Kajian Komprehensif Tafsir, Linguistik, dan Implikasi Ajaran
Ayat-ayat dalam rentang 21 hingga 30 dari Surat Al-Kahfi menandai sebuah fase krusial dalam kisah Ashabul Kahfi (Para Penghuni Gua). Setelah menjelaskan bagaimana Allah menidurkan mereka selama berabad-abad sebagai manifestasi kekuasaan-Nya, kini ayat-ayat ini mengalihkan perhatian kepada tiga tema utama yang sangat fundamental dalam akidah dan akhlak Islam:
Rangkaian ayat ini berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan kisah ajaib masa lalu dengan instruksi praktis bagi Nabi Muhammad ﷺ dan umatnya, terutama dalam menghadapi fitnah dan polemik yang timbul dari perbedaan pendapat dan pengabaian terhadap sumber ilmu yang hakiki.
Terjemah Ringkas: Dan demikianlah Kami perlihatkan (manusia) tentang keadaan mereka, agar mereka mengetahui bahwa janji Allah benar, dan bahwa hari Kiamat itu tidak ada keraguan padanya. Ketika orang-orang itu berselisih tentang urusan mereka, maka mereka berkata, “Dirikanlah sebuah bangunan di atas (gua) mereka, Tuhan mereka lebih mengetahui tentang mereka.” Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata, “Kami pasti akan mendirikan tempat ibadah di atas mereka.”
Kata kunci dalam ayat ini adalah أَعْثَرْنَا عَلَيْهِمْ (Kami perlihatkan kepada mereka). Penyingkapan kembali Ashabul Kahfi setelah tidur panjang bukan sekadar drama, tetapi merupakan mukjizat yang memiliki tujuan teologis fundamental: untuk menegaskan bahwa janji Allah tentang kebangkitan adalah benar, dan Hari Kiamat (As-Sa’ah) pasti datang.
Di masa itu, sebagaimana di masa Nabi Muhammad ﷺ, kaum musyrikin atau ahli kitab yang menyimpang kerap meragukan kemampuan Allah untuk menghidupkan kembali jasad yang telah menjadi tulang belulang. Kisah Ashabul Kahfi, di mana jasad mereka terjaga utuh selama ratusan tahun dan mereka terbangun seperti sehari, adalah bukti empiris yang gamblang bahwa waktu dan kematian tunduk pada kekuasaan Ilahi. Ini adalah salah satu bukti terkuat dari Tauhid Rububiyah (Keesaan Allah dalam penciptaan dan pengaturan).
Ketika para pemuda ini ditemukan, masyarakat yang hidup saat itu (yang umumnya sudah beriman, namun kemungkinan terjadi pergeseran kekuasaan atau dominasi agama lain) langsung terpecah. Al-Qur'an merekam إِذْ يَتَنَازَعُونَ بَيْنَهُمْ أَمْرَهُمْ (ketika mereka berselisih tentang urusan mereka).
Perselisihan ini berkisar pada bagaimana menghormati dan memperingati peristiwa luar biasa ini. Sebagian mengusulkan membangun tugu atau bangunan sederhana (Bunyaanan) di atas gua mereka sebagai penanda, seraya menyerahkan hakikat urusan mereka kepada Allah: رَّبُّهُمْ أَعْلَمُ بِهِمْ.
Bagian terakhir ayat ini sangat penting: قَالَ الَّذِينَ غَلَبُوا عَلَىٰ أَمْرِهِمْ لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِم مَّسْجِدًا (Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata, “Kami pasti akan mendirikan tempat ibadah di atas mereka.”)
Ini merujuk pada penguasa atau pihak yang memiliki otoritas dan kekuatan pengaruh saat itu. Keputusan mereka untuk mendirikan masjid (tempat sujud) di atas kuburan atau tempat peristirahatan para wali adalah tindakan yang dilarang keras dalam syariat Nabi Muhammad ﷺ. Rasulullah bersabda, “Laknat Allah atas orang Yahudi dan Nasrani yang menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai tempat ibadah.” (HR. Bukhari dan Muslim). Ayat ini secara implisit mengecam praktik menuhankan atau menjadikan makam orang saleh sebagai pusat ibadah, meskipun tujuannya adalah memuliakan.
