua riya' (pamer) harus disingkirkan dari hati.
Mengulang Ihdinas Shiratal Mustaqim berkali-kali adalah pengakuan abadi bahwa kita secara intrinsik lemah dan selalu membutuhkan petunjuk. Hidayah bukanlah sesuatu yang didapatkan sekali seumur hidup, melainkan anugerah yang harus diminta terus-menerus. Permintaan ini harus diikuti dengan usaha nyata untuk mempelajari dan menerapkan ilmu agama.
Penghayatan Al Fatihah yang sempurna adalah saat di mana surah ini tidak hanya dibaca oleh lisan dalam shalat, tetapi juga dipraktikkan oleh tangan, dilihat oleh mata, dan diyakini oleh hati dalam setiap detik kehidupan.