Terjemah Ringkas: Mereka akan mengatakan, “(Jumlah mereka) tiga orang, yang keempat adalah anjingnya.” Dan (yang lain) mengatakan, “Lima orang, yang keenam adalah anjingnya,” sebagai terkaan terhadap yang gaib. Dan (yang lain lagi) mengatakan, “Tujuh orang, yang kedelapan adalah anjingnya.” Katakanlah (Muhammad), “Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada yang mengetahui (jumlah) mereka kecuali sedikit.” Karena itu, janganlah engkau (Muhammad) berbantah tentang hal mereka, kecuali perbantahan lahir saja dan jangan engkau menanyakan tentang mereka (kepada ahli kitab) seorang pun.
Menggambarkan keraguan dan spekulasi tentang jumlah Ashabul Kahfi.
Ayat ini secara eksplisit menyebutkan tiga pendapat populer saat itu mengenai jumlah Ashabul Kahfi: 3, 5, atau 7 orang. Allah menyebut dua pendapat pertama sebagai رَجْمًا بِالْغَيْبِ (terkaan terhadap yang gaib). Secara harfiah, 'Rajm' berarti melempar batu. Jadi, frasa ini berarti melemparkan spekulasi tanpa dasar pengetahuan yang pasti, meraba-raba dalam kegelapan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam perkara yang tidak mendatangkan manfaat praktis dan tidak diketahui melalui wahyu, memperpanjang perdebatan adalah tindakan yang sia-sia.
Meskipun pendapat 7 orang disebut terakhir (dan para ulama cenderung menganggap ini yang paling mendekati, sebagian karena struktur bahasa Arabnya), Allah tetap memberikan penekanan bahwa jumlah pasti hanya diketahui oleh-Nya.
Inti ajaran dari ayat ini terdapat pada perintah kepada Nabi: قُل رَّبِّي أَعْلَمُ بِعِدَّتِهِم (Katakanlah: Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka). Ini adalah salah satu prinsip metodologi paling penting dalam Islam: ketika berhadapan dengan detail gaib yang tidak diungkapkan secara jelas dalam Al-Qur'an atau hadis sahih, sikap terbaik seorang mukmin adalah menyerahkan pengetahuannya kepada Allah (Tawakkul Ilmu).
Ini mengajarkan umat Islam untuk fokus pada hikmah dan pelajaran kisah tersebut—yaitu tauhid dan kebangkitan—daripada terperangkap dalam perdebatan detail numerik yang tidak mengubah substansi akidah.
Allah melarang perdebatan yang mendalam dan membuang waktu: فَلَا تُمَارِ فِيهِمْ إِلَّا مِرَاءً ظَاهِرًا (janganlah engkau berbantah tentang hal mereka, kecuali perbantahan lahir saja).
Ibnu Abbas RA menjelaskan bahwa 'perbantahan lahir' berarti cukup menyampaikan apa yang telah diwahyukan kepadamu (yaitu inti cerita dan penolakan spekulasi), tanpa perlu menggali lebih jauh ke dalam detail yang tidak penting yang digunakan oleh ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) untuk menguji kenabian Muhammad ﷺ. Larangan ini juga diikuti dengan larangan meminta fatwa atau bertanya kepada ahli kitab (yang saat itu memiliki versi cerita yang sudah bercampur aduk dengan mitos) tentang detail kisah ini.
Bagian ini adalah puncak dari rangkaian ajaran yang dikandung Surat Al-Kahfi setelah kisah tersebut. Ayat-ayat ini memberikan koreksi langsung terhadap tindakan Nabi Muhammad ﷺ di masa awal wahyu (sebelum menerima ayat ini), atau peringatan keras kepada umatnya tentang etika berbicara mengenai masa depan.
Terjemah Ringkas: Dan janganlah sekali-kali engkau mengucapkan tentang sesuatu, “Aku akan melakukan itu besok,” kecuali (dengan mengucapkan), “Insya Allah.” Dan ingatlah kepada Tuhanmu apabila engkau lupa dan katakanlah, “Mudah-mudahan Tuhanku memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat daripada ini kebenarannya.”
Perintah وَلَا تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَلِكَ غَدًا إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّهُ (Janganlah engkau mengatakan tentang sesuatu, “Aku akan melakukannya besok,” kecuali Insya Allah) adalah fondasi etika lisan dan akidah dalam Islam.
Diriwayatkan bahwa ayat ini turun setelah Nabi ﷺ ditanyai oleh kaum Quraisy, atas usulan ahli kitab (Yahudi), mengenai tiga kisah misterius (Ashabul Kahfi, Dzulqarnain, dan Ruh). Nabi ﷺ saat itu menjawab, "Aku akan memberitahumu besok," tanpa menambahkan "In Shaa Allah." Akibatnya, wahyu terhenti selama lima belas hari, yang sangat menyulitkan dan menyedihkan beliau. Koreksi ini menegaskan bahwa segala sesuatu, bahkan niat yang paling tulus sekalipun, bergantung pada kehendak Allah semata.
Mengucapkan 'In Shaa Allah' bukan sekadar formalitas lisan, tetapi deklarasi tauhid yang dalam. Ini mencerminkan pemahaman bahwa:
Jika seseorang meninggalkan Istithna secara sengaja karena menganggap dirinya mampu melakukan sesuatu tanpa bergantung pada Allah, maka ia telah jatuh ke dalam kesyirikan kecil atau setidaknya kesombongan yang berbahaya. Namun, jika ia lupa, Allah memberikan jalan keluar.
Ayat 24 menawarkan rahmat yang luar biasa: وَاذْكُر رَّبَّكَ إِذَا نَسِيتَ (Dan ingatlah kepada Tuhanmu apabila engkau lupa). Para ulama tafsir, seperti Mujahid dan Hasan Al-Bashri, menafsirkan ini sebagai instruksi untuk mengucapkan 'In Shaa Allah' segera setelah seseorang ingat bahwa ia telah lupa mengucapkannya, meskipun waktu telah berlalu.
Ini menunjukkan kelembutan syariat. Allah tidak menghukum karena kelupaan, asalkan ada kesadaran untuk segera bertaubat dan mengoreksi keteledoran akidah tersebut. Ini juga berlaku umum dalam zikir; jika seseorang lupa berzikir di pagi hari, ia dapat menggantinya di siang hari atau malam hari.
Lupa di sini juga bisa merujuk pada 'kelupaan spiritual' yang menyebabkan Nabi ﷺ tertunda menerima wahyu. Mengingat Allah dalam konteks ini berarti kembali kepada sumber kekuatan dan petunjuk (wahyu) ketika menghadapi kesulitan, penundaan, atau pertanyaan yang belum terjawab.
Ayat 24 ditutup dengan doa yang indah: وَقُلْ عَسَىٰ أَن يَهْدِيَنِ رَبِّي لِأَقْرَبَ مِنْ هَٰذَا رَشَدًا (dan katakanlah, “Mudah-mudahan Tuhanku memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat daripada ini kebenarannya.”)
Doa ini diajarkan setelah pengalaman kesulitan (tertundanya wahyu). Ini mengajarkan sikap seorang mukmin yang selalu mencari Rasyadan (petunjuk/kebijaksanaan) yang lebih baik dan lebih benar. Ketika menghadapi kebuntuan, alih-alih putus asa, kita harus meminta kepada Allah untuk membimbing kita menuju jalan yang lebih benar, lebih lurus, dan lebih dekat kepada kebenaran mutlak.
Doa ini adalah pengakuan akan keterbatasan ilmu manusia dan kebutuhan abadi kita terhadap petunjuk Allah (Hidayah) dalam setiap langkah dan keputusan.
Terjemah Ringkas: Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun, dan ditambah sembilan tahun. Katakanlah (Muhammad), “Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal (di sana). Milik-Nya semua yang gaib di langit dan di bumi. Alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah tajam pendengaran-Nya. Tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia; dan Dia tidak mengambil seorang pun menjadi sekutu dalam menetapkan keputusan.”
Menunjukkan kekuasaan Allah yang melampaui perhitungan waktu manusia.
Ayat ini memberikan detail waktu mereka tidur, yaitu 300 tahun dan ditambah 9 tahun. Detail ini sangat spesifik dan menarik. Mayoritas ulama tafsir menjelaskan penambahan 9 tahun ini terkait dengan perbedaan antara penanggalan Matahari (Syamsiyah) dan penanggalan Bulan (Qomariyah).
Dalam kalender Matahari, 300 tahun Matahari sama persis dengan 309 tahun Bulan. Karena Al-Qur'an menggunakan sistem penanggalan Bulan (yang menjadi dasar penentuan ibadah dalam Islam), penambahan 9 tahun tersebut adalah koreksi yang memastikan perhitungan waktu mereka sesuai dengan penanggalan Qomariyah. Ini adalah mukjizat ilmu yang disajikan oleh Al-Qur'an, yang saat itu tidak mungkin diketahui oleh Nabi ﷺ atau masyarakat Arab.
Setelah memberikan angka yang tepat, Allah kembali menegaskan kekuasaan-Nya: قُلِ اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثُوا (Katakanlah: Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal). Meskipun Allah telah memberikan detail 309 tahun, penutup ini berfungsi sebagai penekanan bahwa perhitungan tersebut adalah hak prerogatif Allah semata, bukan hasil spekulasi manusia.
Ayat ini mengalihkan fokus dari perhitungan waktu yang konkret menuju sifat-sifat keagungan Allah yang tak terbatas: لَهُ غَيْبُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ (Milik-Nya semua yang gaib di langit dan di bumi). Hanya Dia yang memiliki kunci-kunci gaib, termasuk misteri waktu dan nasib.
Frasa أَبْصِرْ بِهِ وَأَسْمِعْ (Alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah tajam pendengaran-Nya) adalah bentuk pujian kepada Allah (sighah ta'ajub) yang menunjukkan kesempurnaan sifat ilmu-Nya (Sifatul Ilmi).
Ini bukan hanya sekadar melihat atau mendengar, tetapi penglihatan dan pendengaran yang mencakup seluruh alam semesta, masa lalu, masa depan, dan detail terkecil yang terjadi pada Ashabul Kahfi selama 309 tahun. Dia menyaksikan setiap gerakan mereka (seperti berbolak-balik di dalam gua) dan mendengar setiap bisikan yang terjadi di sekitar mereka—sesuatu yang mustahil bagi makhluk.
Ayat ditutup dengan dua penegasan tauhid yang kuat:
Terjemah Ringkas: Dan bacakanlah (apa yang telah diwahyukan kepadamu) dari Kitab Tuhanmu (Al-Qur’an). Tidak ada seorang pun yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya. Dan engkau tidak akan mendapat tempat berlindung selain Dia.
Setelah menjawab berbagai pertanyaan dan spekulasi mengenai Ashabul Kahfi, Allah memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ untuk kembali fokus pada sumber ilmu yang hakiki: وَاتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِن كِتَابِ رَبِّكَ (Bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu dari Kitab Tuhanmu). Perintah ini berfungsi sebagai arahan bagi umat Islam secara keseluruhan: jangan mencari petunjuk pada sumber lain, jangan terjerumus dalam spekulasi ahli kitab, tetapi kembali kepada Al-Qur'an.
Kata Utlu (bacakanlah) tidak hanya bermakna membaca lisan, tetapi juga menelusuri, mengikuti, dan mengamalkan isi wahyu tersebut.
Penegasan لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ (Tidak ada seorang pun yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya) adalah jaminan ilahi atas terjaganya Al-Qur'an dari perubahan, penambahan, atau pengurangan.
Kontrasnya sangat jelas: Kisah-kisah Bani Israel telah diubah dan dipalsukan dari waktu ke waktu, sehingga timbullah perdebatan (seperti pada Ayat 22). Sementara itu, Al-Qur'an adalah firman Allah yang mutlak, yang terjaga murni, dan kebenarannya tidak lekang oleh waktu. Ini adalah jaminan bagi umat Islam bahwa mereka memiliki sumber hukum dan petunjuk yang tidak akan pernah menyesatkan.
Ayat ditutup dengan وَلَن تَجِدَ مِن دُونِهِ مُلْتَحَدًا (Dan engkau tidak akan mendapat tempat berlindung selain Dia). Multahad berarti tempat perlindungan, sandaran, atau tempat berlari ketika dilanda bahaya.
Ini adalah pengingat bahwa di tengah fitnah perdebatan yang sia-sia, di tengah penguasa yang lalai (seperti yang disinggung di Ayat 21), dan di tengah godaan dunia, satu-satunya tempat yang menawarkan keamanan dan petunjuk sejati adalah Allah. Petunjuk-Nya terkandung dalam Kitab-Nya yang tidak berubah. Jika seseorang berpaling dari Al-Qur'an, ia akan tersesat tanpa tempat berlindung.
Ayat ini sering dianggap sebagai salah satu ayat paling fundamental mengenai akhlak dan adab dalam berdakwah serta memilih prioritas hidup. Ini adalah petunjuk langsung kepada Nabi ﷺ (dan umatnya) tentang siapa yang layak dijadikan teman seperjuangan dan bagaimana menghadapi godaan duniawi.
Terjemah Ringkas: Dan bersabarlah engkau (Muhammad) bersama orang-orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan petang hari dengan mengharap keridaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia; dan janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti keinginannya dan keadaannya sudah melampaui batas.
Menunjukkan perjuangan antara fokus pada dunia (kotak) dan hati yang berdzikir (lingkaran).
Perintah وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم (Dan bersabarlah engkau bersama orang-orang yang menyeru Tuhan mereka) adalah perintah untuk Istishab (menetapkan hati atau memaksa diri untuk tetap bersama).
Konteks turunnya ayat ini (menurut beberapa riwayat, seperti riwayat dari Ibnu Mas'ud) adalah ketika sebagian pembesar Quraisy meminta Nabi ﷺ untuk mengusir atau menjauhkan para sahabat yang miskin dan sederhana (seperti Bilal, Suhaib, dan Salman) agar mereka, para pembesar, mau duduk mendengarkan dakwah. Mereka merasa status sosial mereka terlalu tinggi untuk bercampur dengan budak atau orang miskin.
Ayat ini menolak keras diskriminasi berdasarkan status sosial. Allah memerintahkan Nabi ﷺ untuk bersabar bersama mereka yang beribadah pada بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ (pagi dan petang)—yakni konsisten dalam salat dan zikir—dan memiliki niat yang murni: يُرِيدُونَ وَجْهَهُ (mengharap keridaan-Nya). Kekayaan hakiki bukanlah harta, melainkan ketulusan niat.
Pelajaran terpenting adalah memilih kawan sejati dalam perjalanan spiritual. Persahabatan harus didasarkan pada ketakwaan dan ketulusan, bukan pada status duniawi. Kehadiran orang-orang saleh adalah sumber kekuatan dan keteguhan (tsabat) di tengah fitnah.
Larangan وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا (Janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia) memperingatkan terhadap Fitnah Az-Zinah (godaan kemewahan). Hati Nabi ﷺ, tentu saja, terjaga dari hal ini, tetapi perintah ini ditujukan kepada umatnya agar tidak pernah menukar keimanan dan persahabatan sejati demi keuntungan duniawi sesaat.
Memalingkan mata di sini secara metaforis berarti berpaling dari tujuan sejati (keridaan Allah) dan mengutamakan pergaulan dengan orang kaya yang tidak bertakwa demi mendapatkan pengaruh atau harta mereka. Ini adalah ujian moral yang sering menjebak para dai dan pemimpin umat.
Ayat ini memberikan deskripsi tegas tentang tipe orang yang harus dijauhi dalam urusan kepemimpinan atau nasihat: مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَن ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا (orang yang hatinya Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti keinginannya dan keadaannya sudah melampaui batas).
Karakteristik orang yang dilarang diikuti ini memiliki tiga ciri:
Kesimpulan dari Ayat 28 adalah: Ukuran kehormatan seseorang dalam pandangan Allah bukanlah harta atau kekuasaan, melainkan ketulusan ibadahnya dan ketaatan hatinya kepada zikirullah.
Setelah mengajarkan etika pergaulan dan penolakan dunia, ayat ini kembali menegaskan hakikat pesan Islam dan konsekuensi abadi dari penerimaan atau penolakannya.
Terjemah Ringkas: Dan katakanlah (Muhammad), “Kebenaran itu datang dari Tuhanmu; maka barangsiapa menghendaki (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa menghendaki (kafir) biarlah ia kafir.” Sesungguhnya Kami telah menyediakan bagi orang-orang zalim itu api neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta pertolongan (minum), mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan wajah. (Itulah) minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.
Pernyataan وَقُلِ الْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ (Kebenaran itu datang dari Tuhanmu) menetapkan bahwa Al-Qur'an dan seluruh risalah kenabian adalah kebenaran yang tidak dapat ditawar. Ini adalah penutup bagi semua perdebatan spekulatif (Ayat 22) dan perhiasan duniawi (Ayat 28).
Setelah kebenaran disajikan, Allah menegaskan kebebasan memilih manusia: فَمَن شَاءَ فَلْيُؤْمِن وَمَن شَاءَ فَلْيَكْفُرْ (maka barangsiapa menghendaki, hendaklah ia beriman, dan barangsiapa menghendaki, biarlah ia kafir).
Ayat ini sering dikutip untuk menjelaskan bahwa iman tidak dapat dipaksakan. Tugas Nabi ﷺ dan para dai adalah menyampaikan kebenaran, sementara keputusan untuk menerima atau menolak sepenuhnya diserahkan kepada individu. Namun, kebebasan ini datang dengan konsekuensi yang sangat serius. Kebebasan memilih bukanlah kebebasan tanpa tanggung jawab.
Bagi yang memilih kekufuran (kezaliman, karena kufur adalah kezaliman terbesar), Allah telah menyiapkan neraka. Gambaran neraka di sini sangat mengerikan: أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا (yang gejolaknya mengepung mereka). Suradiq adalah dinding atau tenda penutup yang mengelilingi. Artinya, api neraka bukan hanya membakar dari bawah, tetapi mengelilingi mereka dari segala arah, tanpa celah untuk melarikan diri.
Ketika penduduk neraka kehausan dan meminta pertolongan (istighatsah), mereka akan diberi minum air yang disebut الْمُهْلِ (Al-Muhl).
Ulama tafsir berbeda pendapat mengenai arti Al-Muhl, namun semuanya mengarah pada cairan yang sangat panas dan menjijikkan: 1) Endapan minyak yang sangat panas. 2) Cairan dari nanah dan darah penduduk neraka. 3) Tembaga cair (atau besi cair) yang mendidih. Apapun definisi pastinya, cairan ini sangat panas sehingga يَشْوِي الْوُجُوهَ (menghanguskan wajah) sebelum mencapai tenggorokan.
Ayat ini menutup dengan kecaman pedas: بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ مُرْتَفَقًا (minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek). Ini adalah kontras tajam dengan janji tempat tinggal yang penuh kedamaian bagi orang yang beriman (Ayat 30).
Setelah memberikan peringatan yang keras, Allah SWT memberikan kabar gembira yang menyejukkan hati bagi mereka yang berpegang teguh pada keimanan dan kesabaran (sebagaimana diperintahkan di Ayat 28).
Terjemah Ringkas: Sungguh, orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, Kami benar-benar tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik (Al-Muhsinin).
Pahala surgawi dikaitkan dengan dua pilar utama: آمَنُوا (iman yang benar) dan وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ (amal saleh). Iman adalah fondasi akidah, sedangkan amal saleh adalah implementasi nyata dari iman tersebut dalam perilaku, ibadah, dan interaksi sosial.
Penegasan إِنَّا لَا نُضِيعُ أَجْرَ مَنْ أَحْسَنَ عَمَلًا (Kami benar-benar tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik) adalah jaminan ilahi yang menghilangkan kekhawatiran para mukmin. Orang-orang yang miskin dan sederhana, yang diperintahkan untuk didampingi dalam Ayat 28, mungkin tidak memiliki pengaruh di dunia, namun usaha mereka dalam beribadah pada pagi dan petang tidak akan pernah luput dari pandangan Allah.
Ayat ini menggunakan istilah Al-Muhsinin (orang-orang yang berbuat Ihsan). Ihsan adalah tingkat tertinggi dari keimanan, sebagaimana dijelaskan dalam Hadis Jibril, yaitu engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.
Amal saleh yang dilakukan dengan Ihsan adalah amal yang dikerjakan dengan tulus, berkualitas, sesuai syariat, dan semata-mata mengharap wajah Allah. Ayat ini menjamin bahwa setiap amal yang dilakukan dengan kualitas Ihsan akan dibalas secara penuh, tanpa dikurangi sedikit pun, kontras dengan kerugian total yang dialami oleh para kafir (Ayat 29).
Rangkaian sepuluh ayat ini menyajikan sebuah kurikulum spiritual dan etis yang komprehensif bagi mukmin yang hidup di tengah godaan (fitnah) modern:
Ayat 21 dan 22 mengajarkan kita batasan ilmu. Ketika berhadapan dengan misteri (Al-Ghaib) atau perdebatan yang tidak penting, kita harus segera kembali pada prinsip Rabbi A'lamu. Ilmu yang paling berharga adalah yang bersumber dari wahyu (Ayat 27), bukan spekulasi (Rajm bil Ghaib).
Perintah Istithna (Ayat 23-24) adalah pengakuan tertinggi terhadap kekuasaan Allah atas waktu dan kehendak. Seorang mukmin yang sejati tidak pernah merasa independen dari Tuhannya, bahkan dalam rencana yang paling sederhana sekalipun.
Ayat 28 adalah panduan sosial dan moral. Dalam lingkungan yang penuh fitnah harta dan kedudukan, kita diperintahkan untuk memilih persahabatan berdasarkan ketulusan niat (Iradat Wajhahu), bukan berdasarkan kekayaan atau status sosial (Zinatul Hayatid Dunya).
Ayat 29 dan 30 menutup rangkaian dengan pilihan yang jelas. Setelah semua petunjuk diberikan, manusia dibiarkan memilih. Namun, pilihan ini menentukan tempat kembali abadi—kekalahan total (Suradiq Neraka) atau kesuksesan abadi (Pahala Al-Muhsinin).
Kisah Ashabul Kahfi, yang diuraikan dari ayat 21, berfungsi bukan hanya sebagai dongeng masa lalu, tetapi sebagai cermin yang merefleksikan prinsip-prinsip abadi yang dibutuhkan oleh umat Islam untuk bertahan dalam menghadapi fitnah zaman, khususnya fitnah kesombongan, kezaliman, dan pengabaian wahyu.
Dengan demikian, Surat Al-Kahfi mengajarkan bahwa kemenangan hakiki diukur dari seberapa teguh hati kita bersabar bersama orang-orang tulus, seberapa patuh kita mengakui kekuasaan Allah atas masa depan kita melalui 'In Shaa Allah', dan seberapa besar kita menghargai kebenaran yang tertulis dalam Al-Qur'an.
Seorang mukmin yang berhasil adalah mereka yang mampu membedakan antara ilmu yang bermanfaat dan spekulasi yang sia-sia, dan yang selalu mencari wajah Allah, meskipun jalan itu harus dilalui bersama orang-orang yang dipandang rendah oleh dunia.
Kewajiban mengucapkan In Shaa Allah (jika Allah menghendaki), yang diperintahkan dalam Ayat 23-24, merupakan salah satu ajaran yang paling unik dan mendalam dalam Islam. Dalam terminologi fiqh, ini dikenal sebagai Istithna (pengecualian/penyertaan). Mari kita telaah lebih lanjut mengenai fiqh dan dampak spiritualnya.
Secara hukum Islam, Istithna wajib dilakukan ketika seseorang berniat melakukan sesuatu di masa depan, tanpa memperhatikan jangka waktu. Meskipun konteks ayat ini menyebutkan "besok" (ghadan), para ulama sepakat bahwa Istithna berlaku untuk semua janji atau niat masa depan, baik jangka pendek maupun jangka panjang, karena semua waktu berada di bawah kekuasaan Allah.
Sebagian besar ulama fiqh (terutama mazhab Hanafi dan Hambali) berpendapat bahwa jika Istithna disertakan dalam sumpah (misalnya, "Demi Allah, aku akan pergi, Insya Allah"), maka jika orang tersebut tidak jadi pergi, ia tidak melanggar sumpah, dan tidak wajib membayar kaffarah (tebusan). Istithna bertindak sebagai pembatal sumpah jika kehendak Allah tidak sejalan dengan apa yang diucapkan.
Namun, dalam konteks janji murni (seperti janji bisnis atau sosial), Istithna berfungsi sebagai pengakuan tauhid tanpa menghapus kewajiban moral untuk berusaha memenuhi janji tersebut. Janji yang disertai Istithna menunjukkan bahwa usaha kita harus maksimal, tetapi hasilnya diserahkan kepada qada' dan qadar Allah.
Kepatuhan terhadap Istithna memberikan ketenangan batin yang besar kepada seorang mukmin:
Ayat 26, yang berbunyi وَلَا يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَدًا (dan Dia tidak mengambil seorang pun menjadi sekutu dalam menetapkan keputusan), adalah penegasan fundamental dari Tauhid Al-Hakimiyyah, yaitu keesaan Allah dalam kedaulatan, legislasi, dan penetapan hukum.
Konsep *Hukm* di sini memiliki cakupan yang luas:
Ayat ini berfungsi sebagai kritik terhadap praktik yang terlihat di Ayat 21, di mana orang-orang yang berkuasa (alladziina ghalabuu 'ala amrihim) membuat keputusan spiritual yang keliru (membangun masjid di atas kuburan) tanpa merujuk pada kehendak Ilahi yang benar.
Ketika Allah mengatakan bahwa Dia tidak menyekutukan siapa pun dalam Hukum-Nya, ini adalah peringatan keras bagi para penguasa, hakim, dan ulama agar tidak menetapkan hukum berdasarkan hawa nafsu, tradisi, atau tekanan sosial, melainkan harus kembali kepada wahyu yang tidak dapat diubah (Laa mubaddila li kalimatih, Ayat 27).
Memahami Tauhid Hakimiyyah adalah kunci untuk menghindari Furutan (melampaui batas) dalam urusan publik, karena Furutan sering kali terjadi ketika hukum dibuat berdasarkan hawa nafsu (ittaba'a hawaahu) dan bukan berdasarkan petunjuk ilahi (Ayat 28).
Inti dari etika mukmin dalam menghadapi fitnah terletak pada Ash-Shabr, seperti yang ditekankan dalam perintah وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ (Dan bersabarlah engkau bersama...). Namun, ini bukan sekadar kesabaran pasif, melainkan kesabaran yang aktif dan terarah.
Perintah washbir nafsaka (sabarkan dirimu) menunjukkan bahwa kesabaran adalah upaya sadar untuk memaksa diri menetap bersama sekelompok orang, meskipun ada daya tarik yang kuat untuk meninggalkan mereka (yaitu, daya tarik orang kaya Quraisy).
Kesabaran di sini berarti bertahan dalam menghadapi:
Ayat 28 memberikan diagnosis spiritual atas tiga penyakit hati yang harus dihindari oleh seorang da'i atau pemimpin:
Kesabaran bersama Al-Muhsinin (Ayat 30) adalah penawar bagi tiga penyakit ini, karena lingkungan yang saleh akan secara otomatis mendorong zikir, mengendalikan hawa nafsu, dan menciptakan ketertiban dalam urusan.
Ayat 29 memberikan rincian yang sangat jelas dan menakutkan tentang azab neraka, yang berfungsi sebagai peringatan keras bagi mereka yang memanfaatkan kebebasan memilih (falyu'min waman sya'a falyakfur) untuk menolak kebenaran.
Suradiq secara leksikal berarti tenda besar atau tirai. Dalam konteks neraka, ia merujuk pada dinding api, asap, atau gejolak yang mengelilingi penghuni neraka tanpa celah. Tafsir ini menunjukkan bahwa penderitaan di neraka adalah total, menyeluruh, dan tidak dapat dihindari. Rasa panas atau azab tidak datang dari satu arah, tetapi merupakan realitas 360 derajat yang merantai jiwa dan raga. Ini adalah kontras total dengan luasnya surga yang dijanjikan.
Kondisi paling menyedihkan dalam azab ini adalah kehausan yang luar biasa (istighatsah). Air yang diberikan (kal-Muhl) adalah ejekan yang menyakitkan. Al-Qur'an menggunakan perumpamaan yang dapat dipahami oleh manusia (seperti tembaga cair atau minyak mendidih) untuk menekankan betapa air tersebut bukan saja gagal menghilangkan haus, tetapi justru menambah azab dengan menghanguskan wajah.
Imam At-Thabari menjelaskan bahwa air ini adalah penghinaan atas permintaan mereka. Mereka meminta rahmat, tetapi menerima zat yang paling menyakitkan yang dapat ditemukan. Ini adalah gambaran dari keputusasaan total di mana bahkan kebutuhan dasar (minuman) pun berubah menjadi sumber siksaan.
Sepuluh ayat ini secara efektif merangkum perjuangan seorang mukmin dalam menjalani hidup di dunia yang penuh fitnah:
Orang-orang yang berhasil menavigasi fitnah-fitnah ini adalah mereka yang digolongkan sebagai Al-Muhsinin (Ayat 30), yang tidak hanya beriman secara formal, tetapi juga mengamalkan iman itu dengan kualitas terbaik (Ihsan), yakin bahwa setiap kebaikan sekecil apa pun akan dibalas secara sempurna oleh Allah yang tidak pernah menyia-nyiakan pahala hamba-Nya.